PENJATUHAN SANKSI PIDANA
PENJARA SEBAGAI UPAYA PENJERAAN TERHADAP PELAKU
TINDAK PIDANA KORUPSI
OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
PENJATUHAN SANKSI PIDANA PENJARA SEBAGAI UPAYA
PENJERAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari
menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap
sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk
kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi
dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan
masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah
terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa
kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana
pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana
lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia
ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi
baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia
sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu
bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman
penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan
masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak
korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan
jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional
serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa
korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan
suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa
tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H.,
1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan
akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke
permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker
ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga
tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN.
Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui
dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1.
Undang-undang
nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah yaitu:
1. Apakah pidana penjara sudah
berfungsi sesuai dengan tujuan pemidanaan?
2. Bagaimana implementasi
pidana penjara sebagai upaya penjeraan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi?
3. Apakah hanya pidana penjara yang dapat memberikan efek jera bagi pelaku
tindak pidana korupsi?
1.3.Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin penulis capai dalam pembuatan makalah ini adalah
untuk memperluas wacana keilmuan tentang dunia tulis menulis dan mengasah
keterampilan penulis sebagai mahasiswa.
Diharapkan dengan penulisan makalah ini memperkokoh keyakinan dan
khazanah keilmuan penulis dalam mata kuliah Hukum Panintensier sebagai mata
kuliah yang lebih spesifik dijurusan Ilmu Hukum untuk memperkuat dasar keilmuan
dalam bidang hukum khususnya untuk pembahasan ”Pidana Penjara bagi Koruptor”
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA / KERANGKA TEORI
Beberapa tinjauan
pustaka tentang pidana penjara dan korupsi:
Menurut
Roeslan Saleh (1989: 62), bahwa pidana penjara, adalah pidana utama diantara
pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk
seumur hidup atau untuk sementara waktu.
Sedangkan menurut
PAF. Lamintang (1993: 69) bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu pidana
berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan
dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Permasyarakatan dengan
mewajibkan orang tersebut agar mentaati semua peraturan tata tertib yang
berlaku di dalam Lembaga Permasyarakatan yang dikaitkan denga suatu tindakan
tata tertib bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut.
Dr. Andi Hamzah,
S.H.. (1993: 38) menyatakan:“Pidana Penjara disebut dengan pidana hilang
kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian,
tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti.
a.
Hak untuk memilih
dan dipilih,
b.
Hak untuk memangku
jabatan public,
c.
Hak untuk bekerja
pada perusahaan-perusahaan,
d.
Hak untuk mendapat
perizinan-perizinan tertentu,
e.
Hak untuk
mengadakan asuransi hidup,
f.
Hak untuk tetap
dalam ikatan perkawinan,
g.
Hak untuk kawin,
h.
Dan beberapa hak
sipil yang lain.
Mencermati kalimat “Pidana Penjara” mengandung pengertian
bahwa tata perlakuan terhadap Narapidana belum berubah, karena Penjara berasal dari penjoro (Jawa) yang berarti taubat atau
jera, di penjara atau dibuat jera (Koesnoen, RA, 1961 : 9).
A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah(2006:284) menegaskan bahwa pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana
kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga
berupa pengasingan .
Ruslan shaleh (1989:,62, bahwa pidana penjara pidana utama didalam
pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan seumur
hidup atau sementara waktu). Sedangkan menurut PAF Lamintang (1988: 69) bentuk
pidana penjara adalah merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebbasan
bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut
dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati
semua peraturan tatatertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar
peraturan tersebut.
Dalam ensiklopedia Indonesia
disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption penyuapan; corruptore merusak) gejala dimana para pejabat,
badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan
yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan
keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau
diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 3).
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pidana Penjara dan Tujuan Pemidanaan.
1. Pidana Penjara
Pidana penjara sudah dikenal sejak abad XVI atau abad XVII akan
tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini. Pidana penjara pada masa itu
dilakukan dengan menutup para narapidana di menara-menara, puri-puri, di benteng-benteng
dan tempat lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi hukuman mati akan tetapi
kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan,
baik yang untuk sementara waktu maupun yang untuk seumur hidup.[1]
Pidana
penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana
kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga
berupa pengasingan.[2]
Dalam
pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana hilang kemerdekaan bergerak, yakni pidana,
yakni pidana penjara dan kurungan . sifatnya menghilangkan dan atau membatasi
kemerdekaan bergerak, dalam arti menempatkan terpidana dalam suatu tempat
(lembaga pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bebas untuk keluar masuk dan
didalam nya wajib untuk tunduk,mentaatinya dan menjalankan semua peraturan tata
tertib yang berlaku, maka kedua jenis pidana itu sesungguhnya berbeda jauh.[3]
Stelsel
penjara, menurut pasal 12 (1) dibedakan menjadi (a) pidana penjara seumur hidup
dan (b) pidana penjara sementara waktu.
Pidana
penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat,
yakni:
- sebagai pidana alternative dari pidana mati, seperti pasal 104, 365 ayat 4, 368 ayat 2)
- berdiri sendiri dalam arti tidak sebagai alternatif pidana mati, akan tetapi sebagai alternatifnya adalah pidana penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun, misalnya pasal 106, 108(2).
Pidana penjara sementara waktu,
paling rendah 1 hari dan paling lama 15 tahuun(12 ayat2). Pidana penjara
sementara dapat dijatuhkan lebih dari 15 tahun secara berturut-turut, yakni
dalam hal yang ditentukan dalam pasal 12 ayat 3 yakni:
- dalam hal kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara 20 tahun. Dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu.
- Dalam hal telah terjadinya perbarengan, pengulangan, kejahatan-kejahatan yang berkaiatan dengan pasal 52.
Jadi jelas, untuk pidana penjara
sementara secara waktu tidak boleh ebih dari 20 tahun secara berturut-turut
(pasal 12 ayat 4)[4]
Menurut
pasal 13 KUHP, nara
pidana itu dibagi dalam beberapa kelas, pembagian kelas ini diatur lebih lanjut
dalam pasal 49 peraturan kepenjaraan, yaitu:
- kelas I, yaitu bagi narapidana penjara seumur hidup dan narapina penjara sementara yang membahayakan orang lain/ masyarakat.
- Kelas II, yaitu:
1) bagi narapidana
penjara yang dipidana penjara lebih dari 3 bulan yang tidak termasuk kelas I
tersebut diatas.
2) Bagi narapidana
yang dipidana penjara sementara yang telah dinaikan dari kelas pertrtama . bagi
narapidana kelas I jika kemudian ternyata berkelakukan baik, maka ia dapat di
naikan ke kelas II
3) Narapidana yang
dipidana sementara yang karena alas an pelanggaran –pelanggaran tertentu, di
turunkan menajdi kelas II dan III
- Narapidana kelas III yaitu bagi narapidana yang dipidana sementara yang telah dinaikan dari kelas II , karena telah terbukti berkelakuan baik dan menjadi contoh bagi nara pidana lain.
- Kelas VI, yaitu bagi narapidana yang dipidana penjara sementara paling tinggi 3 bulan. [5]
2. Tujuan Pemidanaan.
Menurut van Hammel arti dari pidana atau straf menurut
hukum positif dewasa ini adalah :
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh
kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggaran, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara”
Menurut Simons, pidana atau straf itu
adalah: “suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan
dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah
dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.
Sehubungan dengan terdapatnya persoalan mengenai
dasar hukuman menurut Kartanegara timbul “Strafrechtstheorie”. Dalam
hal tersebut terdapat 3 macam aliran yaitu:
1. Absolute
atau vergeldingstheorie (vergelden : imbalan).
Dasar hukuman menurut teori absolute
atau vergeldingstheorie, adalah kejahatan. Aliran ini timbulnya
kira-kira pada akhir abad ke-18 dan mengajarkan, dasar dari hukuman harus dicari
pada kejahatannya sendiri. Alasan aliran ini untuk menunjuk kejahatan sebagai
dasar hubungan dengan berpokok pada pendapat, bahwa hukuman itu harus dianggap
sebagai “pembalasan atau imbalan” (vergelding) terhadap orang yang melakukan
perbuatan jahat. Berhubung kejahatan menimbulkan penderitaan pada korban
aliran ini berpendapat bahwa haruslah diberikan penderitaan pada orang yang
melakukan perbuatan dan menyebabkan penderitaan tadi (leet met vergelden
– penderitaan dibalas dengan penderitaan).[6]
2. Relative atau doeltheorien
(doel :maksud, tujuan).
Dasar hukuman menurut teori tujuan adalah “tujuan hukuman”, yang
menyandarkan hukuman pada maksud atau tujuan hukuman. Dalam teori tujuan
terdapat beberapa paham yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Hukuman untuk memperbaiki ketidakpuasan.
b.
Mencegah kejahatan
c.
Melenyapkan penjahat
Hukuman
untuk memperbaiki ketidakpuasan masyarakat yang disebabkan akibat terjadinya
kejahatan. Selain hal tersebut terdapat ajaran yang mengemukakan bahwa tujuan
hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan. Dalam hal ini terdapat
perbedaan paham mengenai maksud dari usaha mencegah kejahatan yaitu:
a. Ada yang menghendaki
supaya ditujukan terhadap umum, yang disebut prevensi umum (algemene
preventie).
b. Ada yang menghendaki
supaya ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan yaitu yang disebut
prevensi khusus (speciale preventie).
Di samping perbedaan faham
mengenai maksud usaha pencegahan kejahatan terdapat juga perbedaan paham
mengenai “cara” guna tercapainya tujuan tercegahnya kejahatan yaitu:
a. Mencegah kejahatan dengan
jalan menakuti-nakuti yang ditujukan kepada umum.
b. Mencegah kejahatan dengan
jalan memperbaiki penjahatnya agar tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Mengenai “cara” guna mencapai
tujuan tercegahnya kejahatan terdapat paham lain sebagai berikut :
a. Mencari tujuan hukuman dalam
ancaman hukuman. Aliran ini berpendapat bahwa dengan memberi ancaman hukuman,
hendak menghindarkan umum dari perbuatan jahat. Diantaranya adalah Anselm von
Feuerbach yang ajarannya dikenal sebagai ajaran “tekanan psychologis” (de
psychologischedwang). Namun diakui pula oleh Feuerbach, bahwa ancaman saja
tidak cukup, sehingga di samping itu perlu menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan
hukuman.
b. Mencari tujuan hukuman tidak
saja dalam ancaman hukuman tetapi juga menjatuhkan hukuman dan pelaksanaan
hukuman. Dalam hal ini, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman menghendaki
agar hukuman dilakukan di tempat umum, ini dimaksudkan agar dengan jalan itu
orang lain dapat dicegah dari perbuatan jahat.
Tujuan hukuman adalah untuk melenyapkan orang yang melakukan kejahatan
(penjahat) dari pergaulan masyarakat. Menurut paham ini, cara demikian itu
perlu karena mungkin orang lain tidak menghiraukan ancaman hukuman sehingga
usaha pendidikan atau apapun tidak akan cukup untuk memperbaiki dirinya, karena
orang demikian telah mempunyai sifat jahat, sehingga dipandang perlu untuk
melenyapkan dari pergaulan masyarakat. Adapun cara melenyapkannya adalah dengan
cara memberikan hukuman yang lama misalnya seumur hidup, dan dengan jalan
menyingkirkannya dari masyarakat. Dalam hal ini cara mutlak adalah dengan
hukuman mati.
3. Verenigingstheorien
(teori gabungan)
Teori
gabungan, aliran teori ini mencakup dasar hubungan dari absolute teori dan
relativer teori. Hal ini berarti bahwa menurut ajaran ini dasar hukuman
terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan dan di samping
itu juga dasarnya adalah tujuan dari hukuman (pidana).
Mengenai tujuan yang ingin dicapai
dengan suatu pemikiran itu ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat
diantara para pemikir atau diantara para penulis.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok
pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan yaitu:
1. Untuk memperbaiki pribadi dan
penjahatnya sendiri.
2. Untuk membuat orang menjadi jera
untuk melakukan kejahatan, dan
3. Untuk membuat penjahat-penjahat
tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan yang lain, yakni
penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki
lagi.
Simons berpendapat, bahwa para penulis
lama pada umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada
tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan disamping melihat hakekat dari
suatu pemidanaan itu sebagai pembalasan. Simons juga merasa yakin bahwa hingga
akhir abad kedelapan belas, praktek pemidanaan itu berada di bawah pengaruh
dari paham pembalasan atau vergeldingsidee dan paham membuat jera atau afschrikkingsidee.[7]
B Pidana Penjara Bagi
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
1. Unsur-Unsur, Jenis-Jenis dan Kondisi yang
Mendukung Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere: busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut
Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar
mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
• perbuatan melawan hukum;
• penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
• memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
• merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain,
diantaranya:
• memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
• penggelapan dalam jabatan;
• pemerasan dalam jabatan;
• ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara);
• menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah
penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk
pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi
berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat
yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang
arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak
jujur pun tidak ada sama sekali.[8]
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk
sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah
ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas|kejahatan.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang Mendukung Munculnya Korupsi
• Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung
jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang
bukan demokratik.
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
• Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih
besar dari
pendanaan politik yang normal.
• Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
• Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan
"teman lama".
• Lemahnya ketertiban hukum.
• Lemahnya profesi hukum.
• Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
• Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.[9]
2. Pidana Penjara Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Penjatuhan
Pidana penjara Pada Perkara Tindak Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor
20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap
terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi
setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara
korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda
paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.[10]
Sanksi yang paling dominan untuk koruptor
nampaknya masih sanksi penjara, padahal apa gunanya memenjarakan para koruptor
kalau justru harta hasil korupsi itulah yang menjadi insentif terbesar para
koruptor untuk melakukan kejahatan korupsi. dan sanksi pengembalian harta
negara yang telah diambil oleh terpidana korupsi hanyalah sanksi tambahan dan
seandainya harta benda terpidana tidak mencukupi, maka diganti dengan penjara.[11]
mengapa harus berfokus pada sanksi penjara kalau ada
alternatif lain yang lebih baik? Kita tahu fungsi korupsi yang utama adalah
memperkaya para pelakunya. Seandainya korupsi tidak menguntungkan, tidak
mungkin ada orang yang cukup berani untuk melakukannya. Perampasan harta dan
pengembalian kerugian negara seharusnya menjadi sanksi pokok yang wajib
digalakkan dalam memberantas korupsi dibanding berfokus pada penjara.
Kita
sudah tahu bagaimana para narapidana yang kaya hidup dengan sungguh layak di
penjara. Terakhir bahkan ada stasiun televisi yang menyiarkan bagaimana suatu
penjara bisa punya ruang karaoke mewah. Kalau sistem penjara kita bisa dibeli
oleh orang-orang yang punya banyak uang lalu apa gunanya ada penjara? Dimana
efek sanksinya? Belum lagi fakta bahwa sanksi penjara ini bisa dikurangi dengan
berbagai metode macam grasi dan remisi, tentu saja penjara semakin kehilangan
makna.
Mari
kita ambil contoh kasus Syaukani, mantan Bupati Kutai Kartanegara. Menurut
berita ini, total harta yang berhasil diraup oleh Syaukani melalui korupsi
adalah sekitar Rp 93 milyar,
namun yang berhasil dikembalikan hanya sekitar setengahnya, cuma Rp49,6 milyar. Dan setelah
itu ia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun dan 6 bulan. Buat saya ini suatu
kesia-siaan. Memasukkan Syaukani ke penjara saja sudah membebani uang negara untuk
memelihara ia di sana,
harta korupsi pun tak bisa kembali utuh. Belum lagi bahwa masa tahanan yang
cuma 2 tahunan itu bisa dianggap kurang mencerminkan rasa keadilan.
Kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada yang bisa mengukur berapa
jangka waktu pemenjaraan yang adil untuk suatu kasus korupsi. Yang bisa diukur
dengan mendekati kepastian adalah jumlah kekayaan negara yang dirugikan akibat
tindak pidana korupsi dan jumlah sanksi finansial yang dapat dijatuhkan. Kenapa
kita tidak fokus pada yang pasti-pasti saja?[12]
C Sanksi Pidana Selain Penjara Bagi Koruptor
Hukuman berat sangatlah penting untuk memunculkan efek jera dan
ketakutan. Tapi, sanksi yang berat itu haruslah didukung oleh sangsi
administratif dan perdata. Hal itu mestilah satu rangkaian dengan keinginan
kuat pemerintah memberantas korupsi, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan
preventif yang terpadu disertai reformasi birokrasi.
1. Pidana Mati
Sebetulnya Indonesia
adalah negara yang menganut hukuman mati untuk koruptor, meskipun pada prakteknya
belum ada seorang pun yang dieksekusi karena kejahatan ini. Ketika hukuman
penjara dan denda ternyata terbukti tidak mampu menekan kejahatan korupsi, yang
malahan cenderung kian nekat dan semakin gawat merongrong keuangan negara, maka
muncul kembali seruan-seruan agar hukuman mati benar-benar diterapkan.
UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU
Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan antara lain
kepada pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, saat bencana alam,
atau dalam keadaan tertentu.[13]
Cina adalah
contoh utama negara yang menerapkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan
ekonomi dan korupsi. Kebijakan tersebut diambil setelah terlebih dulu dilakukan
pemutihan terhadap semua koruptor yang melakukan korupsi sebelum 1998. Jadi,
semua pejabat yang korupsi dianggap bersih. Akan tetapi, begitu ada korupsi
sehari sesudah pemutihan tersebut, pejabat itu langsung dijatuhi hukuman
mati.Hasil kebijakan yang super tegas tersebut, banyak kalangan menilai, Cina
sekarang menjadi negara bersih.[14]
2. Perampasan Harta Korupsi
Perampasan harta terpidana korupsi oleh negara dimana si terpidana
tidak dapat membuktikan bahwa asal usul harta tersebut bukan merupakan harta
yang bersumber dari kegiatan korupsi. Aturan mengenai jenis sanksi ini diatur
dalam Pasal 38 B Undang-Undang No. 20/2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan aturannya sendiri
sudah sangat luas, mencakup semua harta dari terpidana korupsi yang tidak
termasuk dalam dakwaan terhadapnya tapi diduga juga berasal dari tindak pidana
korupsi.
UU Korupsi kita juga memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk
melakukan gugatan perdata kepada terpidana atau ahli warisnya dalam hal masih
ada harta yang belum bisa dibuktikan sumbernya setelah putusan pidana
berkekuatan hukum tetap[15]. Tapi lagi-lagi, kenapa pelaksanaannya jarang sekali terdengar, atau
malah mungkin belum pernah terdengar?
UU
Korupsi sudah menyediakan sanksi alternatif yang menurut saya lebih tepat. Akan
jauh lebih baik pula seandainya sanksi pengembalian harta negara menjadi sanksi
utama dan bukan sanksi tambahan. Korupsi karena harta, dibasmi pun juga dengan
cara mengambil harta itu.Sebaliknya penjara justru harus dikurangi. Saya
tekankan lagi, tidak ada gunannya memenjarakan koruptor kalau harta negara yang
hilang tidak kembali. Efek jera? Tidak ada efek jera kalau mereka masih punya
harta untuk membeli penjara bahkan kebebasan mereka sendiri.
Pada prinsipnya, inti penegakan hukum pidana terletak pada 2 pilar,
yaitu:
- Penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu di lapangan.
- Pemberian sanksi yang memberikan insentif paling efektif untuk mencegah tindak pidana yang bersangkutan. Terkait dengan pilar kedua, untuk setiap tipe kejahatan harus dipikirkan metode sanksi yang paling efektif. Tidak bisa satu solusi untuk menyelesaikan semua tipe pidana, dalam hal ini penjara
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kajian lebih lanjut adalah bagaimana istilah
pidana penjara ini di di ganti menjadi “Pidana Hilang Kemerdekaan Bergerak”
yang kemudian melahirkan suatu Sistem pemidanaaan yang harus berubah tidak lagi
berorientasi pada membuat pelaku menjadi jera akan tetapi lebih berorientasi
pada Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan
untuk memperbaikinya agar hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1995 tentang Pemasyarakatan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari
Sistem Pemidanaan dalam Tata Peradilan Terpadu adalah bagian Integral dari Tata
Peradilan Terpadu (Integrated Criminal Justice system). Sehingga di tinjau
dari sistem kelembagaan, cara pembinaan dan petugas Pemasyarakatan merupakan
bagian akhir yang tak terpisahkan dari satu proses penegakkan hukum. Oleh sebab
itu sudah seharusnya oleh menyamakan visi dan misi serta persepsi, sehingga
tujuan dari pada penegakkan hukum akan tercapai.
Menjatuhi hukuman penjara bagi koruptor
ternyata tidak mendatangkan efek jera bagi calon koruptor lainnya.
Sedangkan menjatuhi mati bagi koruptor masih menjadi debatable.
Semestinya sanksi yang diberikan adalah melucuti semua harta kekayaannya.
Untuk
memunculkan efek jera dan ketakutan, berbagai pihak mewacanakan hukuman mati
bagi koruptor. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui usulan penerapan
hukuman mati bagi terpidana korupsi dan mendorong hakim pengadilan Tipikor
untuk berani mengimplementasikannya.
Namun,
hukuman berat saja tidak cukup untuk membunuh korupsi secara pasif. Perlu
kebijakan pemerintah yang lebih tegas, terpadu, dan konfrontatif terhadap
koruptor. Contoh negara-negara yang sukses memberantas korupsi bisa kita jadi
rujukan.
B. Rekomendasi dan Saran
Koruptor selama ini hanya (kena)
hukuman 3 atau 4 tahun, lebih ringan dibandingkan kriminal biasa. Padahal
korupsi merugikan banyak orang sedangkan kriminal biasa bersifat personal. Hukuman penjara bukan lagi momok menakutkan bagi para koruptor.
Kini, para terpidana bisa mendapat remisi dengan mudah bahkan pengampunan
(grasi) dari presiden. Menguras habis harta koruptor bisa jadi alternatif
hukuman.
Pemberian sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus
memberikan efek jera bagi mereka yang melakukannya dan mereka yang akan
melakukannya, pidana penjara saja tidak cukup bagi mereka. Saya kira hukuman
matilah yang paling tepat terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan penegak
keadilan harus bisa mengimplementasikan hukuman mati bagi koruptor, jika Negara
ini mau bersih dari koruptor.
Penulis menyadari bahwa kajian ini belum begitu sempurna, baik dari
segi ilmiah maupun dalam materi, susunan tata bahasanya. mungkin dalam penuyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan Untuk
itu segala kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini akan
selalu penulis harapkan.
[1] Tolib setiady,SH,MM,MPd, , Pokok-Pokok
Hukum Penitensier Indonesia, (bansung: alfabeta, 2010), hal .93
[2] A.Z. Abiding Farid dan A. Hamzah. Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik
(Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier.(Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2008 ), hal. 286.
[3] Drs. Adami Chazawi,SH,.Pelajaran
Hukum Pidana, cet
I.
(Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2002) hal.32
[4] ibid, hal 34
[5] ibid, hal. 37
[6] Tolib setiady,SH,MM,MPd, loc cit, hal 53.
[7] Ibid, hal. 55-59
[8] http://my.opera.com/a6us/blog/show.dml/4944371 03/11/2010. 20:06 pm
[9] http://supermilan.wordpress.com/2010/08/29/mengapa-harus-penjara-menilik-kasus-pembebasan-para-koruptor/
. 02/11/2010. 14:12 pm
[10] Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
[11] http://click-gtg.blogspot.com/2009/12/pelaksanaan-pidana-penjara-dengan.html
02/11/ 2010. 15:27 pm
[13] Hartanti, Evi, S.H, Tindak Pidana Korupsi. (Sinar Grafika : Jakarta, 2005), hal 62
[14] http://supermilan.wordpress.com/2010/08/29/mengapa-harus-penjara-menilik-kasus-pembebasan-para-koruptor/
. 02/11/2010. 14:12 pm
[15] Marpaung, Leden, S.H.. Tindak Pidana Korupsi : Masalah dan
Pemecahannya Bagian kedua. ( Jakarta Sinar Grafika,1992 ), hal 136.