OLEH
JONI
ALIZON, SH., MH
DOSEN FAK.
SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU
ADVOKAT PADA
KANTOR HUKUM WISMAR RIAU
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hukum islam menghimpun segala sudut dan segi dengan berbeda-beda did
alam suatu kesatuan. Karenanya hukum islam tidak menghendaki adanya
pertentangan antara ushul dengan furu’, satu sama lain saling melengkapi,
saling menguatkan, ibarat sebatang pohon, semakin banyak cabang-cabangnya
semakin kokoh dan teguh batangnya, semakin subur pertumbuhannya, semakin segar
kehidupannya.
Di dalam berasimilasi, hukum islam member dan menerima penolakan dan
pembantahan menurut kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Dengan teguh dia
memelihara kapribadiannya. Namun demikian dia tidak membeku, tidak bertabiat
jumud dan tidak pula berlebih lebihan (duna jumuddin wala tatharrufin).
Hukum islam sanggup mempertemukan antara hal-hal yang bertentangan
dengan luwes dan lurus tanpa perlu memihak kepada suatu pihak.
Manusia tersusun dari ruh dan maddah (materi), fikir dan hati. Dan
isla mempunyai asas mengawinkan antara ruhil (kejiwaan) dengan maddi
(kebendaan), tidak mempertentangkan antara keduanya. Keseimbangan hukum islam
Nampak terlihat dan tergambar antara lama dan baru, antara barat dan timur,
antara masa dahulu dan masa kini. Falsafah islam mengumpulkan antara akidah
dengan syariat. Syariat tanpa hakikat adalah dusta dan ria. Hakikat tanpa syariat
adalah kefasikan tanpa mematuhi undang-undang.
Hukum silam mempunyai dataran yang lebar. Hukum islam tidak
membatasi gerak-gerik manusia, selalu memberikan kebebasan mencari yang
berpadanan. Hukum islam adalah hukum yang memberi perhatian kepada kenyataan-kenyataan
yang terjadi dan cia-cita maju yang berkembang hidup. Karenanya, hukum islam
membolehkan mahdhurat diketika timbul darurat.
Hukum islam tidaklah merupakan suatu yang ideal yang menjunjung
tinggi yang tak mungkin di jangkau dan tidaklah pula merupakan materi untuk
perkembangan inderanya, sebagaimana memerlukan wahyu atau nash syara’ untuk
memahami segala sesuatu dan mengetahui sebab-sebabnya.
Rahasia-rahasia hukum islam sering disebut sebagai “Asrarul Ahkam”
dan ada juga yang menyebutkan Asrarut Tasyri’ atau Asrarus Syari’ah, tentang
Asrarul Ahkam merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari falsafah hukum
islam. Bahkan Addahlawi menyebutkan bahwa ilmu yang paling tinggi martabatnya
adalah ilmu-ilmu syari’ah yang membahas rahasia agama yang menerangkan
hikmah-hikmah hukum.[1]
Walaupun rahasia-rahasia hukum islam itu sulit diketahui, tetapi
paling tidak seseorang harus berusaha untuk mengungkapkannya. Yakni dengan
mempelajari metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam itu sendiri.
Allah SWT sendiri berfirman bahwa rahasia hukum islam hanya diketahui oleh
orang-orang yang cerdik pandai atau orang-orang yang dikehendaki. Maka, agar
rahasia-rahasia hukum islam itu bisa terungkap, seseorang harus mengetahui
metode-metode, aspek-aspek dan wilayah Asrorul Ahkam. Oleh karena itu kami
merasa perlu untuk mengungkapkan permasalahan ini yang selanjutnya terumus
dengan judul “Asrarul Ahkam”.
Berdasarkan hal – hal diatas, saya tertarik untuk menulis tentang Asrorul Ahkam atau lebih dikenal dengan Rahasia
– rahasia Hukum islam.
- Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian filsafat dan
filsafat Hukum islam?
2. Bagaimanakah pandangan para ulama
terhadap Asrarul Ahkam?
3. Bagaimanakah Metode Penggalian Rahasia-Rahasia
Hukum Islam (Asrarul Ahkam)?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian filsafat dan filsafat Hukum islam
1.
Pengertian Filsafat
Filsafat diantara ilmu pengetahuan yang
dikembangkan manusia mempunyai kedudukan yang khusus. Ilmu pengetahuan
merupakan sebuah upaya manusia untuk menggambarkan suatu realitas, akan tetapi
filsafat adalah mengungkapkan hakikat dari realitas tersebut.
Dari segi bahasa atau etimologinya,
pengertian kata filsafat diambil dari bahasa yunani philoshophia, yang
artinya cinta kebijaksanaan. Kata dari filsafat ini dalam islam dikenal dengan kata
Hikmah, jadi ketika kita telusuri dari filsafat-filsafat Islam kita
akan menemukan kata hukama-ul-al-Islam yang artinya sama halnya dengan
Falasifatul Islam atau para filusuf Islam.
Al-Farabi (870-950) salah satu Ilmuan
berilian terkemuka Islam menuturkan bahwasanya tujuan filsafat tidak ubah, dan
tidak beda halnya seperti tujuan sebuah agama, yaitu mengetahui dan memahami
semua wajud.hanya saja filsafatmempunyai dalil-dalil yang tertentu dan
ditujukan kepada golongan tertentu pula, sedangkan agama memakai cara penmuasan
perasaan kiasan serta gambaran yang bersifat universal. Sehingga dalam dunia
Islam ada yang mendefinisikan filsafat sebagai:[2]
اَلْعِلْمُ
بِالْمَوْجُوْدَاتِ بِمَا هِيَ مَوْجُوْدَةٌ
Artinya: Ilmu yang tentang mengetahui yang wujud karena ia wujud
Ada pula yang mendefinisikan sebagai :
Ada pula yang mendefinisikan sebagai :
اَلْعِلْمُ
الْمَوْجُوْدَاتِ بِالْعِلَلِ الْبَعِيْدَةِ
Artinya: Ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabny yang jauh
Dengan demikian bias kita simpulkan
bahwa fisafat merupakan ilmu atau pengetahuan yang yakin akan sampai pada
sebeb-sebabnya suatu perkara. Ilmu tentang wujud-wujud tersebut bersifat
keseluruhan dan universal sehingga tidak bersifat detil dan terperinci, karena
pengetahuan-pengetahuan yang bersifat empiris menjadi suatu lapangan tersendiri
yaitu lapangan ilmu-ilmu empiris.
Sehingga dalam hal ini filsafat
merupakan a second level science, yaitu hal yang kedua dari suatu
ilmu. Ia mempelajari semua objek dan bidang ilmu yang dibahas oleh filsafat
menurut sebab-sebabnya yang mendasar., sehingga semua ilmu mempunyai landasan
filusufnya yang merupakan objek formal filsafat. Hal inilah yang kebanyakan
orang memandang sebagai hal sebagai fakta bahwa filsafat dan orang yang
mempelajarinya bersifat bebas dan radikal.
2. Filsafat Hukum Islam
Secara umum
dapat dikatakan bahwa kitabullah dan sunatu rosulillah yaitu Al-Qur’an dan
As-Sunah merupakan sumber yang tak terbantahkan sebagai pedoman dan kebenaran
pada umat Islam. Akan tetap jika ada seuatu kejadian baru yang membutuhkan
penetapan dan kita umat Islam tidak memperoleh secara jelas dari keduanya maka
akan diutamakan melalui ra’yu atau rasio, dengan urutan pertama kita harus
membahasnya dengan pihak yang berwenang dalam hal itu, yaitu pemimpin, apabila
ada perselisihan didalamnya maka kita menggunakan qiyas atau analogi. Hal ini
sesuai dengan ayat Al-Qur’an surat An Nisa ayat 59 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Hal demikian dikenal dengan nama ijtihad, yang demikian tersebur
bias dipandang sebagai sumber ajaran Islam setelah keduanya (Al-Qur’an dan
as-Sunah). Hal ini pula ditandai dengan sebuah cerita yang masyhur dikalangan
umat Islam khususnya para fuqoha (ahli fiqh atau ahli yurisprudensi) yaitu
ketika sahabat Muadz bin Jabal diutus oleh Rasululah ke negri Yaman; Rasulullah
terlebih dahuluu bertanya epada Muadz “bagaimana kamu akan mengurus perkara
yang diajukan kepadamu?” jawab Muadz “ saya akan memutus dengan dasar kitabulah
(al-Qur’an)” kemudian Rasulullah bertanya lagi “Jika dalam kitabullah kamu
tidak menjumpai ketrentuannya bagaimana?” jawab Muadz lagi “dengan sunah
Rasulullah” Rasulullah bertanya lagi “ jika dalam sunah Rasulullah tidak kamu
jumpai pula bagaimana?” sahabat Mua’dz menjawab “ maka saya akan berijtihad
menggunakan akalku dan saya tidak akan membiarkan satu perkara tanpa putusan
apapun” mendengar jawaban tersebut rasulullah langsung menepuk dada sahabt
Muadz seraya bersabda “ segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq
kepada utusan Allah” sesuai dengan yang melegakan hati Rasulullah.[3]
Dalam tataran pembelajaran ahlak,
Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa mewujudkann kepribadian yang
kaffah, baik individual ataupun social dari hubungan antar diri sendiri, antar
manusia dan hubungnnya dengan Allah, sehingga akan disadari bahwa bagaimanapun
jangkauan rasional manusia dalam memahami kebenaran sangatlah terbatas.
B. Pandangan
para ulama terhadap Asrarul Ahkam/Rahasia – rahasia Hukum Islam
1.
Pendapat
bahwa kita tidak boleh mengungkapkan hikmah dan illat hukum, tidak boleh
mendasarkan hukum kepada illat dan hikmah itu, karena tidak ada keharusan
terkaitnya antara taklif dan hikmah.
Mereka berpendapat bahwa: “Allah membebani para hamba (mukallaf) dengan
apa yang Allah kehendaki, baik mengandung hikmah atau tidak.” Mereka
menyandarkan pandangan Umar ketika beliau mencium Hajar Aswad:
اللهم إنى
اعلم انك حجر لاتضر ولاتنفع, ولولا انىرايت رسول الله يقبلك ما قبلتك
Artinya: “Wahai Tuhanku sesungguhnya aku mengetahui
bahwasanya engkau hai batu hitam adalah batu yang tidak memberi madlarat dan
tidak memberi manfaat. Andaikata aku tidak melihat Rasulullah mencium engkau
tentulah aku tidak mencium engkau.”
2.
Berpendapat
bahwasanya setiap perbuatan mukallaf yang disyari’atkan Allah mengandung
hikmah, mempunyai hukum dan disertai rahasia-rahasia yang harus kita
mengungkapkannya.
Hanya saja
hikmah-hikmah itu ada yang dapat dicapai dengan daya fikir manusia, ada yang
tidak dapat dicapai dengan daya akal. Namun demikian setiap hukum mempunyai
hikmah dan illat, walaupun tersembunyi bagi sebagian manusia, karena tidak
sanggup meliputi segala Asrorul Ahkam, tidak sanggup mengetahui hakikat yang
dikehendaki syara’, maka karenanya para mujtahid berbeda pendapat dalam
menetapkan Manathul Ahkam atau Hikmah Tasyri’.
Sedangkan ulama’-ulama’ yang
mengungkapkan tentang Asrorul Ahkam seperti al-Khaththabi ulama’ abad ke-empat.
Al-Ghozali ulama’ abad ke-lima yang mengungkapkan Asrorul Ibadah dalam kitab
as-Suluk. Ulama’ Abdis Salam ulama’ abad ke-tujuh dalam kitabnya Qawaidul Ahkam
fi Mashalihil Anam. Dan ad-Dahlawi seorang ulama’ besar di India dalam abad
ke-dua belas Hijriah dalam kitabnya Al Hujjatul Baliqhah.
Pada masa itu akhir-akhir al-‘Allama ‘Allal al-Fasi menulis kitabnya Maqashidusy Syari’ah mengungkapkan rahasis-rahasia hokum secara keseluruan.
Pada masa itu akhir-akhir al-‘Allama ‘Allal al-Fasi menulis kitabnya Maqashidusy Syari’ah mengungkapkan rahasis-rahasia hokum secara keseluruan.
Ibnu Qayyim
berpendapat:
“sesungguhnya tempat berpijak dan sendi syari’at
adalah hikmah dan maslahah hamba dunia akhirat. Sesungguhnya Allah Maha
Bijaksana, tidak melakukan sesuatu dengan sia-sia, bukan tanpa makna, maslahah
dan hikmah, hikmah itulah yang dimaksudkan dengan perbuatan. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
Allah muncul dari hikmah yang mendalam, karena hikmah itulah perbuatan itu
dikerjakan sebagaimana perbuatan-perbuatan itu timbul dari sebab-sebab, yang
karena hikmah itulah perbuatan itu dilakukan. kalamNya dan sabda Rasul Nya
menunjukkan hal ini, di dalam berbagai tempat yang hamper tidak dapat dihitung
dan tidak ada jalan untuk mengumpulkan satu persatunya dengan sempurna”
Dalam mengungkap rahasia-rahasi hukum yakni illah dan hikmah hukum,
perlu diperhatikan dua hal berikut ini:
1.
Dalam mengahadapi
kewajiban agama, khusus dalam bidang ibadat, jangan mengatakan bahwa kewajiban
agama perlu dilaksanakan karena untuk perbaikan jiwa. Bila jiwa telah baik,
maka tidak perlu lagi melaksanakan beban ibadah itu, atau kita mengatakan bahwa
ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dan kalau sudah dekat dengan
jalan lain, tentulah tidak wajib beribadat.
Dalam hal ini Imam al-Ghazali memberikan
perumpamaan dengan mengisahkan seorang lelaki membina sebuah mahligai di suatu
pegunungan. Di dalamnya ditanam semacam rumput yang berbau wangi. Dia
mewasiatkan kepada anaknya supaya memelihara rumput itu dan jangan
sekali-sekali tinggal di dalam mahligai itu, baik siang maupun mlam tanpa ada
rumput tersebut. Kemudian si anak menanam bermacam-macam bunga dan beraneka
tumbuhan yang berbau wangi, serta mendatangkan kasturi dan cendana ke dalam
mahligai sehingga baunya semerbak dan harum dan mengalahkan kewangian rumput
yang ditanam sang ayah. Pada suatu ketika sang anak mengatakan pada dirinya
sendiri bahwa ayahnya menyuruhnya memelihara rumput itu karena baunya wangi.
Hal itu telah ditutupi oleh kembang-kembang, bunga-bunga dan tumbuh-tumbuhan
yang lain yeng lebih semerbak baunya. Karenanya rumput yang ditanam ayahnya
dibuang dari mahligai. Setelah mahligai telah kosong dari rumput tersebut,
keluarlah dari beberapa lobang yang ada di mahligai itu ular-ular yang
mengerikan, lalu dia memukul si anak dengan ekornya yang nyaris menewaskan sang
anak. Ketika itu barulah sang anak menyadari bahwa diantara khasiat rumput yang
ditanam ayahnya adalah untuk menolak bencana dan menyebabkan ular tidak dapat
bergerak dari tempatnya.
Dari perumpamaan ini, sang ayah bermaksud:
a.
Supaya
anak memanfaatkan rumput itu dengan baunya yang wangi. Hal ini dapat dipahami
oleh sang anak.
b.
Supaya
rumput itu melemahkan daya ular, hingga tidak dapat bergerak dari tempat
persembuyiannya. Hikmah ini sulit dipahami oleh sang anak.
Al-Farabi dalam kitab Ihsha’ul Ulum
menerangkan bahwa ketentuan-ketentuan dan ketepatan-ketepatan agama, tidak dapat
diuji dengan akal manusia, karena ketepatan-ketepatan itu lebih tinggi
martabatnya dari pada akal manusia. Di dalamnya terdapat rahasia Ketuhanan yang
tidak dapat dijangkau akal dan dapat dijangkauakal. Kalau semua wahyu dapat
dijangkau akal, tiak ada gunanya wahyu. Kalau memang dapat dijangkau akal
tentulah syara’ diserahkan kepada akal manusia sendiri , dan tidak perlu
mendatangkan Rasul. Sebenarnya yang disampaikan Jibril kepada Rasul adalah yang
tidak dibenarkan akal manusia, hal ini adalah benar pada akal ke Tuhanan.
Manusia, walaupun mencapai puncak kesempurnaan dalam kemanusiaanya, namun
kedudukannya disisi orang-orang yang memiliki akal ke Tuhanan (akal-akal yang
terdidik atas petunjuk ilahi dan mengimaninya) adalah missal anak kecil
terhadap orang yang telah dewasa. Anak-anak banyak mengingkari hal-hal yang
sebenarnya tidak boleh diingkari, karena kelemahan akalnya. Orang yang belum
berpengalaman, akan mengingkari banyak hala yang dihadapinya. Akan tetapi
sesudah mereka memiliki ilmu dan mempunyai pengalaman maka hilanglah
persangkaan itu dan jadilah apa yang semula dianggap mustahil menjadi suatu
yang pasti terjadi.
2.
Keharusan
berhati-hati dalam menghadapi illat hukum (jangan segera meninggalkan hukum
sebab illat tampak tidak jelas).
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata:
“sesungguhnya syari’at diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat, kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan” dibawa angina. Sekiranya akal dapat menyukupi, maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal dan kecerdasannya. Andaikata kita dapat mencukupi dengan akal dibandingkan wahyu, bagaimana kita berbuat, padahal akal tidak dimiliki oleh seseorang, hanya akal milik seseorang. Seandainya manusia dapat berdiri sendiri dengan akalnya dalam semua hal, baik agama dan dunianya, dan tentulah manusia dapat menyempurnakan sendiri semua kebutuhan pertukangan dan pengetahuan dan dia tidak memerlukan orang lain dari jenis dan sukunya. Ini sebagai pendapat yang rendah dan fikiran yang tidak dapat digunakan.”
Abu Sulaiman al-Manthiqi dalam Hasbi telah mengulas pendapat al-Farabi dengan suatu uslub bahasa yang teramat indah. Dia berkata:
“sesungguhnya syari’at diambil dari Allah’azza wa jalla dengan perantara utusan (duta) yang menghubungkan antara Allah dengan makhluq melalui jalan wahyu. Pintu munajat, kesaksian ayat-ayat dan munculnya mu’jizat dipertengahannya, adalah hal-hal yang tidak ada jalan untuk membahas dan mendalaminya. Dan kita harus mengikuti apa yang diserukan dan diperingatkan kepadanya, disanalah gugur pertanyaaan “karena apa” dan batal kata “mengapa” dan tergeser kata “mengapa tidak begini” dan lenyaplah kata “jikalau dan mudah-mudahan” dibawa angina. Sekiranya akal dapat menyukupi, maka wahyu tidak ada faedah dan gunanya, sebab kedudukan manusia berbeda akal dan kecerdasannya. Andaikata kita dapat mencukupi dengan akal dibandingkan wahyu, bagaimana kita berbuat, padahal akal tidak dimiliki oleh seseorang, hanya akal milik seseorang. Seandainya manusia dapat berdiri sendiri dengan akalnya dalam semua hal, baik agama dan dunianya, dan tentulah manusia dapat menyempurnakan sendiri semua kebutuhan pertukangan dan pengetahuan dan dia tidak memerlukan orang lain dari jenis dan sukunya. Ini sebagai pendapat yang rendah dan fikiran yang tidak dapat digunakan.”
Dari uraian di atas dapat diambil
pengertian bahwa memahami agama dapat dilihat dari dua pendekatan, wahyu dan
akal. Wahyu untuk menjelaskan masalah syari’at yang dating dari Allah yang kita
harus mengikutinya, dimana wahyu itu merupakan mu’jizat baik yang sudah
disebutkan sendiri oleh Allah dan Rasul-Nya maupun mukjizat (keistimewaan) yang
dating kemudian. Dua macam kemu’jizatan itu, hanya dapat dipahami dan digali
melalui intervensi akal manusia oleh karena itu wahyu dan akal saling
menunjang.
3. Metode
Penggalian Rahasia-Rahasia Hukum Islam (Asrarul Ahkam)
Untuk penggalian Asrarul Ahkam diperlukan
metode yang dapat mengungkap segala rahasia-rahasia hukum, para ulama’
mengadakan berbagai macam pendekatan untuk mengungkap rahasia-rahasia itu,
adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
a.
Metode
Ta’lili atau Metode Qiyasi
Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian
hukum-hukum islam melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum.[4]
Illat sendiri sebagian ulama
mendefenisikan sebagai suatu sifat-lahir yang menetapkan dan sesuai dengan
hukum. Defenisi lain dikemukakan oleh sebagaian ulama Ushul Fiqh: Illat ialah
suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Orang yang
mengakui adanya illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.
Para ulama Ushul
Fiqh memandang masalah illat menjadi 3 golongan:
1.Golongan pertama (Mazhab Hanafi dan Jumhur)
bahwa nash-nash hukum pasti memiliki illat, sesunggunya sumber hukum asal
adalah illat hukum itu sendiri, hingga ada petunjuk (dalil) yang menentukan
lain.
2.Golongan yang kedua sebaliknya, bahwa nash-nash
hukum itu tidak ber’illat, kecuali ada dalil yang menentukan adanya illat.
3.Golongan ketiga ialah ulama yang menentang
qiyas (nufatul qiyas) yang mengganggap tidak adanya illat hukum.
Dengan
semakin luasnya perkembangan kehidupan dan makin dirasakan meningkatnya
tuntutan pelayanan hukum dalam kehidupan umat Islam.
Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatar belakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan hukum ialah illat hukum atau kausa hukum. Selama, illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fuqaha’ melahirkan kaidah fiqih yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya”.
Maka banyak ketentuan hukum nash yang harus memperhatikan jiwa yang melatar belakanginya, jiwa itu tidak dalam aplikasinya pada suatu saat dan keadaan tertentu, ketentuan hukum yang disebutkan dalam nash tidak dilaksanakan. Yang dimaksud dengan jiwa yang melatar belakangi sesuatu ketentuan hukum ialah illat hukum atau kausa hukum. Selama, illat hukum masih terlibat, ketentuan hukum berlaku, sedang jika illat hukum tidak tanpak, ketentuan hukum pun tidak berlaku. Dalam perkembangan ilmu Hukum Islam, para fuqaha’ melahirkan kaidah fiqih yang mengatakan :
“Hukum itu berkisar bersama illatnya, baik ada atau tidak adanya”.
Arti kaidah fiqih tersebut ialah setiap
ketentan hukum berkaitan dengan illat (kausa) yang melatarbelakanginya; jika
illat ada, hukum pun ada, jika illat tidak ada, hukum pun tidak ada. Menentukan
sesuatu sebagi illat hukum merupakan hal yang amat pelik. Oleh karenanya,
memahami jiwa hukum yang dilandasi iman yang kokoh merupakan keharusan untuk
dapat menunjuk illat hukum secara tepat. Mengenai adanya kaitan antara illat
dan hukum, para fuqaha ”mazhab Zahiri” tidak dapat menerimanya sebab yang
sesunguhnya mengetahui illat hukum hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan hukum dengan illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash.
Manusia tidak mampu mengetahuinya secara pasti. Manusia wajib taat kepada ketentuan hukum nash menurut apa adanya. Menetapkan adanya kaitan hukum dengan illat yang melatarbelakangi amat diperlukan jika kita akan mengetahui hukum peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Nabi, yang terlihat adanya persamaaan illat hukum peristiwa yang terjadi pada masa Nabi disebutkan dalam nash.
b. Metode Ta’wili
Metode Ta’wili adalah Metode penggalian
rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan berpijak pada
arti dibalik yang aslinya.[5]
Ibnu
Rusdy banyak menggunakan metode Ta’wili dalam mengungkapkan hukum islam, karena
beliau memberikan aturan penakwilan yaitu:
a.
Setiap
orang harus menerima prinsip-prinsipatau dasar-dasar syar’i dan mengikutinya,
bila dilarang syara’ maka dipatuhinya.
b.
Yang
berhak mengadakan penakwilan hanyalah golongan filosof saja, bahkan
filosof-filosof tertentu saja, yaitu mereka yang dalam ilmunya. Ta’wil tidak
boleh dipergunakan ulama’ fiqih atau ulama’ mutakallimin, sekalipun ilmunya
tinggi tetapi mereka kurang mendalam.
c.
Hasil
pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani
(orang-orang filosof) bukan untuk orang awam yang tidak memahami pena’wilan.
d.
Hukum syara’
di bagi 3 bagian, pertama, bagian yang diartikan menurut lahiriyah, kedua,
bagian yang perlu dita’wilkan, ketiga, bagian yang masih diperselisihkan. Bagi
Ibnu Rusdy semua bagian itu tetap merupakan wilayah ta’wil. [6]
C.
Metode
Hikmi
Metode Hikmi adalah Metode pencarian
rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.
Misalnya, mengapa disyari’atkan sholat, karena sholat itu dapat mencegah segala
gangguan kejiwaan, misalnya stress serta memberikan ketenangan yang tinggi, mensucikan
diri dari perbuatab keji dan mungkar serta berdampak pada perbuatan yang
positif.
BAB III
KESIMPULAN
Asrorul Ahkam atau yang dalam bahasa
umum dinamakan hikmah atau ahdaf, adalah suatu cabang dari falsafah hokum
islam, yang kita lihat atau kita tanggapi dari segi hikmah dan illat hukum.
Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
Adapun metode yang dikembangkan adalah sebagai berikut:
1.Metode Ta’lili atau Metode Qiyasi, Metode
Ta’lili atau Metode Qiyasi, yaitu suatu metode penggalian hukum-hukum islam
melalui penganalisaan Illat (Motif) hukum. (muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965:
434).
2. Metode Ta’wili, Metode Ta’wili adalah Metode
penggalian rahasia-rahasia hukum islam melalui penyuguhan hukum islam dengan
berpijak pada arti dibalik yang aslinya. (Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135).
3. Metode Hikmi, Metode Hikmi adalah Metode
pencarian rahasia hukum melalui pengungkapan hikmah-hikmah yang terkandung di
dalamnya.
[1] Hasby Ash shidiqy, Falsafah hukum Islam”(Jakarta:bulan
bintang; 1976),hal.380
[2] http://assilasafi.wordpress.com/2011/03/27/integrasi-filsafat-dan-hukum-islam/,
diakses pada 17 Mei 20012, pada pukul 22.09 Wib
[3] Ibid
[4] Muhammad Ma’ruf Ad-Dawalibi, 1965: 434
[5] Muhammad Abu Zahrah, 1958: 135
[6] A. Hanafi, 1982: 95-96