Selasa, 21 Juni 2016

MAKALAH HUKUM PENITENSIER: PENJATUHAN SANKSI PIDANA PENJARA SEBAGAI UPAYA PENJERAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI


PENJATUHAN SANKSI PIDANA PENJARA SEBAGAI UPAYA PENJERAAN TERHADAP PELAKU
 TINDAK PIDANA KORUPSI

OLEH 
JONI ALIZON, SH., MH



PENJATUHAN SANKSI PIDANA PENJARA SEBAGAI UPAYA PENJERAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang

Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.     Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

1.2.  Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yaitu:
1. Apakah pidana penjara sudah berfungsi sesuai dengan tujuan pemidanaan?
2. Bagaimana implementasi pidana penjara sebagai upaya penjeraan terhadap pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi?
3. Apakah hanya pidana penjara yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin penulis capai dalam pembuatan makalah ini adalah untuk memperluas wacana keilmuan tentang dunia tulis menulis dan mengasah keterampilan penulis sebagai mahasiswa.
Diharapkan dengan penulisan makalah ini memperkokoh keyakinan dan khazanah keilmuan penulis dalam mata kuliah Hukum Panintensier sebagai mata kuliah yang lebih spesifik dijurusan Ilmu Hukum untuk memperkuat dasar keilmuan dalam bidang hukum khususnya untuk pembahasan ”Pidana Penjara bagi Koruptor”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA / KERANGKA TEORI

Beberapa tinjauan pustaka tentang pidana penjara dan korupsi:
Menurut Roeslan Saleh (1989: 62), bahwa pidana penjara, adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Sedangkan menurut PAF. Lamintang (1993: 69) bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Permasyarakatan dengan mewajibkan orang tersebut agar mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Permasyarakatan yang dikaitkan denga suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
Dr. Andi Hamzah, S.H.. (1993: 38) menyatakan:“Pidana Penjara disebut dengan pidana hilang kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti.                                                
a.      Hak untuk memilih dan dipilih,
b.     Hak untuk memangku jabatan public,
c.      Hak untuk bekerja pada perusahaan-perusahaan,
d.      Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu,
e.      Hak untuk mengadakan asuransi hidup,
f.       Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan,
g.      Hak untuk kawin,
h.      Dan beberapa hak sipil yang lain.
          Mencermati kalimat “Pidana Penjara” mengandung pengertian bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana belum berubah, karena Penjara berasal dari penjoro (Jawa) yang berarti taubat atau jera, di penjara atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9).

A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah(2006:284) menegaskan bahwa pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan .
Ruslan shaleh (1989:,62, bahwa pidana penjara pidana utama didalam pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan seumur hidup atau sementara waktu). Sedangkan menurut PAF Lamintang (1988: 69) bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebbasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
            Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption penyuapan; corruptore  merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
 2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pidana Penjara dan Tujuan Pemidanaan.

1. Pidana Penjara

            Pidana penjara sudah dikenal sejak abad XVI atau abad XVII akan tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini. Pidana penjara pada masa itu dilakukan dengan menutup para narapidana di menara-menara, puri-puri, di benteng-benteng dan tempat lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi hukuman mati akan tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk sementara waktu maupun yang untuk seumur hidup.[1]
            Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan.[2]
            Dalam pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana, yakni pidana penjara dan kurungan . sifatnya menghilangkan dan atau membatasi kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan didalam nya wajib untuk tunduk,mentaatinya dan menjalankan semua peraturan tata tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh.[3]
            Stelsel penjara, menurut pasal 12 (1) dibedakan menjadi (a) pidana penjara seumur hidup dan (b) pidana penjara sementara waktu.
            Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yakni:
  1. sebagai pidana alternative dari pidana mati, seperti pasal 104, 365 ayat 4, 368 ayat 2)
  2. berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, akan tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya pasal 106, 108(2).
Pidana penjara sementara waktu, paling rendah 1 hari dan paling lama 15 tahuun(12 ayat2). Pidana penjara sementara dapat dijatuhkan lebih dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni dalam hal yang ditentukan dalam pasal 12 ayat 3 yakni:
  1. dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun. Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu.
  2. Dalam hal telah terjadinya perbarengan, pengulangan, kejahatan-kejahatan yang berkaiatan dengan pasal 52.
Jadi jelas, untuk pidana penjara sementara secara waktu tidak boleh ebih dari 20 tahun secara berturut-turut (pasal 12 ayat 4)[4]
            Menurut pasal 13 KUHP, nara pidana itu dibagi dalam beberapa kelas, pembagian kelas ini diatur lebih lanjut dalam pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:
  1. kelas I, yaitu bagi narapidana penjara seumur hidup dan narapina penjara sementara yang membahayakan orang lain/ masyarakat.
  2. Kelas II, yaitu:
1)     bagi narapidana penjara yang dipidana penjara lebih dari 3 bulan yang tidak termasuk kelas I tersebut diatas.
2)     Bagi narapidana yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikan dari kelas pertrtama . bagi narapidana kelas I jika kemudian ternyata berkelakukan baik, maka ia dapat di naikan ke kelas II
3)     Narapidana yang dipidana sementara yang karena alas an pelanggaran –pelanggaran tertentu, di turunkan menajdi kelas II dan III
  1. Narapidana kelas III yaitu bagi narapidana yang dipidana sementara  yang telah dinaikan dari kelas II , karena telah terbukti berkelakuan baik dan menjadi contoh bagi nara pidana lain.
  2. Kelas VI, yaitu bagi narapidana yang dipidana penjara sementara  paling tinggi 3 bulan. [5]
2. Tujuan Pemidanaan.
Menurut van Hammel arti dari pidana atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah :
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggaran, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara”
Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah: “suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.
1. Absolute atau vergeldingstheorie (vergelden : imbalan).
Dasar hukuman menurut teori absolute atau vergeldingstheorie, adalah kejahatan. Aliran ini timbulnya kira-kira pada akhir abad ke­-18 dan mengajarkan, dasar dari hukuman harus di­cari pada kejahatannya sendiri. Alasan aliran ini untuk menunjuk kejahatan sebagai dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat, bahwa hukuman itu harus dianggap sebagai “pembalasan atau imbalan” (vergelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Berhubung kejahatan menimbul­kan penderitaan pada korban aliran ini berpendapat bahwa haruslah diberikan penderitaan pada orang yang melakukan perbuatan dan menyebabkan penderitaan tadi (leet met vergelden – penderitaan dibalas dengan penderitaan).[6]

2. Relative atau doeltheorien (doel :maksud, tujuan).
Dasar hukuman menurut teori tujuan adalah “tujuan hukuman”, yang menyandarkan hukuman pada maksud atau tujuan hukuman. Dalam teori tujuan terdapat beberapa paham yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
a. Hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan.
b. Mencegah kejahatan
c. Melenyapkan penjahat
Hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat yang disebabkan akibat terjadinya kejahatan. Selain hal tersebut terdapat ajaran yang mengemukakan bahwa tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dalam hal ini terdapat perbedaan paham mengenai maksud dari usaha mencegah kejahatan yaitu:
a. Ada yang menghendaki supaya ditujukan terhadap umum, yang disebut prevensi umum (algemene preventie).
b. Ada yang menghendaki supaya ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan yaitu yang disebut prevensi khusus (speciale preventie).
Di samping perbedaan faham mengenai maksud usaha pencegahan kejahatan terdapat juga perbedaan paham mengenai “cara” guna tercapainya tujuan tercegahnya kejahatan yaitu:
a. Mencegah kejahatan dengan jalan menakuti-nakuti yang ditujukan kepada umum.
b. Mencegah kejahatan dengan jalan memperbaiki penjahatnya agar tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Mengenai “cara” guna mencapai tujuan tercegahnya kejahatan terdapat paham lain sebagai berikut :
a. Mencari tujuan hukuman dalam ancaman hukuman. Aliran ini berpendapat bahwa dengan memberi ancaman hukuman, hendak menghindarkan umum dari perbuatan jahat. Diantaranya adalah Anselm von Feuerbach yang ajarannya dikenal sebagai ajaran “tekanan psychologis” (de psychologischedwang). Namun diakui pula oleh Feuerbach, bahwa ancaman saja tidak cukup, sehingga di samping itu perlu menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman.
b. Mencari tujuan hukuman tidak saja dalam ancaman hukuman tetapi juga menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan hukuman. Dalam hal ini, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman menghendaki agar hukuman dilakukan di tempat umum, ini dimaksudkan agar dengan jalan itu orang lain dapat dicegah dari perbuatan jahat.
Tujuan hukuman adalah untuk melenyapkan orang yang melakukan kejahatan (penjahat) dari pergaulan masyarakat. Menurut paham ini, cara demikian itu perlu karena mungkin orang lain tidak menghiraukan ancaman hukuman sehingga usaha pendidikan atau apapun tidak akan cukup untuk memperbaiki dirinya, karena orang demikian telah mempunyai sifat jahat, sehingga dipandang perlu untuk melenyapkan dari pergaulan masyarakat. Adapun cara melenyapkannya adalah dengan cara memberikan hukuman yang lama misalnya seumur hidup, dan dengan jalan menyingkirkannya dari masyarakat. Dalam hal ini cara mutlak adalah dengan hukuman mati.
3. Verenigingstheorien (teori gabungan)
Teori gabungan, aliran teori ini mencakup dasar hubungan dari absolute teori dan relativer teori. Hal ini berarti bahwa menurut ajaran ini dasar hukuman terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan dan di samping itu juga dasarnya adalah tujuan dari hukuman (pidana).
Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemikiran itu ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para pemikir atau diantara para penulis.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan yaitu:
1. Untuk memperbaiki pribadi dan penjahatnya sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan, dan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan­ yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
Simons berpendapat, bahwa para penulis lama pada umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan disamping melihat hakekat dari suatu pemidanaan itu sebagai pembalasan. Simons juga merasa yakin bahwa hingga akhir abad kedelapan belas, praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.[7]







B Pidana Penjara Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
           
            1. Unsur-Unsur, Jenis-Jenis dan Kondisi yang Mendukung Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere: busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.[8]
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang Mendukung Munculnya Korupsi
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari
pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.[9]

2. Pidana Penjara Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Penjatuhan Pidana penjara Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
 4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.[10]
                        Sanksi yang paling dominan untuk koruptor nampaknya masih sanksi penjara, padahal apa gunanya memenjarakan para koruptor kalau justru harta hasil korupsi itulah yang menjadi insentif terbesar para koruptor untuk melakukan kejahatan korupsi. dan sanksi pengembalian harta negara yang telah diambil oleh terpidana korupsi hanyalah sanksi tambahan dan seandainya harta benda terpidana tidak mencukupi, maka diganti dengan penjara.[11]
            mengapa harus berfokus pada sanksi penjara kalau ada alternatif lain yang lebih baik? Kita tahu fungsi korupsi yang utama adalah memperkaya para pelakunya. Seandainya korupsi tidak menguntungkan, tidak mungkin ada orang yang cukup berani untuk melakukannya. Perampasan harta dan pengembalian kerugian negara seharusnya menjadi sanksi pokok yang wajib digalakkan dalam memberantas korupsi dibanding berfokus pada penjara.
Kita sudah tahu bagaimana para narapidana yang kaya hidup dengan sungguh layak di penjara. Terakhir bahkan ada stasiun televisi yang menyiarkan bagaimana suatu penjara bisa punya ruang karaoke mewah. Kalau sistem penjara kita bisa dibeli oleh orang-orang yang punya banyak uang lalu apa gunanya ada penjara? Dimana efek sanksinya? Belum lagi fakta bahwa sanksi penjara ini bisa dikurangi dengan berbagai metode macam grasi dan remisi, tentu saja penjara semakin kehilangan makna.
Mari kita ambil contoh kasus Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Menurut berita ini, total harta yang berhasil diraup oleh Syaukani melalui korupsi adalah sekitar Rp 93 milyar, namun yang berhasil dikembalikan hanya sekitar setengahnya, cuma Rp49,6 milyar. Dan setelah itu ia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dan 6 bulan. Buat saya ini suatu kesia-siaan. Memasukkan Syaukani ke penjara saja sudah membebani uang negara untuk memelihara ia di sana, harta korupsi pun tak bisa kembali utuh. Belum lagi bahwa masa tahanan yang cuma 2 tahunan itu bisa dianggap kurang mencerminkan rasa keadilan.
Kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada yang bisa mengukur berapa jangka waktu pemenjaraan yang adil untuk suatu kasus korupsi. Yang bisa diukur dengan mendekati kepastian adalah jumlah kekayaan negara yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi dan jumlah sanksi finansial yang dapat dijatuhkan. Kenapa kita tidak fokus pada yang pasti-pasti saja?[12]





C Sanksi Pidana Selain Penjara Bagi Koruptor

Hukuman berat sangatlah penting untuk memunculkan efek jera dan ketakutan. Tapi, sanksi yang berat itu haruslah didukung oleh sangsi administratif dan perdata. Hal itu mestilah satu rangkaian dengan keinginan kuat pemerintah memberantas korupsi, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan preventif yang terpadu disertai reformasi birokrasi.
1. Pidana Mati
Sebetulnya Indonesia adalah negara yang menganut hukuman mati untuk koruptor, meskipun pada prakteknya belum ada seorang pun yang dieksekusi karena kejahatan ini. Ketika hukuman penjara dan denda ternyata terbukti tidak mampu menekan kejahatan korupsi, yang malahan cenderung kian nekat dan semakin gawat merongrong keuangan negara, maka muncul kembali seruan-seruan agar hukuman mati benar-benar diterapkan.
            UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain kepada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam, atau dalam keadaan tertentu.[13]
Cina adalah contoh utama negara yang menerapkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan ekonomi dan korupsi. Kebijakan tersebut diambil setelah terlebih dulu dilakukan pemutihan terhadap semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum 1998. Jadi, semua pejabat yang korupsi dianggap bersih. Akan tetapi, begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan tersebut, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman mati.Hasil kebijakan yang super tegas tersebut, banyak kalangan menilai, Cina sekarang menjadi negara bersih.[14]

2. Perampasan Harta Korupsi

Perampasan harta terpidana korupsi oleh negara dimana si terpidana tidak dapat membuktikan bahwa asal usul harta tersebut bukan merupakan harta yang bersumber dari kegiatan korupsi. Aturan mengenai jenis sanksi ini diatur dalam Pasal 38 B Undang-Undang No. 20/2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan aturannya sendiri sudah sangat luas, mencakup semua harta dari terpidana korupsi yang tidak termasuk dalam dakwaan terhadapnya tapi diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi.
UU Korupsi kita juga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana atau ahli warisnya dalam hal masih ada harta yang belum bisa dibuktikan sumbernya setelah putusan pidana berkekuatan hukum tetap[15]. Tapi lagi-lagi, kenapa pelaksanaannya jarang sekali terdengar, atau malah mungkin belum pernah terdengar?
UU Korupsi sudah menyediakan sanksi alternatif yang menurut saya lebih tepat. Akan jauh lebih baik pula seandainya sanksi pengembalian harta negara menjadi sanksi utama dan bukan sanksi tambahan. Korupsi karena harta, dibasmi pun juga dengan cara mengambil harta itu.Sebaliknya penjara justru harus dikurangi. Saya tekankan lagi, tidak ada gunannya memenjarakan koruptor kalau harta negara yang hilang tidak kembali. Efek jera? Tidak ada efek jera kalau mereka masih punya harta untuk membeli penjara bahkan kebebasan mereka sendiri.
Pada prinsipnya, inti penegakan hukum pidana terletak pada 2 pilar, yaitu:
  1. Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu di lapangan.
  2. Pemberian sanksi yang memberikan insentif paling efektif untuk mencegah tindak pidana yang bersangkutan. Terkait dengan pilar kedua, untuk setiap tipe kejahatan harus dipikirkan metode sanksi yang paling efektif. Tidak bisa satu solusi untuk menyelesaikan semua tipe pidana, dalam hal ini penjara
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kajian lebih lanjut adalah bagaimana istilah pidana penjara ini di di ganti menjadi “Pidana Hilang Kemerdekaan Bergerak” yang kemudian melahirkan suatu Sistem pemidanaaan yang harus berubah tidak lagi berorientasi pada membuat pelaku menjadi jera akan tetapi lebih berorientasi pada Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk memperbaikinya agar hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari Sistem Pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Sehingga di tinjau dari sistem kelembagaan, cara pembinaan dan petugas Pemasyarakatan merupakan bagian akhir yang tak terpisahkan dari satu proses penegakkan hukum. Oleh sebab itu sudah seharusnya oleh menyamakan visi dan misi serta persepsi, sehingga tujuan dari pada penegakkan hukum akan tercapai.
Menjatuhi hukuman penjara bagi koruptor ternyata  tidak mendatangkan efek jera bagi calon koruptor lainnya. Sedangkan menjatuhi  mati bagi koruptor masih menjadi debatable. Semestinya sanksi yang diberikan  adalah melucuti semua harta kekayaannya.
Untuk memunculkan efek jera dan ketakutan, berbagai pihak mewacanakan hukuman mati bagi koruptor. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui usulan penerapan hukuman mati bagi terpidana korupsi dan mendorong hakim pengadilan Tipikor untuk berani mengimplementasikannya.
Namun, hukuman berat saja tidak cukup untuk membunuh korupsi secara pasif. Perlu kebijakan pemerintah yang lebih tegas, terpadu, dan konfrontatif terhadap koruptor. Contoh negara-negara yang sukses memberantas korupsi bisa kita jadi rujukan.



B. Rekomendasi dan Saran

Koruptor selama ini hanya (kena) hukuman 3 atau 4 tahun, lebih ringan dibandingkan kriminal biasa. Padahal korupsi merugikan banyak orang sedangkan kriminal biasa bersifat personal. Hukuman penjara bukan lagi momok menakutkan bagi para koruptor. Kini, para terpidana bisa mendapat remisi dengan mudah bahkan pengampunan (grasi) dari presiden. Menguras habis harta koruptor bisa jadi alternatif hukuman.
Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus memberikan efek jera bagi mereka yang melakukannya dan mereka yang akan melakukannya, pidana penjara saja tidak cukup bagi mereka. Saya kira hukuman matilah yang paling tepat terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan penegak keadilan harus bisa mengimplementasikan hukuman mati bagi koruptor, jika Negara ini mau bersih dari koruptor.


Penulis menyadari bahwa kajian ini belum begitu sempurna, baik dari segi ilmiah maupun dalam materi, susunan tata bahasanya. mungkin  dalam penuyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan dan kesalahan Untuk itu segala kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini akan selalu penulis harapkan.
           


[1] Tolib setiady,SH,MM,MPd, , Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (bansung: alfabeta, 2010), hal .93
[2] A.Z. Abiding Farid dan A. Hamzah. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier.(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2008 ), hal. 286.

[3] Drs. Adami Chazawi,SH,.Pelajaran Hukum Pidana, cet I. (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002) hal.32
[4]  ibid, hal 34
[5] ibid, hal. 37
[6] Tolib setiady,SH,MM,MPd, loc cit, hal 53.
[7] Ibid, hal. 55-59
[10] Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
[13] Hartanti, Evi, S.H, Tindak Pidana Korupsi. (Sinar Grafika : Jakarta, 2005), hal 62
[15] Marpaung, Leden, S.H.. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan Pemecahannya Bagian kedua. ( Jakarta Sinar Grafika,1992 ), hal 136.