TINJAUAN YURIDIS
PELAKSANAAN HUKUMAN MATI PASAL 10
KUHP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN UNITED
DECLARATION OFHUMAN RIGHT
OLEH
JONI
ALIZON, SH., MH
DOSEN FAK.
SYARIAH DAN HUKUM UIN SUSKA RIAU
ADVOKAT PADA
KANTOR HUKUM WISMAR RIAU
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemberlakuan pidana
mati menimbulkan pro dan kontra. Perdebatan mengenai perlu tidaknya mempertahankan
pidana mati menghangat semenjak reformasi dengan tumbangnya pemerintah orde
Baru. Dimana perdebatan dipicu dengan dilaksanakannya beberapa eksekusi mati
terhadap pelaku tindak pidana, yang dilakukan terhadap sugiarto, Sanurip,
Ny.Astini, Robat, Ghedek, Ayodia PC dan lain-lainnya, selain itu bertambahnya
terdakwa yang dijatuhi vonis hukuman mati.
Pihak yang pro
dipertahankannya pidana mati didasarkan alasan bahwa pidana mati untuk
mengontrol kejahatan. Masih diperlukan ancaman yang keras, seperti halnya
dengan terpidana mati dan dalam hal penerapan pidana mati tersebut harus
hati-hati, baik dalam kejahatan makar, korupsi, subversi, terorisme dan
psikotropika[1].
Sedangkan yang kontra
pidana mati, didasarkan kepada alasan Negara sebagai pelindung bagi warganya.
Sehingga negara seharusnya tidak boleh dan tidak patut menghukum orang dengan
cara membunuh. Karena itu apabila Negara menjatuhkan pidana mati kepada
seseorang sama artinya dengan memberi contoh kepada orang banyak untuk membunuh[2].
Selain alasan tersebut yang kontra terhadap pidana mati juga didasarkan kepada
alasan terdapat kemungkinan kekhilafan hakim, maka hal itu tidak dapat
diperbaiki lagi setelah pidana dijalankan.[3]
Terlepas adanya
pendapat antara pro dan kontra terhadap pidana mati. Namun kenyataan yuridis
formal pidana mati tercantum didalam pasal 10 KUHP Pidana. Di Indonesia
merupakan pidana pokok urutan pertama dan hukuman mati jenis hukuman terberat
menurut perundang-undangan pidana kita.[4]
Pencantuman pidana mati
dalam KUHP merupakan warisan dari Belanda. Sebagai hukum transitoir yang
didasarkan kepada ketentuan-ketentuan peralihan pasal II aturan peralihan dari
UUD 1945 jo. 142 UUDS jo. Pasal 192 konstitusi RIS jo. Pasal 1 dari pemerintah
bala tentara jepang.[5]
Sedangkan dinegeri belanda itu sendiri pidana mati telah dihapuskan tahun1870.
Di pertahankannya pemberlakuan pidana mati di Indonesia didasarkan kepada
alasan sebagaimana dinyatakan oleh Lemaire, bahwa mempertahankan pidana mati di
Indonesia didasarkan karena Indonesia sebagai negeri jajahan mempunyai ruang
lingkup yang luas, yang pada dasarnya mempunyai keadaan yang berlainan dinegeri
belanda. Dimana bahaya yang kan menggangu ketertiban hukum yang ada di
Indonesia lebih besar.[6]
Berdasarkan alasan
tersebut maka sampai sekarang pidana mati ini masih dipertahankan di Indonesia.
hal ini dapat dilihat dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang
mencantumkan pidana mati, seperti :
1. Kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP), dimana pidana mati dicantumkan dalam
ketentuan pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat (3), 340, 365 ayat (4), 444,
124 bis, 127, 129, 368 ayat (2).
2. UU
No 12 Tahun 1951 tentang senjata api, dimana pidana mati dicantumkan dalam
ketentuan pasal 1 ayat (1)
3. Penetapan
presiden No 5 Tahun 1959 tenta g wewenang jaksa agung/jaksa tentara agung dalam
hal memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan sandang pangan dicantumkan dalam ketentuan pasal 2.
4. Perpu
No 21 Tahun 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana
ekonomi yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) dan (2)
5. UU
No 11/PNPS/1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi, dicantummkan dalam
ketentuan pasal 13 ayat (1) dan (2), pasal 1 ayat (1)
6. UU
No 31/PNPS/1964 Tentang ketentuan-ketentuan pokok tenaga atom, tercantum dalam
pasal 23.
7. UU
No 4 Tahun 1967 Tentang perubahan dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP
bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana
kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadapa sarana/prasarana penerbangan,
yang tercantum dalam pasal 3, pasal 479 huruf (k) dan (o).
8. UU
No 5 Tahun 1997 Tentang psikotoprika, dicantumkan dalm pasal 59 ayat (2)
9. 9.
UU No 22 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, dicantumkan dalam ketentuan Pasal 80
ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat (1), (2), (3).
10. 10.
UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Korupsi, dicantumkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2).
11. 11.
UU No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, dicantumkan dalam ketentuan Pasal
36, 37, 41, 42 ayat (3).
12. 12.
UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dicantumkan
dalam pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, 16.[7]
Hal
ini berbeda jika dibandingkan dengan beberapa Negara lain, sudah tidak
mencantumkan lagi hukuman mati dalam KUHP nya seperti tahun 1847 di Michingan,
tahun 1848 di San Marino, tahun 1849 di Venezuela, tahun 1852 di Rhode Islan,
tahun 1853 di Wiscounsin, tahun 1859 di Toskane, tahun 1864 di Colombia dan
Rumania, 1880 di Costa Rika, tahun 1887 di Maine, tahun 1990 di Italia, tahun
1992 di Lithania, tahun 1962 di Uruguay, 1930 di Chili, tahun 1933 di Denmark,
dan 1941 di New Zealand.[8]
Pelaksanaan
dan dipertahankannya pidana mati ini jika dihubungkan dengan pernyataan hak
asasi manusia, dimana didalamnya tercantum hak dasar yaitu hak untuk hidup maka
secara sepintas lalu pelaksanaan pidana mati secara nyata bertentangan dengan
Hak Asasi Manusia tersebut, dan Indonesia merupakan salah satu Negara yang
mengakui adanya hak asasi manusia itu sebagaimana dicantumkan dalam ketentuan
Pasal 28A Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan:
“Setiap
orang berhak untuk hidup serta mempertahakan hidup dan kehidupannya”.[9]
Pelaksanaan dari hak asasi manusia
tersebut seharusnya menghilangkan hak dari Negara untuk mencabut nyawa
seseorang dengan alasan apapun, akan tetapi dengan masih dicantumkannya pidana
mati maka membuat penulis tertarik melakukan penelitian mengenai pidana mati
ini jika dilihat dari kacamata hak asasi manusia, dengan judul penelitian:
“ TINJAUAN
YURIDIS PELAKSANAAN HUKUMAN MATI PASAL 10 KUHP MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM DAN UNITED DECLARATION OF
HUMAN RIGHT”
- Batasan Masalah
Mengingat keterbatasan
kemampuan penelitian jika dibandingkan dengan luasnya ruang lingkup permasalah
yang ada dalam penelitian ini, maka penulis membatasi pada satu permaslah saja
yaitu: Tentang Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati Pasal 10 Kuhp Menurut
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Dan Declaration Of Human Right
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada
latar belakang tersebut maka penulis mengambil rumusan masalah yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana Pelaksanaan Hukuman Mati menurut pasal 10 KUHP?
2. Bagaimana pelaksanaan Hukuman Mati menurut Undang-undang Nomor 39 tentang HAM dan United declaration of human right?
D. Tinjauan Pustaka
Hukum
pidana (nasional maupun internasional) merupakan tranformasi dari pelanggaran
hak asasi manusia yang digolongkan sebagai kejahatan atau tindak pidana dan
karena itu disertai dengan sanksi pidana, dimana bertujuan untuk menegakkan hak
asasi manusia.[10]
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan tujuan hukum pidana adalah
untuk melindungi hak asasi manusia.
Sebagai
pelindung hak asasi manusia maka dalam pelaksanaannya seharusnya hukum pidana
tersebut tidak melanggar hak asasi manusia yang dilindungi tersebut. Oleh sebab
itu Hukum Pidana Indonesia yang terkodipikasi dalam KUHP maupun yang diluar
KUHP merupakan hukum yang melindungi hak asasi manusia.
Hak
asasi manusia yang dilindungi tersebut merupakan hak seorangn manusia yang
sangat asasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia diluar dirinya atau oleh
kelompok atau oleh lembaga-lembaga maupun untuk meniadakannya.[11]
Oleh sebab itu dapat dikatakan hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum
pidana secara global dinyatakan dalam deklarasi hak asasi manusia (Universal
Declaration of Human Rights), diantaranya:
1.
Hak untuk hidup.
2.
Hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan.
3.
Hak untuk mengembangkan diri.
4.
Hak untuk memperoleh keadilan.
5.
Hak untuk kebebasab pribadi.
6.
Hak atas rasa aman.
7.
Hak atas kesejatahteraan.
8.
Hak untuk turut serta dalam
pemerintahan.
9.
Hak wanita.
10.
Hak anak.[12]
Mengenai hak asasi
manusia ini telah diakui dan dilindungi oleh hukum yang berlaku di Indonesia
yang termuat dalam konstitusi yaitu dalam ketentuan Pasal 26 sampai dengan
Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, dan selain dari itu secara tegas hak asasi
manusia juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi
Manusia tersebut merupakan payung dari pelaksanaan perlindungan hak asasi
manusia, sehingga ketentuan perundang-undangan lain tidak boleh bertentangan
dengan peraturan tersebut diatas.
Sebagai
menurut Han Kelsen kaedah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya
didasari atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya, dimana suatu kaedah hukum
merupakan system kaedah secara hirachis didalam Grondrorm (Norma Dasar)
terdapat dasar berlakunya semua kaedah yang berasal dari suatu tata hukum dan
dari Grondnorm itu dapat dijabarkan kaedah hukum dan bukan isinya.[13]
Pernyataan tersebut
dapat dikatakan suatu pernyataan bahwa terhadap
peraturan atau perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dasar, hal ini merupakan asas umum dari pemberlakuan hukum dimana
asas umum dari pemberlakuan hukum tersebut menytakan “peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang
lebih tinggi”. sehingga apabila terjadi pertentangan maka peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tinggi melumpuhkan yang lebih rendah,
dimana asas ini dinamakan lex superior derogate legi inferior.[14]
Sebagaimana yang
dinyatakan diatas, salah satu hak dasar dari manusia adalah hak untuk hidup,
dimana hak ini tidak dapat direnggut oleh siapapun dan oleh apapun. sehingga
hal ini mengindikansikan apapun alasan pembenar tidak dapat merenggut hak untuk
hidup ini. hak ini diakui dan dinyatakan dalam pasl 28 ayat 1 undang-undang
Dasar tahun 1945 dalam ketentuan pasal 28 1 ayat (1) yang menyatakan:
“Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dam
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”[15]
Ketentuan pasal diatas
mencakup beberapa hak yang terdiri dari :
1. hak
untuk hidup
2. hak
untuk tidak disiksa
3. hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
4. hak
beragama
5. hak
untuk idak diperbudak
6. hak
untuk diakui sebagai pribadi dimata hukum
7. hak
untk tidak dituntut atas hukum yang berlaku surut.
Selain dari pada itu ketentuan pasal 28 I undang-undang
dasar 1945 tersebut juda menyatakan secara tegas bahwa hak-hak tersebut diatas
tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan dalam keadaan apapun, sehingga dalam
hal ini tidak terdapat alasan pembenar apapun untuk menjatuhkan pidana mati
terhadap pelaku tindak pidana tertentu.
Selain didasarkan kepada ketentuan konstitusi
(undang-undang dasar 1945) mengenai hak untuk hidup juga dinyatakan secara
tegas dalam ketentuan pasal 9 ayat (1 dan 2) undang-udang N0. 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia yang menyatakan:
“setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf hidupnya”.
“setiap orang berhak untuk hidup tentram, aman damai ,
bahagia, sejahtera lahir batin”
Hak untuk hidup ini berdasarkan penjelasan dari pasal 9
undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asisi manusia diatas tidak berlaku
secara mutlak akan tetapi dilakukan pembatasan-pembatasan dimana hak untuk
hidup dapat hilang dalam kasus-kasus tertentu seperti:
1. kasus aborsi sehingga demi kepentingan nyawa ibunya hak
untuk hidup anak atau janin tersbut dapat dihilangkan.
2. Putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, dimana
pengadilan dapat menghilangkan hak untuk hidup terhadap pelaku tindak pidana
yang diancam dengan hukuman mati.
Jadi berdasarkan ketentuan pasal 9 undang-undang No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut diatas dan dilihat dari ketentuan
pasal 28 I undang-undang dasar 1945 maka hal ini terdapat pertentangan yang
jelas, karena dalam ketentuan pasal 28 I undang-undang dasar 1945 secara jelas
dan tegas dinyatakan hak untuk hidup dan hal lainnya yang dinyatakan dalam
pasal tersebut tidak dapat ditiadakan dalam keadaan apapun, sehingga hal ini
melahirkan konsekuensi bahwa walaupun seseorang melakukan tidak pidana yang
berat tidak dapat dijatuhi hukuman mati yang merupakan hukuman untuk
menghilangkan hak untuk hidup.
Oleh sebab itu pemberlakuan ketentuan KUHP yang
didalamnya mencantumkan hukuman mati, dan juga peraturan perundang-undangan
lainnya, pelaksanaannya menimbulkan sesuatu yang riskan dan teramat rancu atau
saling bertentangan, dengan dapat dihilangkannya hak untuk hidup yang merupakan
hak dasar dari setiap individu secara sah dapat direnggut dengan syarat-syarat
tertentu, seperti melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati, dan
dalam proses pemeriksaan di persidangan telah terbukti akan perbuatan tindak
pidana tersebut.
Apabila didasarkan dari hak untuk hidup maka tujuan dari
pemidanaan yaitu agar memperbaiki kualitas hidup dari sipelaku tindak pidana
dan atau kualitas hidup dari masyarakat, sehingga dapat dikatakan tujuan dari
pemidanaan yaitu:
1.
Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
2.
Untuk membuat orang jera
3.
Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara yang lain,
tidak dapat diperbaiki lagi.[16]
Tujuan dari pemidanaan tersebut diatas sesuai dengan
tujuan hukum pancasila, sebagaimana menurut mochatar kusumaadmadja, yang
menyatakan:
“tujuan hukum berdasarkan cita-cita hukum pancasila,
adalah melindungi manusia secaraa pasif (negatif) dengan mencegah tindakan
sewenang-wenang, dan secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi
kemasyarakatan yang manusia yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung
secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan luas dan
sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaanya secara utuh”[17]
Berdasarkan tujuan dari hukum pancasila tersebut diatas
maka dapat dikatakan titik tolak dari tujuan hukum pancasila adalah melindungi
manusia dan menciptakan masyarakat yang manusiawi, sehingga dengan alasan
apapun negara tidak dapat merenggut nyawa seseorang walaupun hal tersebut
dilakukan secara sah menurut hukum yang berlaku, karena dengan dijatuhkannya
hukuman mati maka dapat dikatan tindakan dari negara tersebut tidak melindungi
manusia dan apabila hukuman mati tersebut dilaksanakan maka pelaksanaan
tersebut bukanlah merupakan tindakan yang manusiawi.
Walaupun pidana merupakan pemberian kesengsaraan,
sebagaimana yang dikatakan oleh P.A.F. Lamintang bahwa starf atau pidana itu
merupakan suatu reaksi atas dilakukannya suatu delik yang telah dinyatakan
sebagai terbukti, berupa suatu kesengajaan untuk memberikan semacam penderitaan
kepada seorang pelaku karena telah melakukan pidana[18].
Akan tetapi penderitaan yang diberikan haruslah sesuai dengan hak asasi manusia
yang telah dikumandangkan secara global untuk dilindungi.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun
yang menjadi tujuan penulis yang harapkan dalam melakukan penelitian adalah
sebgai berikut :
1. Untuk Mengetahui Pelaksanaan Hukuman
Mati Di Indonesia dalam pasal 10
KUHP Dilihat Dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Ham Dan United Declaration Of Human Right.
2. Untuk mengetahui penegakan hukum
terhadap hak asasi manusia (of human rights.)
Selain dari tujuan tersebut
diatas yang ingin penulis capai juga mendapat manfaat antara lain :
1. Untuk menambah dan mengembang wawasan
penulis terhadap hukum pidana mati khususnya di Indonesia.
2. Sebagai sumbangan penulis terhadap
almamater UIN Suska Riau yang kiranya dapat mendukung dan menambah bahan
kelangkapan perpustakaan.
3. Untuk memberikan masukan bagi aparat
penegak hukum Indonesia
F. Metode Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah pokok sebagaimana tersebut diatas, maka penulis menetapkan
metode penelitian sebagai berikut:
- Jenis dan Sifat Penelitian.
a. Jenis
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan cara studi dokumen yakni
berdasarkan literatur serta peraturan yang berkaitan dengan pembahasan
tersebut, namun juga akan dibandingkan dengan pendapat ahli yang ada.
b. Sedangkan
sifat penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu mengambarkan suatu kenyataan
seteliti mungkin terhadap pelaksanaan hukuman mati dilihat dari Hak Asasi
Manusia dan United decleration of human
rights.
- Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
berupa data skunder yang terdiri dari :
- Bahan Hukum Primer : yaitu data pokok penulis berupa pernytaan mengenai hak asasi manusia sebagai acuan dalam menjawab dan atau mendapatkan hasil penelitian.
- Bahan Hukum Sekunder : yaitu sebagai bahan perbandingan yang dilakukan dengan bahan hukum primer, yaitu pendapat para ahli dan teori-teori hukum yang termuat dalam buku-buku.
- Bahan Hukum Tersier : Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam bentuk kamus, jurnal dan lain sebagainya.
- Analis Data dan Penarikan Kesimpulan
Data yang telah
diperoleh berupa pernyataan mengenai hak asasi manusia (decleration of human
right), dipelajari dengan seksama
berdasarkan masalah pokok untuk kemudian disajikan secara deskriptif
dalam suatu rangkaian-rangkaian kalimat yang jelas dan terperinci. Selanjutnya
penulis memperbandingkan sajian data sebagaimana tersebut diatas berdasarkan konsep teoritis yang dikemukakan
oleh para ahli hukum yang terdapat para literature. Para akhirnya penulis akan
menarik kesimpulan secara induktif dengan diawali hal-hal yang bersifat khusus
ke hal-hal yang bersifat umum.
G. Konsep Operasional
Agar tidak terjadi kesalahan
pemahaman terhadap pengerian dalam mengartikan judul dalam penelitian ini maka
perlu rasanya untuk membuat batasan terhadap istilah yang diambil yaitu sebagai
berikut:
Pelaksanaan dapat diartikan
sebagai perbuatan melaksanakan,[19] yang
dimaksud dengan perbuatan melaksanakan disini adalah eksekusi terhadap pidana
mati.
Hukuman mati adalah suatu
hukuman atau vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan (atau tanpa pengadilan)
sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan kepada seseorang dikarenakan
oleh perbuatan.
Indonesia merupakan hukum
dimana masih mempertahankan pidana mati sebagai pemidanaan dalam hukum
pidananya.
Hak Asasi Manusia merupakan
hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang secara global dinyatakan dalam
deklarasi hak-hak asasi manusia.
H. Sistematika Penulisan
Secara
garis besarnya, penulisan penelitian
kelompok ini disusun dalam 4 (empat) bab dan masing-masing bab diuraikan
sebagai berikut :
BAB I : Merupakan
Bab pendahuluan yang berisikan uraian tentang
latar belakang masalah, Rumusan
Masalah, Tinjauan Pustaka, tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian ,
dan sitematika penulisan.
BAB II : Dalam
Bab ini diuraikan tentang tinjauan umum ; sejarah lahirnya the declaration of
human rights, hukum pidana dan sanksi serta hubungannya dengan pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia, sejarah hukuman mati di Indonesia,
Bab Iii: Pada
Bab Ini Terdiri Dari Hasil Penelitian Dan Pembahasan Yang Meliputi; Pelaksanaan
Hukuman Mati Di Indonesia Dilihat Dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM Dan (United Declaration Of Human Right).
Penegakan hukum terhadap hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
BAB IV : Merupakan
Bab Penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan Saran
- Out Line
Bab I Pendahuluan
a. Latar
belakang masalah
b. Rumusan
masalah
c. Tinjauan
pustaka
d. Tujuan
dan manfaat penelitian
e. Metode
penelitian
f. Sistematika
penulisan
g. Konsep
operasional
h. Out
Line
Bab II Tinjauan Umum
a. Sejarah
lahirnya the declaration of human rights
b. Hukum
pidana dan sanksi serta hubungannya dengan
pelanggaran HAM di Indonesia.
c. Sejarah
hukuman mati di Indonesia.
Bab III Hasil penelitian dan pembahasan
a. Pelaksanaan
hukuman mati di Indonesia dilihat dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Ham Dan United Declaration Of Human Right
b. Penegakan hukum terhadap
HAM dalam perundang-undangan di Indonesia
Bab IV Penutup
a. Kesimpulan
b. Saran
BAB II
TINJAUAN
UMUM
- Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab undng-undng hukum
pidana berasal dari Wetboek Van
Strafrecht Voor Nederlandsch Indie dan berlaku di Hindia Belanda
(Indonesia) pada waktu itu berdasakan keputusan raja (Koninklijk Besluit) 15
oktober 1915 No. 33 diatur dalam STB. 1915 no. 732 jo STB. 19117 No.4 97 dan
no. 645, yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1918. Kemudian pada tanggal
26 Februari 1946 (setelah negara RI berdiri) dikeluarkan undang-undang No. 1
tahun 1946 (termuat dalam bertita republik II no. 9) tentang penegasan hukum
pidana yang berlaku di indonesia[20].
- Sejarah Lahirnya The Declaration Of Human Rights
Sejarah mengenai
keberadaan hak asasi manusia pada dasarnya diawali dengan lahirnya manusia itu
sendiri, hak asasi manusia merupakan hak yang mendasar yang diberikan oleh
tuhan ebagai pencipta manusia. Hak-hak tersebut mencakup berbagai macam hak,
akan tetapi yang paling mendasar dan fundamental terdiri dari dua hak yaitu,
hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak
asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit
akan ditegakan.[21]
Jika kita melihat
kepada catatan sejarah kuno maka terbukti bahwa hak asasi manusia merupakan salah satu pemikiran yang sudah ada dan
terbangun sejak zaman Yunani kuno, setiap kekuatan akan berhadapan dengan hukum
keabdian (hukum alam) yang berintikan hak asasi manusia.[22]
Mengenai pemikiran tentang hak asasi manusia ini oleh masyarakat barat pada
umumnya berpendapat bahwa hak asasi manusia lahir ditandai dengan magna charta
pada tahun 1215 di Inggris.
Dimana magna charta
merupakan suatu persetujuan di inggris antara bangsawan dan para pendeta dengan
raja, dimana persetujuan tersebut oleh raja jhon diterima dihadapan pejabat
tinggi militer dan membubuhkan cap pada piagam perjanjian tersebut. Dimana
maksud dari piagam tersebut untuk mengikat raja agar memerintah sesuai dengan
aturan yang berlaku secara umum, tidak semena-mena menurut kemauanya.[23]
Melalui magna charta
inilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab
kepada hukum. Lahirnya magna charta ini kemudian diikiuti oleh perkembangan
yang lebih konkrit, dengan lahirnya bill
of Right di inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium
yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law).
Adaqium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of
right melahirkan asas persamaan.
Para pejuang HAM dahulu
sudah berketetapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun berat resiko
yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak
persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori roesseau (tentang
contract social / perjanjian masyarakat), motesquieu dengan trias politikanya
yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, jhon locke inggris
dan thomas jefferson di amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan
yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM
selanjutnya ditandai dengan munculnya the american declaration of independence
yang lahir dari paham Roesseau dan montesqueu. Jadi, walaupun di prancis
sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di amerika serikat lebih dahulu
mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah
merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah
lahir, ia harus di belenggu.
Selanjutnya pada tahun
1789 lahirlah the french declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi
melahirkan dasarkan the rule of law. Antara lain dinyatakan tidak ada
penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan
yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang
sah. Dinyatakan pula presumtion of innocence, artinya orang-orang yang di
tangkap kemudian di tahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai
ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengeluarkan
pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/ agama yang
dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan
hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam french declaration sudah tercakup semua hak,
meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum yang
asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.
Semua hak-hak ini
setelah perang dunia II (sesudah hitler memusnahkan berjuta-juta manusia)
dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal,
yang kemudian dikenal dengan the universal declaration of human rights yang di
rumuskan oleh PBB pada tahun 1948, dimana menurut the universal declaration of
human rights PBB bertujuan untuk meningkatkan dan mendorong serta menghagai
hak-hak yang bersifat asasi dan kebebasan yang sangat mendasar bagi setiap
orang[24].
- Hukum Pidana Dan Sanksi Serta Hubungannya Dengan Pelanggaraan Hak Asasi Manusia Di Indonesia.
1. Hukum
Pidana Dan Hubungannya Dengan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hukum pidana merupakan
hukum yang berisi larangan dan perintah dimana larangan daan perintah tersebut
apabila tidak dipatuhi oleh seseorang maka orang yang tidak mematuhi hal
tersebut akan diberikan suatu penderitaan yang dikenal dengan pidana.
Pengertian mengenai hukum pidana diberikan oleh W.L.G. Leamaire yang
menyatakan:
“Het
strafrecht is samegesteld uit die norme welke geboden en verboden bevatten en
waaraan (door de wetgever) als sacntie straf, d,i, een bijzonder leed, is
gekoppeld, men kan dus ook zeggen dat het strafrecht het normen stelsel is, dat
depaalt op welke gedra-gingen (doen of niet-doen waar handelen verplicht is )en
onder welke omstandingheden het recht met straf reageert en waarruit deze straf
bestaat”
“hukum pidana itu terdiri dari
norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan –larangan yang (oleh
pembentuk undang-undang) telah dikaitkaan dengan suatu sanksi berupa hukuman,
yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan,
bahwa hukum pidana merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang sama (hal melakukan suatu atau tidak melakukan suatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”[25]
Selain dari pengertian
umum dari hukum pidana tersebut diatas hukum pidana dapat juga diartikan dalam
artian sebagai berikut:
1. Hukuman
pidana dalam artian objektif
Hukuman pidana dalam
artian objektif merupakan hukuman pidana yang berlaku yang disebut dengan hukum
positif atau ius poenali, yang
berisikan larangan larangan untuk berbuat yang disertai dengan sanksi. Oleh
sebab itu hukum pidana dalam artian objektif dapat diartikan sebagai hukum
pidana materil sesuai dengan rumusan hukum pidana menurut W.L.G. Leamaire,
tersebut di atas.
2. Hukum
pidana dalam artian subjektif
Hukum pidana dalam
artian subjektif yang disebut dengan ius
poeniendi sebagai aspek subjektif hukum pidana, merupakan aturan yang
berisikan atau mengenai hak atau kewenangan negara:
a. Untuk
menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
b. Untuk
memberlakukan (sifat memaksa) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan
pidana kepada sipelanggar larangan tersebut; serta
c. Untuk
menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada sipelanggar
hukum pidana tadi[26].
Oleh sebab itu hukum
pidana dalam artian subjektif dapat dikatakan pengesahan kepada negra untuk
menjatuhkan suatu sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang telah diatur dalam
hukum pidana dalam artian objektif, dan juga sebagai pembatsan dari kewenangan
negara untuk memberikan atau menjatuhkan
sanksi tersebut. Jadi berdasarkan penjabaran singkat diatas maka dalam hukum
pidana tersebut berisikan larangan dan perintah yang disertai dengan sanksi dan
juga berisikan bagaimana tata cara menajatuhkan sanksi tersebut, sehingga
tercipta dan tercapai tujuan diadakanya tujuan pidana.
Tujuan diadakannya
hukum pidana yaitu sebagai upaya menciptakan dan memelihara ketertiban umum,
karena hukum pidana itu merupakan hukum publik, yang dapat dikatakan hukum yang
mengatur secara umum. Tujuan dari hukum pidana tersebut sesuai dengan tujuan
hukum menurut L.J. Van Apeldoorn yang menyatakan tujuan hukum adalah untuk
menertibkan masyarakat yang damai dan adil[27].
Mengenai tujuan pidana
yang sejalan dengan tujuan hukum ini dapat juga dilihat dari defenisi hukum
yang menyatakan:
“ hukum adalah
keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia
dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi
lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai
kenyataan dalam masyarakat”[28]
Uapaya untuk mencapai
tujuan hukum secara umum dan tujuan dari hukum pidana tersebut sebagaimana
telah dijelaskan dalam hukum pidana dimana sanksi berupa penderitaan terhadap
pelaku tindak pidana tersebut, dimana apabila larangan maupun perintah yang
dinyatakan dalam hukum pidana tersebut dilanggar maka tindakan pelanggaran itu
disebut dengan tindak pidana. Tindak pidana sebagaimana menurut moeljatno
didefenisikan sebagai perbuatan yang dilarang suatu aturan hukum larangan serta
diancam (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut[29].
Sebagaimana telah
dijelaskan diatas bahwa tujuan hukum pidana maupun tujuan hukum secara umum
adalah ketertiban didalam masyarakat yang dilaksanakan dengan adil sehingga hal
ini memiliki hubungan erat dengan penegakan hak asasi manusia itu sendiri,
dimana dalam deklarasi hak asasi manusia dinyatakan pada dasarnya memiliki
hak-hak dasar yang tidak dapat ditiadakan oleh siapa pun atau lembaga manapun
yang berisikan mengenai hak-hak sebagai berikut:
- Hak untuk hidup.
- Hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
- Hak untuk mengembangkan diri.
- Hak untuk memperoleh keadilan.
- Hak untuk kebebasab pribadi.
- Hak atas rasa aman.
- Hak atas kesejatahteraan.
- Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
- Hak wanita.
- Hak anak.[30]
Upaya pelaksanaan
penegakan dari hak-hak tersebut diatas maka di perlukan penegakan hukum
sehingga dapat dikatakan dari hak asasi manusia sejalan dengan penegakan hukum
pidana khususnya dan hukum pada umumnya, dimana dengan dapat ditegakannya hukum
pidana maka ketertiban dalam masyarakat akan tercapai, sehingga pencapaian ini
menimbulkan konsekuensi tercapainya penegakan hak asasi manusia.
Berdasarkan hal
tersebut dapat diakatakan bahwa penegakan hak asasi manusia bersinergi dengan
penegakan hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, oleh sebab itu
hubungan penegakan hak asasi manusia memiliki hubungan erat dengan penegakan
hukum pidana.
2. sanksi dan hubungannya dengan pelanggaran hak
asasi manusia.
Sanksi dalam hukum
pidana merupakn pemberian pidana kepada pelaku tindak pidana, dimana pidana
yang diberikan berupa reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa yang
sengaja dilimpahkan negara pada pembuatan delik, dimana nestapa yang diberikan
bukan tujuan yang terakhir dicita-citakan masyarakat[31].
Hakikatnya pidana
mempunyai dua tujuan yaitu:
1. Untuk
mempengaruhi tingkah laku
(gedragbeinvvloeding); dan
2. Penyelesaian
konflik (conflictoplossing)
Tujuan pemidanaan jika
kita melihat kepada pendapat-pendapat lama yang dibagi atas dua kelompok yang
terdiri dari teori absolut dan teori pembalasan, dimana penjatuhan pidana
semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.
Teori penjatuhan pidana
obsolut ini apabila dihubungkan dengan penegakan hukum terdapat kemungkinan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia karena dalam penerapan menurut teori
ini pemberian pidana kepada pelaku pidana didasarkan karena pelaku tindak
pidana telah melakukan suatu perbuatan pidana sehingga harus dijatuhi pidana
tanpa harus melihat akibat yang ditimbulkan dengan pemeberian pidana tersebut
(teori ini lebih menekankan kepada pembalasan atas tindakan yang telah dilakukan
oleh terpidana).
Teori ini dalam
pelaksanaannya dibagi atas dua kelompok.
1. Penganut
teori pembalasan murni yang menghendaki penjatuhan pidana harus sepadan dengan
kesalahan terpidana.
2. Penganut
teori pembalasan tidak murni yang dibagi atas:
a. Penganut
teori retributif yang terbatas, dimana pidana yang dijatuhkan tidak cocok dan
sepadan dengan kesalahan, akan tetapi tidak boleh melebihi batas kesalahan
terpidana.
b. Penganut
teori retributif yang distributif, dimana pidana yang diajtuhkan jangan sampai
terkena kepada orang yang tidak bersalah, dimana pidana tersebut tidak harus
sepadan dengan kesalahan[32].
Teori relatif atau
teori tujuan ini berpendapat bahwa penjatuhan pidana hanyalah sarana untuk
melindungi kepentingan masyarakat, sehingga dapat dikatakan tujuan penjatuhan
pidana adalah untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, sehingga dasar
penjatuhan pidana terletak pada tujuan dari pidana itu sendiri, dimana tujuan
dari pidana dalam hukum positif indonesia belum dirumuskan secara tegas, akan
tetapi tujuan pidana dapat dilihat dari rumusan rancangn KUHP pasal 50 ayat (1)
yang menyatakan bahwa pidana bertujuan:
1. Mencegah
dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pemhayoman
masyarakat.
2. Memasyarakatkan
terpidana dengn mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yaang baik daan
berguna;
3. Menyelesaikan
konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
4. Membebaskan
rasa bersalah pada diri terpidana[33].
Berdasarkan tujuan
diatas maka hal ini senada dengan pendapat dari Hulsman bahwa pidaana pada
hakikatnya bukan suatu penderitaan, akan tetapi menyerukan ketertiban[34].dimana
dengan terciptanya ketertiban yang menjadi tujuan hukum maka secara otomatis
telah menegakkan hak asasi manusia sehingga dapat dikatakan hubungan sanksi
dalam hukum pidana dengan penegakan hak asasi manusia adalah sejalan, karena
taanpa adanya sanksi dalam hukum pidana maka akan sulit untuk menegakkan hukum
sehingga tidak akan mungkin tercapai ketertiban sehingga kemungkinan besar akan
terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
- Sejarah Singkat Hukuman Mati
Dalam sejarahnya, hukum mati sudah ada
sejak zaman jahiliyah, akan tetapi secara pati hukuman mati resmi diakui
bersama dengan adanya hukum tertulis, yakni sejak adanya undang-undang Raja
Hamurabi di Babilloni pada abad ke – 18 sebelum masehi. Saat itu ada 25 macam
kejahatan yang diancam hukuman mati[35].
Dahulunya hukuman mati
lebih mengarah kepada hal-hal yang religius dan supranatural dimana orang yang
dihukum mati dianggap disajikan untuk dewa-dewa, atau orang yang dihukum mati
itu sudah dianggap seperti iblis, sehingga harus dilenyapkan dengan cara
menjatuhkan hukuman mati. Dimana hukuman mati tersebut dilakukan dengan
berbagai cara diantaranya yaitu:
1.
Dikubur hidup-hidup
2.
Dipanjung
3.
Dilempar dengan batu ramai-ramai
4.
Diinjak dengan gajah
5.
Dengan kursi lontar, dilontar
keketinggian[36]
Hukuman mati yang
dilakukan dengan eksekusi tersebut diatas dilakukan dihadapan publik
(disaksikan ramai-ramai) dianggap sebagai hukuman yang kejam dan tidak
manusiawi sehingga pada akhir abad -18 hukuman mati di depan publik dinilai
tidak manusiawi lagi. Yang dilakukan alat-alat tertentu, salah satunya seprti
di prancis dengan pisau raksasa untuk memenggal leher terpidana, disentrum
listri, suntikan, gantung[37].
Akan
tetapi dalam perjalanannya hukuman mati mulai ditinggalkan oleh banyak negara
hal ini dapat dilihat dengan banyaknya hukuman mati yang sebelumnya berlaku
pada suatu negara tidak dilaksanakan lagi bahkan sama sekali tidak dicantumkan
dalam peraturan perundang-undangannya, sehingga kini tinggal 64 negara yang
masih mencantumkan pidana mati dalam hukum pidananya termasuk indonesia.
Terdapat ada 92 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh
kategori kejahatan, 11 negara yang telah menghapuskan hukuman mati untuk
kejahahatan pidana biasa, 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati, dan total 133 negara yang
melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati.
- Sejarah Singkat Hukuman Mati Di Indonesia.
Hukuman mati merupakan
jenis hukuman yang tertua didunia, mengenai pelaksanaan pidana mati di
indonesia pada dasarnya telah ada sebelum datangnya penjajah, dimana diterapkan
pada hukum adat yang berlaku didaerah tertentu sehingga hukuman mati tersebut
dalam pelaksanaannya (eksekusi) berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya,
dimana pelaksanaanya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Di
Aceh seorang istri yang melakukan mukah dibunuh dengan lembing atau menumbuk
kepala terpidana didalam lesung.
2. Di
Gayo pencuri, penculik, pembunuh dan penghianat dimana mereka ditemukan dapat
saja ditembak mati.
3. Di
batak jika pembunuh tidak dapat membayar uang salah maka hukuman mati segera
dilaksanakan.
4. Di
minang kabau di kenal hukum balas membalas, siapa yang mencurahkan darah harus
dicurahkan darahnya.
5. Di
Majapahit dalam undang-undangnya tidak mengenal pidana penjara dan kurungan
yang dikenal yaitu:
a. Pidana
mati
b. Pidana
potong anggota badan
c. Pidana
denda
d. Ganti
karugian (panglicawa atau patukucawa)[38]
Pelaksanaan hukuman
mati pada masyarakat adat ini tidak dilakukan secara kaku sebagaimana dalam
hukum positif sekarang ini, hal ini dapat dilihat pemberlakuan pidana mati pada
masyarakat adat batak yang mewajibkan pembunuh untuk membayar sejumlah salah,
dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dipidana mati, maka pidana
segera dilaksanakan[39].
Mengenai tidak
dilakukannya hukumanmati secara kaku dan mutlak pada masyarakat hukum adat ini
dapat juga dilihat masyarakat adat minangkabau dimana terdapat ketentuan “bangun”
(membeli darah) apabila pelaku tindak kejahatan tidak dapat membayar ataupun
keluarga pelaku tidak dapat membayar, bahkan suku dari pelaku tidak dapat
membayar maka penjahat tersebut dapat dibunuh.
Berdasarkan hal
tersebut diatas maka daapat dikatakan hukuman mati yang dianut dan dilaksanakan
pada masyarakat adat sebelum datangnya penjajah merupakan upaya terakhir,
apabila hukuman lain tidak dapat dilaksanakan oleh terhukum, keluarga atau
masyarakat sesukunya. Akan tetapi terdapat juga hukuman mati tidak dapat
diganti dengan hukuman denda dalam masyarakat adat seperti kejahatan terhadap
negara atau terhadap orang-orang yang memerintah, demikian juga mukah dengan
seorang istri raja, maka pidana mati mutlak dilakukan dan tidak dapat
digantikan dengan jenis pidana lanya.[40]
Datangnya para penjajah
maka pelaksaan hukuman mati ini menurut hukum adat hanya dilaksanakan sampai
tahun 1948, dengan keluarnya peraturan hukum pidana yang dikenal dengan nama Intermaire Strafbepalingen akan tetapi
keluarnya peraturan tertulis tersebut tidak menghapus pidana mati akan tetapi
hanya melakukan beberapa perubahan yang terutama hukuman mati tidak lagi
dilakukan dengan cara yang ganas. Jadi dapat dikatakan hukuman mati bukan hasil
dari pembentukan kitab undang-undang hukum pidana yang berasal dari
pemerintahan kolonial Belanda.
Kitab undang-undang
hukum pidana yang mencantumkan pidana mati mulai berlaku pada tahun 1918, dan
pelaksanaan hukum ini dilanjutkan pada zaman penjajahan jepang dan pada zaman
permulaan kemerdekaan yang didasarkan kepada peraturan peralihan pasal II
undang-undang dasar 1945 yang menyatakan:
“
segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Berdasarkan ketentuan
pasal peralihan tersebut maka ketentuan hukuman mati yang tercantum dalam kitab
undang-undang hukum pidana pada masa kemerdekaan masih berlaku, dan sehingga
sekarang dan bahkan di perkuat dan dipertegas dengan pencantuman pidana mati
pada peraturan perundang-undangan yang baru.
Hukuman mati yaang
dilegalkan dengan dicantumkan dalam KUHP sebagai warisan Belanda, dimana di
negeri Belanda itu sendiri hukuman mati telah dihapus pada tahun 1970, akan
tetapi tetap mempertahankan pidana mati di negara jajahan Hindia Belanda
(Indonesia) yang didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut:
1. Keadaan
Indonesia yang khusus dengan penduduk yang beraneka ragam.
2. Wilayah
Indonesia yang begitu luas dan kurangnya personil penegak hukum.
Sampai
pada abad milenium sekarang ini pidana mati di indonesia masih dipertahankan
dalam peraturan perundaang-undangan dan bahkan eksekusi dilaksanakan.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan
Hukuman Mati Di Indonesia
dalam pasal 10 KUHP Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia Dan United Nations Decleration Of Hukamn Rights
Pidana
mati merupakan pidana yang paling berat jika dibandingkan dengan jenis pidana
lainnya, dengan dijatuhinya pidana mati terhadap seseorang maka hal ini
mengakibatkan hilangnya nyawa orang tersebut, dimana didalam ketentuan hukum
pidana Indonesia pidana mati dicantumkan dalam beberapa pasaldan
perundang-undangan.
Pidana
mati jika kita melihat dari sejarahnya pada dasarnya telah dilaksanakan sebelum
masuknya bangsa penjajah, dimana hukuman mati ini diberlakukan ddalam ketentuan
hukum adat, seperti diaceh bahwa pidana mati diberlakukan terhadap seorang
istri yang berzina, hal ini dapat dilihat pada saat sultan berkuasa maka dalam
penjatuhan pidana dapat dijatuhi 5 macam pidana yaitu :
1. Tangan
dipotong (pencuri)
2. dibuuh
dengan lembing
3. dipalang
dipohon
4. dipotong
dagig dari badan terpidana (sajab)
5. ditumbuk
kepala terpidana dilesung[41]
Berdasarkan hal
tersebut diatas maka pada dasanya pidana mati bukan lah warisan dari belanda,
dicantumkannya pidana mati dalam sebagai bagian dari pidana dalam kitab
undang-undang oleh belanda dimana negeri belanda itu sendiri pidanan mati
tersebut telah dihapuskannya hanyalah merupakan penyesuaian hukum positif pada
masa itu dengan hukum adat yang berlaku, hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Daenels bahwa hanya merupakan penyesuaian system pemidanaan
dalam hukum pidana tertulis dengan system pemidanaan dalam huum adat.[42]
Pemberlakuan pidana
mati jika kita lihat dari mulainya berlakukannya kitab undang-undang hukum
pidana yang berlaku diwilayah Indonesia yaitu pada tahun 1866, dimana dalam
ketentuan KUHP tersebut tercantum salah satu jenis pidana yaitu pidana mati.
pidana mati tercantum dalam ketentuan pasal 10 KUHP yang menyatakan jenis
pidana yaitu :
1.
Pidana
Pokok
a. pidana mati
b. pidana penjara
c. piddana kurungan
d. denda
2.
Pidaa
Tambahan
a. pencabutan atas hak tertentu
b. perampasan beberapa barang tertentu
c. pengumuman putusan hakim
Mengenai pidana mati
ini pada awalnya berlakunya KUHP dilaksanakan eksekusi dengan jalan
penggantungan sampai mati, akan tetapi dengan keluarnya penetapan presiden No.
2 tahun 1964 lembaran Negara No. 38 tahun 1964 dan dijadikan undang-undang No.
5 tahun 1969 menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati para
terpidana mati.
Berdasarkan
penjabaran diatas maka apabila hal ini dilihat dari sudut pandanga hak asasi
manusa yang dideklarasikan oleh PBB pada tahun 1948 yang dikenal dengan universal
decklarasi of human right, dimana dengan didecklarasikannya hak asasi
manusia ini maka mengakibatkan Negara-negara anggota PBB berkewajiban untuk
menegakkan hak asasi manusia tersebut.
Deklasrasi
hak asasi manusia tersebuut didalamnya tercantum hak-hak sebagai berikut :
1. Hak
untuk hidup
2. hak
untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3. hak
unrtuk mengembangkan diri
4. hak
untk memperoleh keadilan
5. hak
untuk kebebasan pribadi
6. hak
atas rasa aman
7. hak
atas kesejahteraan
8. hak
untuk turut serta dalam pemerintahan
9. hak
wanita
10. hak
anak[43]
Sebagai Negara anggota
PBB maka Negara republic Indonesia harus dan memiliki kewajiban untuk
menegakkan hak tersebut, sehingga akan terdapat suatu kejanggalan apabila
peraturan hukun positif yang berlaku bertentangan dengan hak asasi manusia
tersebut. sebagai mana telah dijelaskan diatas sebelumnya bahwa dalam hukum pidana
Indonesia terdapat hukuma atau pidana mati. sehingga dengan terdapatnya
pengaturan secara hukum pidana Indonesia terdapat hukuman mati atau pidana
mati, dan menurut pegaturan secara hukum pidana mati ini berdasarkan ketentuan
hukum tersebut memberikan hak kepada Negara untuk menghhilangkan nyawa
seseorang secar sah menurut hukum.
Apabila melihat dari
salah stau hak asasi manusia yang merupakan hak dasar dri manusia sebagai
anugerah dri tuhan yang maha esa dimana hak tersebut merupakan kodrat manusia semenjak
lahir yaitu mengenai hak untuk hidup yang tercantum dalam pasal 3 deklerasi
universal hak asasi manusia yang menyatakn :
: setiap orang berhak
atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan seseorang”
Berdasrkan ketentuan
pasal dari deklerasi tersebut maka hak seseorang untuk keselamatan dirinya (
hak un tuk hidup ) tidak dapat dihilangkan dalm keadaan apapun, dan jika kita
melihat dari tujuan diproklamirkannya hak asasi manusia tersebut yaitu bahwa
seseorang dan badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingatkn pernyataan
ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk mempertinggi
penghargaan tehadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dan menjalankan
tindakan progresif yanag bersipat nasional maupun internasional, menjamin
pengakuan dan pelaksanaanya yang umum dan efektif baik oleh bangsa-bangsa dari
Negara-negara anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari daerah yang
dibawah kekuasaan hukum mereka.[44]
Berdasarkan tujuan dari
deklerasi hak asasi manusia tersebut maka dapat dikatakan bahwa tiap-tiap
Negara waib untuk menegakkan hak asasi manusia. pernyataan hak asasi manusia
ini oleh Negara republic Indonesia diarttifikasi dengan undang-undang No. 39
tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang mana termuat dalam pernyataan :
“ setiap orang berhak
untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya, setiap orang
berhak untuk hidup tentram, aman damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”[45]
ketentuan pasal
mengenai hak untuk hidup ini jika kita lihat kepada penjelasan ketentuan ayat 1
pasal diatas menyatakan :
“ setiap orang berhak
atas kehidupan, memperthankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau
terpidana mati. dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi
kepentingan hidup ibunya dalam kasusu aborsi atau berdasarkan keputusan
pengadilan dalam kasusu pidana mati dalam hal kondisi tersebut, masih dapat
diizinkan. hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi.
jika didasarkan kepada
ketentuan penjelasan pasal diatas maka hak untuk hidup dapat dibatasi dengan
dua hal yaitu :
1. Kasus aborsi untuk keselamatan ibu
2. Penjatuhan pidana mati
Apabila hal ini didasarkan
kepada prinsip hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam deklerasi hak
asasi manusia pasal 3 yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hak untuk hidup
tidak dapat dihilangkan atau dibatasi dalam keadaan apapun, akan tetapi dalam
ratifikasi hak asasi manusia dengan diundang-undangkannya menegnai hak asasi
manusia diindonesia pembatasan mengenai hak untuk hidup, dapat dikatakan
bertentangan dengan prinsip dasar dari hak asasi manusia.
Pembatasasn
dari hak untuk hidup sebagaimana terdapat dalam pelaksanaan hukum positif
Indonesia dapat dikatakan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia
berdasrkan defenisi dari hak asasi manusia itu sendiri yang merupakan hak
seorang manusia yang sangat asasi yang tidak bisa diinvertasi oleh manusia
maupun diluar dirinya atau kelompok atau lembaga-lembaga manapun untuk
meniadakannya.[46]
Berdasarkan
dari defenisi hak asasi diatas maka pembatasan terhadap pemberlakuan hak untuk
hidup yang hanya dibatasi dengan diperbolehkannya atau dilegalkannya pidana
mati merupakan suatu hal yang telah menyimpang dari defenis tersebut diatas,
karenapada prinsipnya berdasarkan defenisi hak asasi manusia tersebut hak asasi
yang diantaranya hak untuk hidup tidak dapat dihilangkan oleh siapapun kecuali
oleh tuhan pencipta manusia itu sendiri dimana dia yang member kehidupan, dan
dia juga yang berhak mengambil kehidupan tersebut.
Berdasarkan
hal tersebut diatas dan melihat kepada konvensi-konvensi yang berhubungan
dengan hak asasi manusia maka pidana mati yang masih dianut dan dipertahankan
diindonesia dimaa secara yuridis berlaku dan dicantummkan dalam ketentuan KUHP
dan beberapa undang-undang lainnya, bertentangan dengan konvensi-konvensi
tersebut, instrument-instrumen hasil konvensi dunia yang dapat dikatakan
bertentangan dengan hukuman mati tersebut dapat dilihat pada table berikut ini
:
No
|
Instrumen
hukum
|
Penjelasan
|
keterangan
|
1
|
Universal
Decleration of Human right
|
Pasal
3
Hak
untuk hidup
|
|
2
|
Konvenan
internasional hak-hak sipil dan politik (Internasional Vonvenat on Civil and
political Right) 1996
|
Pasal
6 Deriviasidari DUHAM bahwa hak untuk hidup dalam non derogable right atau
hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
|
Hingga
november 2003 tercatat 151 negara telah meratifikasi
|
3
|
Second
optional protocol of ICCPR aiming of the abolition of death penalty, 1990
|
Instrument
ini bertujuan untuk menghapus hukuman mati
|
Hingga
saat ini tercatat 50 negara meratifikasi
|
4
|
Protocol
No. 6 Eurepoan Convetion for the protection Human right and fundamental
freedom 1950
|
Instrumen
ini bertujuan untuk menghapus hukuman mati dikawasan eropa
|
|
5
|
The
Rome Stute of Internasional Criminal Court, 17 Juli 1998
|
Pasal
7 instrumen ini tidak mengatur hukuman mati sebagai salah satu cara
penghukuman
|
Hingga
saat ini tercatat 94 negara telah meratifikasi
|
Sumber : Jurnal Imparsial.[47]
Selain
bertentangan dengan Universal decklerasi of human right dan
instrument-instrumen hukum internasional lainya hukuman mati juga dapat
dikatakan bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana dalam ketentuan konstitusi
Republik Indonesia tersebut dalam ketentuan pasal 28 A menyatakan :
“setiap
oaring berhak untuk hidup serta berhak dalam mempertahankan hidup dan
kehidupannya”[48]
Berdasarkan
ketentual pasal diatas maka dalam keadaan apapun hak untuk hidup seseorang
tidak dapat direnggut dari dirinya sehingga hal ini mengakibatkan Negara pun
tidak dapat merenggut hak untuk hidup dari warga negaranya sehingga masih
dipertahankannya hukuman mati merupakan sesuatu hal yang bertentangan dengan
undang-undang dasar 1945.
Melihat
kepada dicantumkannya hak untuk hidup maka apabila didasarkan kepada
pemberlakuan hukum yang memiliki hirarki, sesuai dengan pernyataan dari Hans
Kelsen yang menyatakan kaidah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila
penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya[49].
beradsarkan dari hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa hukum yang
ditetapkan baru mempuyai kekuatan berlaku apabila tidak bertentangan dengan
ketentuan hukum yang lebih tinggi.
Apabila
melihat kepada dasar pemberlakuan pidana mati yaitu kitab undang-undang hukum
pidana yang merupakan warisan dari pemerintah jajahan maka sebagaimana menurut
penjelasan tersebut diatas bertentangan dengan undang-undang dasar 1945
sehingga tidak memiliki kekuatan berlakunya, karena UUD 1945 merupakan paying
hhukum terhadap berlakunya peraturan hukum diindonesia, sehingga tidak boleh
bertentangan dengan paying hukum tersebut.
B. Penegakkan Hukum Hak asasi Manusia Dalam
Peraturan Perundang-Undangan Diindonesia.
Deklarasi
Hak Asasi Manusia menimbulkan kewajiban bagi Negara-negara sebagai subjek hukum
internasional untuk melaksanakan dan menegakkan hak asasi manusia, kewajiban
ini juga tidak terlepas kepada Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum,
dimana sebagai negara hukum maka harus memenuhi unsure-unsur negara hukum yang
terdiri dari :
1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban nya harus brdasarkkan hukum atau perundang-undangan
2. Adanya jamianan terhadap hak-hak asasi
manusia
3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
4. Adanya pengawasan dari badan-badan
peradilan.[50]
Khusunya mengenai
unsure-unsur adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia tidak terlepas dari
aspek penegakakn hak asasi manusia itu sendiri, dimana penegakkan hak asaasi
manuisa merupakan penegakan dari hukum yang dituukan kepasa keadilan yang
merupakan nilai-nilai dasar dari hukum, akan tetapi tidak hanya keadilan yang
dinginnkan dalam penegakakn hukum, agar terciptanya penegakakn hak asasi
manusia juga mencakup mengenai kepastian hukum.[51]
hal ini juga senada denganaspek penegakkan hukum sebagaimana dinyatakan oleh
Titi Triwulan Tutik bahwa penegakan hukum harus memperhatikan hal-hal sebagai
tersebut :
1. Kepastian hukum
2. Kemanfaatan hukum
3. Keadilan hukum[52]
Tanpa memperhatikan tiga hal tersebut diatas maka
penegakkan hukum untuk menjamin hak asasi manusia akan cendrung aka melanggar
hak asasi manusia itu sendiri. kepastian hukum sebagai salah satu yag harus
diperhatikan dalam penegakakn hukum sebagai upaya untuk menjamin hak-hak asasi
manusia dinegara republic Indonesia secara tertulis telah direalisasikan dalam
peraturan perundang-undangan dimana dilakukannya amandemen terhadpa
undang-undang dasar 1945 dan diundangkannya unadnag-undang mengenai hak asasi
manusia yang merupakan lembaga yang menangani apabila terjadi pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
Diundangkannya undang-undang dan peraturan mengenai
hak asasi manusia yang didalamnya mengandung mengenai hak asasi manusia itu
sendiri dan menangai kewajiban manusia sebagai berikut yaitu :
1. wajib patuh pada peraturan
perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai Ham
yang diterima negara Indonesia.
2. wajib bela negara berdasarkan
undang-undang.
3. wajib,menghormati Ham orang lain (moral,
etika Dll)
Berdasarkan hal
tersebut hak asasi manusia menurut peraturan perundnag-undangan Indonesia tidak
hanya berisikan mengenai hak akan tetapi bersinergi dengan adanya lewajiban
yang harus dilaksanakan oleh manusia itu sendiri. karena setiap ada hak maka
akan selalu diikuti dengan adanya keawajiban. dimana hak pada dasarnya berintikan
kebebasan untuk melakukan tau tidak melekukan sesuau berkenaan dengan sesuatu
atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau
gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut landasan huku oleh karena
itu dilindungi oleh hukum.[53]
Berdasarkan pengertian
mengenai hak tersebut diatas maka penegakan hukum terhadap hak asasi manusia
pada dasrnya merupakan hak yang didasarkan kepada hukum dimana hak asasi
manusia tersebut secara yuridis formal harus diakui oleh hukum positif yang
berlaku, dimana hal ini telah dinyatakan secara tertulis yang merupakan suatu kepastian hukum dalam
penegakakn has asasi tersebut.
Oleh sebab itu
penegakakn hak asasi manusia secara yuridis format telah menjamin kepastian
hukum dilakuakanya ratifikasi konvensi hak asasi manusia dengan keluarnnya
perturan perundang-undangan dari hak asai manusia itu sendiri, oleh sebab itu
dapat dikatakan penegakkan hak asasi manusia diindonesia jika melihat kepada
kepastian hukum secara yuridis formal telah dilaksanakan, akan tetapi dalam
pelaksanaan harus dilihat kepada pelaksanaan.
Aturan hukum secara
konkret oleh aparatur penegak hukum tersebut dalam hal ini yaitu dalam
pelaksanaan fungsi dan peranan dari Komisi Hak Asasi manusia itu sendiri, yang
terdiri dari :
- Komisi Nasional HAM.
- Komisi Nasional Perempuan.
- Pengadilan HAM Ad Hoc.
- Komisi Kebenaran dan Konsiliasi.
Upaya untuk mengetahui
apakah lembaga yang dibentuk sebagai pihak yang berwenang melaksanakan
penegakan hukum mengenai hak asasi manusia telah berjalan sebagaimana
diharapkan dapat diketahui dengan melihat kepada penanganan kasus atas
pelanggaran dari hak asasi manusia itu sendiri dimana di Indonesia penanganan
kasus pelanggaran hak pada masa rezim sebelumnya sampai pada saat ini masih
tidak dapat dituntaskan secara keseluruhan, dimana kasus pelanggaran hak
tersebut yaitu:
Berdasarkan table
diatas maka walaupun secara yuridis telah diundangkannya peraturan perundangan
– undangan mengenai hak asasi manusia dan telah ditentukan lembaga yang
berwenang untuk melakukan penyelidikan akan tetapi dalam pelaksanaannya masih
terdapat begitu banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum dapat
diungkap di Indonesia, dimana pengungkapan ini hanya dilakukan secara maksimal apabila
terdapat keinginan dari semua elemen Negara dalam hal ini pemerintah dan
aparatur penegak dan juga termasuk lembaga legislatif.
Tidak dapat disentuh
pelaku pelanggaran hak asasi manusia tersebut secara hukum sebagaimana menurut
table diatas maka hal ini mengindikasikan penegakan hak asasi manusia di
Indonesia dilakukan masih setengah hati dan hanya untuk memuaskan pihak – pihak
tertentu, atau dapat dikatakan penegakan hak asasi manusia tersebut dilakukan
karena adanya tekanan dari dunia internasional sehingga dilakukan secara
maksimal.
Dapat dikatakan
pelaksanaan penegakan hak asasi manusia yang dilakukan di Indonesia tidak
secara maksimal akan tetapi setengah hati dapat dilihat dari tabel dibawah ini:
Berdasarkan tabel diatas
dapat dilihat bahwa pelaksanaan penanganan pelanggaran HAM yang terjadi dalam
pelaksanaannya dilapangan tidak dapat berjalan mulus, terdapat kendala yang
tidak dapat ditangani dimana hal ini tidak adanya keseriusan dan keinginan dari
para penegak hukum tersebut untuk melaksanakan penegakan HAM.
Hal ini dapat dilihat
sebagaimana dalam tabel diatas terdapatnya pelanggaran hak asasi manusia yang
telah diselidiki akan tetapi berhenti tanpa adanya penjelasan, dan apabila
telah terdapat penyelidikan dan dapat dibuktikan pada pemeriksaan diperdangan
akan tetapi ponis yang dijatuhkan terlalu ringan dan tidak adanya dukungan dari
lembaga legislative, hal ini juga dapat dilihat dari tabel diatas dimana DPR
sebagai lembaga legislatif memberikan pernyataan tidak terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia pada kasus – kasus tertentu.
Selain itu dapat
dikatakan bahwa Negara Indonesia dalam penegakan HAM belum maksimal dapat juga
dilihat dari dipertahankan dan dilaksanakannya Pidana Mati yang merupakan
pelanggaran terhadap hak dasar yaitu hak untuk hidup sebagaimana dinyatakan
dalam ketentuan Pasal 28 A Undang – Undang Dasar 1945,[54]
Jo. Pasal 4 Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana
dalam pelaksanaanya semenjak tahun 1991 sampai dengan 2004 telah divonis mati
sebanyak 54 orang yang terdiri dari kasus :
a. Kasus
Narkoba sebanyak 30 orang;
b. Kasus
Pembunuhan sebanyak 19 orang; dan
c. Kasus
Terorisme sebanyak 5 orang.
Selain dari hal
tersebut diatas tidak efektif dan maksimalnya penegakan hak asasi manusia di
Indonesia dapat juga dilihat tidak adanya keinginan untuk melakukan ratifikasi
terhadap instrument hak asasi manusia dan hukum humaniter dimana instrument
yang tidak diratifikasi tersebut yaitu diantaranya mengenai instrument hak dan
kebebasan dasar sipil dan politik, mengenai hak ekonomi, social dan budaya,
penghapusan hukuman mati dan lain – lain.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
pembahasan yang telah dilakukan maka didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan
hukuman mati yang masih dipertahankan di Negara Republik Indonesia merupakan
hal yang bertentangan dengan hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 3 Deklarasi Hak Asasi Manusia
Sedunia, yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan
keselamatan sebagai individu”, dimana hak untuk hidup tersebut merupakan hak
dasar yang tidak dapat direnggut oleh kekuatan apapun dan organisasi apapun,
sehingga berdasarkan hal tersebut Negara sebagai organisasi kekuasaan tidak
dapat menghilangkan hak tersebut terhadap diri seseorang.
2. Penegakan
hak asasi manusia di Indonesia tidak sesuai dengan semangat dari deklarasi
sedunia hak asasi manusia, dan semangat undang – undang ak asasi manusia,
sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 4 Undang – Undang No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi,
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun da oleh siapapun”, berdasarkan
ketentuan Pasal tersebut maka hak untuk hidup dan hak lain tidak dapat
dikurangi oleh Negara sebagai lembaga tertinggi akan tetapi dengan masih
dicantumkannya hukuman mati maka dapat dikatakan penegakan hak asasi manusia di
Indonesia belum maksimal hal ini juga dapat dilihat dengan banyaknya kasus pelanggaran
hak asasi manusia yang belum tersentuh hukum dan penyelidikan yang dilakukan
tidak dapat diproses lebih lanjut dengan alasan procedural.
B.
Saran
Berdasarkan hasil
pembahsan dan kesimpulan maka dapat diberikan saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya
apabila pidana mati tidak dapat dihapus dalam system pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia
alangkah sebaiknya dalam pelaksanaan pidana mati dilaksanakan dalam jangka
waktu tertentu dan dalam jangka tersebut diberikan kemungkinan pidana mati
diperingan dengan hukuman seumur hidup yang didasarkan kepada syarat tertentu
contohnya dengan berkelakuan baiknya terpidana dalam menjalani hukuman penjara
pada saat menunggu eksekusi tersebut dan syarat – syarat lainnya, sehingga
pidana mati yang dioertahankan tersebut dalam pelaksanaanya tidak bertentangan
dengan Hak Asasi Manusia.
2. Untuk
menegakkan hak asasi manusia secara sempurna dan konsekuen maka sebaiknya
pidana mati dihapuskan dalam system pemidanaan Indonesia dimana hal ini dapat
didasarkan dengan alasan :
a. Alasan
Hirarki Hukum.
Konstitusi
merupakan atura hukum yang menjadi payung atas perundang – undangan dibawahnya,
dimana perundang – undangan dibawahnya idak boleh bertentangan dengan
konstitusi tersebut. Di Indonesia dalam ketentuan Pasal 28 i ayat (1) Undang –
Undang Dasar 1945 menyatakan :
“Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”[55]
Sehingga
berdasarkan hal tersebut sungguh ironis KUHP sebagai Undang – Undang yang
berada dibawah Undang – Undang Dasar masih menerapkan hukuman mati dan oleh
pemerintah dilaksanakan dan dalam ilmu hukum dikenal adagium Lex superior derogate legi inferiori.
b. Alasan
bertentangan dengan tujuan dari pemidanaan.
Menurut
ilmu hukum bahwa tujuan dari pemberian sanksi atau pemidanaan pada umumnya
untuk memperbaiki pelaku tindak pidana dan untuk mencegah agar tidak melakukan
tindak pidana baik atas pelaku maupun oleh orang lain. Dan juga tujuan suatu
hukuman adalah membuat si terhukum belajar dari perbuatannya dan membuktikan
kepada masyarakat bahwa dia bisa berubah. Dan hukuman mati menghapus kesempatan
itu.[56]
c. Alasan
kesalahan.
Penjatuhan
pidana dalam hal ini pidana mati adalah dengan keluarnya putusan pengadilan,
dimana hakim yang mengeluarkan putusan tersebut hanya seorang manusia yang
tidak terlepas kemungkinan untuk melaksanakan kesalahan sehingga dengan masih
diadakannya pidana mati maka dengan dijatuhinya vonis pidana mati dan
dilaksanakan dan terjadi kesalahan dan dalam penjatuhan ponis tersebut, maka
tidak mungkin akan diperbaiki karena terpidana telah dieksekusi dengan
kehilangan nyawanya.
[1] Bambang Poernomo, Ancaman
Pidana Mati dalam Hukuman Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 28.
[2] Moehadi Zainal, Pidana
Mati Dihapuskan Atau Dipertahankan, (Yogyakarta: Hanindita, 1984), h. 24.
[3] Andi Hamzah,
A.Sumanglepu, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini dan masa depan, (Jakarta
:Galiah
Indonesia, 1983), h.
26.
[5] J.E. Sahetapy, Pidana
Mati Dalam Negara Pancasila, (Bandung : Vitra Aditya
Bakti, 2007), Cet. Ke-1, h. 10-11.
[9] Amandemen ke Dua
disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000.
[11] A. Bazar Harahap,
Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia Dan Hukumnya, (Jakarta: Pecirindo, 2007) Edisi Baru, Cet. Ke-2, h. 6.
[13] Sudikno Mertokusumo, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), Cet. Ke-2, h. 92.
[16] Ediwarman. Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandangan
Hak Asasi Manusia,( jurnal konstitusi, januari, 2007) , vol 1, nomor 1, h. 29.
[17] Titik
Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta
: Prestasi Pustaka Publisher, 2006), Cet. Pertama, h. 33.
[22] A. Masyuhur.
Taufani Sukmana Evandri, HAM dalam
dimensi/dinamika yuridis social politik, (Ghalia indonesia, 2007), h. 1.
[25] P.A.F.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana
Indonesia, (bandung : citra aditya bakti, 1997) Cet. Ke-3, h. 1-2.
[26] Adami
Chazawi, Stelsel pidana, Tindakan pidana
teori-teori pemidanaan batas berlakunya hukum pidana (pelajaran Hukum pidana
bagian I), (Jakarta: Rajawali pers, 2002), h. 9.
[27] L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, tt), Cet. Ke- 20, h. 16.
[31] Dwidja
Priyatno, sistem pelaksanaan pidana
penjara di indonesia, (Bandung :Fefika aditama, 2006), h. 67.
[42] . Andi Hamzah, dan A.
sumanglepu, Loc, Cit.
[44] .deklerasi Universal
hak asai manusia
[45] . pasal 9 ayat (1,2
dan 3) UU no 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
[47] www.imparsial.go.id.
[50] Mien Rukmini, Perlindungan
HAM Melaui Asas Praduga Tak Berssalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum
Pada Sisitem Peradilan Pidana indonesia, (Bandung : Alumni, 2003), h. 1.
[53] Mochtar
Kusumaatmadja, B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung : Alumni, 2000), Buku 1, h. 91.
[54] Amandemen Kedua 18
Agustus 2000
[55] Amandemen Kedua
[56] http://fertobhades.wordpress.com.
Diakes pada tanggal 4 februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar