Rabu, 15 Juni 2016

MAKALAH HUKUM INVESTASI: PRINSIP ONE STOP SERVICE DALAM PENGURUSAN IZIN INVESTASI DI PROVINSI RI


PRINSIP ONE STOP SERVICE DALAM PENGURUSAN IZIN INVESTASI DI PROVINSI RIAU

Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Tugas
Mata Kuliah Hukum Penanaman modal





JONI ALIZON
121020118

                    HUKUM BISNIS
 PASCASARJANA (S2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2014

            KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta tidak lupa penulis panjatkan shalawat beserta salam kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul : Prinsip One Stop Service Dalam Pengurusan Izin Investasi Di Provinsi Riau”.sebuah kajian yang cukup menarik untuk di bahas karena dalam pengurusan izin biasanya, bnyak yang di hadapi oleh para investor.
            Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 25 Januari 2014

                                                                                          JONI ALIZON







                                                                       
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR            ......................................................................................      i
DAFTAR ISI    ……………………………………………………………………….      ii
BAB I              :  PENDAHULUAN  …………………………………………………      1
A.    Latar Belakang …………………………………………………      1
B.    Perumusan Masalah ……………………………………………      4
BAB II            :  TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………      5
A.    Tinjauan Tentang kebijakan publik     …………………………      5
B.    Tinjauan Tentang implementasi kebijakan ………………… ……  5
C.    Tinjauan Tentang Pemerintah Daerah …………………………      5
D.    Tinjauan Tentang One Stop Service……………………… ……      6
E.     Tinjauan Tentang Penanaman Modal……………………………    8
BAB III           :  PEMBAHASAN    …………………………………………………      9
A.    Implementasi Kebijakan One Stop Service Terhadapa Penanaman
 Modal di Provinsi Riau ……………………………... …….......      9
B.    Reformasi Birokrasi Dan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu
Provinsi Riau ……………………………………………..…...........      13
BAB IV           :  KESIMPULAN ………………………………………………………   17  
DAFTAR PUSTAKA   ……………………………………………………………….      18


           
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Desentralisasi yang mengemuka dalam konstruksi reformasi telah menunjukkan wataknya sebagai antitesisnya taat asas setting  penyelenggaraan pemerintahan yang berjalan selama ini. Semangat desentralisasi yang berkobar terus menyulut pemerintah daerah untuk memaksimalkan besaran kewenangan yang dimiliki dalam aktivitas pembangunan dan pelayanan publik. Desain desentralisasitelah member ruang gerak yang spesifik kepada birokrasi pemerintah daerah untuk berkreasi dan berinovasi dalam akselerasi pembangunan diwilayahnya. Pada posisi ini dituntut kemampuan Sumber Daya Aparatur dengan visi yang jauh kedepan (forward thinking) untuk mewujudkan profesionalisme birokrasi dalam sebuah mekanisme kelembagaan yang efisien, efektif dan berkeadilan (equity).
            Terlepas dari berbagai pencapaian beberapa derah otonom dalam melakukan reformasi birokrasi, namun secara umum penilaian tentang  progress perubahan setting birokrasi belum menunjukkan capaian yang memuaskan.Berbagai penilaian dari survey lembaga-lembaga independen memberikan bukti kuat tentang persepsi publik yang rendah tentang kinerja birokrasi pasca otonomi daerah.Stereotipe tentang korupsi, kolusi dan nepotisme tetap menjadi “cacat bawaan” yang membayangi segala aktivitas pemerintah daerah dalam menata mesin pemerintahannya. Salah satu contoh dari masih rendahnya komitmen pemerintah daerah dalam melakukan inisiasi pencegahan korupsi seperti terlihat pada Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) Tahun 2011 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menujukkan bahwa capaian nilai rata-rata masih berada pada level yang rendah atau 4,5 (skala 0-10). Hasil ini mengindikasikan bahwa secara umum faktor inisiatif internal kelembagaan pemerintah pusat dan daerah yang masih rendah dalam menata organisasi pemerintahan.[1]

Fenomena ini tentu sesuatu wajar bagi pihak-pihak yang selama ini intens memperhatikan aktivitas birokrasi di daerah. Dalam banyak hal, reformasi di daerah sering “dibajak” kepala daerah sendiri. Penataan kelembagaan birokrasi bukan diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, tetapi demi mengakomodasi praktek politisasi birokrasi dalam melanggengkan oligarki kekuasaan kepala daerah.Reformasi birokrasi kadang hanya berakhir pada penataan strukutur demi mengakomodasi kepentingan pejabat tertentu dalam pola interaksi politis-transaksional. Pada titik ini spirit reformasi birokrasi yang mengusung profesionalisme, merit system, dan impersonalitas hanya sekedar jargon karena tersandera kepentingan politik kepala daerah untuk menukuhkan oligarki kekuasaannya.

Agenda-agenda besar reformasi birokrasi secara nasional dalam berbagai paket kebijakan seperti bergerak tidak linier dengan semangat reformasi birokrasi oleh pemerintah daerah. Lahinya UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik hingga Perpres No. 81 Tahun 2010 Tentang Grand Desaign Reformasi Birokrasi 2010-2025, secara beragam direspons pemerintah daerah. Lemahya control publik dalam memberikan pengawasan terhadap kinerja birokrasi semakin membuat arah reformasi birokrasi di daerah mengalami disorientasi makna.Birokrasi pemerintah daerah ibarat terkurung dalam “rumah kaca”, yang hanya bisa menjadi saksi atas perubahan yang terjadi disekitarnya. Design minimal dari reformasi birokrasi diorientasikan untuk memperoleh sebuah kinerja yang di dalamnya menggambarkan proses demokratisasi, efektifitas, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas, serta tanggungjawab dalam kerangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Resultante dari seluruh aktivitas reformasi birokrasi adalah tumbuhkembangnya pelayanan prima.

Di dalam tipe ideal birokrasi, maka tercermin proses demokrasi yang tercermin dari merit system, system remunerasi, serta rewards and punishment. Salah satu produk reformasi birokrasi yang banyak mendapat sorotan yang luas dari publik adalah kinerja organisasi pelayanan terpadu satu pintu (PTSP). Gagasan dan praktek dari one-stop services (OSS) ini dihadirkan sebagai upaya untuk meretas belitan dari panjangnya mata rantai birokrasi dalam menyediakan layanan, terutama layanan yang terkait dengan perizinan investasi. Ikhtiar untuk mengitegrasikan berbagai jenis pelayanan publik yang terkait pada suatu unit yang berdiri sendiri merupakan implementasi dari Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pendirian Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Layanan terpadu satu pintu merupakan kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai ketahap terbitnya dokumen dilakukan pada satu tempat.

Tujuan pokok yang ingin diperoleh guna memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh layanan publik secara transparan baik dari sisi waktu, biaya, persyaratan maupun prosedur yang harus ditempuh  Kewenangan penataan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) di bidang pelayanan perizinan telah merasakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana semakin besarnya kewenangan kepala daerah dalam menggerakan birokrasi pemerintah daerah justru tidak kongruen dengan kinerja pelayanan.Kinerja pelayanan public bidang perizinan masih dihadapkan pada berbagai kekurangan, seperti kurang reponsif, kurang informatif, kurang koordinasi, dan in-efisien.
Menjadi keniscayaan jika kemudian kalangan dunia usaha sering mengeluhkan proses pelayanan perizinan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah, yang dirasakan berbelit-belit, tidak transparan, tidak ada kejelasan dan kepastian waktu, dan adanya biaya ekstra. Perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam pelayanan publik, demikian juga perizinan yang terkait dengan kegiatan usaha. Proses perizinan, khususnya perizinan usaha, secara langsung akan berpengaruh terhadap keinginan dan keputusan calon pengusaha maupun investor untuk menanamkan modalnya. Demikan pula sebaliknya, jika proses perizinan tidak efisien, berbelit-belit, dan tidak transparan baik dalam hal waktu, biaya, maupun prosedur akan berdampak terhadap menurunnya keinginan orang untuk mengurus perizinan usaha, dan mereka mencari tempat investasi lain yang prosesnya lebih jelas dan transparan. Hal ini tentu saja selanjutnya akan berdampak terhadap ketersediaan lapangan kerja dan masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya. 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat sangat enggan berhubungan dengan birokrasi pemerintah Kurangnya transparansi baik dari sisi waktu, persyaratan, biaya maupun prosedur ditambah dengan masih kentalnya prilaku koruptif merupakan kondisi nyata yang terjadi dan dihadapi oleh setiap masyarakat indonesia saat ini. kalangan dunia usaha masih mengeluhkan dan merasakan dalam proses dan pelaksanaan pemberian layanan di kebanyakan daerah, masih belum banyak perubahan signifikan. Keluhan dan ketidakpuasan dunia usaha belum teratasi, terutama berkaitan keluhan yang berhubungan dengan biaya tinggi dan ketidak pastian hukum bagi pengusaha, akibat belum berubahnya orientasi pemerintahan daerah terhadap hubungan perizinan dengan pendapatan asli daerah (PAD), dan tarik menarik kewenangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah. Hasil kajian dari Litbang KPK pada bidang Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan  menunjukkan bahwa adanya pelimpahan kewenangan pengelolaan perizinan dari pemerintah pusat ke kabupaten/kota harus diikuti dengan penyederhanaan jenis perizinan, terutama yang memiliki fungsi yang hampir sama (misal. TDP dan SIUP) dan menyatukan jenis perizinan yang pengurusannya bisa dilakukan secara paralel (misal SITU dan HO paralel dengan SIUP, TDP, IUI dan TDI). Temuan ini menjadi sangat relevan ditengah upaya percepatan reformasi birokrasi perizinan yang masih relative berbelit-belit. Dalam upaya mengoptimalkan integrasi pelayanan perizinan, maka Pemerintah Provinsi riau  telah melakukan aransemen birokrasi pelayanan publik. Seluruh kabupaten / kota (12 kabupate/kota) di Riau. 
 B. Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.  Bagaimana implementasi Prinsip One Stop Service terhadap penanaman modal di Provinsi Riau?
2. Bagaimana Reformasi Birokrasi Pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau?















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang kebijakan publik.
            Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Depdikbud, kebijakan berarti 1, kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan (kepandaian menggunakan akal budinya). 2. rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (pemerintah, organisasi) pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran;garis haluan. kebijakan adalah strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan dengan ciri identifikasi dari tujuan, langkah untuk mencapai tujuan, penyediaan input untuk pelaksanaan secara nyata dari strategi tersebut.
B. Tinjauan tentang Implementasi kebijakan.
      Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
      Meter dan Horn dalam buku Samudra Wibawa dkk mendefinisikan Implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individu atau kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan dalam kebijakan .[2]
C. Tinjauan Tentang Pemerintah Daerah
      Pemerintahan Daerah, dalam konteks Indonesia, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 Pasal (18). Pemerintahan Daerah dapat berupa:
1.      Pemerintahan Daerah Provinsi, yakni terdiri dari Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi. Pemerintah Daerah Provinsi terdiri atas Gubernur dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan Lembaga Teknis Daerah.
2.      Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, yakni terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan DPRD Kabupaten/Kota.Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota dan Perangkat Daerah, yang meliputi Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan,dan kelurahan.
            Pengertian Pemerintah daerah ini dipertegas dalam ketentuan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khususnya dalam Pasal  1 huruf  2 dan 3 disebutkan bahwa “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
D. Tinjauan Tentang One Stop Service
      Pelayanan perizinan terpadu atau OSS (One Stop Service) adalah sebuah satuan kerja di tingkat pemerintahan kota/kabupaten yang secara khusus memberikan pelayanan untuk memproses dokumen publik, khususnya proses usaha dan investasi. Perizinan usaha dan investasi yang selama ini mengandung konotasi negartif, terlalu banyak, berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan mahal, diharapkan akan dapat lebih disederhanakan melalui pelayanan satu pintu (terpadu)  melalui suatu Unit Pelatanan Teknis (UPT) atau Kantor Pelayanan Teknis (KPT) yang memangkas beban administratif bagi pemerintah daerah dan memudahkan pelaku usaha mendapat akses sumber daya untuk pengembangan usaha.
Prinsip-prinsip pelayanan dengan sistem One Stop Service meliputi:
1.      Sederhana
2.      Reliabilitas
3.      Tanggung Jawab
4.      Kecakapan Petugas
5.      Kemudahan akses
6.      Ramah
7.      Terbuka
8.      Komunikasi petugas dan pelanggan
9.      Kredibilitas
10.  Kejelasan dan kepastian
11.  Keamanan
12.  Mengerti kebutuhan pelanggan
13.  Wujud nyata
14.  Efisien
15.  Ekonomis
      Dalam pelaksanannya di lapangan One Stop Sevice dapat pula dijadikan sebagai sarana bagi pemerintah daerah untuk memberikan semua informasi yang dibutuhka masyarakat. Melalui sistem One Stop Sevice dengan segala kelengkapannya, pengurusan perizinan akan semakin mudah dan murah yang membuat pelaku usaha terhindar dari biaya ekonomi tinggi yang biasanya terjadi pada saat proses pengurusan izin.
      Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) mempunyai arti penting dalam melaksanakan sistem One Stop Service yaitu sebagai suatu tempat dimana masyarakat umum, termasuk sektor swasta, melakukan hubungan kerja dengan pihak pemerintah guna mengajukan permohonan dan mendapatkan perizinan usaha yang dibutuhkan dari pada mengajukan permohonan kepada beberapa institusi pemerintah. Keberadaan Unit Pelatanan Terpadu (UPT) sangat penting bagi dunia usaha, karena dengan demikian para pengusaha dapat menerima lisensi dan izin-izin usaha dengan lebih mudah, cepat, dan transparan. Pelaksanaan kebijakan One Stop Service malalui UPT ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam kegiatan publik.
      Di Kota Pekanbaru pembentukan Unit Pelayanan terpadu (UPT) dilandasi adanya Keputusan Walikotamadya pekanbaru Nomor 04 Tahun 1999 mengenai Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu Kota Pekanbaru. Untuk meningkatkan kinerja Unit menciptakan iklim birokrasi yang kondusif, maka Pemerintah Surakarta melalui Unit Pelayanan Terpadu (UPT) sejak tanggal 7 Desember 2006 mulai menggunakan sistem pelayanan satu pintu (One Stop Service) dalam melakukan pelayanan publik khususnya di  bidang perizinan  dengan mengacu pada Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 13 Tahun 2005 tentang pelimpahan sebagian kewenangan Walikota kepada Koordinator Unit Pelayanan terpadu Kota Pekanbaru. Guna mendukung pelayanan One Stop Servicenya Unit Pelayanan Terpadu (UPT) memiliki kewenangan untuk mengurus perizinan yang terkait dengan Keterangan Rencana Peta (AP) Advice Planning, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB), Rekomendasi Lokasi Untuk Izin Gangguan Usaha , Izin Gangguan Tempat Usaha, Pembaruan Izin HO, Surat Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Gudang (TDG), Surat Izin Usaha Industri (SIUI), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Reklame.[3] 

E. Tinjauan Tentang Penanaman Modal.
                        Modal perusahaan adalah sejumlah uang yang khusus digunakan untuk menjalankan suatu usaha atau perusahaan. Penanaman modal pada suatu perusahaan dalam bahasa Inggrisnya investment, dan diserap dalam bahasa Indonesia menjadi investasi. Penanaman modal atau investasi adalah penyerahan sejumlah uang yang digunakan sebagai modal dalam suatu perusahaan atau proyek dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Modal disini diartikan sebagai sejumlah uang dan ini adalah modal dalam arti yang sesungguhnya (arti sempit). Modal dalam arti luas bukan hanya sejumlah uang, melainkan meliputi juga barang yang digunakan untuk menjalankan perusahaan, bahkan tenaga atau jasa juga dianggap sebagai bagian dari modal, ketiga-tiganya diperhitungkan sebagai faktor produksi untuk memperoleh hasil (keuntungan).[4]
Modal merupakan landasan utama kegiatan suatu bisnis yang diharapkan menghasilkan nilai lebih (capital gain). Jika modal itu hanya sejumlah uang, maka nilai lebih itu juga sejumlah uang. Akan tetapi, dalam arti ekonomi modern, kegiatan dan keberhasilan suatu bisnis tidak hanya diukur dari jumlah modal uang yang diusahakan, tetapi kumulasi dari ketiga faktor poroduksi, yaitu uang, barang, dan jasa yang digunakan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Dalam kegiatan bisnis modern, pembicaraan selalu bertumpu pada konsep modal dalam arti kumulasi dari uang, barang, dan jasa. Uang sebagai alat bayar dalam hubungan bisnis, benda sebagai alat penunjang kelancaran kegiatan bisnis, dan sumber daya manusia sebagai motor penggerak kegiatan bisnis






BAB III
PEMBAHASAN
A. IMPLEMENTASI PRINSIP ONE STOP SERVICE TERHADAP PENANAMAN MODAL DI PROVINSI RIAU  

Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat diartikan sebagai satu instansi pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi berbagai layanan perizinan (licenses,permits, approvals and clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut instansi pemerintah tidak dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perizinan yang diperlukan dalam pelbagai tingkat administrasi sehingga harus bergantung pada otoritas lain Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service ) membuat waktu  pembuatan izin menjadi lebih singkat . Pasalnya , dengan  pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan sekali, dan administrasi bisa dilakukan secara simultan. Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh perizinan dan non-perizinan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dapat terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan bertujuan meningkatkan kualitas layanan publik.

Reformasi pelayanan terpadu pada dasarnya telah diatur melalui Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Dalam peraturan ini, pelayanan atas permohonan perizinan dan nonperizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP), yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan non-perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Dengan kewenangan tersebut, keberadaan kelembagaan layanan terpadu merupakan salah satu upaya pemenuhan kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota kepada masyarakat. Beragamnya layanan yang terwadahi pada kelembagaan layanan terpadu merupakan perwujudan pelaksanaan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintahan daerah. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan pelayanan dalam hal perizinan adalah melalui ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 tentang Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik serta terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik, hal lain yang diatur dalam peraturan tersebut pada intinya membahas pengaturan mengenai :
1.      Penyederhanaan Pelayanan
Dalam Pasal 4 Permendagri 24 Tahun 2006, Bupati/Walikota wajib melakukan penyederhanaan  penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dan penyederhanaan penyelenggaraan pelayanan mencakup : pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh PPTSP;  percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah; kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;  kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya; mengurangi berkas kelengkapan kelengkapan permohonan perizinan yang samauntuk dua atau lebih permohonan perizinan;  pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan  pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan. Di Provinsi dilaksanakan dalam satu gedung yang bisa mengurus semua bentuk perizinan.[5]
2.      Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu
     Pembentukan perangkat daerah yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembentukan organisasi perangkat daerah. Kemudian lebih jauh Perangkat daerah tersebut harus memiliki sarana dan prasarana yang berkaitan dengan mekanisme pelayanan. Berkenaan dengan hal tersebut, Bupati/Walikota mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk mempercepat proses pelayanan. Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian  pelayanan atas semua hentuk pelayanan perizinan dan non perijinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota dengan mengacu pada prinsip koordinasi, intergrasi, sinkronisasi, dan keamanan berkas. Perangkat Daerah yang secara teknis terkait dengan PPTSP berkewajiban dan bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas pengelolaan perizinan dan non perizinan sesuai dengan bidang tugasnya.
 3.      Proses, waktu dan biaya penyelenggaraan pelayanan
Berkenaan dengan proses, waktu dan biaya Pengolahan dokumen persyaratan perizinan dan non perizinan mulai dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen dilakukan secara terpadu satu pintu. Proses penyelenggaraanpelayanan perizinan dilakukan untuk satu jenis perizinan tertentu atau perizinan paralel. Di provinsi riau dalam hal proses perizinan menggunakan satu pintu telatif lebih cepat sehingga membuat investor dalam hal mengurus berbagai izin lebih musah.
4.      Sumber daya manusia
Pegawai yang ditugaskan di lingkungan PPTSP diutmmakan mempunyai kompetensi di bidangnya dan dapat diberikan tunjangan khusus yang besarannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, hal lainnya Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan pengembangan sumber daya manusia pengelola pelayanan terpadu satu pintu secara berkesinambungan.
5.      Keterbukaan informasi
     PPTSP wajib menyediakan dan menyebarkan informasi berkaitan dengan jenis pelayanan dan persyaratan teknis, mekanisrne, penelusuran posisi dokumen pada setiap proses, biaya dan waktu perizinan dan non perizinan, serta tata cara pengaduan, yang dilakukan secara jelas melalui berbagai media yang mudah diakses dan diketahui oleh masyarakat.
6.      Penanganan pengaduan
PPTSP wajib menyediakan sarana pengaduan dengan menggunakan media yang
disesuaikan dengan kondisi daerahnya dan PPTSP wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara tepat, cepat, dan memberikan jawaban serta penyelesainnya kepada pengadu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja.
7.      Kepuasan masyarakat
PPTSP wajib melakukan penelitian kepuasan rnasyarakat secara berkala sesuai peraturan perundang-undangan.
8.      Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan atas penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan Secara berjenjang dan berkesinambungan oleh Menteri Dalam Negeri dan Kepala Daerah sesuai dengan  kewenangan masing-masing dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan mutu pelayanan perizinan dan non perizinan. Pengawasan terhadap proses penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.
9.      Kerja Sama
Dalam pengembangan PPTSP, Bupati/Walikota dapat melakukan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat,asosiasi usaha , lembaga-lembaga internasional, dan dengan pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
10.  Pelaporan
Bupati dan Walikota menyampaikan laporan secara tertulis kepada Gubernur mengenai perkernbangan proses pembentukan PPTSP, penyelenggaraan pelayanan, capaian kinerja, kendala yang dihadapi, dan pembiayaan yang disampaikan secara berkala.

            Dalam implementasinya provinsi Riau telah menerapkan prinsip prizinan satu pintu, sehingga menjadi percontohan daerah yang lain, terbukti dengan adanya studi banding, yang dilakukan oleh beberapa daerah ke provinsi Riau.
Adapun isi implementasi tersebut diatas adalah: 1) Proses membangun kepercayaan masyarakat melalui Program Percepatan (Quick Wins) yang berdampak pada perbaikan system kerja dan perbaikan kualitas produk utama; 2) Proses membangun komitmen dan partisipasi mealui Manajemen Perubahan yang berdampak pada  terkomunikasikannya perubahan baik kepada pegawai maupun kepada masyarakat dalam rangka pembentukan perilaku yang diinginkan; 3) Proses mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja melalui penataan sistem yang berdampak pada perbaikan sistem manajemen SDM, dan 4 ) Proses memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan terjadinya perubahan melalui penguatan unit organisasi, deregulasi-regulasi, penginkatan sistem pengawasan, perbaikan/pengadaan sarana dan prasarana yang berdampak pada perubahan pola pikir, perubahan budaya kerja dan perubahan perilaku .




B. REFORMASI BIROKRASI PADA BADAN PELAYANAN PERIJINAN TERPADU PROVINSI RIAU
1. Reformasi Birokrasi
Demokratisasi politik, desentralisasi pemerintahan dan liberalisasi ekonomi yang  berlangsung dengan cepat sejak era reformasi ternyata tidak diikuti oleh perubahan tata penyelenggaraan pemerintahan yang cukup mendasar. Sistem pemerintahan, termasuk pranata-pranata yang diperlukan untuk mendukung sistem politik demokratis, otonomi daerah dan sistem ekonomi pasar yang l ebih terbuka belum sepenuhn yatersedia. Salah satu pranata tersebut adalah system birokrasi publik yang terdiri atas 3 komponen pokok yaitu peraturan dasar tentangsistem birokrasi, sistem kepegawaian, akuntabilitas dan. Kondisi inilah yang menyebabkan kebijakan reformasi birokrasi yang dicanangkan pada kurun waktu tersebut tidak berjalan dengan baik. Ruang lingkup reformasi birokrasi yang terbatas dan tanpa didukung  oleh grand strategi yang konfrehensif yang berakibat pada terjadilah fragmentasi dalam tata kelola pemerintahan. Sebagai contoh, pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif tidak sepenuhnya ditaati karena ada  kewenangan eksekutif yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif, padahal lembaga ini tidak memiliki kapasitas kelembagaan untuk melakukan tugas tersebut.[6]  
Reformasi birokrasi yang dilaksanakan yang pada hakekatnya ditunjuk untuk membangun/ membentuk profil dan perilaku aparatur negara yang memiliki: 1) Integritas tinggi, yaitu: perilaku aparatur negara yang dalam bekerja senantiasa menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi; 2) Produktivitas tinggi dan bertanggungjawab, yaitu: hasil optimal yang dicapai oleh aparatur negara dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi, dan 3) Kemampuan memberikan pelayanan yang prima, yaitu: Kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional, berdedikasi dan memiliki standar nilai moral yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, utamanya dalam memberikan pelayanan prima kepada public dengan sepenuh hati dan rasa tanggungjawab. Sedangkan sasaran Kebijakan RB yang ingin capai adalah mengubah pola pikir (mindset), budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan Tujuan dan sasaran ini dilaksanakan melalui Sembilan program dengan dua puluh tiga kegiatan untuk Gelombang Pertama dan lima puluh empat untuk Gelombang Kedua. Adapun kesembilan program tersebut adalah: (1) Quick Wins, (2)Manajemen Perubahan, (3) Penataan dan Penguatan Organisasi, ( 4 ) Penataan Tatalaksanaan, (5) Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur, (6)Penyusunan Peraturan Perundangundangan , ( 7 ) Penataan Pengawasan Internal, ( 8 ) Peningkatan Akuntabilitas Kinerja, dan (9) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.
 Dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan reformasi tersebut maka telah ditetapkan strategi implementasi kebijakan yang tertuang di dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 Tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi beserta peraturanperaturan yang mengikutnya, antara lain: Peraturan MenPAN Nomor PER/19/M.PAN/11/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Organisasi Pemerinah; Peraturan MenPAN Nomor PER/21/M.PAN/11/2008 Tentang Pedoman Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Administrasi Pemerintahan; Peraturan MenPAN Nomor PER/04/M.PAN/4/2009 Tentang Pedoman Pengajuan Dokumen Usul an RB di Lingkungan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah; Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010- 2025. Strategi terdiri atas strategi implementasi dan program implementasi reformasi yang dilengkapi dengan kegiatan monitoring dan evaluasi serta kegiatan pengorganisasian dan pembiayaan. Strategi implementasi ini disusun mengingat sangat luasnya cakupan reformasi birokrasi yaitu dari seluruh instansi yang ada di tingkat pusat (lembaga negara, kementerian dan lembaga pemerintah) maupun yang ada di tingkat daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota ) .Untuk memberikan kemudahan dalam implementasi maka strategi implementasi ini dimanifestasikan dalam bentuk tahapan, program dan aktivitas reformasi birokrasi.
B. Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Riau (BPPTR)
Pembentukan BPPTSU berdasarkan Peraturan Daerah Riau Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Organisasi Dan Tatakerja Lembaga Lain Daerah Provinsi Riau, dalam Pasal 9, disebutkan bahwa :
1.        BPPTR adalah merupakan Unsur Perangkat Daerah yang mempunyai Kewenangan dibidang perijinan atas nama Kepala Daerah berdasarkan pendelegasian wewenang dari Kepala Daerah.
2.        BPPTR didukung oleh Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Kepala, yang karena jabatannya adalah sebagai Kepala Badan, yang berada dibawah, berkedudukan dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
3.        BPPTR mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan menyelenggarakan pelayanan administrasi dibidang perijinan secara terpadu dengan prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplikasi, Keamanan dan Kepastian.
4.        Untuk melaksanakan tugas sebagaimana pada ayat (3) diatas, BPPTR menyelenggarakan fungsi:
a.         Pelaksanaan penyusunan program Badan;
b.         Penyelenggaraan pelayanan administrasi perijinan;
c.         Pelaksanaan koordinasi proses pelayanan perijinan;
d.        Pelaksanaan admistrasi pelayanan perijinan;
e.         Pemantauan dan evaluasi proses pemberian pelayanan perijinan;
f.          Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur melalui Sekretaris Daerah sesuai dengan tugas dan fungsinya
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik di bidang Perijinan perlu dilaksanakan oleh Satu Lembaga tersendiri yaitu Badan Pelayanan Perijinan Terpadu sesuai kewenangan Pemerintah Provinsi Riau; dan berdasarkan pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 6 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja, Lembaga Lain Provinsi Riau, menegaskan bahwa Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau merupakan Unsur Perangkat Daerah yang mempunyai Kewenangan di bidang Perijinan, berdasarkan pertimbangan di atas maka Gubernur telah menetapkan Peraturan Gubernur tentang Pendelegasian Kewenangan Pelayanan Perijinan Kepada Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau, yaitu Peraturan Gubernur Riau Nomor 37 Tahun 2011 Tentang Pendelegasian Kewenangan Pelayanan Perijinan Kepada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau.[7]
Dalam BAB II Pasal 2, Peraturan Gubernur Riau Nomor 37 Tahun 2011, dijelaskan bahwa :
1.        BPPTR diberi kewenangan dalam memproses pelayanan administrasi, menandatangani dokumen, menerbitkan dokumen Bidang, Jenis Perijinan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini;
2.        Kewenangan Penandatangan dokumen Bidang, Jenis Perijinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang dan jenis sebagaimana tercantum  dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Gubernur ini;
3.        Jenis Perijinan sebagaimana dimaksud pada  ayat (2) dapat ditambah sesuai dengan perkembangan dan kemampuan BPPTR mengelola semua jenis Perijinan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Gubernur;
4.        Jenis Perijinan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Gubernur ditandatangani oleh Gubernur, namun proses perijinannya dilaksanakan oleh BPPTR
            Berdasarkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 37 Tahun 2011 Tentang PendelegasianKewenangan Pelayanan Perijinan Kepada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau tersebut terdapat 56 jenis perijinan dalam 13 bidang kewenangan yang penandatanganan perijinan dilimpahkan kepada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Riau, yaitu :
1.        Bidang Perkebunan ( 7 jenis perijinan)
2.        Bidang Kelautan dan Perikan ( 1 jenis perijinan)
3.        Bidang Kehutanan ( 14 jenis perijinan)
4.        Bidang Lingkungan Hidup ( 2 jenis perijinan)
5.        Bidang Perindustrian dan Perdagangan (1 3 jenis perijinan)
6.        Bidang Kesehatan ( 4 jenis perijinan)
7.        Bidang Bina Marga ( 4 jenis perijinan)
8.        Bidang Perhubungan ( 4 jenis perijinan)
9.        Bidang Komunikasi dan Informatika ( 4 jenis perijinan)
10.    Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan ( 6 jenis perijinan)
11.    Bidang Pertambagan dan Energi ( 9 jenis perijinan)
12.    Bidang pengelolaan Sumberdaya Air ( 2 jenis perijinan)
13.    Bidang Penelitian dan pengembangan ( 1 jenis perijinan)

BAB IV
KESIMPULAN
1. Dalam implementasinya provinsi Riau telah menerapkan prinsip prizinan satu pintu, sehingga menjadi percontohan daerah yang lain, terbukti dengan adanya studi banding, yang dilakukan oleh beberapa daerah ke provinsi Riau.
            Adapun isi implementasi tersebut diatas adalah: 1) Proses membangun kepercayaan masyarakat melalui Program Percepatan (Quick Wins) yang berdampak pada perbaikan system kerja dan perbaikan kualitas produk utama; 2) Proses membangun komitmen dan partisipasi mealui Manajemen Perubahan yang berdampak pada  terkomunikasikannya perubahan baik kepada pegawai maupun kepada masyarakat dalam rangka pembentukan perilaku yang diinginkan; 3) Proses mengubah pola pikir, budaya dan nilai-nilai kerja melalui penataan sistem yang berdampak pada perbaikan sistem manajemen SDM, dan 4 ) Proses memastikan keberlangsungan berjalannya sistem dan terjadinya perubahan melalui penguatan unit organisasi, deregulasi-regulasi, penginkatan sistem pengawasan, perbaikan/pengadaan sarana dan prasarana yang berdampak pada perubahan pola pikir, perubahan budaya kerja dan perubahan perilaku.
2. Reformasi birokrasi yang dilaksanakan yang pada hakekatnya ditunjuk untuk membangun/ membentuk profil dan perilaku aparatur negara yang memiliki: 1) Integritas tinggi, yaitu: perilaku aparatur negara yang dalam bekerja senantiasa menjaga sikap profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas (kejujuran, kesetiaan, komitmen) serta menjaga keutuhan pribadi; 2) Produktivitas tinggi dan bertanggungjawab, yaitu: hasil optimal yang dicapai oleh aparatur negara dari serangkaian program kegiatan yang inovatif, efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya yang ada serta ditunjang oleh dedikasi dan etos kerja yang tinggi, dan 3) Kemampuan memberikan pelayanan yang prima, yaitu: Kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak dari hasil kerja birokrasi yang profesional,



                                                                          


DAFTAR PUSTAKA

Atmoko dkk, Tjipto. 2007, Pengukuran Kualitas Pelayanan Administrasi Penanaman Modal Di pekanbaru, . Laporan Penelitian : Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas Riau.
Dwiyanto, Agus et al. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hardjapamekas, Erry Riana. 2003. Reformasi Birokrasi : Tantangan dan Peluang, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional
Insani, Istyadi, 2010. Penyusunan Standar Operasional Prosedur Dalam Reformasi Birokrasi Sebagai Business Process Reengineering Birokrasi Pemerintah, Makalah ini disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara III di Bandung pada tanggal 6-8 Juli 2010.
Jasin dkk, Muhammad. 2007. Implementasi Layanan Terpadu Di Kabupaten/Kota Studi Kasus :Pekanbaru, Jakarta : Litbang UR.
KPK, 2011. Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) 2011, Jakarta : Litbang KPK
UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 Tentang Grand Desaign Reformasi Birokrasi 2010- 2025.
 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.24 Tahun 2006 tentang  Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu.



[1] Jasin dkk, Muhammad. 2007. Implementasi Layanan Terpadu Di Kabupaten/Kota Studi Kasus :Pekanbaru, Jakarta : Litbang UR, hal. 142.

[2] Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008, hal. 142
[3] Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Badan Perijinan Terpadu Dan Penanaman Modal Kota Pekanbaru
[4] Jonker Sihombing, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Bandung: Alumni,2008, Hal. 23.
[5] Atmoko dkk, Tjipto. 2007, Pengukuran Kualitas Pelayanan Administrasi Penanaman Modal Di pekanbaru, . Laporan Penelitian : Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Universitas Riau, hal. 53.

[6] Dwiyanto, Agus et al. 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal.74.

[7] MG. Westi Kekalih, Kajian Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu di kota Pekanbaru KPPOD-BKPM, pekanbaru, 2007, hal. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar