Jumat, 09 Juni 2017

MAKALAH FILSAFAT HUKUM ISLAM: ASRORUL AHKAM ‎(RAHASIA – RAHASIA HUKUM ISLAM)‎

OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
DOSEN FAK. SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU
ADVOKAT PADA KANTOR HUKUM WISMAR RIAU



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Hukum islam menghimpun segala sudut dan segi dengan berbeda-beda did alam suatu kesatuan. Karenanya hukum islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara ushul dengan furu’, satu sama lain saling melengkapi, saling menguatkan, ibarat sebatang pohon, semakin banyak cabang-cabangnya semakin kokoh dan teguh batangnya, semakin subur pertumbuhannya, semakin segar kehidupannya.
Di dalam berasimilasi, hukum islam member dan menerima penolakan dan pembantahan menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Dengan teguh dia memelihara kapribadiannya. Namun demikian dia tidak membeku, tidak bertabiat jumud dan tidak pula berlebih lebihan (duna jumuddin wala tatharrufin).
Hukum islam sanggup mempertemukan antara hal-hal yang bertentangan dengan luwes dan lurus tanpa perlu memihak kepada suatu pihak.
Manusia tersusun dari ruh dan maddah (materi), fikir dan hati. Dan isla mempunyai asas mengawinkan antara ruhil (kejiwaan) dengan maddi (kebendaan), tidak mempertentangkan antara keduanya. Keseimbangan hukum islam Nampak terlihat dan tergambar antara lama dan baru, antara barat dan timur, antara masa dahulu dan masa kini. Falsafah islam mengumpulkan antara akidah dengan syariat. Syariat tanpa hakikat adalah dusta dan ria. Hakikat tanpa syariat adalah kefasikan tanpa mematuhi undang-undang.
Hukum silam mempunyai dataran yang lebar. Hukum islam tidak membatasi gerak-gerik manusia, selalu memberikan kebebasan mencari yang berpadanan. Hukum islam adalah hukum yang memberi perhatian kepada kenyataan-kenyataan yang terjadi dan cia-cita maju yang berkembang hidup. Karenanya, hukum islam membolehkan mahdhurat diketika timbul darurat.
Hukum islam tidaklah merupakan suatu yang ideal yang menjunjung tinggi yang tak mungkin di jangkau dan tidaklah pula merupakan materi untuk perkembangan inderanya, sebagaimana memerlukan wahyu atau nash syara’ untuk memahami segala sesuatu dan mengetahui sebab-sebabnya.
Rahasia-rahasia hukum islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam” dan ada juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum islam. Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya adalah ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan hikmah-hikmah hukum.[1]
Walaupun rahasia-rahasia hukum islam itu sulit diketahui, tetapi paling tidak seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya. Yakni dengan mempelajari metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri. Allah SWT sendiri berfirman bahwa rahasia hukum islam hanya diketahui oleh orang-orang yang cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki. Maka, agar rahasia-rahasia hukum islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam. Oleh karena itu kami merasa perlu untuk mengungkapkan permasalahan ini yang selanjutnya terumus dengan judul “Asrarul Ahkam”.
Berdasarkan hal – hal diatas, saya tertarik untuk menulis tentang Asrorul Ahkam atau lebih dikenal dengan Rahasia – rahasia Hukum islam.
  1. Rumusan Masalah
1.     Bagaimanakah pengertian filsafat dan filsafat Hukum islam?
2.     Bagaimanakah pandangan para ulama terhadap Asrarul Ahkam?
3.     Bagaimanakah Metode Penggalian Rahasia-Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)?











BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian filsafat dan filsafat Hukum islam
1.     Pengertian Filsafat
Filsafat diantara ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia mempunyai kedudukan yang khusus. Ilmu pengetahuan merupakan sebuah upaya manusia untuk menggambarkan suatu realitas, akan tetapi filsafat adalah mengungkapkan hakikat dari realitas tersebut.
Dari segi bahasa atau etimologinya, pengertian kata filsafat diambil dari bahasa yunani philoshophia, yang artinya cinta kebijaksanaan. Kata dari filsafat ini dalam islam dikenal dengan kata Hikmah, jadi ketika kita telusuri dari filsafat-filsafat Islam kita akan menemukan kata hukama-ul-al-Islam yang artinya sama halnya dengan Falasifatul Islam atau para filusuf Islam.
Al-Farabi (870-950) salah satu Ilmuan berilian terkemuka Islam menuturkan bahwasanya tujuan filsafat tidak ubah, dan tidak beda halnya seperti tujuan sebuah agama, yaitu mengetahui dan memahami semua wajud.hanya saja filsafatmempunyai dalil-dalil yang tertentu dan ditujukan kepada golongan tertentu pula, sedangkan agama memakai cara penmuasan perasaan kiasan serta gambaran yang bersifat universal. Sehingga dalam dunia Islam ada yang mendefinisikan filsafat sebagai:[2]
اَلْعِلْمُ بِالْمَوْجُوْدَاتِ بِمَا هِيَ مَوْجُوْدَةٌ
Artinya: Ilmu yang tentang mengetahui yang wujud karena ia wujud
Ada pula yang mendefinisikan sebagai :
اَلْعِلْمُ الْمَوْجُوْدَاتِ بِالْعِلَلِ الْبَعِيْدَةِ
Artinya: Ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabny yang jauh

Dengan demikian bias kita simpulkan bahwa fisafat merupakan ilmu atau pengetahuan yang yakin akan sampai pada sebeb-sebabnya suatu perkara. Ilmu tentang wujud-wujud tersebut bersifat keseluruhan dan universal sehingga tidak bersifat detil dan terperinci, karena pengetahuan-pengetahuan yang bersifat empiris menjadi suatu lapangan tersendiri yaitu lapangan ilmu-ilmu empiris.
Sehingga dalam hal ini filsafat merupakan a second level science, yaitu hal yang kedua dari suatu ilmu. Ia mempelajari semua objek dan bidang ilmu yang dibahas oleh filsafat menurut sebab-sebabnya yang mendasar., sehingga semua ilmu mempunyai landasan filusufnya yang merupakan objek formal filsafat. Hal inilah yang kebanyakan orang memandang sebagai hal sebagai fakta bahwa filsafat dan orang yang mempelajarinya bersifat bebas dan radikal.
2.    Filsafat Hukum Islam
Secara umum dapat dikatakan bahwa kitabullah dan sunatu rosulillah yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan sumber yang tak terbantahkan sebagai pedoman dan kebenaran pada umat Islam. Akan tetap jika ada seuatu kejadian baru yang membutuhkan penetapan dan kita umat Islam tidak memperoleh secara jelas dari keduanya maka akan diutamakan melalui ra’yu atau rasio, dengan urutan pertama kita harus membahasnya dengan pihak yang berwenang dalam hal itu, yaitu pemimpin, apabila ada perselisihan didalamnya maka kita menggunakan qiyas atau analogi. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an surat An Nisa ayat 59 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
           Hal demikian dikenal dengan nama ijtihad, yang demikian tersebur bias dipandang sebagai sumber ajaran Islam setelah keduanya (Al-Qur’an dan as-Sunah). Hal ini pula ditandai dengan sebuah cerita yang masyhur dikalangan umat Islam khususnya para fuqoha (ahli fiqh atau ahli yurisprudensi) yaitu ketika sahabat Muadz bin Jabal diutus oleh Rasululah ke negri Yaman; Rasulullah terlebih dahuluu bertanya epada Muadz “bagaimana kamu akan mengurus perkara yang diajukan kepadamu?” jawab Muadz “ saya akan memutus dengan dasar kitabulah (al-Qur’an)” kemudian Rasulullah bertanya lagi “Jika dalam kitabullah kamu tidak menjumpai ketrentuannya bagaimana?” jawab Muadz lagi “dengan sunah Rasulullah” Rasulullah bertanya lagi “ jika dalam sunah Rasulullah tidak kamu jumpai pula bagaimana?” sahabat Mua’dz menjawab “ maka saya akan berijtihad menggunakan akalku dan saya tidak akan membiarkan satu perkara tanpa putusan apapun” mendengar jawaban tersebut rasulullah langsung menepuk dada sahabt Muadz seraya bersabda “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Allah”  sesuai dengan yang melegakan hati Rasulullah.[3]
           Dalam tataran pembelajaran ahlak, Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa mewujudkann kepribadian yang kaffah, baik individual ataupun social dari hubungan antar diri sendiri, antar manusia dan hubungnnya dengan Allah, sehingga akan disadari bahwa bagaimanapun jangkauan rasional manusia dalam memahami kebenaran sangatlah terbatas.
B.    Pandangan para ulama terhadap Asrarul Ahkam/Rahasia – rahasia Hukum Islam
1.   Pendapat bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hikmah dan illat hukum, tidak boleh mendasarkan hukum kepada illat dan hikmah itu, karena tidak ada keharusan terkaitnya antara taklif dan hikmah.
            Mereka berpendapat bahwa: “Allah membebani para hamba (mukallaf) dengan apa yang Allah kehendaki, baik mengandung hikmah atau tidak.” Mereka menyandarkan pandangan Umar ketika beliau mencium Hajar Aswad:

اللهم إنى اعلم انك حجر لاتضر ولاتنفع, ولولا انىرايت رسول الله يقبلك ما قبلتك
Artinya: “Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengetahui bahwasanya engkau hai batu hitam adalah batu yang tidak memberi madlarat dan tidak memberi manfaat. Andaikata aku tidak melihat Rasulullah mencium engkau tentulah aku tidak mencium engkau.”
2.   Berpendapat bahwasanya setiap perbuatan mukallaf yang disyari’atkan Allah mengandung hikmah, mempunyai hukum dan disertai rahasia-rahasia yang harus kita mengungkapkannya.
         Hanya saja hikmah-hikmah itu ada yang dapat dicapai dengan daya fikir manusia, ada yang tidak dapat dicapai dengan daya akal. Namun demikian setiap hukum mempunyai hikmah dan illat, walaupun tersembunyi bagi sebagian manusia, karena tidak sanggup meliputi segala Asrorul Ahkam, tidak sanggup mengetahui hakikat yang dikehendaki syara’, maka karenanya para mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan Manathul Ahkam atau Hikmah Tasyri’.
            Sedangkan ulama’-ulama’ yang mengungkapkan tentang Asrorul Ahkam seperti al-Khaththabi ulama’ abad ke-empat. Al-Ghozali ulama’ abad ke-lima yang mengungkapkan Asrorul Ibadah dalam kitab as-Suluk. Ulama’ Abdis Salam ulama’ abad ke-tujuh dalam kitabnya Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam. Dan ad-Dahlawi seorang ulama’ besar di India dalam abad ke-dua belas Hijriah dalam kitabnya Al Hujjatul Baliqhah.
Pada masa itu akhir-akhir al-‘Allama ‘Allal al-Fasi menulis kitabnya Maqashidusy Syari’ah mengungkapkan rahasis-rahasia hokum secara keseluruan.
Ibnu Qayyim berpendapat:
“sesungguhnya tempat berpijak dan sendi syari’at adalah hikmah dan maslahah hamba dunia akhirat. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana, tidak melakukan sesuatu dengan sia-sia, bukan tanpa makna, maslahah dan hikmah, hikmah itulah yang dimaksudkan dengan perbuatan. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan Allah muncul dari hikmah yang mendalam, karena hikmah itulah perbuatan itu dikerjakan sebagaimana perbuatan-perbuatan itu timbul dari sebab-sebab, yang karena hikmah itulah perbuatan itu dilakukan. kalamNya dan sabda Rasul Nya menunjukkan hal ini, di dalam berbagai tempat yang hamper tidak dapat dihitung dan tidak ada jalan untuk mengumpulkan satu persatunya dengan sempurna”
            Dalam mengungkap rahasia-rahasi hukum yakni illah dan hikmah hukum, perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
1.     Dalam mengahadapi kewajiban agama, khusus dalam bidang ibadat, jangan mengatakan bahwa kewajiban agama perlu dilaksanakan karena untuk perbaikan jiwa. Bila jiwa telah baik, maka tidak perlu lagi melaksanakan beban ibadah itu, atau kita mengatakan bahwa ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kalau sudah dekat dengan jalan lain, tentulah tidak wajib beribadat.
     Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan perumpamaan dengan mengisahkan seorang lelaki membina sebuah mahligai di suatu pegunungan. Di dalamnya ditanam semacam rumput yang berbau wangi. Dia mewasiatkan kepada anaknya supaya memelihara rumput itu dan jangan sekali-sekali tinggal di dalam mahligai itu, baik siang maupun mlam tanpa ada rumput tersebut. Kemudian si anak menanam bermacam-macam bunga dan beraneka tumbuhan yang berbau wangi, serta mendatangkan kasturi dan cendana ke dalam mahligai sehingga baunya semerbak dan harum dan mengalahkan kewangian rumput yang ditanam sang ayah. Pada suatu ketika sang anak mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ayahnya menyuruhnya memelihara rumput itu karena baunya wangi. Hal itu telah ditutupi oleh kembang-kembang, bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan yang lain yeng lebih semerbak baunya. Karenanya rumput yang ditanam ayahnya dibuang dari mahligai. Setelah mahligai telah kosong dari rumput tersebut, keluarlah dari beberapa lobang yang ada di mahligai itu ular-ular yang mengerikan, lalu dia memukul si anak dengan ekornya yang nyaris menewaskan sang anak. Ketika itu barulah sang anak menyadari bahwa diantara khasiat rumput yang ditanam ayahnya adalah untuk menolak bencana dan menyebabkan ular tidak dapat bergerak dari tempatnya.
     Dari perumpamaan ini, sang ayah bermaksud:
a.   Supaya anak memanfaatkan rumput itu dengan baunya yang wangi. Hal ini dapat dipahami oleh sang anak.
b.   Supaya rumput itu melemahkan daya ular, hingga tidak dapat bergerak dari tempat persembuyiannya. Hikmah ini sulit dipahami oleh sang anak.
      Al-Farabi dalam kitab Ihsha’ul Ulum menerangkan bahwa ketentuan-ketentuan dan ketepatan-ketepatan agama, tidak dapat diuji dengan akal manusia, karena ketepatan-ketepatan itu lebih tinggi martabatnya dari pada akal manusia. Di dalamnya terdapat rahasia Ketuhanan yang tidak dapat dijangkau akal dan dapat dijangkauakal. Kalau semua wahyu dapat dijangkau akal, tiak ada gunanya wahyu. Kalau memang dapat dijangkau akal tentulah syara’ diserahkan kepada akal manusia sendiri , dan tidak perlu mendatangkan Rasul. Sebenarnya yang disampaikan Jibril kepada Rasul adalah yang tidak dibenarkan akal manusia, hal ini adalah benar pada akal ke Tuhanan. Manusia, walaupun mencapai puncak kesempurnaan dalam kemanusiaanya, namun kedudukannya disisi orang-orang yang memiliki akal ke Tuhanan (akal-akal yang terdidik atas petunjuk ilahi dan mengimaninya) adalah missal anak kecil terhadap orang yang telah dewasa. Anak-anak banyak mengingkari hal-hal yang sebenarnya tidak boleh diingkari, karena kelemahan akalnya. Orang yang belum berpengalaman, akan mengingkari banyak hala yang dihadapinya. Akan tetapi sesudah mereka memiliki ilmu dan mempunyai pengalaman maka hilanglah persangkaan itu dan jadilah apa yang semula dianggap mustahil menjadi suatu yang pasti terjadi.
2.     Keharusan berhati-hati dalam menghadapi illat hukum (jangan segera meninggalkan hukum sebab illat tampak tidak jelas).
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata:
“sesungguhnya syari’at diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat, kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan” dibawa angina. Sekiranya akal dapat menyukupi, maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal dan kecerdasannya. Andaikata kita dapat mencukupi dengan akal dibandingkan wahyu, bagaimana kita berbuat, padahal akal tidak dimiliki oleh seseorang, hanya akal milik seseorang. Seandainya manusia dapat berdiri sendiri dengan akalnya dalam semua hal, baik agama dan dunianya, dan tentulah manusia dapat menyempurnakan sendiri semua kebutuhan pertukangan dan pengetahuan dan dia tidak memerlukan orang lain dari jenis dan sukunya. Ini sebagai pendapat yang rendah dan fikiran yang tidak dapat digunakan.”
      Dari uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa memahami agama dapat dilihat dari dua pendekatan, wahyu dan akal. Wahyu untuk menjelaskan masalah syari’at yang dating dari Allah yang kita harus mengikutinya, dimana wahyu itu merupakan mu’jizat baik yang sudah disebutkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya maupun mukjizat (keistimewaan) yang dating kemudian. Dua macam kemu’jizatan itu, hanya dapat dipahami dan digali melalui intervensi akal manusia oleh karena itu wahyu dan akal saling menunjang.

3.     Metode Penggalian Rahasia-Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
     Untuk penggalian Asrarul Ahkam diperlukan metode yang dapat mengungkap segala rahasia-rahasia hukum, para ulama’ mengadakan berbagai macam pendekatan untuk mengungkap rahasia-rahasia itu, adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
a.   Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi
            Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum.[4]
            Illat sendiri sebagian ulama mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh: Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Orang yang mengakui adanya illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.
Para ulama Ushul Fiqh memandang masalah illat menjadi 3 golongan:
1.Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur) bahwa nash-nash hukum pasti memiliki illat, sesunggunya sumber hukum asal adalah illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan lain.
2.Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya illat.
3.Golongan ketiga ialah ulama yang menentang qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya illat hukum.
Dengan semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam.
Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatar belakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan hukum ialah illat hukum atau kausa hukum. Selama, illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fuqaha’ melahirkan kaidah fiqih yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya”.
     Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap ketentan hukum berkaitan dengan illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika illat ada, hukum pun ada, jika illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan sesuatu sebagi illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya, memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk dapat menunjuk illat hukum secara tepat. Mengenai adanya kaitan antara illat dan hukum, para fuqaha ”mazhab Zahiri” tidak dapat menerimanya sebab yang sesunguhnya mengetahui illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan hukum dengan illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash.
b.   Metode Ta’wili
         Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya.[5]
Ibnu Rusdy banyak menggunakan metode Ta’wili dalam mengungkapkan hukum islam, karena beliau memberikan aturan penakwilan yaitu:
a.   Setiap orang harus menerima prinsip-prinsipatau dasar-dasar syar’i dan mengikutinya, bila dilarang syara’ maka dipatuhinya.
b.   Yang berhak mengadakan penakwilan hanyalah golongan filosof saja, bahkan filosof-filosof tertentu saja, yaitu mereka yang dalam ilmunya. Ta’wil tidak boleh dipergunakan ulama’ fiqih atau ulama’ mutakallimin, sekalipun ilmunya tinggi tetapi mereka kurang mendalam.
c.   Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani (orang-orang filosof) bukan untuk orang awam yang tidak memahami pena’wilan.
d.   Hukum syara’ di bagi 3 bagian, pertama, bagian yang diartikan menurut lahiriyah, kedua, bagian yang perlu dita’wilkan, ketiga, bagian yang masih diperselisihkan. Bagi Ibnu Rusdy semua bagian itu tetap merupakan wilayah ta’wil. [6]
C.  Metode Hikmi
         Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Misalnya, mengapa disyari’atkan sholat, karena sholat itu dapat mencegah segala gangguan kejiwaan, misalnya stress serta memberikan ketenangan yang tinggi, mensucikan diri dari perbuatab keji dan mungkar serta berdampak pada perbuatan yang positif.

BAB III
KESIMPULAN
            Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa umum dinamakan hikmah atau ahdaf, adalah suatu cabang dari falsafah hokum islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari segi hikmah dan illat hukum.
Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum. (muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965: 434).
2. Metode Ta’wili, Metode Ta’wili adalah Metode penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada arti dibalik yang aslinya. (Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135).
3. Metode Hikmi, Metode Hikmi adalah Metode pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.





[1] Hasby Ash shidiqy, Falsafah hukum Islam”(Jakarta:bulan bintang; 1976),hal.380
[3] Ibid
[4] Muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965: 434
[5] Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135
[6] A. Hanafi, 1982: 95-96

Rabu, 11 Januari 2017

CONTOH SURAT KUASA TUN


CONTOH SURAT KUASA TUN
 
OLEH

JONI ALIZON, SH., MH
DOSEN FAK. SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU
ADVOKAT PADA KANTOR HUKUM WISMAR RIAU



SURAT  KUASA
Nomor : 01/J-A/SK/TUN/III/2011

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama                                  : ROJALI
Umur                                  : 45 Tahun
kewarganegaraan               : Indonesia
Pekerjaan                           : Swasta
Alamat                           : Jalan suka karya Nomor 15 Kelurahan Tuah karya,  Kecamatan  Tampan, Kota Pekanbaru,  dalam hal ini memilih domisili hukum   pada   Kantor Kuasanya untuk selanjutnya disebut sebagai
                                             PEMBERI KUASA ;----------------------------------------------------:

Dengan ini memberikan kuasa kepada :

JONI ALIZON, SH, MH ,
ALMAHDIANTO,SH, MH
QODIRUL KHUTUBY, SH, MH
ADI PUTRA, SH, MH
LINDA MARNI, SH, MH
Masing-masing Berkewarganegaraan Indonesia, Selaku Advokat dari Law Office Advokat JONI & ASSOCIATES, beralamat kantor di jln. GARUDA SAKTI Nomor18O Telp. Fax (0761) 857193 Kota Pekanbaru, baik bertindak secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama, untuk selanjutnya disebut sebagai PENERIMA KUASA; ------------------------------------------------------------------------

 

------------------KHUSUS-----------------


Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa mewakili Pemberi Kuasa untuk mengajukan Gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru terhadap Sertifikat Hak milik Nomor.30/BPN/PBR  tanggal 1 Maret 2011 Atas nama Amir yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yaitu Kepala  Kantor Badan Pertanahan kota Pekanbaru.

Untuk itu :

Penerima Kuasa berhak untuk membuat, menandatangani dan mengajukan Gugatan, menghadap dan menghadiri persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara pekanbaru, mengajukan bukti-bukti baik bukti surat maupun bukti saksi dan saksi ahli, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi atau saksi ahli, mengajukan kesimpulan, menrima atau menolak perdamaian, yang pada pokoknya melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkara tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

       Demikianlah Surat Kuasa ini diperbuat dengan sebenarnya, agar dapat dipergunakan dimana perlu dan dapat pula disubstitusikan.







                                                Pekanbaru, 10 maret 2011
Penerima Kuasa,                                                                                     Pemberi Kuasa,



JONI ALIZON, SH, MH                                                                                           ROJALI


ALMAHDIANTO,SH, MH


QODIRUL Khutuby, SH, MH


ADI PUTRA, SH, MH


LINDA MARNI, SH, MH