PERAN DAN FUNGSI
UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT DALAM
MEWUJUDKAN EFISIENSI KEGIATAN
USAHA DI INDONESIA
OLEH
JONI ALIZON
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia
usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri.
Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya turut terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala
tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang ada pada akhirnya membuat
dunia usaha tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan
mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.[1]
Pesatnya perkembangan dunia usaha
adakalanya tidak diimbangi dengan penciptaan rambu-rambu pengawas. Dunia usaha
yang berkembang terlalu pesat dapat saja
meninggalkan rambu-rambu yang ada dan jelas
tidak akan menguntungkan pada akhirnya. Di dalam dunia usaha, monopoli bukanlah
hal yang asing lagi yang terjadi di setiap sistem ekonomi. Dengan memonopoli
suatu bidang berarti terbuka kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan pribadi. Monopoli bukan saja dapat menarik
keuntungan tetapi juga dapat menganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang
sedang berjalan.
Monopoli
diartikan sebagai kekuasaan untuk menentukan harga, kualitas dan kuantitas
suatu produk yang ditawarkan kepada masyarakat, masyarakat tidak pernah diberi
kesempatan untuk menentukan pilihan, baik mengenai harga, mutu, dan jumlah.[2]
Monopoli telah memberikan suatu kesan bagi masyarakat luas yang secara
prakteknya tidak baik dan merugikan kepentingan banyak orang.
Pada
tanggal 5 Maret 1999 Pemerintah dan DPR Republik Indonesia telah melahirkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Adanya undang-undang ini merupakan rambu-rambu dan batasan
dalam mengakses “kue” pembangunan sehingga si besar tidak dengan seenaknya
mengambil bagian si kecil. Batas-batas yang jelas akan menjadi pagar agar salah
satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tapi sebagai mitra
untuk bekerja sama. Undang-undang ini
secara garis besar pengaturannya meliputi beberapa bagian yaitu :
1. Perjanjian
yang dilarang.
2. Kegiatan
yang dilarang.
3. Penyalahgunaan
posisi dominan.
4. Komisi
pengawas persaingan usaha.
5. Tata
cara penanganan hukum.
6. Sanksi-sanksi.
7. Perkecualian-perkecualian.
Latar
belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun
1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan
usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada
perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun
bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi
pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah
menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada
kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan
tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.
Adanya undang-undang
ini berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan melindungi konsumen,
terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menciptakan efisiensi dalam
kegiatan usaha sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, adapun perumusan masalah dalam
penulisan makalah ini yaitu :
1. Bagaimana sejarah lahirnya undang-undang
anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
2. Bagaimana Peran dan Fungsi Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat Dalam Mewujudkan Efisiensi Kegiatan Usaha di Indonesia?
BAB II
LATAR BELAKANG LAHIRNYA UNDANG-UNDANG
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.
Latar belakang
diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul
iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia,
yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu,
baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak
sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu
terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi
Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha
yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha
untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia.
UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis
ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan
negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan
salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu
Indonesia keluar dari krisis ekonomi. Undang-undang ini berlaku efektif pada
tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk
Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal
30 UU No. 5/1995).
Secara umum,
isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam
undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara
maju, antara lain adanya ketentuan tentang
jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan
posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap
melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan
negara.
Sejauh ini
KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia
yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan
terlarang oleh UU No. 5/1999 serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.
Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkongkolan.
Praktik
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh
satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau
pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan
usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sementara itu,
persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antarpelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang
dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.
Tiga belas tahun penerapan UU Antimonopoli perlu
dilakukan suatu refleksi, apa dampaknya bagi dunia usaha, bagi konsumen dan
pemerintah. Selama Tiga belas tahun
berlakunya UU Antimonopoli, sejak tahun 2000 sampai sekarang menurut Zubaedah,
Kasubdit Advokasi KPPU, KPPU telah menerima 963 laporan pelanggaran tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan tidak sehat. Setelah laporan itu
diklarifikasi, yang ditindaklanjuti berjumlah 179. Dari jumlah tersebut
sebanyak 121 diputuskan, 43 statusnya penetapan, sedangkan 15 lainnya sedang
ditangani.
Dilihat dari
jumlah kasus yang dilaporkan, yang sudah diputuskan dan yang sedang diproses,
KPPU dapat dikatakan tergolong aktif melaksanakan tugas dan wewenangnya. Tetapi
yang perlu dievaluasi secara sederhana adalah dampak UU Antimonopoli tersebut
terhadap pelaku usaha, terhadap konsumen dan Pemerintah sendiri.[3]
Tujuan UU
Antimonopoli
Sebelum lebih
jauh mengkaji UU Antimonopoli ini, perlu diketahui terlebih dahulu tujuan UU
Antimonopoli. Adapun tujuan UU Antimonopoli sebagaimana ditetapkan di dalam
Pasal 3 adalah untuk:
a) menjaga
kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu
upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b) mewujudkan
iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat
sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku
usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;[4]
c) mencegah
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh
pelaku usaha; dan
d)terciptanya
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Dari ke empat
tujuan tersebut, Martinus Udin Silalahi dalam tulisannnya yang dimuat dalam
situs Koran Harian Sore Sinar Harapan tanggal 9 Maret 2005 merumuskan menjadi dua
tujuan pokok, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial. Menurut Martinus, maksud
tujuan ekonomi adalah terselenggaranya persaingan usaha yang sehat, kondusif
dan efektif yang mengakibatkan efisiensi ekonomi. Sedangkan tujuan sosial
adalah melalui persaingan usaha yang sehat tersebut kesejahteraan masyarakat
akan ditingkatkan (the maximization of consumer welfare), yaitu masyarakat akan
mempunyai pilihan untuk membeli suatu barang atau jasa dengan harga yang lebih
murah. Jadi, kedua tujuan tersebut menjadi dasar parameter untuk menilai,
apakah dampak UU Antimonopoli tersebut terhadap pelaku usaha, terhadap
masyarakat (konsumen), dan terhadap Pemerintah sendiri.[5]
Dampak UU
Antimonopoli bagi Pelaku Usaha
Dampak UU
Antimonopoli tersebut bagi pelaku usaha adalah yang pertama, pelaku usaha tidak
boleh menjalankan usaha dengan cara tidak fair atau menjalankan usaha merugikan
pesaingnya baik secara langsung maupun tidak langsung; yang kedua pelaku usaha
harus sungguh-sungguh bersaing dengan kompetitornya supaya tetap dapat eksis di
pasar yang bersangkutan, baik dari aspek kualitas, harga maupun pelayanannya.
Karena suatu pelaku usaha tidak tahu persis apa yang dilakukan oleh
kompetitornya untuk tetap eksis, maka setiap pelaku usaha akan melakukan
perbaikan peningkatan terhadap produknya (inovasi) untuk menghasilkan kualitas
yang lebih baik, harga yang lebih murah dan memberikan pelayanan yang terbaik
untuk menarik hati konsumen. Apakah ini sudah dijalankan oleh pelaku usaha di
Indonesia? Sejak diberlakukannya UU Antimonopoli sepuluh tahun yang lalu,
pelaku usaha umumnya sudah memperhatikan rambu-rambu yang ditetapkan di dalam UU
Antimonopoli.[6]
Paling tidak
mengetahui bahwa ada UU Antimonopoli yang memberi kebebasan kepada pelaku usaha
untuk menjalankan usahanya, tetapi kebebasan tersebut sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan di dalam UU Antimonopoli tersebut. Misalnya, adanya larangan penguasaan pangsa
pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (Pasal
17), dan penguasaan pangsa pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha (Pasal 25 ayat 2 huruf b). Namun, batasan ini tidak berlaku mutlak.
Artinya tidak
setiap pelaku usaha melebihi pangsa pasar tersebut langsung dilarang, melainkan
harus dibuktikan terlebih dahulu, apakah dengan melebihi penguasaan pangsa
pasar yang ditetapkan tersebut mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Kalau ya, maka larangan tersebut dikenakan kepada pelaku usaha yang
bersangkutan, kalau tidak, maka pelaku usaha tersebut tidak dikenakan larangan
tersebut.
Dengan
demikian UU Antimonopoli tidak anti perusahaan besar. Justru UU Antimonopoli
mendorong perusahaan menjadi perusahaan besar asalkan atas kemampuannya
sendiri, bukan karena melakukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat.
Bab III
PERAN
DAN FUNGSI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DALAM MEWUJUDKAN EFISIENSI KEGIATAN USAHA DI
INDONESIA
Secara umum, monopoli sangat
ditakuti, terutama pada negara-negara yang baru memulai mencoba memasuki arena
perdagangan dunia bebas karena:
1.
Monopoli
dikhawatirkan akan dapat meninggikan harga dan membatasi jumlah produksi (output) dibanding dengan pasar dengan
persaingan;
2.
Monopoli
dianggap mempunyai kemampuan untuk berproduksi pada suatu tingkat jumlah yang
keuntungannya paling besar, dan ini berarti pendapatan dari monopolist diperoleh dengan mengambil
tenaga beli milik konsumen (masyarakat);
3.
Monopoli
dapat mencegah terjadinya alokasi sumber daya ekonomi yang optimal, karena
monopolist akan berproduksi tidak pada tingkat di mana biaya rata-rata paling
rendah (tidak efisien), berbeda dengan pasar persaingan sempurna;
4.
Praktek
monopoli menentukan harga jual sepihak, menghambat perbaikan teknologi,
membatasi perusahaan masuk industri tersebut dan karena berkuasa dalam pasar
maka monopolist bisa mempermainkan pasar.[7]
Di Indonesia, dalam mewujudkan
persaingan usaha yang sehat dan larangan dalam monopoli merupakan bagian
terpenting dari kebijakan pemerintah dalam menciptakan efisiensi dan
kesejahteraan bagi masyarakat, Pada tanggal 5 Maret 1999 DPR-RI bersama
pemerintah melahirkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (LN
1999 No. 33, TLN No. 3817). UU ini lahir dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya
menciptakan persaingan usaha yang sehat sehingga tercipta iklim persaingan usaha
yang sehat serta terhindarnya pemusatan ekonomi pada persaingan atau kelompok
tertentu dalam bentuk praktek monopoli yang merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Selanjutnya
dalam sidang MPR RI Tahun 1999 dihasilkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Dalam Bab IV Arah Kebijakan,
Sub B Bidang Ekonomi diamanat sebagai berikut :
-
Mengembangkan
persaingan yang sehat dan adil serta menghindarkan terjadinya struktur pasar
monopolistis dan berbagai strukutur pasar yang distortif yang merugikan
masyarakat.
-
Mengoptimalkan
perannan pemerintah dalam mengoreksi ketidaksempurnaan pasar dengan
menghilangkan seluruh hambatan yang menganggu mekanisme pasar melalui regulasi,
layanan publik, subsidi, dan insentif yang dilakukan secara transparan dan
diatur dengan undang-undang.
UU
tentang Larang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dilahirkan karena
untuk mengarahkan pembangunan ekonomi demi terwujudnya kesejahteraan rakyat
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. UU No. 5 Tahun 1999 didasarkan kepada demokrasi ekonomi yang artinya
menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa,
dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar.
Monopoli
memberikan dampak yang tidak baik karena tidak memberikan kesempatan
keseimbangan dalam melakukan usaha, oleh karena itu monopoli dilarang karena
mengandung beberapa efek negatif yang merugikan antara lain :
a.
Terjadinya
peningkatan harga suatu produk sebagai akibat adanya kompetisi dan persaingan
yang bebas. Harga tinggi ini pada gilirannya akan menyebabkan inflasi yang
merugikan masyarakat luas.
b.
Adanya
keuntungan (profit) di atas kewajaran
yang normal. Pelaku usaha akan seenaknya menetapkan harga untuk memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya karena konsumen tidak ada pilihan lain dan
terpaksa membeli produk tersebut.
c.
Terjadi
eksploitasi terhadap konsumen atas produk. Produsen akan seenaknya menetapkan
kualitas suatu produk tanpa dikaitkan dengan biaya yang dikeluarkan.
Eksploitasi ini juga akan menimpa karyawan dan buruh yang bekerja pada produsen
tersebut dengan menetapkan gaji dan upah yang sewenang-wenang tanpa memperhatikan
ketentuan yang berlaku.
d.
Terjadi
ketidakekonomisan dan ketidakefisienan yang akan dibebankan kepada konsumen
dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak
beroperasi pada average cost yang
minimum.
e.
Adanya
entri barrier di mana perusahaan lain
tidak dapat masuk ke dalam bidang usaha perusahaan monopoli tersebut karena
penguasaan pangsa pasarnya yang besar. Perusahaan-perusahaan kecil tidak diberi
kesempatan untuk tumbuh berkembang dan akan menemui ajalnya satu persatu.
f.
Pendapatan
menjadi tidak merata karena sumber dana dan modal akan tersedot ke dalam
perusahaan monopoli. Masyarakat banyak harus berbagi dengan banyak orang bagian
yang sangat kecil, sementara perusahaan monopoli dengan sedikit orang akan
menikmati bagian yang lebih besar.[8]
Adanya
UU No. 5 tahun 1999 merupakan kebutuhan campur tangan pemerintah dalam
memperbaiki pengaturan kegiatan ekonomi agar iklim persaingan usaha berjalan
dengan sehat dan wajar, campur tangan pemerintah ini mempunyai beberapa tujuan
penting yaitu :
1.
Mengawasi
agar eksternaliti kegiatan ekonomi yang merugikan dapat dihindari atau akibat
buruknya dapat dikurangi.
2.
Menyediakan
barang publik yang cukup sehingga masyarakat dapat memperoleh barang tersebut
dengan mudah dan dengan biaya murah.
3.
Mengawasi
kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan yang besar yang
dapat mempengaruhi pasar, agar mereka tidak mempunyai kekuasaan monopoli yang
merugikan khalayak ramai.
4.
Menjamin
agar kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak menimbulkan penindasan dan
ketidaksetaraan di dalam masyarakat.
5.
Memastikan
agar pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan dengan efisien.[9]
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 dinyatakan “monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha”. Selain pengertian monopoli UU No. 5 Tahun 1999 juga memberikan
pengertian dari praktek monopoli yang dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (1) “praktek monopoli adalah pemusatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”. Dari
pengertian yang diberikan oleh UU tersebut terdapat hal yang penting tentang
adanya praktek monopoli yaitu :
1.
Adanya pemusatan kekuatan ekonomi;
2.
Pemusatan kekuatan tersebut pada
satu atau lebih pelaku usaha ekonomi;
3.
Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat;
4.
Pemusatan ekonomi tersebut merugikan
kepentinga umum.
Pemusatan ekonomi adalah penguasaan
yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha
sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.[10]
Sedangkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.[11]
Untuk mencegah tejadinya persaingan
usaha tidak sehat, yang mengarah ke arah terjadinya monopoli. UU No. 5 Tahun
1999 melarang dilakukan tindakan-tindakan tertentu oleh pelaku usaha. Secara
garis besar tindakan-tindakan tersebut dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori.
1.
Tindakan yang dilakukan dalam rangka
kerja sama dengan sesama pelaku usaha ekonomi atau yang termasuk ke dalam
perjanjian yang dilarang yang diatur yaitu
Pasal 4 dalam bentuk Oligopoli,
Pasal 5-8 dalam bentuk penetapan harga, Pasal 9 dalam bentuk Pembagian wilayah
secara bersama, Pasal 10 dalam bentuk kerjasama Pemboikotan, Pasal 11 dalam
rangka pembentukan Kartel, Pasal 12 untuk Trust, Pasal 13 dalam bentuk
Oligopsoni, Pasal 14 dalam rangka Integrasi vertikal, Pasal 15 dalam bentuk
Perjanjian tetutup, Pasal 16 dalam bentuk perjanjian dengan pihak luar negeri.
2.
Tindakan atau perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pelaku usaha dan atau kelompok pelaku usaha atau yang termasuk
ke dalam kegiatan yang dilarang yaitu monopoli yang diatur di dalam Pasal 17,
Monopsoni yang diatur dalam Pasal 18, Penguasaan Pasar, yang diatur dalam Pasal
19-Pasal 21, Persengkongkolan Pasal 22-Pasal 24.
Berdasarkan
tindakan-tindakan yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999, dalam hal ini UU No.
5 Tahun 1999 memiliki peran melakukan pengawasan atas berbagai perjanjian dan
berbagai kegiatan di dalam usaha berfungsi menjadi sarana kontrol atas suatu
pasar tertentu dan mencegah persaingan yang tidak sehat dalam pasar. Di dalam
melakukan pengawasan untuk memenuhi amanat UU No. 5 Tahun 1999 dibentuk sebuah
lembaga independen Indonesia yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut yaitu:
1. Perjanjian
yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara
bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian
tertutup, oligopoli, predatory pricing,
pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak
luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan
kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan
pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
3. Posisi dominan, pelaku usaha yang
menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar,
menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Keberadaan
KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat :
1.
Konsumen tidak lagi menjadi
korban posisi produsen sebagai price
taker.
2.
Keragaman produk dan harga dapat
memudahkan konsumen menentukan pilihan
3.
Efisiensi alokasi sumber daya
alam.
4.
Konsumen tidak lagi diperdaya
dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar
monopoli.
5.
Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi
karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
6.
Menjadikan harga barang dan jasa
ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
7.
Membuka pasar sehingga kesempatan
bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
8.
Menciptakan inovasi dalam
perusahaan.[12]
Dalam hal KPPU menjalankan kewenangan dan tugasnya
apabila pelaku usaha melanggar ketentuan-ketentuan yang telah diatur, maka KPPU
berwenang menjatuhkan sanksi berupa
tindakan administratif, di dalam Pasal 47 ayat (2) tindakan administratif itu
adalah:
1. Penetapan pembatalan perjanjian.
2. Perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan integrasi vertikal.
3. Perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau
menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
4. Perintah kepada pelaku usaha untuk
menghentikan penyalahgunaan posisi dominan.
5. Penetapan pembatalan atas penggabungan
atau peleburan badan usaha dan pengambialihan
saham.
6. Pembayaran ganti rugi.
7. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000
(satu milyar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000 (dua puluh lima
milyar rupiah).
UU No. 5 Tahun 1999 merupakan
rambu-rambu bagi pelaku usaha agar tidak melakukan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, dengan adanya UU No. 5 Tahun 1999 pasar tidak
akan bisa dikuasai oleh satu pelaku melainkan memberikan keseimbangan yang
berlandaskan kepada demokrasi ekonomi, setiap para pelaku usaha dapat bersaing
dengan wajar karna pada dasarnya tidak ada suatu larangan bagi individu maupun
badan hukum yang menjalankan usaha untuk mengembangkan usahanya menjadi besar
namun hal itu dilakukan dengan pengembangan yang diikuti dengan cara-cara yang
benar dan memberikan keterbukaan persaingan usaha yang sehat bagi setiap pelaku
usaha.
Pada dasarnya UU No. 5
Tahun 1999 berfungsi memberikan keseimbangan bagi setiap pelaku usaha dalam
melaksanakan usahanya dan memperhatikan kepentingan umum. Sesuai dengan Pasal 3
UU No, 5 Tahun 1999 dibentuk memiliki peran dan tujuan yaitu:
1. Menjaga kepentingan umum dan
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif
melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya
kepastian hukum kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3. Mencegah terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Adanya UU No, 5 Tahun 1999
merupakan salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk mempertinggi
efisiensi kegiatan ekonomi dalam mencapai tujuan perkembangan ekonomi yang
sehat. Pentingnya peraturan perundang-undangan ini menjamin berfungsinya mekanisme
pasar secara efisien, dapat dilihat dengan jelas apabila diperhatikan
akibat-akibat buruk yang mungkin timbul apabila setiap pelaku usaha diberi
kebebasan yang tidak terbatas dalam melakukan kegiatannya. Dengan demikian,
adanya UU No. 5 Tahun 1999, para pelaku usaha akan mengetahui hak-hak maupun
kewajiban-kewajibannya dalam melakukan usaha dan menjamin agar dalam
perekonomian tidak terdapat kekuasaan monopoli serta memberikan ruang bagi
pelaku usaha untuk bersaing secara sehat, jujur demi terciptanya pelaksanaan
ekonomi yang sehat dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Monopoli
merupakan penguasaan pasar yang pada umumnya dikuasai oleh satu pelaku usaha dan
mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya sehingga menyebabkan ketidakseimbangan serta ketidakefisienan
dalam kegiatan ekonomi dan merugikan masyarakat luas. monopoli ada karena
didasarkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat karena melakukan persaingan
yang tidak wajar dengan menciptakan harga secara sepihak. Dalam prakteknya
monopoli akan menguasai pasar secara mutlak sehingga pihak-pihak lain tidak
memiliki kesempatan untuk berperan serta. Monopoli memberikan dampak yang tidak
baik karna tidak memberikan kesempatan keseimbangan dalam melakukan kegiatan
usaha, oleh karena itu monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek
negatif yang merugikan.
Lahirnya
UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Yang
Tidak Sehat di Indonesia merupakan jaminan dari pemerintah agar terciptanya iklim
usaha yang sehat yang berdasarkan kepada Pancasila dan Demokrasi Ekonomi
sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha
tertentu. UU No. 5 Tahun 1999 mewujudkan
efisiensi dalam usaha di Indonesia karena memberikan kesempatan serta ruang yang
sama bagi setiap warga untuk berpatisipasi di dalam produksi dan pemasaran
barang dan atau jasa. Pentingnya UU No. 5 Tahun 1999 berfungsi menjadi sarana
kontrol pengawasan dan memberikan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar
ketentuan-ketentuan yang telah diatur. Peran dan fungsi UU No. 5 Tahun 1999
memberikan arah kebijakan dari pemerintah dalam menciptakan efisiensi kegiatan usaha
di Indonesia demi kesejahteraan rakyat.
B. Saran
Diharapkan kepada pemerintah agar
terus menjaga dan mencegah agar praktek monopoli dan persaingan usaha yang
tidak sehat tidak banyak terjadi di Indonesia. pemerintah harus terus berupaya
meningkat kineja KPPU dalam melakukan pengawasan dan memberikan sanksi bagi
pelanggar UU No. 5 Tahun 1999 sehingga efisiensi dan iklim yang sehat dalam
usaha selalu terwujud demi terciptanya keseimbangan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat Indonesia dan diharapkan dengan adanya UU No. 5 Tahun 1999 memberikan
dampak positif bagi terciptanya pelaku usaha yang berlandaskan kepada Pancasila
dan Demokrasi Ekonomi
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ahmad
Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis-Anti Monopoli, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Gunawan
Widjaja, Serial Hukum Bisnis-Merger Dalam Perspektif Monopoli, PT.RajaGrafindo,
Jakarta, 2002.
Johny Ibrahim, Hukum
Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia),
Bayumedia Publishing, Malang-Jawa Timur, 2006.
Legowo,
Persaingan
Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajerial, UI Press, Jakarta, 1996.
Rahchmadi
Usman, Hukum Persaingan usaha di Indonesia, PT Gramedia Pustaka
Utama, jakarta, 2004
Sadono Sukirno, Mikro
Ekonomi Suatu Pengantar, Edisi Ketiga, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
C. Internet
http://lintangasmara.wordpress.com/2011/05/16/bab-10-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/.
Diakses pada hari Senin tanggal 23 September 2013, Pukul 19.56 wib
[1] Ahmad Yani &
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis-Anti Monopoli, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2006, hlm. 1.
[2] Ibid
[3] Sadono Sukirno, Mikro
Ekonomi Suatu Pengantar, Edisi Ketiga, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hlm. 266.
[4] Johny
Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha (Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia),
Bayumedia Publishing, Malang-Jawa Timur, 2006, hlm. 43.
[5] Ibid, hlm. 267.
[6] unawan
Widjaja, Serial Hukum Bisnis-Merger Dalam Perspektif Monopoli, PT.
RajaGrafindo, 2002, Jakarta, 2002, hlm. 9-10.
[7] Ibid, hlm. 12.
[8] Ahmad Yani &
Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 30.
[9] Sadono Sukirno, Op.Cit, hlm. 412.
[10] UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Pasal 1 ayat
3
[11] Rahchmadi Usman, Hukum
Persaingan usaha di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta, 2004, hlm. 68
[12] http://lintangasmara.wordpress.com/2011/05/16/bab-10-anti-monopoli-dan-persaingan-tidak-sehat/.
Diakses pada hari Senin tanggal 23 September 2013, Pukul 19.56 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar