JONI ALIZON, SH., MH
DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU
ADVOKAT PADA KANTOR HUKUM WIMAR RIAU
HUKUM ANTAR TATA HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Sistem
Hukum Indonesia
Berbicara mengenai Sistem Hukum, dalam suatu sistem
terdapat ciri-ciri tertentu, yakni terdiri dari komponen-komponen yang satu
sama lain berhubungan ketergantungan dan dalam keutuhan organisasi yang teratur
serta terintegrasi. Prof. Subekti,S.H. berpendapat bahwa: “sistem hukum adalah suatu
susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri dari atas
bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau pola hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”.[1]
Adapun macam-macam Sistem Hukum yang ada di Indonesia adalah sebagai berikut
:
- Sistem Hukum Eropa Kontinental
Sistem
hukum Eropa Kontinental lebih mengedapankan hukum tertulis, peraturan
perundangan menduduki tempat penting. Peraturan perundangan yang baik, selain
menjamin adanya kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya
ketertiban, juga diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan
kemanfaatan. Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat
undang-undang tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan
sistem bertingkat dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta
dengan menyediakan adanya mekanisme perubahan undang-undang.[2]
- Sistem Hukum Anglo Saxon
Sistem
Hukum Anglo Saxon cenderung lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang
berjalan dinamis sejalan dengan dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui
lembaga peradilan dengan sistem jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum
selalu sejalan dengan rasa keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh
masyarakat secara nyata.[3]
- Sistem Hukum Adat
Sistem
hukum ini hanya terdapat dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan
negara-negara Asia lainnya, seperti Cina, India, Jepang dan negara lain.
Istilahnya berasal dari bahasa Belanda “adatrecht” yang untuk pertama kali oleh
Snouck Hurgronje, Pengertian Hukum Adat yang digunakan oleh Mr. C. Van
Vollenhoven (1928) mengandung makna bahwa Hukum Indonesia dan kesusilaan
masyarakat merupakan hukum Adat dan Adat yang tidak dapat dipisahkan dan hanya
mungkin dibedakan dalam akibat-akibat Hukumnya. Kata “Hukum” dalam pengertian
hukum adat lebih luas artinya dari istilah hukum di Eropa, karena terdapat
peraturan-peraturan yang selalu dipertahankan keutuhanya oleh berbagai golongan
tertentu dalam ilmu lingkungan kehidupan sosialnya.[4]
Sistem
Hukum Adat bersumber kepada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Dan
Hukum Adat itu mempunyai tipe yang bersifat Tradisional dengan berpangkal
kepada kehendak nenekk moyang.utuk ketertiban hukumnya selalu diberikan
penghormatan yang sangat besar bagi kehendak suci nenek moyang. Dari sumber hukum yang tidak tertulis
itu, maka Hukum Adat dapat memperlihatkan kesanggupanya untuk menyesuaikan diri
dan elastik. Misalnya, kalau seorang dari Minangkabau datang ke daerah Sunda
dengan membawa ikatan-ikatan tradisinya, maka secara cepat ia menyesuaikan
dengan daerah tradisi yang didatangi. Keadaan ini berbeda dengan hukum yang
peraturan-peraturanya ditulis dan dikondifikasikan dalam sebuah kitab
Undang-undang atau peraturan perundangan lainnya yang sulit dapat diubah secara
cepat untuk penyesuaian dalam situasi sosial tertentu.[5]
Sistem
Hukum Adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut:[6]
a.
Hukum
adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat), mengatur tentang susunan dari
ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechtsgemeneschappen) serta
dalam susunan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan
pejabatnya.
b.
Hukum
adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari Hukum Pertalian Sanak
(perkawinan, waris), Hukum Tanah (hak ulayat tanah, transaksi-transaksi tanah),
Hukum Perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksi tentang benda selain
tanah dan jasa).
c.
Hukum
adat mengenai detik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai
delik dan reaksi masyarakat terhadap pelanggaran hukum pidana itu.
Hukum adat yang
merupakan pencerminan kehidupan masyarakat indonesia, sedangkan masyarakat itu
sendiri selalu berkembang, dengan tipe yang mudah berubah dan elastik, maka
sejak penjajahan Belanda banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari polotik
hukum yang ditanamkan oleh pemerintah penjajah itu.
- Sistem Hukum Islam
Sistem
hukum ini mula-mula dianut oleh masyarakat Arab sebagai awal dari timbulnya dan
penyebrangan agama Islam. Kemudian berkembang kenegara lain di Asia, Afrika,
Eropa dan Amerika secara Individual atau kelompok. Sistem Hukum Islam bersumber Hukum kepada:[7]
a.
Al-Quran,
yaitu Kitab suci kaum muslim yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Rasul
Allah Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril.
b.
Sunnah
Nabi, ialah cara hidup dari Nabi Muhammad atau cerita-cerita (hadist) mengenai
Nabi Muhammad.
c.
Ijma,
ialah kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja
(berorganisasi).
d.
Qiyas,
ialah analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.
Cara ini dapat dijelmakan melalui metode Ilmu Hukum berdasarkan deduksi dengan
menciptakan atau menarik suatu garis hukum baru dari segi hukum lama dengan
maksud memberlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena
persamaan yang ada didalamnya.
Agama Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah
melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan maksud menyusun ketertiban
serta keselamatan umat manusia. Berdasarkan sumber-sumber hukumnya, sistem
hukum islam dalam “Hukum Fikih” terdiri dari dua hukum pokok, yakni Hukum
Rohaniyah dan Hukum Duniawi.[8]
Sistem Hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari
ajaran Agama Islam dengan keimanan lahir secara individual.
B. Keanekaragaman
Sistim Hukum Indonesia
Suherman berpendapat jika pengertian
sistem hukum hanya penggabungan istilah sistem dan hukum. Menurutnya pengertian
spesifik dalam hukum harus tercermin dari istilah sistem hukum. Suherman
mengemukakan pendapat J.H. Merryman sebagai perbandingan. Menurutnya sistem
hukum adalah suatu perangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur,
atau aturan, dalam konteks ini ada suatu negara federal dengan lima puluh
sistem hukum di Amerika Serikat, adanya sistem hukum setiap bangsa secara
terpisah, serta ada sistem hukum yang berbeda seperti halnya dalam organisasi
Masyarakat Ekonomi Eropah dan Perserikatan Bangsa-bangsa. [9]
Di Indonesia
sendiri, sistem hukum yang digunakan seringkali dikatakan sebagai sistem hukum
campuran (mix system). Hal ini
terjadi karena dalam sistem hukum di Indonesia ternyata menggunakan empat
sistem sekaligus yaitu Civil Law, Common Law, Sistem Hukum Adat, dan Sistem
Hukum Islam. Ini bisa dikaji menggunakan beberapa aspek, diantaranya: [10]
- Menurut Sejarah Bangsa Indonesia
- Menurut Kebudayaan Masyarakat
BAB II
PENGERTIAN,
ISTILAH DAN RUANG LINGKUP HUKUM ANTAR TATA HUKUM
A. Conflict
Of Laws
Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah conflict of laws, suatu Internasional Private
Law. Istilah ini teristimewa setelah buku-buku klasik mengenai hukum perdata
internasional dan digunakan juga oleh penulis Inggris-Amerika kenamaan yang
lebih modern.[11]
Prof R.H
Grovesson dalam bukunya mengatakan bahwa Conflict of Law adalah bidang hukum
yang berkenaan dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan
yang menunjukkan perkaitan dengan sistim hukum lain, baik karena aspek
teritorial maupun karena aspek subyek hukmnya dan karena itu menimbulkan
pertanyaaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain atau masalah
pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan negeri sendiri atau badan pengadilan
asing.[12]
Istilah yang
umum digunakan dinegeri Anglo Saxon, sebagai variasi atas Istilah ini
memberikan kesan seolah olah Hukum Perdata Internasional terdapat perselisihan, bentrokan, pertikaian,
pertentangan antara berbagai stelsel hukum perdata. Padahal yang kita hadapi
bukanlah suatu bentrokan,suatu perselisihan,tetapi melulu suatu pertemuan,
suatu pertautan dari pada berbagai stelsel hukum.[13]
Untuk menghadapi adanya bentrokan
adanya bentrokan atau pertikaian diantara berbagai stelsel hukum dikemukakan
pula bahwa Hukum Perdata Internasional ini sesungguhnya kita menyaksikan adanya
konflik-konflik dari pada kedaulatan. Tetapi sebenarnya sama sekali tidak ada
bentrokan antara stelsel-stelsel hukum bersangkutan. Maka dari itu, dapat
disimpulkan tidak tepatlah pandangan bahwa yang terjadi ialah suatu bentrokan
diantara stelsel-stelsel hukum bersangkutan.
B. Hukum
Perselisihan
Istilah
Indonesia dewasa ini paling banyak digunakan untuk lapangan ilmu hukum yang
menjadi obyek tinjauan kita adalah hukum perselisihan. Istilah ini umpamanya
digunakan dalam mata kuliah Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari
Universitas Indonesia. Istilah ini sebagai suatu istilah kumpulan yang
merupakan terjemahan dari conflicten-recht, suatu istilah yang dapat dikatakan
sudah dipakai secara umum dinegeri ini.[14]
C. Hukum
Pertikaian
Hukum pertiakaian merupakan suatu variasi dari
istilah hukum pertikaian atau conflictenrecht, yang sering disebut juga
collisierecht (Hukum Pertikaian). Hukum pertikaian atau collisierecht ini
adalah suatu yang digunakan dalam mata pelajaran Faculteit der
Rechtsgeleerdheid en van Sociale Wetenschap dan juga digunakan oleh
penulis-penulisw buku pengantar hukum, dengan mengikuti penulis-penulis
Prancis. Diambil dari collisieregels, kaidah-kaidah penunjuk (verwijzingsrege),
bagian terbesar dari hukum perdata internasional. Dari istilah inilah kiranya
berasal istilah hukum pertikaian.[15]
D.
Hukum Antar Tata Hukum
Hukum
Antar Tata Hukum memiliki banyak istilah yang berbeda, yang memiliki makna dan
tujuan yang sama, antara lain bahasa Belanda Conflictenrecht,
Intergentielrecht, Interrechtsordenrecht. Dalam Bahasa Inggris Conflict of Law,
Private International Law, International Private Law, Marginal Law, dan
Interlegal Law. Dalam bahasa Prancis Conflicts des Lois dan Conflicts des
Statuts. Dalam bahasa Jerman Grenzrecht. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia Hukum
Antar Tata Hukum sering juga di sebut dalam istilah hukum perselisihan, Hukum
pertikaian, dan Hukum Perdata Internasional.
Sekarang istilah untuk
hukum perselisishan dan pertikaian kurang baik dipergunakan dan diganti dengan
istilah Hukum Antar Tata Hukum, Istilah Hukum Antar Tata Hukum memberi kesan
tentang adanya suatu tata hukum di antara sistim-sistim hukum yang bertemu pada
satu ketika ini. [16]
Sudargo Gautama
menyebutkan bahwa Hukum Perdata Internasional adalah Hukum Antar Tata Hukum
Ekstern. Hukum Perdata Internasional bukanlah hukum Internasional, tetapi hukum
nasional.[17]
Pemakaian
istilah Hukum Antar Tata Hukum ini membawa keuntungan bahwa segi perselisihan
tidak dikedepankan, bahwa adalah mungkin untuk berhadapan dengan persoalan
dilapangan hukum ini tanpa konflik. Lebih lanjut, bahwa segi konflik tidak
hanya terdapat pada hukum heterogen tetapi juga pada hukum homogen intern.[18]
Istilah
Hukum Antar Tata Hukum ini bersifat
menganut unsur atau elemen unsur asing. Isitilah ini dianggap istilah yang
paling tepat karena membahas hubungan hukum, yang dimaksud hubungan hukum
disini adalah yang menganut unsur asing.
E. Ruang Lingkup
Hukum Antar Tata Hukum
Dalam buku Muhammad Darwis hukum antar tata hukum
memiliki dua ruang lingkup yaitu sebagai berikut ini :
- Hukum Antar Tata Hukum Intern
Keseluruhan
peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang
berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan
peristiwa-peristiwa antar warga negara, memperlihatkan titik pertalian dengan
stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa,
waktu, tempat pribadi, dan soal-soal.[19]
- Hukum Antar Tata Hukum Ekstern
Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum
manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan
dan peristiwa-peristiwa antara, warga Negara pada waktu tertentu memperlihatkan
titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua
atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, pribadi dan
soal-soal. [20]
Dari uraian diatas maka dapat kita
simpulkan ruang lingkup dari Hukum Antar Tata Hukum adalah sebagai berikut : [21]
1.
Terdapat dua atau lebih stelsel
hukum yang bertemu.
2.
Pertemuan-pertemuan stelsel-stelsel
hukum tersebut ditandai oleh adanya titik pertalian.
3.
Hukum antar tata hukum menentukan
stelsel hukum yang berlaku.
4.
Hukum antar tata hukum intern tidak
memiliki unsur asing, tetapi Hukum antar tata hukum ekstern memiliki unsur
asing.
5.
Stelsel-stelsel
hukum yang bertemu memiliki kedudukan yang sama satu terhadap lainnya.
6.
Keberlakuan
stelsel hukum A, bukan karena stelsel-stelsel hukum lainnya bersifat inferior,
tetapi karena stelsel hukum A-lah stelsel hukum yang tepat untuk diberlakukan.
7.
Hukum
Antar Tata Hukum Ekstern adalah Hukum Perdata Internasional.
Sedangkan konsepsi-konsepsi tentang
Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional, ada 4 konsepsi, yaitu :[22]
- Konsepsi tersempit = Choice of Law (pilihan hukum)
Penganutnya : Jerman, Belanda.
- Konsepsi Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction (Pilihan hukum dan pilihan Yuridiksi).
Penganutnya : Negara-negara Anglo Saxon.
- Konsepsi Lebih Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers).
Penganutnya : Negara-negara Latin, seperti : Italia, Spanyol, Amerika
latin.
- Konsepsi Paling Luas = Choice of Law + Choice of Juridiction + Status orang asing (Condition des strangers) + kewarganegaraan (nasionalitet).
Penganutnya : Prancis.
BAB III
LANDASAN TEORI
HUKUM ANTAR TATA HUKUM
A. Teori Logemann
Menurut Logemann jabatan merupakan pengertian
yuridis dari fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian yang bersifat
sosiologis. Oleh karena negara merupakan organisasi yang terdiri atas
fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam
keseluruhannya maka dalam pengertian yuridis negara merupakan organisasi
jabatan atau yang disebutnya ambtenorganisatie. Dalam Hukum Antar Tata Hukum yang dikembangkan oleh Logemann
tentang gebieden yaitu lingkungan kekuasaan hukum, bukan Ambten atau
jabatan-jabatan.[23]
B. Teori Hans Kelsen
Hans Kelesen juga memakai istilah gebiedsler dan beliau
menggunakannya untuk norma-norma hukum. Oleh karena itu, Hukum Antar Tata Hukum
juga bekerja dengan norma-norma hukum. Dikemukakan bahwa tiap norma hukum
mempunyai 4 lingkungan kekuasaan, yaitu sebagai berikut :[24]
- Lingkungan kekuasaan waktu (the sphere of time or temporal sphere) Hukum Antara Waktu
- Lingkungan kekuasaan ruang atau tempat (territorial sphere) Hukum Antara Tempat.
- Lingkungan kekuasaan pribadi (personal sphere) Hukum Antar Golongan.
- Lingkungan kekuasaan soal (material sphere).
BAB IV
PEMBAGIAN HUKUM
ANTAR TATA HUKUM
A. Hukum
Antar Tata Hukum Intern
HATAH Intern adalah keseluruhan peraturan dan
keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah
yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar
warga negara, memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa, waktu, tempat pribadi,
dan soal-soal.[25]
Skema :
Hukum
Antar Tata Hukum Intern
HAW
W W
TT
P P
S S
|
HAT
WW
T T
P P
S S
|
HAG (HAA)
WW
TT
P P
S S
|
Contoh Hukum Antar Tata Hukum Intern adalah
seorang pria dari Sumatera Barat yang keturunan Minangkabau menikah dengan
seorang wanita dari Sumatera Utara yang keturunan Batak.
B. Hukum
Antar Tata Hukum Ekstern
HATAH
Ekstern adalah keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara, warga Negara pada waktu
tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan
kuasa tempat, pribadi dan soal-soal. [26]
Dari
pengertian diatas maka dapat ditemukan
ciri-ciri dari HATAH ekstern, yaitu :
- Terjadi pada waktu tertentu.
- Terjadi antara dua Negara atau lebih.
- Memiliki lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal yang berbeda
Skema :
Hukum Antar Tata Hukum Ekstern
WW
T T
P P
S S
Negara X Negara
Y
Contoh
Hukum Antar Tata Hukum Ekstern adalah orang Indonesia yang melakukan perjanjian
dengan orang dari Jerman. Dalam hal ini terlihat ada unsur asingnya, yang
internasional bukan hukumnya, teatapi hubungan-hubungan peristiwa nya yang
internasional.
BAB V
HUKUM ANTAR
WAKTU
A. Perumusan
Hukum antar waktu sering disebut juga hukum peralihan termasuk kedalam
bagian hukum perselisihan disebabkan materi atau obyek hukum ini berkisar pada
adanya perselisihan atau perbedaan, masa berlakunya suatu undang-undang, yaitu
perubahan dari peraturan lama ke peraturan baru. Hukum antar waktu dengan
demikian dapat juga diartikan sebagai akibat dari adanya perubahan peraturan
dari yang lama ke yang baru yang mengatur suatu masalah tertentu.[27]
Sudargo
Gautama merumuskan hukum antar waktu adalah keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum menunjukkan stetsel hukum mana yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum jika hubungan atau peristiwa antar Negara memperlihatkan tali
pertaliannya dengan stetsel-stelsel hukum dan kaedah hukum yang berbeda dalam
lingkungan kekuasaan waktu yang berbeda.[28]
B. Skema
Hukum antar
waktu yang merupakan bagian dari HATAH
Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[29]
HAW
W W
TT
P P
S S
Keterangan
:
HAW : Hukum Antar Waktu
W : Lingkungan Kuasa Waktu
T : Lingkungan Kuasa Tempat
P : Lingkungan Kuasa Pribadi
S : Lingkungan Kuasa Soal-Soal
C. Persoalan
Hukum antar
waktu terjadinya dalam suatu negara adalah keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku dan apakah yang merupakan
hukum jika hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga negara dalam suatu
negara atau tempat memperlihatkan pertalian dan kaidah-kaidah hukum yang
berbeda dalam lingkungan-lingkungan kuasa waktu dan soal. Jadi penyelesaian
persoalan Hukum antar tata hukum ini tidak terlepas dari titik pautnya.[30]
Persoalan-persoalan dalam hukum antar waktu akan
dijelaskan sebagai berikut ini :[31]
- Peraturan Hukum dan Keputusan Hakim
Hukum bukan hanya apa yang diundang-undangkan secara tertulis, tetapi juga
apa yang hidup dalam keputusan-keputusan pejabat hukum, terutama para hakim.
- Menunjukkan Hukum Manakah yang Berlaku
Kata-kata ini memperlihatkan salah satu sifat dari apa yang kita namakan
kaidah penunjuk, yakni kaidah-kaidah yang menunjuk kepada sistim hukum mana
yang harus digunakan. Kaidah ini tidak hanya menunjuk kepada hukum yang
berlaku. Tetapi, kaidah itu sendiri mengatur apakah yang merupakan hukum itu.
- Jika hubungan-hubungan dan peristiwa antar warga negara dalam satu negara dan satu tempat.
- Memperlihatkan titik pertalian
Titik pertalian atau titik paut inilah suatu yang harus diperhatikan dalam
hukum antar tata hukum. Persoalan-persoalan HATAH mulai timbul dengan adanya
titik pertalian ini.
Contoh tahun 1964 ada UU lalu lintas
devisa, penduduk Indonesia dilarang mempunyai alat-alat pembayaran luar negeri
tanpa izin. Sekarang tidak berlaku lagi, dengan adanya UU devisa baru thun
1976.
BAB VI
HUKUM ANTAR TEMPAT
A. Perumusan
Hukum antar tempat adalah
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang
berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara,
memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam
lingkungan kuasa ruang dan soal.[32]
B. Skema
Hukum antar
tempat yang merupakan bagian dari HATAH
Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[33]
HAT
WW
T T
P P
S S
Keterangan
:
HAT : Hukum Antar Tempat
W : Lingkungan Kuasa Waktu
T : Lingkungan Kuasa Tempat
P : Lingkungan Kuasa Pribadi
S : Lingkungan Kuasa Soal-Soal
C. Persoalan
Contohnya
seperti, seorang laki-laki dari Palembang menikah dengan perempuan Sunda, ada
adat yang berbeda.
Kalau
dilihat secara skema, maka Hukum Antar Tempat memiliki kesamaan dengan Hukum
Perdata Internasional atau HATAH Ekstern. Perbedaannya hanyalah Hukum Antar
Tempat terjadi dalam lingkungan satu negara, Negara Republik Indonesia, kedua
kaidah yang bertemu adalah kaidah dari satu negara. Hukum Antar Tempat lebih
menekankan pada tempat secara geografis.[34]
BAB VII
HUKUM ANTAR GOLONGAN
A. Perumusan
Hukum antar golongan adalah
keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang
berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara,
memperlihatkan titik pertalian dengan kaidah hukum yang berbeda dalam
lingkungan kuasa pribadi dan soal.[35]
B. Skema
Hukum antar
golongan yang merupakan bagian dari
HATAH Intern memiliki skema sebagai berikut ini :[36]
HAG
WW
TT
P P
S S
Keterangan
:
HAG : Hukum Antar Golongan
W : Lingkungan Kuasa Waktu
T : Lingkungan Kuasa Tempat
P : Lingkungan Kuasa Pribadi
S : Lingkungan Kuasa Soal-Soal
C. Persoalan
Contohnya
adalah dalam masa Hindia Belanda, terdapat golongan penduduk Indonesia; ada
perbedaan golongan penduduk dengan peraturan hukum yang berbeda.
Pada skema dari hukum antar golongan
ini dilihat waktu dan tempatnya tidak berbeda, tetapi yang jadi masalah
pernbedaannya adalah pribadi dari orang-orang atau golongan rakyat berbeda,
serta soal-soalnya juga berbeda. Materinya berbeda karena hukum untuk golongan
rakyat berbeda pula. Misal untuk Pak Harsono dan Tuan Lie ada perbedaan dalam
golongan hukum perdata oleh karena bagi
yang terakhir berlaku BW dan WVK, sedangkan bagi yang pertama berlaku hukum
adat yang tidak tertulis.[37]
Ada yang mengatakan bahwa Hukum
antar golongan dikembangkan demi kepentingan mereka yang menjajah. Hukum antar
golongan ini pernah dinamakan sebagai “Conflict Colonial” oleh sarjana-sarjana
hukum prancis. Hukum antar golongan justru khas dalam masa penjajahan seperti
yang digambarkan “droit interracial”. Hukum di antara bangsa-bangsa, etnis, ras
atau golongan-golongan dan sebagainya. Oleh karena itu, hukum antar golongan
dalam era kemerdekaan, menjadi kurang populer. Persoalan-persoalan yang tadinya
bersifat hukum antar golongan berubah menjadi persoalan-persoalan Hukum Perdata
Internasional. Soalnya tetap ada, tetapi digeserkan tarafnya yang nasional
menjadi internasional.[38]
BAB VIII
TITIK PERTALIAN
A. Pasal
131 dan 163 IS
Pemerintah
Kolonial Belanda membagi penduduk ke dalam 3 golongan yaitu sebagai berikut :
- Golongan Eropa.
- Golongan Timur Asing.
- Golongan Bumiputera.
Dasar hukum penggolongan ketiga
penduduk tersebut adalah Pasal 163 IS (Indische
Staatregelling). Tujuan penggolongan penduduk tersebut adalah
memberlakukan hukum masing-masing untuk memproteksi diri dengan aturan
hukum.Pemerintah Belanda membedakan berlakunya hukum bagi ketiga golongan
tersebut berdasarkan Pasal 131 IS (Indische
Staatsregeling).[39]
Dari ketentuan IS (Indische Staatsregeling) terdapat
ketentuan-ketentuan yang penting antara lain :
Pasal 131 IS
- Pasal 131 ayat 1 IS berbunyi : “Hukum Perdata dan Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”.
- Pasal 131 ayat 2 IS berbunyi : “ Dalam ordonantie yang mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti dengan undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.
Pasal 163 IS
- Apabila ketentuan-ketentuan undang-undang ini, peraturan-peraturan umum lainnya, reglement-reglement, peraturan-peraturan kepolisian dan ketentuan-ketentuan administratif membedakan antara orang-orang Eropa, orang-orang pribumi dan Timur Asing, maka berlaku pelaksanaannya aturan-aturan sebagai berikut :
- Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Eropa adalah :
a.
Semua orang Belanda.
b.
Semua orang yang berasal dari Eropa.
c.
Semua orang Jepang.
d.
Semua orang berasal dari tempat lain
yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan
asas yang sama seperti hukum Belanda.
e.
Anak sah atau diakui menurut
undang-undang dan anak yang dimaksud huruf b dan c yang lahir di India.
- Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang pribumi kecuali kedudukan bagi orang-orang Kristen pribumi yang harus diatur dengan ordonantie, ialah semua orang yang termasuk penduduk Hindia Belanada dan tidak pindah kedalam kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, demikian pula mereka, demikian pula yang pernah termasuk kelompok penduduk lain dari pada kelompok pribumi, namun telah membaurkan dengan penduduk asli.
- Tunduk kepada ketentuan-ketentuan bagi orang-orang Timur asing, kecuali kedudukan hukum yang harus diatur dengan ordonantie bagi orang-orang diantara mereka yang yang menganut keyakinan Kristen, ialah semua orang yang tidak terkena syarat-syarat yang disebuut dalam ayat 2 dan 3 pasal ini.
Dengan singkatnya ketentuan dari
Pasal 131 dan 163 IS (Indische
Staatsregeling), sebagai berikut : [40]
- Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas konkordansi.
- Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka.
- Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum Eropa atau Barat.
B. Titik
Taut (Connecting Factor)
Dalam
menyelesaikan perkara terkait dengan HATAH maka langkah awal yang harus
ditempuh adalah menentukan apakah suatu perkara memiliki unsur internasional
sehingga prinsip-prinsip HATAH dapat diterapkan. Hal ini dilakukan dengan cara
mengumpulkan fakta-fakta yang menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan
fakta tersebut dengan negara asing. Bilamana suatu perkara terdapat fakta-fakta
yang terkait dengan negara lain maka seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
terjadi perbenturan hukum antar negara. Fakta-fakta tersebut disebut titik taut
atau connecting factor. Dengan mengidentifikasi titik taut akan membantu dalam
penentuan choice of jurisdiction dan choice of law. Dalam HATAH dikenal dua
jenis titik taut, yaitu :[41]
- Titik Taut Primer
Titik pertalian primer
adalah hal-hal dan
keadaan-keadaan yang menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional. Perincian titik pertalian primer (TPP) adalah
sebagai berikut:[42]
a.
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan para pihak dapat merupakan faktor TPP karena mana timbul
HPI. Dimana keewarganegaraan dari pada pihak dalam suatu peristiwa hukum tertentu menjadi sebab lainnya
hubungan-hubungan HPI. Kewarganegaraan pihak-pihak bersangkutan yang merupakan
faktor bahwa stalsel-stalsel hukum Negara-negara tertentu di pertautkan.
b.
Bendera Kapal
Bendera dari suatu kapal dapat diibaratkan sebagai kewarganegaraan pada
seseorang. Bendera kapal menautkan kepada stelsel hukum tertentu, karenanya
timbul persoalan-persoalan hukum yang memperlihatkan unsur-unsur asing, maka
terciptalah HPI.
c.
Tempat Kediaman
Tempat kediaman merupakan pengertian de facto. Tempat ini adalah diaman
sehari-hari yang bersangkutan mempunyai kediaman, dimana ada rumah, dimana ia
bekerja sehari-hari disitu ada residence dari orang itu. Dan tempat kediaman
seseorang secara defacto juga bisa menimbulkan soal-soal HPI.
d.
Domisili
Domisili ini merupakan suatu pengertian hukum yang baru lahir kalau sudah terpenuhi
syarat-syarat tertentu, misalnya kediaman yang permanent di suatu tempat.
e.
Tempat Kedudukan
Persoalan-persoalan HPI timbul karena badan-badan hukum yang bersangkutan
dalam suatu peristiwa hukum tertentu berkedudukan diluar negeri. Karena faktor
tempat turut berbicara pada ”tempat kedudukan” ini maka titik pertalian ini
bersifat teritorial.
- Titik Taut Skunder
Terdapatnya titik pertalian
primer telah terciptalah suatu hubumgan HPI,dimana HPI menurut konsepsi di
Indonesia merupakan persoalan tentang ”choice of law”. Dalam malaksanakan tugas ini, titik pertalian
sekunderlah yang memberi bantuan kepada si pelaksana hukum. Titik pertalian
sekunder ini karena sifatnya sebagai yang menentukan akan hukum yang harus
diperlukan, disebut pula dengantitik taut penentu.[43]
Perincian mengenai Titik Pertalian Sekunder (TPS) adalah sebagai berikut
ini :[44]
a.
Tempat terletaknya benda (Lex Situs
= Lex rei sitae).
b.
Tempat dilangsungkannya perbuatan
hukum (Lex Loci Actus).
c.
Tempat dilangsungkannya atau
diresmikannya perkawinan (Lex Loci Celebrationis).
d.
Tempat ditandatanganinya kontrak
(Lex Loci Contractus).
e.
Tempat dilaksanakannya perjanjian
(Lex Loci Solutionis = Lex Loci Executionis).
f.
Tempat terjadinya perbuatan melawan
hukum (Lex Loci Delicti Commisi).
g.
Pilihan Hukum (Choice of Law).
BAB IX
KEWARGANEGARAAN DOMISILI
A. Prinsip Domisili
Dalam hukum
perdata internasional terdapat yang namanya status personal, yaitu penyelesaian
suatu kasus HPI dengan menganut prinsip kewarganegaraan. Status personal adalah
kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hubum yang diberikan atau diakui oleh
Negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya . Status personal
ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bertindak di
bidang hukum, yang unsure-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya
. Walaupun terdapat perbedaan tentang status personal ini, pada dasarnya status
personal adalah kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum
dari Negara dimana ia dianggap sah secara permanen . Untuk menentukan status
personil seseorang, negara-negara di dunia menganut dua prinsip. Pertama,
Prinsip kewarganegaraan. Yaitu status personil orang (baik warganegara maupun
asing) ditentukan oleh hukum nasional mereka. Kedua, Prinsip domisili, yaitu status
personil seseorang ditentukan oleh hukum yang berlaku di domisilinya.
Hukum
domisili adalah hukum yang bersangkutan sesungguhnya hidup, dimana seseorang
sehari-hari sesungguhnya hidup, sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah
yang dipakai untuk menentukan status personilnya. Prinsip kewarganegaraan
seringkali memerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip
kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa dibantu
prinsip-prinsip domisili.Contohnya apabila terdapat perbedaan kewarganegaraan
dalam satu keluarga dimana suami istri berbeda, kewaganegaraan anak-anak bisa
punya kewarganegaraan berbeda tergantung domisili (terutama setelah
perceraian).[45]
Hukum
domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Dalam banyak hal, hukum domisili
ini juga bersamaan adanya dengan hukum sang hakim. Cocok dengan negara dengan
pluralisme hukum. Hukum domisili adalah satu-satunya yang dapat dipergunakan
dengan baik dalam negara yang struktur hukumnya tidak mengeal persatuan hukum.
Domisili menolong dimana prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan.
Negara-negara
dengan prinsip domisili dapat dilihat seperti semua negara-negara inggris yang
menganut “common law”, scotlandia, afrika selatan, quebec, denmark, norwegia,
iceland, negara-negara amerika latin, argentina, brazilia, guatemala,
nicaragua, paraguay, peru.[46]
Pada
dasarnya yang disebut dengan prinsip domisili adalah Negara atau tempat menetap
yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of his
life). Pengertian hukum domisili ini sesungguhnya berasal dari hukum inggris.
Hukum domisili ini didasarkan pada kediaman permanen seseorang .
Macam-macam
domisili menurut hukum inggris, dikenal dengan tiga macam domisili, yaitu :[47]
- Domicile of origin
Pada konsep domisili ini, setiap orang
memperoleh domicile of origin nya pada waktu kelahirannya. Yaitu Negara dimana
ayahnya bedomisili pada saat ia dilahirkan.
- Domicile of Choice
Untuk memperoleh domisili ini, menurut system
hukum inggris diharuskan untuk memenuhi persyaratan, yaitu:
a. Kemampuan
(capacity).
b. Tempat
kediaman (residence).
c. Hasrat
(intentioan)
- Domicile by Operation of The Law
Domisili ini adalah domisili yang dimiliki
orang-orang yang tergantung pada domisili orang lain (dependent).
Adapun
alasan-alasan-alasan yang pro terhadap prinsip domisili adalah sebagai
berikut ini :[48]
- Hukum domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan sesungguhnya hidup. Dimana seseorang sehari-harisesungguhnya hidup , sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulahyang dipakai untuk menentukan status personilnya.
- Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan domisili. Seringkali ternyata prinsip kewarganegaraan tidak dapat di laksanakan dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili.
- Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Diajukanya suatu perkara di hadapan hakim dari tempat tinggal para pihak atau pihak tergugat yang merupakan pegangan utama untuk menentukan kompetensi yurisdiksi hakim.
- Cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum. Domisili satu-satunya yang dapat dipergunakan dengan baik dalam negara-negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum.terdapat ketentuan-ketentuan yang mengenal kewarganegaraan-kewarganegaraan tersendiri dari negara-negara bagian masing-masing.
- Domisili menolong dimana perinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan. Adakalanya prinsip kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan, karena orang bersangkutan tidak kewarganegaraan (apatride) atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan (bipatride multipatrid). Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran. Supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi dari orang-orang asing.tetapi setelah perang dunia kedua maka perinsip ini di tinggalkan dan orang kembali mempertahankan prinsip nasionalitas.
B. Prinsip Domisili
Indonesia
Indonesia berdasarkan pasal 16 AB
(Algeimene Bevalingen) menagut prinsip nasionalitas. “Bahwa terhadap waga
negara Indonesia (Hindia Belanda) yang berada diluarnegeri berlaku hukum
nasionalnya sebagai status personal mereka, hal ini diintrepetasikan secara
analog terhadap warga negara asing yang berada di Indonesia.[49]
Menurut
Sudargo Gautama dalam bukunya mengatakan, sebaiknya Indonesia menggunakan
prinsip domisili, dengan alasan sebagai berikut :[50]
- Alasan praktis bahwa dengan pemakaian prinsip domisili dapat diperkecil berlakunya hukum asing. Pemakainan prinsip nasionalitas mempunyai pembawaan bahwa hukum asing akan lebih banyak dipergunakan.
- Dalam acara berperkara sehari-hari di muka Pengadilan-pengadilan di Indonesia lazimnya dipergunakan BW saja untuk semua orang yang dapat dimasukkan dalam golongan rakyat Eropa atau Timur Asing, tanpa memperhatikan lebih jauh apakah orang-orang ini berstatus WNI atau asing. Pemakaian prinsip domisili akan mengsanksionir praktek hukum ini jika masih dipakau prinsip nasionalitas, maka praktek ini bertentangan dengan asas hukum yang berlaku.
- Nyatalah praktek hukum sekarang ini adalah sejalan dengan praktek hukum dan administrasi hukum (antara lain dari Balai Harta Peninggalan) yang telah kita uraikan diatas dimana ternyata walaupun sudah sejak tahun 1915 kita menganut prinsip nasionalitas, masih saja domisili yang dianggap menentukan hukum yang berlaku, tanpa menghiraukan status warganegara atau asing.
- Kita di Indonesia sekarang ini masih belum mempunyai cukup bahan-bahan bacaan untuk mengetahui dengan baik akan hukum asing. Daripada menggunakan hukum asing secara keliru atau kurang tepat, adalah lebih baik untuk mempergunakan hukum sendiri.
- Di Indonesia sekarang ini masih terdapat pluralisme hukum. Aneka warna hukum perdata disandarkan bukan saja pada perbedaan dalam golongan rakyat, tetapi juga antara sesama golongan pribumi dari lingkungan hukum adat yang berbeda. Adanya aneka warna hukum ini juga telah dijadikan alasan untuk pro pemakaian prinsip domisili. Adanya pluralisme hukum intern ini merupakan faktor pula yang mencondongkan kita kepada pemakaian prinsip domisili.
- Indonesia hingga beberapa waktu yang lalu merupakan negara imigrasi. Banyak orang-orang asing yang terdapat disini. Karena sifatnya sebagai negara jajahan Hindia Belanda, telah dibuka pintu untuk pemasukan orang-orang asing yang tenaga kerjanya dibutuhkan disini, atau hendak mencari nafkah di negeri ini.
- Sebagai negara imigrasi maka secepat mungkin RI hendak melakukan asimilasi daripada orang-orang asing ini. Di zaman Hindia Belanda karena kelahiran disini, berdasarkan asas ius soli (asas daerah kelahiran) orang dijadikan kaula negara Belanda. Dengan berlakunya UU Kewarganegaraan RI no. 62 tahun 1958 mulai 1 Agustus 1968 prinsip ius sanguinis yang dianut. Asas ius soli dilepaskan, maka lebih banyak orang yang menjadi asing dinegeri ini.
- Indonesia dianggap terletak antara lingkungan suasana negra-negara tetangga yang memakai prinsip domisili. Negara-negara ini yang tergabung dalam Commonwealth seperti Australia, India, Pakistan, Singapura, Malaysia terpengaruh oleh sistem HPI yang berdasarkan prinsip domisili untuk status personil.
Menurut saya, sebaiknya Indonesia
memakai juga prinsip domisili. Namun tidak menolak untuk pemakaian prinsip nasionalitas
bagi sistim HPI Indonesia. Hanya harus dijaga supaya jangan prinsip
nasionalitas ini dipakai secara rigoreus kaku, hingga membawa kepada ”juridisch
Chauvinisme”.
Kalau hendak dipertahankan terus
prinsip nasionalitas, sebaiknya diadakan kombinasi dengan prinsip domisili
sedemikian rupa seperti pernah diusulkan oleh penulis-penulis antara lain Asser
dan Frankestein.
BAB X
PERKAWINAN CAMPURAN DAN PEMELIHARAAN ANAK
A. Rumusan
Perkawinan Campuran
Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota
masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat aatau
suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang
akan melakukan perkawinan,perkawinan campuran yang dimaksud oleh UU no 1 tahun
1974 tentang perkawinan adalah perkawinan campuran antara warga Negara yang
berbeda. Misalnya antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara
berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal
57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Lalu pada pasal 58
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan bahwa “bagi
orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukanperkawinan campuran,
dapat pula kehilangan kewarganegaraan, menurut cara-cara yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang Kewarganegaraan RI yang berlaku.[51]
Pasal 59 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan
atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum
publik maupun hukum perdata. Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan menyebutkan Perkawinan campuran yang dilangsungkan di
Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini. Bahwa nantinya jika
terjadi perkwinan campuran atau mengenai putusanya perkawinan tersebut
menentukan nantinya hukum yang berlaku dibidang perdata maupun publik.[52]
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah
dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat 1 telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan
campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat
telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat
keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi
tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan
itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu
diberikan.[53]
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan dalam ayat 1 perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang
berwenang. Selanjutnya, ayat 2 barang siapa yang melangsungkan perkawinan
campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang
berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut
pasal 60 ayat 4 Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 1(satu) bulan. Selanjutnya, ayat 3 menyebutkan pegawai pencatat
perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetaui bahwa keterangan
atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.[54]
B. Penyelesaian
Pemeliharaan Anak
Menurut teori hukum perdata
internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai
persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga
anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya atau perkawinan tersebut tidak sah,
sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya.[55]
Sejak dahulu diakui bahwa soal
keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada
prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada
prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal
dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah
keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan
demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang
istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang
terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani,
Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.[56]
Dalam sistem hukum Indonesia,
Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi
kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu
sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka
(ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan
prinsip dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 tahun 1958.[57]
Kecondongan pada sistem hukum ayah
demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga,
namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan
dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan
membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak
tersebut masih dibawah umur.
Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan memuat
asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut
dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[58]
- Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
- Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
- Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
- Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan
ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan
ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu
pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya
kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum
dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi
hilang.[59]
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang
positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah,
apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di
kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada
dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan
Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi,
yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda,
yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB
tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati
warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal
yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan
kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka
orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan
juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status
personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal
antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang
hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status
anak-anak yang dibawah umur.[60]
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan
ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status
personal yang didasarkan pada asas nasionalitas.[61]
BAB XI
RENVOI DAN KUALIFIKASI
A. Alasan
Renvoi
Masalah
Renvoi timbul karena adanya aneka sistem HPI, yang masing-masing negara
memilikinya sendiri-sendiri. yang tidak seragam. Akibat dari prinsip
Nasionalitas atau prinsip Domisili timbulah masalah Renvoi. Masalah renvoi
menjadi perhatian menarik para penulis-penulis HPI dari dulu hingga sekarang
dengan berbagai macam istilah. Di Indonesia Renvoi dikenal dengan istilah
penunjukan kembali.
Menurut
Cheshire, renvoi tidak dapat digunakan disemua jenis perkara HPI, terutama
dalam perkara-perkara yang sedikit banyak berkaitan dengan transaksi-transaksi
bisnis dan setip tindakan pilihan hukum dalam transaksi seperti itu akan
dimaksudkan sebagai penunjukan ke arah hukum intern. Masalah HPI yang dapat
diselesaikan dengan Renvoi adalah masalah validitas pewarisan, tuntutan benda
tetap dan bergerak atas negara asing, masalah-masalah hukum keluarga.[62]
Berkenaan
dengan renvoi, tidak semua penulis setuju dengan adanya Renvoi dengan beberapa
alasan, yaitu:[63]
- Renvoi Tidak Logis
Hal ini didasarkan pada suatu
penunjukan kembali secara terus menerus, maka yang ada adalah suatu
permasalahan yang menggantung karena tidak ada pihak yang mau menanganinya dan
terus saling melakukan suatu penunjukkan kembali.
Pendapat kalangan penulis yang menolak renvoi ini
lantas dibantah oleh pihak yang pro renvoi dengan alasan bahwa baik yang
menerima atau yang menolak dua-duanya secara selogis mungkin. Dalam
kenyataannya tidak akan ditemui adanya suatu penujukkan tiada akhir melainkan
hanya ada satu kali renvoi atau penujukkan kembali.
- Renvoi Merupakan Penyerahan Kedaulatan Legislatif.
Menurut pandangan yang kontra dengan renvoi, menurut
Cheshire dan Meyers, dengan adanya suatu renvoi, maka seolah-olah kaidah-kaidah
hakim itu sendiri yang dikorbankan terhadap seuatu hukum asing yang kemudian
dianggap berlaku. Sementara itu, pendapat ini dibantah dengan alasan kaidah
yang digunakan oleh hakim itu bukan dari sembarang kaidah negara asing, dengan
arti hanya sebatas kaidah HPI saja dimana yang menunjuk penggunaannya adalah
sang hakim itu sendiri sehingga secara tidak langsung, yang berlaku adalah HPI
negaranya sendiri dan bukan HPI dari negara asing.
- Renvoi Membawa Ketidakpastian Hukum
Jika renvoi diterima, maka yang ada
kemudian adalah penyelesaian HPI itu yang samar-samar, tidak kokoh dan tidak
stabil sebagai hukum. Akan tetapi menurut kubu yang pro renvoi mangatakan bahwa
justru jika tidak ada renvoi, maka yang ada adalah ketidakpastian itu sendiri.
Sementara itu, alasan-alasan yang
digunakan oleh para penulis yang pro dengan adanya renvoi adalah sebagai
berikut:[64]
- Renvoi memberikan keuntungan praktis. Jika sebuah renvoi itu diterima, maka hukum intern sendiri dari sang hakim yang akan digunakan dan tentunya hal ini akan memberikan keuntungan praktis bagi hakim.
- Jangan bersifat lebih raja daripada raja itu sendiri. Justru dengan adanya renvoi, chauvinisme juridis dapat dihindari dan merupakan suatu penghormatan pada hukum asing yang bertautan dengan kasus yang ada.
- Keputusan-keputusan yang berbeda. Untuk menghindari adanya ketidak pastian hukum dalam bentuk keputusan yan berbeda-beda atas perkara yang sama pada dua sistem hukum yang terkait.
B. Renvoi Di Beberapa Negara
Berikut ini akan diberikan tinjauan
sedikit pandangan mengenai renvoi diberbagai negara, yaitu:[65]
- Prancis
Renvoi
muncul di Prancis sejak perkara forgo tahun 1878 diterima di Prancis, walaupun
masih ada penulis-penulis kenamaan Prancis yang ada kecondongan untuk menolak
renvoi.
- Italia
Di negara
Italia renvoi ditentang, sesuai dengan pengaruh teori Mancini, maka nampak
adanya hasrat untuk melindungi diri dari kaidah-kaidah HPI asing. Oleh karena
itu setiap penunjukan dianggap sebagai Sachnorm-verweisung.
- Jerman
Renvoi di
Jerman ada kecondongan diterima, hal itu sesuai dengan pasal 27 EGBGB, serta
penulis yang pro terhadap renvoi banyak dari Jerman.
- Swiss
Renvoi
dinegara Swiss tidak ada aturan yang mengatur secara tegas, namun ada
kecondongan dalam penerimaan renvoi, hal itu berdasarkan pasal 28 dan 31 NAG.
- Belanda
Renvoi di
Belanda secara umum ditolak berdasarkan doktrin dari para penulis Belanda.
- Negara-Negara Asia
Di Cina
dan Jepang sistim HPI yang berlaku adalah terpengaruh oleh EGBGB Jerman, maka
dapat dikatakan Cina dan Jepang menerima renvoi. Sedangkan di Thailand dan
Indonesia secara tegas menerima renvoi.
- Mesir
Mesir
ternyata tidak menerima renvoi. Code Civil Mesir tahun 1948 menyatakan bahwa
penunjukan hukum asing adalah penunjukan pada kaidah intern materil dan kaidah
HPI dikesampingkan.
- Negara Anglo Saxon
Di
Inggris kita saksikan suatu cara penyelesaian khusus mengenai renvoi yang
dipraktekkan sudah lama dan diterima baik.
- Amerika Serikat
Di
negara Amerika Serikat tidak ada peraturan tertulis tentang renvoi.
- Negara Sosialis
Umumnya negara sosialis menerima renvoi ini walau ada
juga yang menolaknya.
C. Administratif Renvoi Indonesia
Berbeda halnya dengan orang asing
yang dalam negara asal mereka mempunyai sistim HPI yang menganut prinsip
domisili. Dalam hal ini penunjukan oleh HPI Indonesia kepada hukum nasional
dari yang bersangkutan merupakan pula penunjukan kepada HPI negara mereka. Jika
demikian maka hukum intern Indonesia lah yang akan diberlakukan jika kita
anggap penunjukan kembali diterima.[66]
Dari hal-hal yang telah disampaikan
sebelumnya di atas perihal pro dan kontra pada renvoi, kita mendapati bahwa
yang digunakan dalam menilai masalah renvoi ini adalah logika. Kita harus dapat
melihatnya berdasarkan pada hukum positif dimana renvoi dipandang sebagai suatu
bentuk dari apa yang dinamakan dengan pelembutan hukum, meskipun tidak ditemukan
dalam suatu peraturan tertulis di Indonesia, renvoi diterima dalam kaidah hukum
positif Indonesia secara nyata yang tercantum secara tidak langsung dalam pasal
16 sampai 18 AB.[67]
Adapun beberapa yurisprudensi yang
berkaitan dengan renvoi di Indonesia adalah Perkara orang Armenia Nasrani tahun
1928 dan Perkara palisemen seorang British India tahun 1925.[68]
Dalam praktek administrasi Indonesia
kita saksikan dilaksanakan juga penerimaan renvoi, ketentuan itu tercantum
dalam pasal 42 BW. Hal lain adalah Direktur Yustisi dalam praktek administratif
di Hindia Belanda dahulu menerima lembaga renvoi ini.[69]
D. Kualifikasi Menurut Lex Fori
Kualifikasi yang diberlakukan berdasarkan hukum materil sang hakim yang
menerima dan mengadili suatu perkara. Adapun alasan Kualifikasi menurut lex
fori adalah sebagai berikut ini :[70]
1. Persoalan-persoalan
HPI pada umumnya hanya dapat diselesaikan demikian rupa karena ditariknya
persoalan ini kearah satu sistem hukum tertentu.
2. Dalam
prakteknya sering kali kualifikasi menurut lex fori adalah satu-satunya yang
mungkin. Jika belum terang hukum mana yang harus digunakan. Dalam yurisprudensi
lex fori lah yang diutamakan.
Adapun pengecualian-pengecualian terhadap
pemakaian kwalifikasi lex fori, yaitu :[71]
- Kualifikasi kewarganegaraan tidak diakukan menurut hukum dari forum hakim.
- Kualifikasi mengenai bergerak atau tidak bergerak sesuatu benda ditentukan oleh lex rei sitae.
- Kualifikasi suatu kontrak menurut maksud para pihak bidang perjanjian , maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
- Kualifikasi dari perbuatan melanggar hukum.
- Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaaidah HPI.
- Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh mahkamah-mahkamah internasional berdasarkan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku.
E. Kualifikasi Menurut Lex Causae
Kualifikasi tentang hukum yang dipergunakan untuk
menyelesaikan permasalahan HPI bersangkutan. Menurut Suryadi Hartono
kualifikasi berdasarkan lex causae sulit diterapkan bila sistim hukum asing
tidak lengkap sistim kualifikasinya atau tidak mengenal lembaga hukum tersebut.
Oleh karena itu, hakim melakukan kontruksi-kontruksi hukum atau analogi
terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi yang sejenis, bagaimana
penyelesaian hukumnya. Apabila tidak ditemukan, maka barulah hakim menggunakan
kualifikasi berdasarkan lex fori.[72]
F. Kualifikasi
Otonom
Menggunakan metode perbandingan
hukum untuk membangun suatu kualifikasi yang berlaku secara universal. Pada
kulaifikasi ini, forum menggunakan metode perbandingan hukum. Teori
perbandingan hukum diberlakukan untuk mencari pengertian-pengertian HPI yang
dapat berlaku di negara-negara manapun. Oleh karena itu, maka kualifikasi
otonom ini sulit dilakukan oleh hakim, karena hakim harus mengetahui sistim
hukum negara-negara dunia. Tujuan dilakukan kualifikasi otonom adalah
menciptakan suatu sistim HPI yang utuh dan sempurna yang memuat konsep-konsep
dasar yang bersifat mutlak dan sempurna. Kualifikasi ini muncul karena adanya
konsep negara supranasional.[73]
G. Kualifikasi
Primer dan Skunder
Kualifikasi Primer adalah
kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum mana yang harus
dipergunakan harus dilakukan kualifikasi berdasarkan kaidah HPI dari lex
fori.Kualifikasi primer ini memberikan kepastian tentang pengertian-pengertian
seperti umpamanya, domisili, pewarisan, kontrak, dan sebagainya. Semua itu
harus disandarkan berdasarkan pengertian-pengertian lex fori. Berdasarkan
kualifikasi sedemikian itu ditemukan hukum asing manakah yang diberlakukan.[74]
Kualifikasi Skunder adalah apabila
sudah diketahui hukum asing manakah yang harus dipergunakan . maka perlu
dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang di kemukakan itu.[75]
BAB XII
PILIHAN HUKUM
A.
Prinsip Pilihan Hukum
Istilah rechtskeuze atau pilihan hukum menurut hemat kami
adalah yang paling cocok menggambarkan apa yang diartikan dengan istilah itu.
Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat
memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Para pihak dapat
memilih hukum tertentu. Mereka hanya bebas untuk memilih, tetapi mereka tidak
bebas untuk menentukan sendiri perundangan-undangan.[76]
Mengenai kehendak manusia di bidang hukum. Jadi persoalan
pilihan hukum dalam HPI memperlihatkan unsur-unsur falsafah hukum dan di
samping itu mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan politik
hukum.
Prinsip pilihan hukum sudah umum diterima, kini orang tidak
meragu-ragukan lagi bahwa para pihak dalam membuat suatu kontrak dapat
menentukan sendiri hukum yang berlaku untuk kontrak ini dan pilihan ini
dihormati.[77]
Adapun yang masih dipersoalkan antara para penulis adalah
mengenai batas-batas wewenang untuk memilih hukum ini. Demikian juga De Winter.
Bukan saja negara-negara barat dengan sistem kapitalisme liberal yang menerima
pilihan hukum ini. Juga dalam negara-negara sosialis boleh dikatakan umum
diterima pilihan hukum ini.
Di dalam HPI untuk menetapkan
validitasi suatu pilihan hukum, antara lain:[78]
- Jika pilhan hukum dimaksudkan hanya untuk membentu atau menfsirkan persyaratan-persyaratan dalam kontrak, kebebasan para pihak pada dasarnya tidak dibatasi.
- Pilihan hukum tidak boleh melanggar public policy atau public order (ketertiban umum) dari sistem-sistem hukum yang mempunyai kaitan yang nyata dan substansi terhadap kontrak.
- Pilihan hukum hanya dapat dilakukan ke arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dengan kontrak. Faktor-faktornya misalnya, tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan kontrak, domisili atau kewarganegaraan para pihak, tempat pendirian atau pusat administrasi badan hukum.
- Pilihan hukum tidak boleh dimaksud atau bagian tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekedar untuk menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku seandainya tidak ada pilihan hukum. Pilihan hukum seperti ini dapat dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fide atau dianggap sebagai penyelundupan hukum.
- Pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak dan tidak untuk mengatur masalah validitas pembentukan perikatan atau perjanjian.
- Pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu sachnormverweisung, dalam arti pemilihan ke arah kaidah hukum intern dari sistem hukum yang bersangkutan dan tidak mengarah kepada kaidah-kaidah HPI-nya.
- Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum pada saat kontrak ditutup.
- Larangan melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan nyata dengan kontrak atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak memberlakukan larangan ini).
- Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara tertentu atau arah konvesi-konvensi internasional dan tidak ke arah kaidah-kaidah transnasional atau prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional.
- Pilihan hukum harus jelas diarahkan pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan hukum yang tidak bermakna tidak dapat diakui sebagai pilihan hukum yang sah.
B. Macam-Macam
Pilihan Hukum
Ada 4 macam pilihan hukum yang
dikenal dalam pembacaan Hukum Perdata Internasional, yaitu :
- Pilihan Hukum Secara Tegas[79]
Di
dalam klausula-klausula kontrak-kontrak tertentu dapat kita saksikan adanya
pilihan hukum secara tegas ini. Dalam
klausula-klausula dalam kontrak joint venture, management contract atau
technical assistant contract, dimana dinyatakan, “this contract will be
governed by the laws of the Republic of Indonesia”
Contoh
dalam kontrak-kontrak asuransi laut untuk perdagangan internasional, sering
kali ditunjuk kepada English Insurance Act 1906 dan syarat-syarat serta
kebiasaan-kebiasaan dari polis-polis Lloyd Inggris.
- Pilihan Hukum Secara Diam-Diam[80]
Pilihan
hukum secara diam-diam dianggap ada jika maksud para pihak dapat disimpulkan
dari tingkah-laku atau perbuatan-perbuatan yang menunjuk ke arah itu. Tidak
dengan tegas disebut bahwa para pihak menghendaki dipergunakan misalnya hukum X
untuk kontrak mereka, akan tetapi dari hal-hal dan keadaan dalam isi kontrak
tersebut dapat dilihat bahwa para pihak memang secara diam-diam telah
menghendaki bahwa hukum X dipakai.
Kehendak
para pihak untuk memperlakukan suatu sistem hukum tertentu disimpulkan dari
misalnya bahasa yang dipakai, cara susunan kontrak sedemikian hingga dapat
diikuti cara pemikiran para pihak kearah pemakaian hukum tertentu, penunjukkan
atau penyebutan peraturan-peraturan bursa atau peraturan-peraturan arbitrase
tertentu yang secara implisit membuktikan bahwa para pihak memang menghendaki
pemakaian peraturan tertentu walaupun tidak menyebutnya dengan demikian banyak
perkataan.
Pilihan
hukum ini dapat disimpulkan maksud para pihak ini mengenai hukum yang mereka
kehendaki, dari sikap mereka dari isi dan bentuk perjanjian. Keberatan terhadap
pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika hakim hendak melihat adanya
suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada. Hakim hanya menekankan kepada kemauan
para pihak yang diduga dan yang dikedepankankan adalah kemauan para pihak yang
fiktif.
- Pilihan Hukum yang Dianggap[81]
Sang
hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan
hukum belaka.
Pilihan
hukum yang secara dianggap ini hanya merupakan apakah dalam istilah hukum
dianggap “preasumptio iuris”, suatu “rechtsvermoeden”. Hakim hanya menerima
telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
- Pilihan Hukum Secara Hypothetisch[82]
Pilihan
hukum secara hypothetisch ini dikenal di Jerman. Sebenarnya tidak ada suatu
kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun. Hakimlah yang melakukan
pilihan ini. Hakim bekerja dengan suatu fictie. Seandainya para pihak telah
memikir akan huku yang harus diperlakukan hukum manakah yang telah dipilih oleh
mereka secara sebaik-baiknya. Jadi sebenarnya ini adalah suatu pilihan buka
daripada para pihak melainkan hakim itu sendiri.
C. Alasan Pro dan Kontra
Pilihan Hukum
Para sarjana ada yang pro dan ada juga yang kontra terhadap
pilihan hukum dalam HPI.
Adapun alasan yang pro (setuju) terhadap pilihan hukum
dengan alasan-alasan sebagai berikut :[83]
- Alasan Bersifat Falsafah
Pilihan hukum ini merupaka salah satu dari tiga rukun seluruh gedung HPI.
Disamping prinsip nasionalitas dan rem ketertiban umum, maka otonomi para pihak
ini dianggap sebagai sendi asas utama daripada gedung seluruh sistem HPI
- Alasan Bersifat Praktis
Pilihan hukum adalah cocok sekali untuk mengetahui hukum mana yang
palingberguna dan bermanfaat. Hal ini tentunya para pihak sendiri yang dapat
menentukan sebaik-baiknya. Diberikannya kesempatan untuk memilih sendiri para
pihak dapat mengatur hubungan mereka secara sebaik-baiknya. Seharusnya pilihan
hukum adalah pilihan dari kedua belah pihak dan bukan penekanan dari pihak yang
ekonomis kuat terhadap ekonomis lemah.
- Alasan Kepastian Hukum
Dengan adanya pilihan huikum inimaka akan ada kepastian hukum, jika para
pihak dari permulaan hubungan mereka sudah dapat memastikan hukum mana yang
akan berlaku untuk kontrak itu.
- Alasan Kebutuhan Hubungan Lalu Lintas Internasional
Para pihak dapat menentukan sendiri dan mengetahui sendiri secara pasti
dari semula hukum mana yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Mereka juga
wajar sedari semula mengetahui apakah kontrak mereka itu sah adanya, apakah
syarat-syarat yang diadakan memang dapat direalisir kelak jika perlu dengan
sanksi hukum.semua demi kelancaran dari lalu lintas internasional.
Sedangkan alasan-alasan yang kontra
(menolak) pilihan hukum dalam HPI, yaitu :[84]
- Alasan ”Circulus Vituosus”
Menurut logika mereka, kebebasan pemilihan hukum sendiri oleh para pihak
akan membawa kepada suatu ”circulus vituosus” (lingkaran yang vicieus). Jalan
pikiran ini ialah sebagai berikut: hukum yang harus dipergunakan sendiri
digantungkan kepada pilihan hukum, akan tetapi untuk mengetahui apakah telah dilakukan
suatu pilihan hukum yang sah harus diperhatikan terlebih dahulu hukum yang
telah dipilih.
- Alasan Hukum Intern Memaksa Harus Pula Internasional Memaksa
Apa yang dianggap secara intern memaksa, juga harus bersifat memaksa secara
internasional. Corak memaksa dari hukum tidak dapat berubah-ubah begitu saja.
Apa yang intern bersifat memaksa tidak perlu selamanya internasional juga
bersifat demikian. Ada kaidah-kaidah memaksa yang tidak begitu penting adanya,
sedangkan sebaliknya ada kaidah-kaidah memaksa yang demikian pentingnya, hingga
tidak ada seorang hakim yang akan ragu untuk memakainya juga dalam
peristiwa-peristiwa internasional.
- Alasan Tidak Adanya Hubungan Dengan Hukum Yang Dipilih
Jika kita memberikan keleluasaan selebar-lebarnya untuk memilih hukum, maka
seluruh hukum yang dipilih ini berikut kaidah-kaidah yang memaksanya juga turut
dipilih. Dengan lain perkataan, pilihan hukum ini tidak mengelakkan hukum yang
memaksa. Tetapi hukum memaksa ini adalah dari stelsel hukum lain, yaitu hukum
yang telah dipilih oleh para pihak.
- Alasan Bahwa Pilihan Hukum Merupakan Perbuatan A-Sosial
Jika diperbolehkan pilihan hyukum maka par pihak ini seolah-olah berada
diluar dan diatas peraturan hukum. Tetapi kita kemukakan terhadap alasan ini
bahwa kebebasan untuk memilih hukum tidak tanpa batas-batas.
BAB XIII
KETERTIBAN UMUM
A. Rumusan
Ketertiban Umum
Ketertiban
umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde public (prancis), public
policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian mengenai makna dan isinnya tidak
sama diberbagi negara. Sudargo Gautama mengibaratkan lembaga ketertiban umum
ini sebagai “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api.
Pemakainya harus secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita
terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka kereta HPI tidak dapat berjalan
dengan baik. Lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari hukum
asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi-sendi azasi hukum
nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan
hukum asing ini.[85]
Adanya
lembaga ketertiban umum sesungguhnya tidak sesuai dengan pendirian
internasionalistis tentang HPI yang menganggap HPI bersifat supra nasional.
Konsepsi ketertiban umm adalah berlainan di masing-masing negara. Jika situasi
dan konidisi berlainan, paham-paham ketertiban umum juga berubah-ubah. Public
policy ini mempunyai hubungan erat dengan pertimbangan-pertibangan politis.
Boleh dikatakan bahwa policy making memegang peranan yang penting dalam
pengertian ini.[86]
Pemikiran
tentang ketertiban umum (public order) dalam HPI pada dasarnya bertitik tolak
dari anggapan dasar bahwa sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur
kenegaraan yang berdaulat dan karena itu pengasilan berwenang untu
memberlakukan hukumnya sendiri dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Dalam tradisi hukum eropa kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan
berdasarkan prinsip bahwa semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk
melindungi kesejahteraan umum (public walfare) harus didahulukan dari
ketentuan-ketentuan hukum asaing yang isinya dianggap bertentangan dengan
kaidah hukum tersebut.
Martin Wolff
beranggapan bahwa masalah “orde public” merupakan exeption to the application
of foreign law ( pengecualian terhadap berlakunya kaidah hukum asing )
Dalam buku
Sudargo Gautama dapat kita lihat perumusan ketertiban umum mengatakan dengan
istilah ketertiban umum ini hendak diartikan lembaga dalam HPI yang
memungkinkan sang hakim untuk secara pengecualian mengenyampingkan pemakaian
dari hukum asing, yang menurut ketentuan HPI sang hakim sendiri, seyogyanya
harus diperlakukan. Tidak dipakainya hukum asing dalam hal yang khusus ini
disebabkan karena hukum asing ini dianggap mencolok dan memberi kegoncangan
kepada sendi-sendi asasi dari pada sistim hukum sendiri jika dipergunakan.[87]
B. Ketertiban Umum
Internasional
Sistem-sistem hukum dari negara-negara mengenal perbedaan antara apa yang dinamakan
ketertiban umum internasional (internasionale openbare orde, orde public
internasional) dan ketertiban umum intern (interne openbare orde, orde public
interne). Apa yang dinamakan ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah
yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhan.
Kaidah-kaidah yang termasuk ketertiban umum intern adalah kaidah-kaidah yang
membatasi kebebasan perorangan.[88]
Ketertiban umum internasional adalah nasional. Terhadap istilah ketertiban umum
internasional terdengar kecaman karena sesungguhnya yang dikehendaki bukan
untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat tidak lain daripada
nasional. Sejalan dengan keberatan terhadap istilah internasional pada HPI,
maka kita harus melihat istilah ini bukan mengenai sumber dan isinya
internasional. Hanya hubungan-hubungannyalah yang dianggap internasional, hanya
suasananya yang dianggap internasional. Sedangkan sumber dan isi makna
ketertiban umum ini adalah nasional. Istilah yang lebih baik dipergunakan
adalah ketertiban umum extern terhadap ketertiban umum intern. Ketertiban umum
bersifat relatif. Tergantung darpada faktor-faktor tempat dan waktu dengan
istilah yang sekarang sering diperunakan dinegara tergantung situasi dan
kondisi.[89]
C. Perubahan Ketertiban Umum
Ketertiban umum berubah menurut
situasi dan kondisi, faktor intensitas dari peristiwa yang bersangkutan dalam
hubungan dengan keadaan di dalam negeri. Para sarjana Jerman menyebut dalam
hubungan ini apa yang dipandang mereka sebagai “Inlandsbeziehungen”.[90]
Adapun contoh kiranya yang dapat
menjelaskan ketertiban umum berubah menurut situasi dan kondisi adalah sebagai
berikut :[91]
- Perceraian
Di
Prancis, sebelum 1884 perceraian tidak diperbolehkan tetapi setelah 1884
perceraian dapat dilakukan. Maka, pengertian ketertiban umum selalu berubah.
Ini merupakan contoh variabilitas ketertiban umum yang dipengaruhi oleh waktu.
- Konsepsi hak milik pribadi
Dalam
konsepsi tentang hak milik pribadi berbeda-beda. Di negara x masih berpegang
teguh hak milik sebagai suatu yang merupakan hak yang suci. Dalam pasal 33 UUD
1945 dan pasal 6 UUPA di negra kita sendiri yang mengedepankan bahwa hak milik
adalah fungsi sosial. Hukum merupakan suatu sistem yang hidup, karena sifatnya
yang hidup hukum ini bukan statis melainkan dinamis. Karenanya selalu
berubah-ubah pandangan-pandangannya yang hidup dari masa ke masa dan dari
tempat ke tempat. Demikian pula konsepsi-konsepsi ketertiban umum,
berubah-rubah pula tergantung pada situasi dan kondisi, tempat dan waktu.
- Yurisprudensi tentang pencabutan hak milik.
Sesuai
dengan konsepsi hak milik dan fungsinya maka adanya sikap yuriprudensinya yang
berbeda berkenan dengan masalah pencabutan hak milik. Peristiwa pencabutan hak
milik selalu mempunyai hubungan dengan ketertiban umum. Persoalan ketertiban
umum selalu dikedepankan dalam yurisprudensi pencabutan hak milik.
BAB
XIV
PENYELUNDUPAN
HUKUM DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Hubungan Penyelundupan Hukum
Dengan Ketertiban Umum
Penyelundupan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan di
suatu negara asing dan diakui sah di negara asing itu, akan dapat dibatalkan
oleh forum atau tidak diakui oleh forum jika perbuatan itu dilaksanakan di
negara asing yang bersangkutan, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari
aturan – aturan lex fori yang akan melarang perbuatan semacam itu dilaksanakan
di wilayah forum. (memilih hukum asing untuk dipakai, dan perbuatan hukum yang
dilakukan dilarang oleh hukum nasional, dan dampaknya yaitu tidak diakui
negara).[92]
Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan
yang erat. Kedua-keduanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan
mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika
dipandang sebagai penyelundupan hukum. Kedua-keduanya hendak mempertahankan
hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing. Perbedaan antara ketertiban
umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang pertama kita saksikan bahwa
pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam
penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat
pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang yang untuk mendapatkan
berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang bersifat menghindarkan
pemakaian hukum nasional itu. Jadi hukum asing dikesampingkan karena
penyelundupan hukum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu
boleh dipergunakan hukum asing itu. Dalam hal-hal khusus, kaidah asing tidak
akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan (pemakaian hukum asing ini) oleh
cara yang tidak dapat dibenarkan.[93]
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam
hubungannya dengan masalah hak-hak yang diperoleh. Bahwa penyelundupan hukum
justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh. Karena pada penyelundupan
hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional di[ergunakan.
Tetapi pada hak-hak yang diperoleh justru hak-hak itu telah diperoleh menurut
hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional hakim sendiri.[94]
B. Contoh Penyelundupan Hukum
Dalam buku Sudargo Gautama ada beberapa contoh mengenai
penyelundupan hukum yang terbagi atas contoh perkawinan dan contoh perceraian,
antara lain :
- Contoh Perkawinan
a. Perkawinan Gretna Green
Greetna
green adalah sebuah desa yang terletak di Skotlandia. Merupakan tempat dimahna
berlangsungnya pernikahan bagi orang-orang Inggris yang tidak memiliki
persetujuan orang tua. Terkenal dengan sebutan “ The Blacksmith of Gretna
Green” yaitu hakim perdamaian dihadapan siapa harus diucapkan untuk menikah.[95]
b. Perkawinan orang-orang dari
Indonesia di Penang atau Singapura
Dalam
praktek hukum Indonesia dikenal dengan larangan untuk menikah kembali bagi
pihak perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi mereka
dapat melangsungkan penikawinan sebelum 300 hari lewat, mereka melakukan
pernikahan di Pinang atau Singapura, karena Singapura menganut hukum Inggris
dimana hukum Inggris tidak ada dikeneal jangka waktu masa idah 300 hari lewat.[96]
- Contoh Perceraian
a. Peristiwa Helene Bohlau[97]
Helene
Bohlau, seorang evangeliste. Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang dilahirkan
di Petersburg, telah menikah pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris)
dengan seseorang wanita Saksen yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun
1884. Kemudian mereka bertempat tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak.
Pada tahun 1886 sang suami pergi ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene
Bohlau. Disana pria tersebut masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena
berubahnya agama pria tersebut maka perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886
ia mengirim surat tak ke alamat istrinya di Berlin dan tahun 1887 ia menikah
dengan Helene Bohlau di Konstatinopel dan kembali ke Jerman dimana ia hidup
bersama di Munchen sejak 1888. Setelah tahun 1900 istri pertama mengajukan
gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke
Oberlandesgericht di Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste
Landesgericht serta kembali lagi ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam
keputusan yang pertama Oberlandesgericht
Muncen menolak untuk menerima perceraian secara surat talak, karena
dianggap bertentangan dengan ordre public pasal 30 EGBGB. Akan tetapi
Bayerische Oberste Landesgericht menanggap pendirian ini kurang tepat tidak
pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen juga menolak adanya
pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang pertama.
b. Peristiwa De Ferrari
Ny.
Ferarri melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi
kembali menjadi kewarganegaraan Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan
suaminya yang menikah menurut hukum Italia. Dimana italia tidak mengenal
perceraian pada saat itu.[98]
C. Perbuatan
Melawan Hukum
Dinamakan perbuatan melawan hukum
apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum pada umumnya. Hukum bukan saja
berupa ketentuan-ketentuan undang-undang, tetapi juga aturan-aturan hukum tidak
tertulis, yang harus ditaati dalam hidup bermasyarakat. Kerugian yang
ditimbulkan itu harus disebabkan karena perbuatan yang melawan hukum itu,
antara lain kerugian-kerugian dan perbuatan itu harus ada hubungannya yang
langsung, kerugian itu disebabkan karena kesalahan pembuat. Kesalahan adalah
apabila pada pelaku ada kesengajaan atau kealpaan (kelalaian).[99]
Kriteria perbuatan melawan hukum
apabila bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak
subyektif orang lain atau melanggar kaidah tata susila (goede zeden) atau bertentangan
dengan azas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati dalam pergaulan hidup
masyarakat.
Masalah-masalah HPI yang dapat
timbul dari perkara-perkara HPI antara lain :[100]
1.
Berdasarkan sistem hukum mana
penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hokum harus
ditentukan.
2.
Berdasarkan sistem hukum mana
penetapan ganti rugi harus ditentukan.
Untuk menjawab masalah-masalah
tersebut adanya asas-asas, doktrin-doktrin utama dan teori-teori klasik yang
berkembang di dalam hukum perdata internasional terhadap permasalahan HPI,
yaitu :[101]
- Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Loci Delicti Commissi
Teori Lex Loci Delicti Commissi atau singkatan lex loci delictii merupakan
kaidah atau teori yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menentukan
tantangan sedikitpun. Teori Lex Loci Delicti Commissi atau teori prinsip yang
dominerend paling berpengaruh. Penentuan kualitas suatu perbuatan sebagai PMH
atau tidak harus dilakukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan itu
dilakukan atau terjadi termasuk penetapan tentang perikatan-perikatan yang
terbit dari perbuatan itu (penetapan ganti rugi dan sebagainya) harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat timbulnya akibat perbuatan hukum. Hukum ini
menentukan baik mengenai syarat-syaratnya maupun juga sampai sejauh manakah
akibat-akibat dari padanya (tidak diadakan perbedaan antara syarat-syarat untuk
perbuatana melanggar hukum dan akibat – akibat hukumnya).
- Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori
Lex Fori juga menentukan kopetensi hakim. Pendapat demikian pernah dianut
pula di Negara-negara lain seperti Inggris Perancis dahulu. Bahwa penentuan
kualitas suatu hukum forum sebagai PMH harus ditentukan oleh hukum forum (lex
fori) termasuk penerapan hak dan tanggungjawab dari para pihak yang terlibat.
Dengan pemakaian asas ini dijauhkan lex loci delicti antara lain karena locus
sukar untuk ditentukan, sedangkan pemakaina lex loci diperoleh kepastian hukum.
- Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Fori yang Dikombinasikan Dengan Lex Loci Delicti Commissi
Pendirian HPI Inggris mengenai PMH memperlihatkan dua unsure terpenting
yang harus dipenuhi untuk dapat berhasil suatu tuntutan kerugian dihadapan
Hakim Inggris untuk perbuatan-perbuatan di luar negeri yaitu syarat
actionability dan justifiability. Syarat actionability berarti bahwa seorang
penggugat dihadapan pengadilan Inggris harus dapat membuktikan bahwa tindakan
sengketa tergugat apabila dilakukannya di dalam wilayah Inggris akan merupakan
suatu perbuatan tort pula yang membawa kewajiban membayar ganti rugi, sedangkan
syarat justifiable mengaitkan suatu kepada lex locus delicti. Perbuatan yang
disengketakan harus juga merupakan PMH di tempat dimana ia dilakukan. Kedua
syarat tersebut hampir mendekati pemakaian dari lex fori akan tetapi dengan
sedikit perlunakan untuk melindungkan tergugat yang perbuatannya adalah
justifiable pada tempat dimana dilakukannya.
- Hukum yang Berlaku Menurut Teori Lex Loci Delicti Commissi Dengan Pelembutan
Pada latar belakang semua keberatan–keberatan yang diajukan terhadap teori
klasik mengenai Lex Loci Delicti Commissi Nampak ketidakpuasan dengan sifat
kaku (rigide) yang mengakibatkan dipergunakan kaidah klasik itu secara
werktuiglijk (automaticsh) oleh pihak hakim sebagai hard and fast rule tanpa
memperlihatkan keadaan sekitarnya peristiwa bersangkutan, tak adanya souplesse
atau soepelheid. Dengan demikian diperoleh suatu system yang soepel. Hakim tak
terikat kepada kaidah penunjuk yang kaku melainkan ia bias selalu mengadakan
perubahan seperlunya dalam nuanceling dan evaluasi beratnya tiap-tiap titik
taut yang bersangkutan. Sang hakim dapat memperlihatkan antaranya: tempat
dimana dilangsungkan, tempat dimana dilaksanakan hubungan hukum,
kewarganegaraan para pihak, tempat kediaman mereka sebagainya. Semua ini dapat
ditentukan untuk tiap peristiwa, khusus (individueel,bijzonder), satu dan lain
dalam hubungan dengan sengketa yang timbul antara para pihak yang berkontrak.
Sistem yang berlaku untuk hukum kontrak ini dapat juga dipergunakan bagi PMH.
- Cara Menentukan Tempat Suatu Perbuatan Melawan Hukum (Locus)
Locus perlu ditentukan karena kaidah petunjuk lex loci delicti diakaitkan
kepada tempat . Locus menjadi penting berkenaan dengan yuridiksi hakim, karena
sengkali perkara harus diajukan dalam wilayah dimana telah terjadi tort
tersebut. Bahwa salah satu keberatan terhadap teori atau kaidah klasik
tradisional acapkali tempat sukar untuk ditentukan, terutama apabila lebih dari
satu tempat yang turut diperkaitkan atau apabila, sama sekali tidak ada hukum
setempat yang berarti. Juga telah diadakannya berbagai konsepsi tertentu untuk
menghindarkan kesulitan-kesulitan yang timbul karena penentuan locus. Berbagai
teori dikemukakan untuk memecahkan persoalan, yaitu tempat terjadinya kerugian,
tempat dilakukannya perbuatan dan kombinasi dengan kebebasan memilih.
DAFTAR PUSTAKA
Darwis Muhammad. Hukum Antar Tata Hukum (Pekanbaru :
Suska Press, 2013).
Djamali R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2012).
Gautama Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia (Bandung : Bina Cipta, 1977).
Gautama Sudargo. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar (Jakarta
: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993).
Gautama Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B,
Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995).
Purbacaraka Purnadi dan Agus Broto
Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997).
Seto Bayu. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001).
Suherman dan Ade Maman. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
[1] R. Abdoel Djamali. Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012)
hlm. 67.
[2] Ibid. hlm. 69
[3]
Ibid. hlm. 71.
[4]
Ibid. hlm. 72.
[5] Ibid. hlm. 73.
[6] Ibid. hlm. 74.
[7]
Ibid. hlm 75.
[8]
Ibid. hlm 76.
[9]
Suherman, Ade Maman. Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm.
10-11.
[10]
Ibid. hlm 12-13
[11] Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan Suatu Pengantar (Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1993) hlm. 13.
[12] Bayu Seto. Dasar-Dasar
Hukum Perdata Internasional ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001). hlm. 6.
[13] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (Bandung : Bina
Cipta, 1977). hlm. 7.
[14]
Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan
Suatu Pengantar. Op.Cit. hlm. 11.
[15]
Ibid. hlm. 11-12.
[16]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia. Loc. Cit.
[17]
Ibid. hlm. 19
[18]
Sudargo Gautama. Hukum Antar Golongan
Suatu Pengantar. Op.Cit. hlm. 11.
[19]
Muhammad Darwis. Hukum Antar Tata Hukum (Pekanbaru
: Suska Press, 2013) hlm. 4
[20]
Ibid.
[21]
Ibid. hlm. 5.
[22]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 8 – 9.
[23] Ibid. hlm. 12.
[24] Ibid.
[25]
Muhammad Darwis. Op.Cit. hlm. 4
[26]
Ibid.
[27]
Ibid. hlm. 12.
[28]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 15.
[29]
Muhammad Darwis. Op.Cit. hlm. 13.
[30]
Ibid.
[31]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata
Internasional Indonesia. Op. Cit. hlm. 15-16.
[32]
Ibid. hlm. 18
[33]
Ibid.
[34]
Ibid. hlm. 18-19.
[35]
Ibid. hlm. 19.
[36]
Ibid.
[37] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 15.
[38] Ibid. hlm. 16.
[39] http://pustakailmuhukum.blogspot.co.id/p/pengantar-hukum-indonesia.html. Pengantar Hukum Indonesia
diakses
pada 2013.
[40]
Ibid.
[41]
Bayu Seto. Op. Cit. hlm. 61.
[42]
Ibid. hlm. 62-70
[43] Ibid. hlm. 75.
[44] Ibid. hlm. 76-84.
[45] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia. Op. Cit. hlm. 50.
[46]
Ibid. hlm. 52.
[47] Purnadi Purbacaraka dan Agus Broto
Susilo, Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional suatu Orientasi,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997). hlm. 22.
[48] Ibid. hlm 20.
[49] Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 40.
[50] Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional
Indonesia. Op. Cit. hlm. 85-87.
[51]
Pasal 57 dan pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[52]
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[53]
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[54]
Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[55]
Sudargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, (Bandung: Penerbit Alumni, 1995)
hlm.86.
[56]
Ibid. hlm. 80-81.
[57]
Ibid. hlm. 91.
[58]
Penjelasan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan.
[59]
Pasal 25 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2001 tentang kewarganegaraan.
[60]
Sudargo
Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia, B, Jilid III Bagian I. Op. Cit. hlm. 66
[62]
Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 56.
[63]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op.
Cit. hlm. 95-97.
[64]
Ibid. hlm. 98-100
[65]
Ibid. hlm. 107-108.
[66]
Ibid. hlm. 102.
[67]
Ibid.
[68]
Ibid. hlm. 103.
[69]
Ibid.
[70]
Ibid. hlm. 125
[71]
Ibid. hlm. 129.
[72]
Muhammad Darwis. Op. Cit. hlm. 54.
[73]
Ibid.
[74]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op.
Cit. hlm. 131.
[75]
Ibid.
[76] Ibid. hlm. 168.
[77] Ibid. hlm. 169.
[78] Bayu Seto. Op. Cit. hlm. 87-90.
[79]
Sudargo Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia (1977). Op.
Cit. hlm. 173.
[80]
Ibid. hlm. 177-178.
[81] Ibid. hlm. 179.
[82] Ibid. hlm. 180-181.
[83] Ibid. hlm. 183-184.
[84] Ibid. hlm. 185-187.
[85] Ibid. hlm. 133.
[86] Ibid. hlm. 134.
[87] Ibid. hlm 142.
[89]
Ibid. hlm. 143.
[90]
Ibid. hlm 144.
[91]
Ibid. hlm. 145-146.
[92] Ibid. hlm. 148.
[93] Ibid.
[94] Ibid. hlm. 149.
[95] Ibid.
[96] Ibid. hlm. 150.
[97] Ibid. hlm. 160
[98] Ibid. hlm. 165.
[99]
Perbuatan Melawan Hukum http://andina-sari.blogspot.co.id/2010/06/pmh.html
diakses pada tanggal 28 Juni 2010.
[100]
Ibid.
[101]
Ibid.