Rabu, 21 Desember 2016

HUKUM ANTAR TATA HUKUM

JONI ALIZON, SH., MH
DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU 
ADVOKAT PADA KANTOR HUKUM WIMAR RIAU


HUKUM ANTAR TATA HUKUM




BAB I
PENDAHULUAN


A. Sistem Hukum Indonesia
Berbicara mengenai Sistem Hukum, dalam suatu sistem terdapat ciri-ciri tertentu, yakni terdiri dari komponen-komponen yang satu sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur serta terintegrasi. Prof. Subekti,S.H. berpendapat bahwa: “sistem hukum adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.[1]
Adapun macam-macam Sistem Hukum  yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut :
  1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundangan menduduki tempat penting. Peraturan perundangan yang baik, selain menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.[2]

  1. Sistem Hukum Anglo Saxon 
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.[3]
  1. Sistem Hukum Adat
Sistem hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain. Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “adatrecht” yang untuk pertama kali oleh Snouck Hurgronje, Pengertian Hukum Adat yang digunakan oleh Mr. C. Van Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan masyarakat merupakan hukum Adat dan Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya mungkin dibedakan dalam akibat-akibat Hukumnya. Kata “Hukum” dalam pengertian hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhanya oleh berbagai golongan tertentu dalam ilmu lingkungan kehidupan sosialnya.[4]
Sistem Hukum Adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan Hukum Adat itu mempunyai tipe yang bersifat Tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenekk moyang.utuk ketertiban hukumnya selalu diberikan penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang. Dari sumber hukum yang tidak tertulis itu, maka Hukum Adat dapat memperlihatkan kesanggupanya untuk menyesuaikan diri dan elastik. Misalnya, kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda dengan membawa ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia menyesuaikan dengan daerah tradisi yang didatangi. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang peraturan-peraturanya ditulis dan dikondifikasikan dalam sebuah kitab Undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang sulit dapat diubah secara cepat untuk penyesuaian dalam situasi sosial tertentu.[5]
Sistem Hukum Adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut:[6]
a.      Hukum adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat), mengatur tentang susunan dari ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeneschappen) serta dalam susunan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan pejabatnya.
b.     Hukum adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari Hukum Pertalian Sanak (perkawinan, waris), Hukum Tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah), Hukum Perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain tanah dan jasa).
c.      Hukum adat mengenai detik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
Hukum adat yang merupakan pencerminan kehidupan masyarakat indonesia, sedangkan masyarakat itu sendiri selalu berkembang, dengan tipe yang mudah berubah dan elastik, maka sejak penjajahan Belanda banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari polotik hukum yang ditanamkan oleh pemerintah penjajah itu.
  1. Sistem Hukum Islam
Sistem hukum ini mula-mula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan penyebrangan agama Islam. Kemudian berkembang kenegara lain di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika secara Individual atau kelompok. Sistem Hukum Islam bersumber Hukum kepada:[7]
a.      Al-Quran, yaitu Kitab suci kaum muslim yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Rasul Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
b.     Sunnah Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai Nabi Muhammad.
c.      Ijma, ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja (berorganisasi).
d.     Qiyas, ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian. Cara ini dapat dijelmakan melalui metode Ilmu Hukum berdasarkan deduksi dengan menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari segi hukum lama dengan maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada didalamnya.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban serta keselamatan umat manusia. Berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem hukum islam dalam “Hukum Fikih” terdiri dari dua hukum pokok, yakni Hukum Rohaniyah dan Hukum Duniawi.[8]
Sistem Hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran Agama Islam dengan keimanan lahir secara individual.




B. Keanekaragaman Sistim Hukum Indonesia
Suherman berpendapat jika pengertian sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi Masyarakat Ekonomi Eropah dan Perserikatan Bangsa-bangsa. [9]
Di Indonesia sendiri, sistem hukum yang digunakan seringkali dikatakan sebagai sistem hukum campuran (mix system). Hal ini terjadi karena dalam sistem hukum di Indonesia ternyata menggunakan empat sistem sekaligus yaitu Civil Law, Common Law, Sistem Hukum Adat, dan Sistem Hukum Islam. Ini bisa dikaji menggunakan beberapa aspek, diantaranya: [10]
  1. Menurut Sejarah Bangsa Indonesia
  2. Menurut Kebudayaan Masyarakat







BAB II
PENGERTIAN, ISTILAH DAN RUANG LINGKUP HUKUM ANTAR TATA HUKUM


A. Conflict Of Laws
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah conflict of laws, suatu Internasional Private Law. Istilah ini teristimewa setelah buku-buku klasik mengenai hukum perdata internasional dan digunakan juga oleh penulis Inggris-Amerika kenamaan yang lebih modern.[11]
Prof R.H Grovesson dalam bukunya mengatakan bahwa Conflict of Law adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukkan perkaitan dengan sistim hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun karena aspek subyek hukmnya dan karena itu menimbulkan pertanyaaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain atau masalah pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan negeri sendiri atau badan pengadilan asing.[12]
Istilah yang umum digunakan dinegeri Anglo Saxon, sebagai variasi atas Istilah ini memberikan kesan seolah olah Hukum Perdata Internasional  terdapat perselisihan, bentrokan, pertikaian, pertentangan antara berbagai stelsel hukum perdata. Padahal yang kita hadapi bukanlah suatu bentrokan,suatu perselisihan,tetapi melulu suatu pertemuan, suatu pertautan dari pada berbagai stelsel hukum.[13]
Untuk menghadapi adanya bentrokan adanya bentrokan atau pertikaian diantara berbagai stelsel hukum dikemukakan pula bahwa Hukum Perdata Internasional ini sesungguhnya kita menyaksikan adanya konflik-konflik dari pada kedaulatan. Tetapi sebenarnya sama sekali tidak ada bentrokan antara stelsel-stelsel hukum bersangkutan. Maka dari itu, dapat disimpulkan tidak tepatlah pandangan bahwa yang terjadi ialah suatu bentrokan diantara stelsel-stelsel hukum bersangkutan.

B. Hukum Perselisihan
Istilah Indonesia dewasa ini paling banyak digunakan untuk lapangan ilmu hukum yang menjadi obyek tinjauan kita adalah hukum perselisihan. Istilah ini umpamanya digunakan dalam mata kuliah Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia. Istilah ini sebagai suatu istilah kumpulan yang merupakan terjemahan dari conflicten-recht, suatu istilah yang dapat dikatakan sudah dipakai secara umum dinegeri ini.[14]

C. Hukum Pertikaian
            Hukum pertiakaian merupakan suatu variasi dari istilah hukum pertikaian atau conflictenrecht, yang sering disebut juga collisierecht (Hukum Pertikaian). Hukum pertikaian atau collisierecht ini adalah suatu yang digunakan dalam mata pelajaran Faculteit der Rechtsgeleerdheid en van Sociale Wetenschap dan juga digunakan oleh penulis-penulisw buku pengantar hukum, dengan mengikuti penulis-penulis Prancis. Diambil dari collisieregels, kaidah-kaidah penunjuk (verwijzingsrege), bagian terbesar dari hukum perdata internasional. Dari istilah inilah kiranya berasal istilah hukum pertikaian.[15]


D. Hukum Antar Tata Hukum
            Hukum Antar Tata Hukum memiliki banyak istilah yang berbeda, yang memiliki makna dan tujuan yang sama, antara lain bahasa Belanda Conflictenrecht, Intergentielrecht, Interrechtsordenrecht. Dalam Bahasa Inggris Conflict of Law, Private International Law, International Private Law, Marginal Law, dan Interlegal Law. Dalam bahasa Prancis Conflicts des Lois dan Conflicts des Statuts. Dalam bahasa Jerman Grenzrecht. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia Hukum Antar Tata Hukum sering juga di sebut dalam istilah hukum perselisihan, Hukum pertikaian, dan Hukum Perdata Internasional.
Sekarang istilah untuk hukum perselisishan dan pertikaian kurang baik dipergunakan dan diganti dengan istilah Hukum Antar Tata Hukum, Istilah Hukum Antar Tata Hukum memberi kesan tentang adanya suatu tata hukum di antara sistim-sistim hukum yang bertemu pada satu ketika ini. [16]
Sudargo Gautama menyebutkan bahwa Hukum Perdata Internasional adalah Hukum Antar Tata Hukum Ekstern. Hukum Perdata Internasional bukanlah hukum Internasional, tetapi hukum nasional.[17]
            Pemakaian istilah Hukum Antar Tata Hukum ini membawa keuntungan bahwa segi perselisihan tidak dikedepankan, bahwa adalah mungkin untuk berhadapan dengan persoalan dilapangan hukum ini tanpa konflik. Lebih lanjut, bahwa segi konflik tidak hanya terdapat pada hukum heterogen tetapi juga pada hukum homogen intern.[18]
            Istilah Hukum Antar Tata Hukum ini  bersifat menganut unsur atau elemen unsur asing. Isitilah ini dianggap istilah yang paling tepat karena membahas hubungan hukum, yang dimaksud hubungan hukum disini adalah yang menganut unsur asing.
E. Ruang Lingkup Hukum Antar Tata Hukum
Dalam buku Muhammad Darwis hukum antar tata hukum memiliki dua ruang lingkup yaitu sebagai berikut ini :
  1. Hukum Antar Tata Hukum Intern
Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga negara, memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa, waktu, tempat pribadi, dan soal-soal.[19]
  1. Hukum Antar Tata Hukum Ekstern
Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara, warga Negara pada waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal. [20]

Dari uraian diatas maka dapat kita simpulkan ruang lingkup dari Hukum Antar Tata Hukum adalah sebagai berikut : [21]
1.     Terdapat dua atau lebih stelsel hukum yang bertemu.
2.     Pertemuan-pertemuan stelsel-stelsel hukum tersebut ditandai oleh adanya titik pertalian.
3.     Hukum antar tata hukum menentukan stelsel hukum yang berlaku.
4.     Hukum antar tata hukum intern tidak memiliki unsur asing, tetapi Hukum antar tata hukum ekstern memiliki unsur asing.
5.     Stelsel-stelsel hukum yang bertemu memiliki kedudukan yang sama satu terhadap lainnya.
6.     Keberlakuan stelsel hukum A, bukan karena stelsel-stelsel hukum lainnya bersifat inferior, tetapi karena stelsel hukum A-lah stelsel hukum yang tepat untuk diberlakukan.
7.     Hukum Antar Tata Hukum Ekstern adalah Hukum Perdata Internasional.

Sedangkan konsepsi-konsepsi tentang Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional, ada 4 konsepsi, yaitu :[22]
  1. Konsepsi tersempit = Choice of Law (pilihan hukum)
Penganutnya : Jerman, Belanda.
  1. Konsepsi Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan Yuridiksi).
Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon.
  1. Konsepsi Lebih Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers).
Penganutnya : Negara-negara Latin, seperti : Italia, Spanyol, Amerika latin.
  1. Konsepsi Paling Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers) + kewarganegaraan (nasionalitet).
Penganutnya : Prancis.






BAB III
LANDASAN TEORI HUKUM ANTAR TATA HUKUM


A. Teori Logemann
Menurut Logemann jabatan merupakan pengertian yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian yang bersifat sosiologis. Oleh karena negara merupakan organisasi yang terdiri atas fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam keseluruhannya maka dalam pengertian yuridis negara merupakan organisasi jabatan atau yang disebutnya ambtenorganisatie. Dalam Hukum Antar Tata Hukum yang dikembangkan oleh Logemann tentang gebieden yaitu lingkungan kekuasaan hukum, bukan Ambten atau jabatan-jabatan.[23]
B. Teori Hans Kelsen
Hans Kelesen juga memakai istilah gebiedsler dan beliau menggunakannya untuk norma-norma hukum. Oleh karena itu, Hukum Antar Tata Hukum juga bekerja dengan norma-norma hukum. Dikemukakan bahwa tiap norma hukum mempunyai 4 lingkungan kekuasaan, yaitu sebagai berikut :[24]
  1. Lingkungan kekuasaan waktu (the sphere of time or temporal sphere) Hukum Antara Waktu
  2. Lingkungan kekuasaan ruang atau tempat (territorial sphere) Hukum Antara Tempat.
  3. Lingkungan kekuasaan pribadi (personal sphere) Hukum Antar Golongan.
  4. Lingkungan kekuasaan soal (material sphere).

BAB IV
PEMBAGIAN HUKUM ANTAR TATA HUKUM


A. Hukum Antar Tata Hukum Intern
HATAH Intern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga negara, memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa, waktu, tempat pribadi, dan soal-soal.[25]
Skema :
Hukum Antar Tata Hukum Intern
HAW
W                    W
TT
P                      P
S                      S

HAT
WW
T                     T
P                      P
S                      S
HAG (HAA)
WW
TT
P                      P
S                      S


            Contoh Hukum Antar Tata Hukum Intern adalah seorang pria dari Sumatera Barat yang keturunan Minangkabau menikah dengan seorang wanita dari Sumatera Utara yang keturunan Batak.

B. Hukum Antar Tata Hukum Ekstern
HATAH Ekstern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara, warga Negara pada waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan soal-soal. [26]
Dari pengertian diatas maka  dapat ditemukan ciri-ciri dari HATAH ekstern, yaitu :
  1. Terjadi pada waktu tertentu.
  2. Terjadi antara dua Negara atau lebih.
  3. Memiliki lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal yang berbeda

Skema :

Hukum Antar Tata Hukum Ekstern

WW
T                                 T
P                                  P
S                                  S
Negara X                     Negara Y

            Contoh Hukum Antar Tata Hukum Ekstern adalah orang Indonesia yang melakukan perjanjian dengan orang dari Jerman. Dalam hal ini terlihat ada unsur asingnya, yang internasional bukan hukumnya, teatapi hubungan-hubungan peristiwa nya yang internasional.

BAB V
HUKUM ANTAR WAKTU


A. Perumusan
               Hukum antar waktu sering disebut juga hukum peralihan termasuk kedalam bagian hukum perselisihan disebabkan materi atau obyek hukum ini berkisar pada adanya perselisihan atau perbedaan, masa berlakunya suatu undang-undang, yaitu perubahan dari peraturan lama ke peraturan baru. Hukum antar waktu dengan demikian dapat juga diartikan sebagai akibat dari adanya perubahan peraturan dari yang lama ke yang baru yang mengatur suatu masalah tertentu.[27]
Sudargo Gautama merumuskan hukum antar waktu adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum menunjukkan stetsel hukum mana yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan atau peristiwa antar Negara memperlihatkan tali pertaliannya dengan stetsel-stelsel hukum dan kaedah hukum yang berbeda dalam lingkungan kekuasaan waktu yang berbeda.[28]

B. Skema
Hukum antar waktu  yang merupakan bagian dari HATAH Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[29]
HAW
W                    W
TT
P                      P
S                      S
Keterangan :
HAW   : Hukum Antar Waktu
W        : Lingkungan Kuasa Waktu
T          : Lingkungan Kuasa Tempat
P          : Lingkungan Kuasa Pribadi
S          : Lingkungan Kuasa Soal-Soal

C. Persoalan
Hukum antar waktu terjadinya dalam suatu negara adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan hukum jika hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga negara dalam suatu negara atau tempat memperlihatkan pertalian dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa waktu dan soal. Jadi penyelesaian persoalan Hukum antar tata hukum ini tidak terlepas dari titik pautnya.[30]
            Persoalan-persoalan dalam hukum antar waktu akan dijelaskan sebagai berikut ini :[31]
  1. Peraturan Hukum dan Keputusan Hakim
Hukum bukan hanya apa yang diundang-undangkan secara tertulis, tetapi juga apa yang hidup dalam keputusan-keputusan pejabat hukum, terutama para hakim.
  1. Menunjukkan Hukum Manakah yang Berlaku
Kata-kata ini memperlihatkan salah satu sifat dari apa yang kita namakan kaidah penunjuk, yakni kaidah-kaidah yang menunjuk kepada sistim hukum mana yang harus digunakan. Kaidah ini tidak hanya menunjuk kepada hukum yang berlaku. Tetapi, kaidah itu sendiri mengatur apakah yang merupakan hukum itu.
  1. Jika hubungan-hubungan dan peristiwa antar warga negara dalam satu negara dan satu tempat.
  2. Memperlihatkan titik pertalian
Titik pertalian atau titik paut inilah suatu yang harus diperhatikan dalam hukum antar tata hukum. Persoalan-persoalan HATAH mulai timbul dengan adanya titik pertalian ini.

Contoh tahun 1964 ada UU lalu lintas devisa, penduduk Indonesia dilarang mempunyai alat-alat pembayaran luar negeri tanpa izin. Sekarang tidak berlaku lagi, dengan adanya UU devisa baru thun 1976.























BAB VI
HUKUM ANTAR TEMPAT



A. Perumusan
Hukum antar tempat adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa ruang dan soal.[32]

B. Skema
Hukum antar tempat  yang merupakan bagian dari HATAH Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[33]
HAT
WW
T                     T
P                      P
S                      S

Keterangan :
HAT    : Hukum Antar Tempat
W        : Lingkungan Kuasa Waktu
T          : Lingkungan Kuasa Tempat
P          : Lingkungan Kuasa Pribadi
S          : Lingkungan Kuasa Soal-Soal


C. Persoalan
Contohnya seperti, seorang laki-laki dari Palembang menikah dengan perempuan Sunda, ada adat yang berbeda.
Kalau dilihat secara skema, maka Hukum Antar Tempat memiliki kesamaan dengan Hukum Perdata Internasional atau HATAH Ekstern. Perbedaannya hanyalah Hukum Antar Tempat terjadi dalam lingkungan satu negara, Negara Republik Indonesia, kedua kaidah yang bertemu adalah kaidah dari satu negara. Hukum Antar Tempat lebih menekankan pada tempat secara geografis.[34]


















BAB VII
HUKUM ANTAR GOLONGAN



A. Perumusan
Hukum antar golongan adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara, memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa pribadi dan soal.[35]

B. Skema
Hukum antar golongan  yang merupakan bagian dari HATAH Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[36]
HAG
WW
TT
P                      P
S                      S

Keterangan :
HAG    : Hukum Antar Golongan
W        : Lingkungan Kuasa Waktu
T          : Lingkungan Kuasa Tempat
P          : Lingkungan Kuasa Pribadi
S          : Lingkungan Kuasa Soal-Soal


C. Persoalan
Contohnya adalah dalam masa Hindia Belanda, terdapat golongan penduduk Indonesia; ada perbedaan golongan penduduk dengan peraturan hukum yang berbeda.
Pada skema dari hukum antar golongan ini dilihat waktu dan tempatnya tidak berbeda, tetapi yang jadi masalah pernbedaannya adalah pribadi dari orang-orang atau golongan rakyat berbeda, serta soal-soalnya juga berbeda. Materinya berbeda karena hukum untuk golongan rakyat berbeda pula. Misal untuk Pak Harsono dan Tuan Lie ada perbedaan dalam golongan  hukum perdata oleh karena bagi yang terakhir berlaku BW dan WVK, sedangkan bagi yang pertama berlaku hukum adat yang tidak tertulis.[37]
Ada yang mengatakan bahwa Hukum antar golongan dikembangkan demi kepentingan mereka yang menjajah. Hukum antar golongan ini pernah dinamakan sebagai “Conflict Colonial” oleh sarjana-sarjana hukum prancis. Hukum antar golongan justru khas dalam masa penjajahan seperti yang digambarkan “droit interracial”. Hukum di antara bangsa-bangsa, etnis, ras atau golongan-golongan dan sebagainya. Oleh karena itu, hukum antar golongan dalam era kemerdekaan, menjadi kurang populer. Persoalan-persoalan yang tadinya bersifat hukum antar golongan berubah menjadi persoalan-persoalan Hukum Perdata Internasional. Soalnya tetap ada, tetapi digeserkan tarafnya yang nasional menjadi internasional.[38]








BAB VIII
TITIK PERTALIAN


A. Pasal 131 dan 163 IS
Pemerintah Kolonial Belanda membagi penduduk ke dalam 3 golongan yaitu sebagai berikut :
  1. Golongan Eropa.
  2. Golongan Timur Asing.
  3. Golongan Bumiputera.
Dasar hukum penggolongan ketiga penduduk tersebut adalah Pasal 163 IS (Indische Staatregelling). Tujuan penggolongan penduduk tersebut adalah memberlakukan hukum masing-masing untuk memproteksi diri dengan aturan hukum.Pemerintah Belanda membedakan berlakunya hukum bagi ketiga golongan tersebut berdasarkan Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling).[39]
Dari ketentuan IS (Indische Staatsregeling) terdapat ketentuan-ketentuan yang penting antara lain :
Pasal 131 IS
  1. Pasal 131 ayat 1 IS berbunyi : “Hukum Perdata dan Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”.
  2. Pasal 131 ayat 2 IS berbunyi : “ Dalam ordonantie yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.




Pasal 163 IS
  1. Apabila ketentuan-ketentuan undang-undang ini, peraturan-peraturan umum lainnya, reglement-reglement, peraturan-peraturan kepolisian dan ketentuan-ketentuan administratif membedakan antara orang-orang Eropa, orang-orang pribumi dan Timur Asing, maka berlaku pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut  :
  2.  Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa adalah :
a.      Semua orang Belanda.
b.      Semua orang yang berasal dari Eropa.
c.      Semua orang Jepang.
d.     Semua orang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda.
e.      Anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak yang dimaksud huruf b dan c yang lahir di India.
  1. Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang pribumi kecuali kedudukan bagi orang-orang Kristen pribumi yang harus diatur dengan ordonantie, ialah semua orang yang termasuk penduduk Hindia Belanada dan tidak pindah kedalam kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, demikian pula mereka, demikian pula yang pernah termasuk kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, namun telah membaurkan dengan penduduk asli.
  2. Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan ordonantie bagi orang-orang diantara mereka yang yang menganut keyakinan Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat yang disebuut dalam ayat 2 dan 3 pasal ini.

Dengan singkatnya ketentuan dari Pasal 131 dan 163 IS (Indische Staatsregeling), sebagai berikut : [40]
  1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas konkordansi.
  2. Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka.
  3. Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa atau Barat.

B. Titik Taut (Connecting Factor)
Dalam menyelesaikan perkara terkait dengan HATAH maka langkah awal yang harus ditempuh adalah menentukan apakah suatu perkara memiliki unsur internasional sehingga prinsip-prinsip HATAH dapat diterapkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan fakta-fakta yang menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan fakta tersebut dengan negara asing. Bilamana suatu perkara terdapat fakta-fakta yang terkait dengan negara lain maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terjadi perbenturan hukum antar negara. Fakta-fakta tersebut disebut titik taut atau connecting factor. Dengan mengidentifikasi titik taut akan membantu dalam penentuan choice of jurisdiction dan choice of law. Dalam HATAH dikenal dua jenis titik taut, yaitu :[41]
  1. Titik Taut Primer
Titik pertalian primer adalah hal-hal dan keadaan-keadaan yang menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional. Perincian titik pertalian primer (TPP) adalah sebagai berikut:[42]


a.      Kewarganegaraan
Kewarganegaraan para pihak dapat merupakan faktor TPP karena mana timbul HPI. Dimana keewarganegaraan dari pada pihak dalam suatu peristiwa hukum tertentu menjadi sebab lainnya hubungan-hubungan HPI. Kewarganegaraan pihak-pihak bersangkutan yang merupakan faktor bahwa stalsel-stalsel hukum Negara-negara tertentu di pertautkan.
b.     Bendera Kapal
Bendera dari suatu kapal dapat diibaratkan sebagai kewarganegaraan pada seseorang. Bendera kapal menautkan kepada stelsel hukum tertentu, karenanya timbul persoalan-persoalan hukum yang memperlihatkan unsur-unsur asing, maka terciptalah HPI.
c.      Tempat Kediaman
Tempat kediaman merupakan pengertian de facto. Tempat ini adalah diaman sehari-hari yang bersangkutan mempunyai kediaman, dimana ada rumah, dimana ia bekerja sehari-hari disitu ada residence dari orang itu. Dan tempat kediaman seseorang secara defacto juga bisa menimbulkan soal-soal HPI.
d.     Domisili
Domisili ini merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir kalau sudah terpenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kediaman yang permanent di suatu tempat.
e.      Tempat Kedudukan
Persoalan-persoalan HPI timbul karena badan-badan hukum yang bersangkutan dalam suatu peristiwa hukum tertentu berkedudukan diluar negeri. Karena faktor tempat turut berbicara pada ”tempat kedudukan” ini maka titik pertalian ini bersifat teritorial.



  1. Titik Taut Skunder
Terdapatnya titik pertalian primer telah terciptalah suatu hubumgan HPI,dimana HPI menurut konsepsi di Indonesia merupakan persoalan tentang ”choice of law”. Dalam malaksanakan tugas ini, titik pertalian sekunderlah yang memberi bantuan kepada si pelaksana hukum. Titik pertalian sekunder ini karena sifatnya sebagai yang menentukan akan hukum yang harus diperlukan, disebut pula dengantitik taut penentu.[43]
Perincian mengenai Titik Pertalian Sekunder (TPS) adalah sebagai berikut ini :[44]
a.      Tempat terletaknya benda (Lex Situs = Lex rei sitae).
b.     Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (Lex Loci Actus).
c.      Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (Lex Loci Celebrationis).
d.     Tempat ditandatanganinya kontrak (Lex Loci Contractus).
e.      Tempat dilaksanakannya perjanjian (Lex Loci Solutionis = Lex Loci Executionis).
f.      Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (Lex Loci Delicti Commisi).
g.     Pilihan Hukum (Choice of Law).






BAB IX
KEWARGANEGARAAN DOMISILI


A. Prinsip Domisili
Dalam hukum perdata internasional terdapat yang namanya status personal, yaitu penyelesaian suatu kasus HPI dengan menganut prinsip kewarganegaraan. Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hubum yang diberikan atau diakui oleh Negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya . Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bertindak di bidang hukum, yang unsure-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya . Walaupun terdapat perbedaan tentang status personal ini, pada dasarnya status personal adalah kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari Negara dimana ia dianggap sah secara permanen . Untuk menentukan status personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama, Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili, yaitu status personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.
Hukum domisili adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status personilnya. Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip-prinsip domisili.Contohnya apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga dimana suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa punya kewarganegaraan berbeda tergantung domisili (terutama setelah perceraian).[45]
Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili ini juga bersamaan adanya dengan hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan pluralisme hukum. Hukum domisili adalah satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara yang struktur hukumnya tidak mengeal persatuan hukum. Domisili menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.
Negara-negara dengan prinsip domisili dapat dilihat seperti semua negara-negara inggris yang menganut “common law”, scotlandia, afrika selatan, quebec, denmark, norwegia, iceland, negara-negara amerika latin, argentina, brazilia, guatemala, nicaragua, paraguay, peru.[46]
Pada dasarnya yang disebut dengan prinsip domisili adalah Negara atau tempat menetap yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of his life). Pengertian hukum domisili ini sesungguhnya berasal dari hukum inggris. Hukum domisili ini didasarkan pada kediaman permanen seseorang .
Macam-macam domisili menurut hukum inggris, dikenal dengan tiga macam domisili, yaitu :[47]
  1. Domicile of origin
Pada konsep domisili ini, setiap orang memperoleh domicile of origin nya pada waktu kelahirannya. Yaitu Negara dimana ayahnya bedomisili pada saat ia dilahirkan.
  1. Domicile of Choice
 Untuk memperoleh domisili ini, menurut system hukum inggris diharuskan untuk memenuhi persyaratan, yaitu:
a.      Kemampuan (capacity).
b.     Tempat kediaman (residence).
c.      Hasrat (intentioan)
  1. Domicile by Operation of The Law
Domisili ini adalah domisili yang dimiliki orang-orang yang tergantung pada domisili orang lain (dependent).
Adapun alasan-alasan-alasan  yang pro  terhadap prinsip domisili adalah sebagai berikut ini :[48]
  1. Hukum domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan sesungguhnya hidup. Dimana seseorang sehari-harisesungguhnya hidup , sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulahyang dipakai untuk menentukan status personilnya.
  2. Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat di laksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.
  3. Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Diajukanya suatu perkara di hadapan hakim dari tempat tinggal para pihak atau pihak tergugat yang merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi yurisdiksi hakim.
  4. Cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum. Domisili satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum.terdapat ketentuan-ketentuan yang mengenal kewarganegaraan-kewarganegaraan tersendiri dari negara-negara bagian masing-masing.
  5. Domisili menolong dimana perinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan. Adakalanya prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, karena orang bersangkutan tidak kewarganegaraan (apatride) atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan (bipatride multipatrid). Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran. Supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi dari orang-orang asing.tetapi setelah perang dunia kedua maka perinsip ini di tinggalkan dan orang kembali mempertahankan  prinsip nasionalitas.

B. Prinsip Domisili Indonesia
            Indonesia berdasarkan pasal 16 AB (Algeimene Bevalingen) menagut prinsip nasionalitas. “Bahwa terhadap waga negara Indonesia (Hindia Belanda) yang berada diluarnegeri berlaku hukum nasionalnya sebagai status personal mereka, hal ini diintrepetasikan secara analog terhadap warga negara asing yang berada di Indonesia.[49]
            Menurut Sudargo Gautama dalam bukunya mengatakan, sebaiknya Indonesia menggunakan prinsip domisili, dengan alasan sebagai berikut :[50]
  1. Alasan praktis bahwa dengan pemakaian prinsip domisili dapat diperkecil berlakunya hukum asing. Pemakainan prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan lebih banyak dipergunakan.
  2. Dalam acara berperkara sehari-hari di muka Pengadilan-pengadilan di Indonesia lazimnya dipergunakan BW saja untuk semua orang yang dapat dimasukkan dalam golongan rakyat Eropa atau Timur Asing, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah orang-orang ini berstatus WNI atau asing. Pemakaian prinsip domisili akan mengsanksionir praktek hukum ini jika masih dipakau prinsip nasionalitas, maka praktek ini bertentangan dengan asas hukum yang berlaku.
  3. Nyatalah praktek hukum sekarang ini adalah sejalan dengan praktek hukum dan administrasi hukum (antara lain dari Balai Harta Peninggalan) yang telah kita uraikan diatas  dimana ternyata walaupun sudah sejak tahun 1915 kita menganut prinsip nasionalitas, masih saja domisili yang dianggap menentukan hukum yang berlaku, tanpa menghiraukan status warganegara atau asing.
  4. Kita di Indonesia sekarang ini masih belum mempunyai cukup bahan-bahan bacaan untuk mengetahui dengan baik akan hukum asing. Daripada menggunakan hukum asing secara keliru atau kurang tepat, adalah lebih baik untuk mempergunakan hukum sendiri.
  5. Di Indonesia sekarang ini masih terdapat pluralisme hukum. Aneka warna hukum perdata disandarkan bukan saja pada perbedaan dalam golongan rakyat, tetapi juga antara sesama golongan pribumi dari lingkungan hukum adat yang berbeda. Adanya aneka warna hukum ini juga telah dijadikan alasan untuk pro pemakaian prinsip domisili. Adanya pluralisme hukum intern ini merupakan faktor pula yang mencondongkan kita kepada pemakaian prinsip domisili.
  6. Indonesia hingga beberapa waktu yang lalu merupakan negara imigrasi. Banyak orang-orang asing yang terdapat disini. Karena sifatnya sebagai negara jajahan Hindia Belanda, telah dibuka pintu untuk pemasukan orang-orang asing yang tenaga kerjanya dibutuhkan disini, atau hendak mencari nafkah di negeri ini.
  7. Sebagai negara imigrasi maka secepat mungkin RI hendak melakukan asimilasi daripada orang-orang asing ini. Di zaman Hindia Belanda karena kelahiran disini, berdasarkan asas ius soli (asas daerah kelahiran) orang dijadikan kaula negara Belanda. Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan RI no. 62 tahun 1958 mulai 1 Agustus 1968 prinsip ius sanguinis yang dianut. Asas ius soli dilepaskan, maka lebih banyak orang yang menjadi asing dinegeri ini.
  8. Indonesia dianggap terletak antara lingkungan suasana negra-negara tetangga yang memakai prinsip domisili. Negara-negara ini yang tergabung dalam Commonwealth seperti Australia, India, Pakistan, Singapura, Malaysia terpengaruh oleh sistem HPI yang berdasarkan prinsip domisili untuk status personil.

Menurut saya, sebaiknya Indonesia memakai juga prinsip domisili. Namun tidak menolak untuk pemakaian prinsip nasionalitas bagi sistim HPI Indonesia. Hanya harus dijaga supaya jangan prinsip nasionalitas ini dipakai secara rigoreus kaku, hingga membawa kepada ”juridisch Chauvinisme”.
Kalau hendak dipertahankan terus prinsip nasionalitas, sebaiknya diadakan kombinasi dengan prinsip domisili sedemikian rupa seperti pernah diusulkan oleh penulis-penulis antara lain Asser dan Frankestein.
























BAB X
PERKAWINAN CAMPURAN DAN PEMELIHARAAN ANAK



A. Rumusan Perkawinan Campuran
Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat aatau suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan perkawinan,perkawinan campuran yang dimaksud oleh UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah perkawinan campuran antara warga Negara yang berbeda. Misalnya antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Lalu pada pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan bahwa “bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukanperkawinan campuran, dapat pula kehilangan kewarganegaraan, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan RI yang berlaku.[51]
Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini. Bahwa nantinya jika terjadi perkwinan campuran atau mengenai putusanya perkawinan tersebut menentukan nantinya hukum yang berlaku dibidang perdata maupun publik.[52]
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat 1 telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.[53]
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan dalam ayat 1 perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Selanjutnya, ayat 2 barang siapa yang melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut pasal 60 ayat 4 Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1(satu) bulan. Selanjutnya, ayat 3 menyebutkan pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.[54]

B. Penyelesaian Pemeliharaan Anak
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.[55]
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[56]
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958.[57]
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[58]
  1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
  2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
  3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
  4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[59]
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.[60]
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas.[61]
BAB XI
RENVOI DAN KUALIFIKASI

A. Alasan Renvoi
Masalah Renvoi timbul karena adanya aneka sistem HPI, yang masing-masing negara memilikinya sendiri-sendiri. yang tidak seragam. Akibat dari prinsip Nasionalitas atau prinsip Domisili timbulah masalah Renvoi. Masalah renvoi menjadi perhatian menarik para penulis-penulis HPI dari dulu hingga sekarang dengan berbagai macam istilah. Di Indonesia Renvoi dikenal dengan istilah penunjukan kembali.
Menurut Cheshire, renvoi tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI, terutama dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan transaksi-transaksi bisnis dan setip tindakan pilihan hukum dalam transaksi seperti itu akan dimaksudkan sebagai penunjukan ke arah hukum intern. Masalah HPI yang dapat diselesaikan dengan Renvoi adalah masalah validitas pewarisan, tuntutan benda tetap dan bergerak atas negara asing, masalah-masalah hukum keluarga.[62]
Berkenaan dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya Renvoi dengan beberapa alasan, yaitu:[63]
  1. Renvoi Tidak Logis
Hal ini didasarkan pada suatu penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali.
Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan hanya ada satu kali renvoi atau penujukkan kembali.

  1. Renvoi Merupakan Penyerahan Kedaulatan Legislatif.
Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian dianggap berlaku. Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.

  1. Renvoi Membawa Ketidakpastian Hukum
Jika renvoi diterima, maka yang ada kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
            Sementara itu, alasan-alasan yang digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai berikut:[64]
  1. Renvoi memberikan keuntungan praktis. Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
  2. Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri. Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.
  3. Keputusan-keputusan yang berbeda. Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.

B. Renvoi Di Beberapa Negara
            Berikut ini akan diberikan tinjauan sedikit pandangan mengenai renvoi diberbagai negara, yaitu:[65]
  1. Prancis
Renvoi muncul di Prancis sejak perkara forgo tahun 1878 diterima di Prancis, walaupun masih ada penulis-penulis kenamaan Prancis yang ada kecondongan untuk menolak renvoi.
  1. Italia
Di negara Italia renvoi ditentang, sesuai dengan pengaruh teori Mancini, maka nampak adanya hasrat untuk melindungi diri dari kaidah-kaidah HPI asing. Oleh karena itu setiap penunjukan dianggap sebagai Sachnorm-verweisung.
  1. Jerman
Renvoi di Jerman ada kecondongan diterima, hal itu sesuai dengan pasal 27 EGBGB, serta penulis yang pro terhadap renvoi banyak dari Jerman.
  1. Swiss
Renvoi dinegara Swiss tidak ada aturan yang mengatur secara tegas, namun ada kecondongan dalam penerimaan renvoi, hal itu berdasarkan pasal 28 dan 31 NAG.
  1. Belanda
Renvoi di Belanda secara umum ditolak berdasarkan doktrin dari para penulis Belanda.

  1. Negara-Negara Asia
Di Cina dan Jepang sistim HPI yang berlaku adalah terpengaruh oleh EGBGB Jerman, maka dapat dikatakan Cina dan Jepang menerima renvoi. Sedangkan di Thailand dan Indonesia secara tegas menerima renvoi.
  1. Mesir
Mesir ternyata tidak menerima renvoi. Code Civil Mesir tahun 1948 menyatakan bahwa penunjukan hukum asing adalah penunjukan pada kaidah intern materil dan kaidah HPI dikesampingkan.
  1. Negara Anglo Saxon
Di Inggris kita saksikan suatu cara penyelesaian khusus mengenai renvoi yang dipraktekkan sudah lama dan diterima baik.
  1. Amerika Serikat
Di negara Amerika Serikat tidak ada peraturan tertulis tentang renvoi.
  1. Negara Sosialis
Umumnya  negara sosialis menerima renvoi ini walau ada juga yang menolaknya.

C. Administratif Renvoi Indonesia
Berbeda halnya dengan orang asing yang dalam negara asal mereka mempunyai sistim HPI yang menganut prinsip domisili. Dalam hal ini penunjukan oleh HPI Indonesia kepada hukum nasional dari yang bersangkutan merupakan pula penunjukan kepada HPI negara mereka. Jika demikian maka hukum intern Indonesia lah yang akan diberlakukan jika kita anggap penunjukan kembali diterima.[66]
Dari hal-hal yang telah disampaikan sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal 16 sampai 18 AB.[67]
Adapun beberapa yurisprudensi yang berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah Perkara orang Armenia Nasrani tahun 1928 dan Perkara palisemen seorang British India tahun 1925.[68]
Dalam praktek administrasi Indonesia kita saksikan dilaksanakan juga penerimaan renvoi, ketentuan itu tercantum dalam pasal 42 BW. Hal lain adalah Direktur Yustisi dalam praktek administratif di Hindia Belanda dahulu menerima lembaga renvoi ini.[69]
D. Kualifikasi Menurut Lex Fori
Kualifikasi yang diberlakukan berdasarkan hukum materil sang hakim yang menerima dan mengadili suatu perkara. Adapun alasan Kualifikasi menurut lex fori adalah sebagai berikut ini :[70]
1.     Persoalan-persoalan HPI pada umumnya hanya dapat diselesaikan demikian rupa karena ditariknya persoalan ini kearah satu sistem hukum tertentu.
2.     Dalam prakteknya sering kali kualifikasi menurut lex fori adalah satu-satunya yang mungkin. Jika belum terang hukum mana yang harus digunakan. Dalam yurisprudensi lex fori lah yang diutamakan.
 Adapun pengecualian-pengecualian terhadap pemakaian kwalifikasi lex fori, yaitu :[71]
  1. Kualifikasi kewarganegaraan tidak diakukan menurut hukum dari forum hakim.
  2. Kualifikasi mengenai bergerak atau tidak bergerak sesuatu benda ditentukan oleh lex rei sitae.
  3. Kualifikasi suatu kontrak menurut maksud para pihak bidang perjanjian , maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
  4. Kualifikasi dari  perbuatan melanggar hukum.
  5. Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaaidah HPI.
  6. Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh mahkamah-mahkamah internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku.
E. Kualifikasi Menurut Lex Causae
Kualifikasi tentang hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan HPI bersangkutan. Menurut Suryadi Hartono kualifikasi berdasarkan lex causae sulit diterapkan bila sistim hukum asing tidak lengkap sistim kualifikasinya atau tidak mengenal lembaga hukum tersebut. Oleh karena itu, hakim melakukan kontruksi-kontruksi hukum atau analogi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana penyelesaian hukumnya. Apabila tidak ditemukan, maka barulah hakim menggunakan kualifikasi berdasarkan lex fori.[72]
F. Kualifikasi Otonom
Menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu kualifikasi yang berlaku secara universal. Pada kulaifikasi ini, forum menggunakan metode perbandingan hukum. Teori perbandingan hukum diberlakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi otonom ini sulit dilakukan oleh hakim, karena hakim harus mengetahui sistim hukum negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah menciptakan suatu sistim HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul karena adanya konsep negara supranasional.[73]
G. Kualifikasi Primer dan Skunder
Kualifikasi Primer adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum mana yang harus dipergunakan harus dilakukan kualifikasi berdasarkan kaidah HPI dari lex fori.Kualifikasi primer ini memberikan kepastian tentang pengertian-pengertian seperti umpamanya, domisili, pewarisan, kontrak, dan sebagainya. Semua itu harus disandarkan berdasarkan pengertian-pengertian lex fori. Berdasarkan kualifikasi sedemikian itu ditemukan hukum asing manakah yang diberlakukan.[74]
Kualifikasi Skunder adalah apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan . maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang di kemukakan itu.[75]










BAB XII
PILIHAN HUKUM




A. Prinsip Pilihan Hukum
Istilah rechtskeuze atau pilihan hukum menurut hemat kami adalah yang paling cocok menggambarkan apa yang diartikan dengan istilah itu. Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Para pihak dapat memilih hukum tertentu. Mereka hanya bebas untuk memilih, tetapi mereka tidak bebas untuk menentukan sendiri perundangan-undangan.[76]
Mengenai kehendak manusia di bidang hukum. Jadi persoalan pilihan hukum dalam HPI memperlihatkan unsur-unsur falsafah hukum dan di samping itu mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik hukum.
Prinsip pilihan hukum sudah umum diterima, kini orang tidak meragu-ragukan lagi bahwa para pihak dalam membuat suatu kontrak dapat menentukan sendiri hukum yang berlaku untuk kontrak ini dan pilihan ini dihormati.[77]
Adapun yang masih dipersoalkan antara para penulis adalah mengenai batas-batas wewenang untuk memilih hukum ini. Demikian juga De Winter. Bukan saja negara-negara barat dengan sistem kapitalisme liberal yang menerima pilihan hukum ini. Juga dalam negara-negara sosialis boleh dikatakan umum diterima pilihan hukum ini.
Di dalam HPI untuk menetapkan validitasi suatu pilihan hukum, antara lain:[78]
  1. Jika pilhan hukum dimaksudkan hanya untuk membentu atau menfsirkan persyaratan-persyaratan dalam kontrak, kebebasan para pihak pada dasarnya tidak dibatasi.
  2. Pilihan hukum tidak boleh melanggar public policy atau public order (ketertiban umum) dari sistem-sistem hukum yang mempunyai kaitan yang nyata dan substansi terhadap kontrak.
  3. Pilihan hukum hanya dapat dilakukan ke arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dengan kontrak. Faktor-faktornya misalnya, tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan kontrak, domisili atau kewarganegaraan para pihak, tempat pendirian atau pusat administrasi badan hukum.
  4. Pilihan hukum tidak boleh dimaksud atau bagian tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekedar untuk menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku seandainya tidak ada pilihan hukum. Pilihan hukum seperti ini dapat dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fide atau dianggap sebagai penyelundupan hukum.
  5. Pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak dan tidak untuk mengatur masalah validitas pembentukan perikatan atau perjanjian.
  6. Pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu sachnormverweisung, dalam arti pemilihan ke arah kaidah hukum intern dari sistem hukum yang bersangkutan dan tidak mengarah kepada kaidah-kaidah HPI-nya.
  7. Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum pada saat kontrak ditutup.
  8. Larangan melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan nyata dengan kontrak atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak memberlakukan larangan ini).
  9. Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara tertentu atau arah konvesi-konvensi internasional dan tidak ke arah kaidah-kaidah transnasional atau prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional.
  10. Pilihan hukum harus jelas diarahkan pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan hukum yang tidak bermakna tidak dapat diakui sebagai pilihan hukum yang sah.

B. Macam-Macam Pilihan Hukum
            Ada 4 macam pilihan hukum yang dikenal dalam pembacaan Hukum Perdata Internasional, yaitu :
  1. Pilihan Hukum Secara Tegas[79]
Di dalam klausula-klausula kontrak-kontrak tertentu dapat kita saksikan adanya pilihan  hukum secara tegas ini. Dalam klausula-klausula dalam kontrak joint venture, management contract atau technical assistant contract, dimana dinyatakan, “this contract will be governed by the laws of the Republic of Indonesia”
Contoh dalam kontrak-kontrak asuransi laut untuk perdagangan internasional, sering kali ditunjuk kepada English Insurance Act 1906 dan syarat-syarat serta kebiasaan-kebiasaan dari polis-polis Lloyd Inggris.
  1. Pilihan Hukum Secara Diam-Diam[80]
Pilihan hukum secara diam-diam dianggap ada jika maksud para pihak dapat disimpulkan dari tingkah-laku atau perbuatan-perbuatan yang menunjuk ke arah itu. Tidak dengan tegas disebut bahwa para pihak menghendaki dipergunakan misalnya hukum X untuk kontrak mereka, akan tetapi dari hal-hal dan keadaan dalam isi kontrak tersebut dapat dilihat bahwa para pihak memang secara diam-diam telah menghendaki bahwa hukum X dipakai.
Kehendak para pihak untuk memperlakukan suatu sistem hukum tertentu disimpulkan dari misalnya bahasa yang dipakai, cara susunan kontrak sedemikian hingga dapat diikuti cara pemikiran para pihak kearah pemakaian hukum tertentu, penunjukkan atau penyebutan peraturan-peraturan bursa atau peraturan-peraturan arbitrase tertentu yang secara implisit membuktikan bahwa para pihak memang menghendaki pemakaian peraturan tertentu walaupun tidak menyebutnya dengan demikian banyak perkataan.
Pilihan hukum ini dapat disimpulkan maksud para pihak ini mengenai hukum yang mereka kehendaki, dari sikap mereka dari isi dan bentuk perjanjian. Keberatan terhadap pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika hakim hendak melihat adanya suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada. Hakim hanya menekankan kepada kemauan para pihak yang diduga dan yang dikedepankankan adalah kemauan para pihak yang fiktif.
  1. Pilihan Hukum yang Dianggap[81]
Sang hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
Pilihan hukum yang secara dianggap ini hanya merupakan apakah dalam istilah hukum dianggap “preasumptio iuris”, suatu “rechtsvermoeden”. Hakim hanya menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
  1. Pilihan Hukum Secara Hypothetisch[82]
Pilihan hukum secara hypothetisch ini dikenal di Jerman. Sebenarnya tidak ada suatu kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun. Hakimlah yang melakukan pilihan ini. Hakim bekerja dengan suatu fictie. Seandainya para pihak telah memikir akan huku yang harus diperlakukan hukum manakah yang telah dipilih oleh mereka secara sebaik-baiknya. Jadi sebenarnya ini adalah suatu pilihan buka daripada para pihak melainkan hakim itu sendiri.


C. Alasan Pro dan Kontra Pilihan Hukum
Para sarjana ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap pilihan hukum dalam HPI.
Adapun alasan yang pro (setuju) terhadap pilihan hukum dengan alasan-alasan sebagai berikut :[83]
  1. Alasan Bersifat Falsafah
Pilihan hukum ini merupaka salah satu dari tiga rukun seluruh gedung HPI. Disamping prinsip nasionalitas dan rem ketertiban umum, maka otonomi para pihak ini dianggap sebagai sendi asas utama daripada gedung seluruh sistem HPI
  1. Alasan Bersifat Praktis
Pilihan hukum adalah cocok sekali untuk mengetahui hukum mana yang palingberguna dan bermanfaat. Hal ini tentunya para pihak sendiri yang dapat menentukan sebaik-baiknya. Diberikannya kesempatan untuk memilih sendiri para pihak dapat mengatur hubungan mereka secara sebaik-baiknya. Seharusnya pilihan hukum adalah pilihan dari kedua belah pihak dan bukan penekanan dari pihak yang ekonomis kuat terhadap ekonomis lemah.
  1. Alasan Kepastian Hukum
Dengan adanya pilihan huikum inimaka akan ada kepastian hukum, jika para pihak dari permulaan hubungan mereka sudah dapat memastikan hukum mana yang akan berlaku untuk kontrak itu.
  1. Alasan Kebutuhan Hubungan Lalu Lintas Internasional
Para pihak dapat menentukan sendiri dan mengetahui sendiri secara pasti dari semula hukum mana yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Mereka juga wajar sedari semula mengetahui apakah kontrak mereka itu sah adanya, apakah syarat-syarat yang diadakan memang dapat direalisir kelak jika perlu dengan sanksi hukum.semua demi kelancaran dari lalu lintas internasional.

Sedangkan alasan-alasan yang kontra (menolak) pilihan hukum dalam HPI, yaitu :[84]
  1. Alasan ”Circulus Vituosus”
Menurut logika mereka, kebebasan pemilihan hukum sendiri oleh para pihak akan membawa kepada suatu ”circulus vituosus” (lingkaran yang vicieus). Jalan pikiran ini ialah sebagai berikut: hukum yang harus dipergunakan sendiri digantungkan kepada pilihan hukum, akan tetapi untuk mengetahui apakah telah dilakukan suatu pilihan hukum yang sah harus diperhatikan terlebih dahulu hukum yang telah dipilih.
  1. Alasan Hukum Intern Memaksa Harus Pula Internasional Memaksa
Apa yang dianggap secara intern memaksa, juga harus bersifat memaksa secara internasional. Corak memaksa dari hukum tidak dapat berubah-ubah begitu saja. Apa yang intern bersifat memaksa tidak perlu selamanya internasional juga bersifat demikian. Ada kaidah-kaidah memaksa yang tidak begitu penting adanya, sedangkan sebaliknya ada kaidah-kaidah memaksa yang demikian pentingnya, hingga tidak ada seorang hakim yang akan ragu untuk memakainya juga dalam peristiwa-peristiwa internasional.
  1. Alasan Tidak Adanya Hubungan Dengan Hukum Yang Dipilih
Jika kita memberikan keleluasaan selebar-lebarnya untuk memilih hukum, maka seluruh hukum yang dipilih ini berikut kaidah-kaidah yang memaksanya juga turut dipilih. Dengan lain perkataan, pilihan hukum ini tidak mengelakkan hukum yang memaksa. Tetapi hukum memaksa ini adalah dari stelsel hukum lain, yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak.
  1. Alasan Bahwa Pilihan Hukum Merupakan Perbuatan A-Sosial
Jika diperbolehkan pilihan hyukum maka par pihak ini seolah-olah berada diluar dan diatas peraturan hukum. Tetapi kita kemukakan terhadap alasan ini bahwa kebebasan untuk memilih hukum tidak tanpa batas-batas.


BAB XIII
KETERTIBAN UMUM



A. Rumusan Ketertiban Umum
Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde public (prancis), public policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian mengenai makna dan isinnya tidak sama diberbagi negara. Sudargo Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka kereta HPI tidak dapat berjalan dengan baik. Lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan hukum asing ini.[85]
Adanya lembaga ketertiban umum sesungguhnya tidak sesuai dengan pendirian internasionalistis tentang HPI yang menganggap HPI bersifat supra nasional. Konsepsi ketertiban umm adalah berlainan di masing-masing negara. Jika situasi dan konidisi berlainan, paham-paham ketertiban umum juga berubah-ubah. Public policy ini mempunyai hubungan erat dengan pertimbangan-pertibangan politis. Boleh dikatakan bahwa policy making memegang peranan yang penting dalam pengertian ini.[86]
Pemikiran tentang ketertiban umum (public order) dalam HPI pada dasarnya bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat dan karena itu pengasilan berwenang untu memberlakukan hukumnya sendiri dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam tradisi hukum eropa kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk melindungi kesejahteraan umum (public walfare) harus didahulukan dari ketentuan-ketentuan hukum asaing yang isinya dianggap bertentangan dengan kaidah hukum tersebut.
Martin Wolff beranggapan bahwa masalah “orde public” merupakan exeption to the application of foreign law ( pengecualian terhadap berlakunya kaidah hukum asing )
Dalam buku Sudargo Gautama dapat kita lihat perumusan ketertiban umum mengatakan dengan istilah ketertiban umum ini hendak diartikan lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang hakim untuk secara pengecualian mengenyampingkan pemakaian dari hukum asing, yang menurut ketentuan HPI sang hakim sendiri, seyogyanya harus diperlakukan. Tidak dipakainya hukum asing dalam hal yang khusus ini disebabkan karena hukum asing ini dianggap mencolok dan memberi kegoncangan kepada sendi-sendi asasi dari pada sistim hukum sendiri jika dipergunakan.[87]
B. Ketertiban Umum Internasional
Sistem-sistem hukum dari negara-negara  mengenal perbedaan antara apa yang dinamakan ketertiban umum internasional (internasionale openbare orde, orde public internasional) dan ketertiban umum intern (interne openbare orde, orde public interne). Apa yang dinamakan ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhan. Kaidah-kaidah yang termasuk ketertiban umum intern adalah kaidah-kaidah yang membatasi kebebasan perorangan.[88]
Ketertiban umum internasional adalah nasional. Terhadap istilah ketertiban umum internasional terdengar kecaman karena sesungguhnya yang dikehendaki bukan untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat tidak lain daripada nasional. Sejalan dengan keberatan terhadap istilah internasional pada HPI, maka kita harus melihat istilah ini bukan mengenai sumber dan isinya internasional. Hanya hubungan-hubungannyalah yang dianggap internasional, hanya suasananya yang dianggap internasional. Sedangkan sumber dan isi makna ketertiban umum ini adalah nasional. Istilah yang lebih baik dipergunakan adalah ketertiban umum extern terhadap ketertiban umum intern. Ketertiban umum bersifat relatif. Tergantung darpada faktor-faktor tempat dan waktu dengan istilah yang sekarang sering diperunakan dinegara tergantung situasi dan kondisi.[89]

C. Perubahan Ketertiban Umum
Ketertiban umum berubah menurut situasi dan kondisi, faktor intensitas dari peristiwa yang bersangkutan dalam hubungan dengan keadaan di dalam negeri. Para sarjana Jerman menyebut dalam hubungan ini apa yang dipandang mereka sebagai “Inlandsbeziehungen”.[90]
Adapun contoh kiranya yang dapat menjelaskan ketertiban umum berubah menurut situasi dan kondisi adalah sebagai berikut :[91]
  1. Perceraian
Di Prancis, sebelum 1884 perceraian tidak diperbolehkan tetapi setelah 1884 perceraian dapat dilakukan. Maka, pengertian ketertiban umum selalu berubah. Ini merupakan contoh variabilitas ketertiban umum yang dipengaruhi oleh waktu.
  1. Konsepsi hak milik pribadi
Dalam konsepsi tentang hak milik pribadi berbeda-beda. Di negara x masih berpegang teguh hak milik sebagai suatu yang merupakan hak yang suci. Dalam pasal 33 UUD 1945 dan pasal 6 UUPA di negra kita sendiri yang mengedepankan bahwa hak milik adalah fungsi sosial. Hukum merupakan suatu sistem yang hidup, karena sifatnya yang hidup hukum ini bukan statis melainkan dinamis. Karenanya selalu berubah-ubah pandangan-pandangannya yang hidup dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat. Demikian pula konsepsi-konsepsi ketertiban umum, berubah-rubah pula tergantung pada situasi dan kondisi, tempat dan waktu.
  1. Yurisprudensi tentang pencabutan hak milik.
Sesuai dengan konsepsi hak milik dan fungsinya maka adanya sikap yuriprudensinya yang berbeda berkenan dengan masalah pencabutan hak milik. Peristiwa pencabutan hak milik selalu mempunyai hubungan dengan ketertiban umum. Persoalan ketertiban umum selalu dikedepankan dalam yurisprudensi pencabutan hak milik.














BAB XIV
PENYELUNDUPAN HUKUM DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM


A. Hubungan Penyelundupan Hukum Dengan Ketertiban Umum
Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan di suatu negara asing dan diakui sah di negara asing itu, akan dapat dibatalkan oleh forum atau tidak diakui oleh forum jika perbuatan itu dilaksanakan di negara asing yang bersangkutan, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari aturan – aturan lex fori yang akan melarang perbuatan semacam itu dilaksanakan di wilayah forum. (memilih hukum asing untuk dipakai, dan perbuatan hukum yang dilakukan dilarang oleh hukum nasional, dan dampaknya yaitu tidak diakui negara).[92]
Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat. Kedua-keduanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum. Kedua-keduanya hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing. Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu. Jadi hukum asing dikesampingkan karena penyelundupan hukum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Dalam hal-hal khusus, kaidah asing tidak akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan (pemakaian hukum asing ini) oleh cara yang tidak dapat dibenarkan.[93]
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah hak-hak yang diperoleh. Bahwa penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh. Karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional di[ergunakan. Tetapi pada hak-hak yang diperoleh justru hak-hak itu telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional hakim sendiri.[94]

B. Contoh Penyelundupan Hukum
Dalam buku Sudargo Gautama ada beberapa contoh mengenai penyelundupan hukum yang terbagi atas contoh perkawinan dan contoh perceraian, antara lain :
  1. Contoh Perkawinan
a.      Perkawinan Gretna Green
Greetna green adalah sebuah desa yang terletak di Skotlandia. Merupakan tempat dimahna berlangsungnya pernikahan bagi orang-orang Inggris yang tidak memiliki persetujuan orang tua. Terkenal dengan sebutan “ The Blacksmith of Gretna Green” yaitu hakim perdamaian dihadapan siapa harus diucapkan untuk menikah.[95]
b.     Perkawinan orang-orang dari Indonesia di Penang atau Singapura
Dalam praktek hukum Indonesia dikenal dengan larangan untuk menikah kembali bagi pihak perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi mereka dapat melangsungkan penikawinan sebelum 300 hari lewat, mereka melakukan pernikahan di Pinang atau Singapura, karena Singapura menganut hukum Inggris dimana hukum Inggris tidak ada dikeneal jangka waktu masa idah 300 hari lewat.[96]
  1. Contoh Perceraian
a.      Peristiwa Helene Bohlau[97]
Helene Bohlau, seorang evangeliste. Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang dilahirkan di Petersburg, telah menikah pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris) dengan seseorang wanita Saksen yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun 1884. Kemudian mereka bertempat tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak. Pada tahun 1886 sang suami pergi ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene Bohlau. Disana pria tersebut masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena berubahnya agama pria tersebut maka perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886 ia mengirim surat tak ke alamat istrinya di Berlin dan tahun 1887 ia menikah dengan Helene Bohlau di Konstatinopel dan kembali ke Jerman dimana ia hidup bersama di Munchen sejak 1888. Setelah tahun 1900 istri pertama mengajukan gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke Oberlandesgericht di Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste Landesgericht serta kembali lagi ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam keputusan yang pertama Oberlandesgericht  Muncen menolak untuk menerima perceraian secara surat talak, karena dianggap bertentangan dengan ordre public pasal 30 EGBGB. Akan tetapi Bayerische Oberste Landesgericht menanggap pendirian ini kurang tepat tidak pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen juga menolak adanya pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang pertama.
b.     Peristiwa De Ferrari
Ny. Ferarri melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi kembali menjadi kewarganegaraan Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan suaminya yang menikah menurut hukum Italia. Dimana italia tidak mengenal perceraian pada saat itu.[98]
C. Perbuatan Melawan Hukum
Dinamakan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu, antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang langsung, kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).[99]
Kriteria perbuatan melawan hukum apabila bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subyektif orang lain atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden) atau bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup masyarakat.
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara-perkara HPI antara lain :[100]
1.     Berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hokum harus ditentukan.
2.     Berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan.

Untuk menjawab masalah-masalah tersebut adanya asas-asas, doktrin-doktrin utama dan teori-teori klasik yang berkembang di dalam hukum perdata internasional terhadap permasalahan HPI, yaitu :[101]
  1. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Loci Delicti Commissi
Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan kaidah atau teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan tantangan sedikitpun. Teori Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang dominerend paling berpengaruh. Penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai PMH atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu dilakukan atau terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini menentukan baik mengenai syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah akibat-akibat dari padanya (tidak diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk perbuatana melanggar hukum dan akibat – akibat hukumnya).
  1. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori
Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut pula di Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu. Bahwa penentuan kualitas suatu hukum forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex fori) termasuk penerapan hak dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat. Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci delicti antara lain karena locus sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh kepastian hukum.
  1. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori yang Dikombinasikan Dengan Lex Loci Delicti Commissi
Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting yang harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan Hakim Inggris untuk perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat actionability dan justifiability. Syarat actionability berarti bahwa seorang penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat membuktikan bahwa tindakan sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah Inggris akan merupakan suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti rugi, sedangkan syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan. Kedua syarat tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan sedikit perlunakan untuk melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah justifiable pada tempat dimana dilakukannya.
  1. Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Loci Delicti Commissi Dengan Pelembutan
Pada latar belakang semua keberatan–keberatan yang diajukan terhadap teori klasik mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat kaku (rigide) yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak hakim sebagai hard and fast rule tanpa memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa bersangkutan, tak adanya souplesse atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system yang soepel. Hakim tak terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu mengadakan perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik taut yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat dimana dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum, kewarganegaraan para pihak, tempat kediaman mereka sebagainya. Semua ini dapat ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus (individueel,bijzonder), satu dan lain dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para pihak yang berkontrak. Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan bagi PMH.
  1. Cara Menentukan Tempat Suatu Perbuatan Melawan Hukum (Locus)
Locus perlu ditentukan karena kaidah petunjuk lex loci delicti diakaitkan kepada tempat . Locus menjadi penting berkenaan dengan yuridiksi hakim, karena sengkali perkara harus diajukan dalam wilayah dimana telah terjadi tort tersebut. Bahwa salah satu keberatan terhadap teori atau kaidah klasik tradisional acapkali tempat sukar untuk ditentukan, terutama apabila lebih dari satu tempat yang turut diperkaitkan atau apabila, sama sekali tidak ada hukum setempat yang berarti. Juga telah diadakannya berbagai konsepsi tertentu untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena penentuan locus. Berbagai teori dikemukakan untuk memecahkan persoalan, yaitu tempat terjadinya kerugian, tempat dilakukannya perbuatan dan kombinasi dengan kebebasan memilih.
DAFTAR PUSTAKA

Darwis Muhammad. Hukum Antar Tata Hukum (Pekanbaru : Suska Press, 2013).
Djamali R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012).
Gautama Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Bina Cipta, 1977).
Gautama Sudargo. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993).
Gautama Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995).

Purbacaraka Purnadi dan Agus Broto Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997).
Seto Bayu. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001).
Suherman dan Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


[1] R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 67.
[2] Ibid. hlm. 69
[3] Ibid. hlm. 71.
[4] Ibid. hlm. 72.
[5] Ibid. hlm. 73.
[6] Ibid. hlm. 74.
[7] Ibid. hlm 75.
[8] Ibid. hlm 76.
[9] Suherman, Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm. 10-11.
[10] Ibid. hlm 12-13
[11] Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993) hlm. 13.
[12] Bayu Seto. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001). hlm. 6.
[13] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Bina Cipta, 1977). hlm. 7.
[14] Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar. Op.Cit. hlm. 11.
[15] Ibid. hlm. 11-12.
[16] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Loc. Cit.
[17] Ibid. hlm. 19
[18] Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar. Op.Cit. hlm. 11.
[19] Muhammad Darwis. Hukum Antar Tata Hukum (Pekanbaru : Suska Press, 2013) hlm. 4
[20] Ibid.
[21] Ibid. hlm. 5.
[22] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 8 – 9.
[23] Ibid. hlm. 12.
[24] Ibid.
[25] Muhammad Darwis. Op.Cit.  hlm. 4
[26] Ibid.
[27] Ibid. hlm. 12.
[28] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 15.
[29] Muhammad Darwis. Op.Cit. hlm. 13.
[30] Ibid.
[31] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 15-16.
[32] Ibid. hlm. 18
[33] Ibid.
[34] Ibid. hlm. 18-19.
[35] Ibid. hlm. 19.
[36] Ibid.
[37] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 15.
[38] Ibid. hlm. 16.

[39] http://pustakailmuhukum.blogspot.co.id/p/pengantar-hukum-indonesia.html. Pengantar Hukum Indonesia

diakses pada 2013.
[40] Ibid.
[41] Bayu Seto. Op. Cit. hlm. 61.
[42] Ibid. hlm. 62-70
[43] Ibid. hlm. 75.
[44] Ibid. hlm. 76-84.
[45] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 50.
[46] Ibid. hlm. 52.
[47] Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997). hlm. 22.
[48] Ibid. hlm 20.
[49] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 40.
[50] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 85-87.
[51] Pasal 57 dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[52] Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[53] Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[54] Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[55] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995) hlm.86.
[56] Ibid. hlm. 80-81.
[57] Ibid. hlm. 91.
[58] Penjelasan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan.
[59] Pasal 25 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan.
[60] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I. Op. Cit. hlm. 66
[61] Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia,(1977). Op. Cit. hlm. 133.
[62] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 56.
[63] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op. Cit. hlm. 95-97.
[64] Ibid. hlm. 98-100
[65] Ibid. hlm. 107-108.
[66] Ibid. hlm. 102.
[67] Ibid.
[68] Ibid. hlm. 103.
[69] Ibid.        
[70] Ibid. hlm. 125
[71] Ibid. hlm. 129.
[72] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 54.
[73] Ibid.
[74] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op. Cit. hlm. 131.
[75] Ibid.
[76] Ibid. hlm. 168.
[77] Ibid. hlm. 169.
[78] Bayu Seto. Op. Cit. hlm. 87-90.
[79] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op. Cit. hlm. 173.
[80] Ibid. hlm. 177-178.
[81] Ibid. hlm. 179.
[82] Ibid. hlm. 180-181.
[83] Ibid. hlm. 183-184.
[84] Ibid. hlm. 185-187.
[85] Ibid. hlm. 133.
[86] Ibid. hlm. 134.
[87] Ibid. hlm 142.
[88] Ibid.
[89] Ibid. hlm. 143.
[90] Ibid. hlm 144.
[91] Ibid. hlm. 145-146.
[92] Ibid. hlm. 148.
[93] Ibid.
[94] Ibid. hlm. 149.
[95] Ibid.
[96] Ibid. hlm. 150.
[97] Ibid. hlm. 160
[98] Ibid. hlm. 165.
[99] Perbuatan Melawan Hukum http://andina-sari.blogspot.co.id/2010/06/pmh.html diakses pada tanggal 28 Juni 2010.
[100] Ibid.
[101] Ibid.