MEDIASI
SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
OLEH
JONI ALIZON, SH.,MH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah
mahluk sosial (zoon politicon), yakni mahluk yang tidak dapat melepaskan
diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi
kebutuhanya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dalam melakukan hubungan
dengan manusia lain sudah pasti terjadi persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam
kepentingan, pandangan, dan perbedaan ini dapat melahirkan perselisihan, pertentangan
atau konflik.[1]
Semakin kompleksnya kepentingan manusia dalam sebuah peradaban menimbulkan
semakin tingginya potensi sengketa yang terjadi antar individu maupun antar
kelompok.
Dinamika sosial yang terjadi dewasa ini terus berkembang
demikian pesat sehingga memicu terbentuknya skema-skema persaingan yang ketat
dalam segala aspek kehidupan sosial. Semakin sulitnya manusia memenuhi
kebutuhan hidup, maka akan semakin menunjukkan gejala faktual terhadap
munculnya benih-benih konflik dalam sistem sosial sehingga untuk memenangkan
konflik atau sengketa yang terjadi tersebut, proses penyelesaian sengketa yang
sudah dikenal sejak lama dalam menyelesaikan konflik antar pihak adalah melalui
pengadilan.
Proses yang dilalui di pengadilan dalam menyelesaikan
suatu sengketa para pihak cenderung menghasilkan masalah baru karena yang sifatnya
adalah win-lose. Seiring dengan
perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan ikut
berkembang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan Pasal 1 angka 10
dinyatakan “Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa
secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil ,seimbang,
dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat.[2]
Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara tepat dengan
menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan
individu dan tidak membiarkan terus menerus tetapi harus diupayakan jalan
penyelesaian.
Penyelesaian konflik
atau sengketa di masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan
kedua belah pihak, pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan
perantara. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah
dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian
untuk masa depan, dengan mengakomodasikan kepentingan-kepentingan mereka secara
berimbang.
Mediasi sebagai salah
satu alternatif penyelesaian sengketa merupakan penyelesaian yang memberikan win-win solution bagi para pihak
yang bersengketa. Keberadaan mediasi
sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa,merupakan bagian dari
norma sosial yang hidup, dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang
berorientasi pada keseimbangan dan keharmonisan yang intinya semua orang merasa
dihormati, dihargai dan tidak ada yang dikalahkan, mediasi akan memberikan
akses kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang lebih cepat dan mengurangi
beban perkara di pengadilan.
Di perkembangannya juga
mediasi mendapatkan kedudukan penting di dalam proses pengadilan, Mahkamah
Agung menetapkan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
yang bertujuan menjadi instrument
efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping
proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, adapun perumusan masalah dalam
penulisan makalah ini yaitu :
1.
Bagaimana
Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2.
Bagaimana Peran Mediasi
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan?
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang sengketa Perdata
1)
Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi)
Suyud Margono
berpendapat bahwa litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan
konflik sesunnguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan
keputusan dua pilihan yang bertentangan.[3]
Litigasi sangat formal terkait pada
hukum acara, para pihak berhadap-hadapan
untuk saling beragumentasi, mengajukan
alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Kelebihan dari litigasi adalah proses beracara jelas dan pasti sudah ada pakem yang harus diikuti sebagai protap. Adapun kelemahan litigasi adalah proses lama, berlarut-larut
untuk mendapatkan putusan yang final dan mengikat menimbuikan keteganagan antara pihak
permuuhan; kemampuan pngetahuan hukum bersifat umum; tidak bersifat rahasia;
kurang mengakomodasi kepentingan yang tidak secara langsung berkaitan dengan
sengketa.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi adalah
sebagai berikut :
a)
jika para pihak gagal mencapai kespakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat dalam suatu proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
b) Catatan mediator wajib dimusnahkan
c) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi
dalam proses perkara yang bersangkutan.
d) Mediator tidak dapat
dikenal pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses
mediasi.
2)
Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
penyelesaian sengketa didalam pengadilan ada juga
sengketa diluar pengadilan yang disebut dengan non litigasi. Yang telah
diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur Tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Oleh sebab
itu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dibagi menjadi dua yaitu :
a)
Arbitrase
Lembaga arbitrase melalui tenaga ahli sebagai pengganti Hakim berdasarkan Undang-Undang mengganti dan memutus suatu sengketa antar pihak-pihak yang berselisih.
Arbitrase
merupakan suatu penyelesaian sengketa diluar
Pengadilan, oleh para wasit yang dipilih kedua elah pihak untuk bersengketa. Untuk menyelesaikan melalui jalur hukum yang putusannya diakui sebagai putusan terakhir dan mengikat. Syarat utuama agar putusan dapat diselesaikan melalui badan aritrase adalah adanya persetujuan pihak-pihak yang bersengketa bahwa sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hakikat dari arbitrae adalah
yurisdiksi.[4]
Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. [5]
b)
Alternatif penyelesaian sengketa
Sengketa atau konflik merupakan bagian dari proses
interaksi
antar manusia. Setiap individu atau pihak yang
mengalami
sengketa akan berusaha menyelesaikannya menurut
cara-cara yang
dipandang paling tepat. Secara dikotomi cara-cara
penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh itu meliputi dua kemungkinan, yaitu
melalui penegakan hukum formal oleh lembaga peradilan atau proses diluar
peradilan yang mengarah pada pendekatan kompromi.
Pada awal pengembangan Alternative Dispute Resolution (ADR) muncul pola pikir perlunya pengintegrasian komponen ADR ke dalam undang-undang mengenai arbitrase. Pemikiran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan ADR sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat berkembang pesat dan sesuai dengan tujuannya. Pembentukan ADR
sebagai alternatif penyelesaian sengketa tidak cukup dengan dukungan budaya
musyawarah atau mufakat dari masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan pelembagaan
yang meliputi perundang-undangan untuk memberikan landasan hukum dan
pembentukan asosiasi profesi atau jasa profesional.[6]
Pengertian Alternatif Penyelesaian
Sengketa ditur dalm pasal 70 Undang-Undang
No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan-putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Surat atau dokomen yang diajukan dalam pemeriksaan,
setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
(c)
Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu dalam penyelesaian sengketa.
Kesepakatan di luar Pengadilan juga diatur dalam
Peraturan
Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 (PERMA) pasal 23 yaitu sebagai berikut :
(1)
Para pihak dengan bantuan mediator besetifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akata perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2)
Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dirtai atau
dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan
ada hubungan hukum para pihak dengan obyek sengketa.
(3)
Hakim di hadapkan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersbut memenuhi
syaratsyarat
sebagai berkut :
a.
Sesuai kehendak para pihak;
b.
Tidak bertentangan dengan hukum;
c.
Tidak merugikan pihak ketiga;
d.
Dapat dieksekusi;
e.
Dengan itikad baik.
B. Tinjauan tentang Mediasi
a) Pengertian mediasi
Menurut pendapat Moore C.W dalam naskah akademis mediasi,
mediasi adalah interensi terhadap suatu sengketa atau negoisasi oleh pihak
ketiga yang dapatiterima, tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
dalam memantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencari kesepakatan secara
sukarela dalam menyelesaikan permasalahan yang disengketakan.
Mediasi adalah upaya para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak lain yang netral (Muhammad Jamin,1995:32). Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator.
Kesimpulan
mediasi apabila diuraikan mengandung unsur- unsur Sebagai berikut:
a) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu
perundingan.
b)
Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian,
c)
Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa.
d)
Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.
e)
Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesimpulan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa.[7]
b) Prinsip-prinsip mediasi Prinsip-prinip mediasi yang digunakan pada daarnya
adalah sebagai berikut:
a)
Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam prose mediasi.
b)
Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
c)
Penggunaan pendekatan rekturisasi dengan pola best commerciaal practice.
d)
Menghormati hak-hak para pihak yang terkait.
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan tentang
karakteristik dari prinsip dalam suatu mediasi yaitu:
a)
Accessible
Setiap orang yang membuthkan dapat menggunakan mediasi, tidak ada suatu prosedur yang kaku dalam kaitannya dengan karakteristik antara mediasi yang satu dengan yang lainnya.
b)
Voluntary
Setiap orang yang mengambil bagian dalam proses mediasi
harus sepakat dan dapat memutuskan setiap saat apabila
ia menginginkan mereka tidak dapat memaksa untuk dapat menerima suatu hasil mediasi apabila dia meras hasil mediasi tidak menguntungkan atau memuaskan dirinya.
c)
Confidential
Para pihak ingin merasa bebas untuk menyatakan apa saja
dan menjadi terbuka untuk kepentingan mediasi.
d)
Fasilitative
Mediasi merupakan kreatifitas dan pendekatan pemecahan masalah terhadap persoalan yang dihadapi dan bergantung pada mediator untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan dengan tetap dan tidak dapat memihak.
c) Dasar
hukum mediasi
Dasar hukum mediasi adalah Undang-Undang No.4 Tahun
2004 pasal 16 ayat (2) tentang kekusaan kehakiman yang berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata dengan cara perdamaian. UndangUndang No 30 Tahun 1990 tentang arbitrese dan alternatif penyelesaian sengketa, yang lebih mempertegas keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Menurut ketentuan dari peraturan Mahkamah Agung bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur
mediasi di
Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia No 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung Tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 Tahun 2003 direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Sehingga Peraturan
Mahkamah agung No 2 Tahun 2003 diubah menjadi Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan (Perma No 1 Tahun 2008).
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Mediasi
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dipandang
menyelesaikan sengketa dengan tujuan win-win
solution, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa lahir sebagai aturan khusus untuk menyelesaikan suatu
perkara dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Berdasarkan Pasal 1 angka
10 dinyatakan “Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
Secara etimologi, istilah mediasi
berasal dari bahasa latin, Mediare
yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang
ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi
dan menyelesaikan sengketa antara para
pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi
netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. ia harus mampu menjaga
kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga
menumbuhkan kepercayaa (trust) dari
pihak yang bersengketa.[8]
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi
adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna
menghasilkan kesepakatan (agreement).[9] Kegiatan
ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai
alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah
mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat
mengakhiri perselisihan dan persengketaan. Ia tidak dapat memaksa para pihak
untuk menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihaklah yang
menentukan kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya
membantu mencari alternatif dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut
menyelesaikan sengketa.
Penjelasan mediasi dari sisi
kebahasaan (etimologi) lebih
menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak
bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Secara terminologi diungkapkan oleh para ahli yaitu :
- Laurence
Bolle menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang
dilakukan para pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator.
- J.
Folberg dan A. Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan
mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi. Kedua ahli ini menyatakan bahwa
penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh
pihak yang bersengketa dan dibantu oleh pihak yang netral.
- Garry
Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan
masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerjasama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk
membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.[10]
Berdasarkan pendapat para ahli diatas tersebut dapat
dikatakan jika mediasi merupakan suatu cara yang ditempuh oleh para pihak yang
bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral untuk
membantu penyelesaian konflik sehingga terbentuk kesepakatan yang tidak
merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.
Di dalam melakukan mediasi terdapat adanya pihak yang
membantu proses tersebut yaitu mediator. Mediator adalah pihak ketiga yang
membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan
intervensi terhadap pengambilan keputusan. Keberadaan mediator sebagai pihak
ketiga, sangat tergantung pada kepercayaan (trust)
yang diberikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian
sengketa dipandang mampu menyelesaikan sengketa secara tepat, dan menghasilkan
keputusan yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Mediasi mampu memberikan jalan
dan mendorong kesadaran para pihak agar bersedia “duduk bersama” memikirkan
jalan terbaik agar sengketa keduanya dapat berakhir dengan cepat. Adanya
konflik yang terjadi diantara pihak dapat diatasi mediasi melalui cara-cara
sebagai berikut :
1.
Menyediakan suasana yang tidak mengancam.
2.
Memberikan
setiap pihak kesempatan untuk berbicara dan didengarkan oleh pihka lainnya
secara lebih leluasa.
3.
Meminimalkan
perbedaan diantara mereka dengan menciptakan situasi informal.
4.
Perilaku mediator
yang netral dan tidak memihka, sehingga memberikan kenyamanan tersendiri; dan
5.
Tidak menekan
para pihak.[11]
Mediasi memiliki lima prinsip yaitu prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).[12]
Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi memiliki peran yang besar dalam
mengakhiri persengketaan karena memberikan
keadilan dan saling menguntungkan dari kedua belah pihak jika terjadi
sengketa. Di Indonesia mediasi sangat diutamakan di dalam proses pengadilan
sebelum masuk ke dalam pokok perkara, jika mediasi tidak dilaksanakan di dalam
proses pengadilan maka akan batal demi hukum.
B. Peran Mediasi
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Pada umumnya
masyarakat mengajukan gugatan ke pengadilan karena dipicu oleh gesekan
emosional, penyelesaian sengketa perdata di pengadilan sering diibaratkan
dengan istilah “Kalah jadi abu menang
jadi arang” artinya yang menang dan yang kalah akan sama-sama menderita
kerugian. Mediasi di pengadilan merupakan konsep yang dikembangkan terhadap
lembaga damai yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang menyatakan “Jika pada hari sidang yang ditentukan itu
kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya
akan mencoba mendamaikan mererka itu”.
Pada
awalnya lembaga perdamaian menurut Pasal 130 HIR/154 RBg tersebut hanya
dilaksanakan dengan cara memberikan saran, ruang dan kesempatan kepada para pihak
untuk menempuh perdamaian sendiri, sedangkan hakim yang menyidangkan perkaranya
tidak dapat terlalu jauh masuk ke dalam pokok persoalan para pihak. Seiring
dengan menumpuknya perkara perdata di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung,
maka mulai dipandang perlu memperluas ruang lingkup perdamaian dalam Pasal 130
HIR/154 RBg dengan tidak hanya difasilitasi hakim saja, namun juga dapat
difasilitasi oleh pihak ketiga yang memilki kememampuan khusus di bidang teknik
perundingan dan proses penyelesaian sengketa.[13]
Pada
tahun 2002 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2002 yang berjudul “Perbedayaan Pengadilan Tingkat Pertama
Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR/154 RBg)”. Penerbitan SEMA
tersebut bertolak dari salah satu Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta pada
tanggal 24-27 September 2001. Motivasinya yang mendorong adalah agar adanya
pembatasan perkara kasasi secara substansif dan prosesuil, sebab apabila
peradila tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, maka
akan berdampak pada turunnya jumlah perkara di tingkat kasasi.[14]
Penerbitan
SEMA dan PERMA tentang hukum acara mediasi bertujuan untuk mengoptimalkan
sistem penyelesaian sengketa secara damai, ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi upaya optimalisasi lembaga perdamaian di pengadilan antara
lain :
1.
Untuk mengatasi
penumpukan perkara di pengadilan dan
Mahkamah Agung;
2.
Untuk lebih
memberikan akses keadilan bagi para pihak
dengan proses yang cepat, sederhana dan biaya murah;
3.
Untuk memberikan
penyelesaian yang benar-benar tuntas dalam arti tidak hanya tuntas secara
hukum, namun juga bisa tuntas secara moral dan sosial;
4.
Untuk memberikan
kepastian hukum bagi para pihak atas kesepakatan damai yang telah dilakukan.[15]
Mediasi di pengadilan wajib diterapkan yang merupakan akses
untuk mendorong kesadaran para pihak untuk duduk bersama dalam menyelesaikan
sengketa dan solusi untuk mengurangi
penumpukan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Negeri dan Mahkamah
Agung, dan mediasi akan menghasilkan perdamaian dan menjalin hubungan baik
antara para pihak, memuaskan, hemat waktu dan hemat sumber daya, sehingga tidak
menghabiskan biaya dan tenaga.[16]
Proses mediasi dalam hal ini menjadi dua tahap yaitu pra
mediasi dan tahap mediasi, yang mana sudah diatur dalam PERMA No 1 Tahun 2008
yaitu :
1. Tahap
pra Mediasi
Pada
hari sidang yang telah ditentukan yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak,
hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi. Kehadiran dari pihak turut
Tegugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi, sehingga hakim melalui kuasa
hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi. kuasa hukum para pihak berkewajiban
mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan
kepada para pihak menempuh mediasi dan hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi
dalam PERMA ini kepada para pihak yang bersengketa.[17]
2.
Tahap
Proses Mediasi
Dalam
suatu mediasi dijelaskan tentang tahap-tahap proses mediasi sesuai dengan
Peraturan Mahkamah Agung berlangsung No 1 Tahun 2008 pada bab III pasal 13
tentang penyerahan resume perkara dan lama proses mediasi sebagai berikut:
1. Dalam
waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang
disepakati, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
2. Dalam
waktu paling sedikit 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator,
masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang
ditunjuk.
3. Proses
mediasi berlangsung paling lama 40 hari keja sejak mediator dipilih oleh para
pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal
11 ayat (5) dan (6).
4. Atas
dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu proses mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
5.
Jangka waktu proses mediasi tidak
termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
6. Jika
diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan
secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.[18]
Ketika proses mediasi mulai memasuki tahap
penyelesaian, maka masing-masing pihak akan menyampaikan kehendaknya
berdasarkan kepentigan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Pada
tahapan tersebut mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan
menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) PERMA
mediasi dinyatakan ”Jika mediasi
menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh
para pihak dan mediator”.
Ketentuan
tentang kewajiban kesepakatan damai harus dibuat secara tertulis juga diatur
dalam Pasal 1851 ayat (2) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Persetujuan ini (perdamaian) tidaklah sah
melainkans jika dibuat secara tertulis” oleh karena itu, jelas bahwa
perdamaian sebagaimana diatur dalam PERMA Mediasi dan KUHPerdata merupakan
perjanjian yang harus dibuat secara tertulis. Hal ini bertujuan untuk
mengantisipaso jika suatu saat salah satu pihak mengingkarinya, maka dokumen
kesepakatan itu dapat menjadi bukti untuk menuntut pelaksanaan kesepakatan yang
telah dibuat.
Dokumen kesepakatan yang telah disepakati oleh
para pihak dan ditandatangani akan dibawa kehadapan hakim yang menyidangkan
perkaranya untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian. Menurut Pasal 1 ayat
(2) PERMA mediasi dinyatakan “Akta
perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim
yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya
hukum biasa maupun luar biasa”. Sejak saat kesepakatan damai tersebut
dikukuhkan menjadi akta perdamaian oleh hakim, maka perkara yang melibatkan
para pihak dianggap selesai.
Putusan
perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan
khususnya bagi orang yang mencari keadilan (justitiabelen).
Sengketa selesai sama sekali, penyelesaian cepat dan ongkos ringan, selain
daripada itu permusuhan antara kedua belah pihak menjadi berkurang. Hal ini
jauh lebih baik daripada apabila perkara sampai diputus dengan putusan biasa.[19]
Mediasi memiliki peran yang sangat penting sebagai
alternatif penyelesaian sengketa jika terjadi pertentangan antar para pihak
yang berkepentingan, dengan mediasi segala proses dalam penyelesaian akan lebh
hemat dan efisien. Mediasi juga dapat mengurangi kemacetan di pengadilan.
banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan
sering memakan waktu yang panjang, sehingga memakan biaya yang tinggi dan
sering memberikan hasil yang kurang memuaskan, meningkatkan ketertiban
masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa serta memberikan kesempatan bagi
tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat
diterima oleh semua pihak.[20]
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Mediasi merupakan
alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki peran penting dalam
menyelesaikan konflik karena menggunakan pendekatan win-win solution, mediasi
menggunakan proses dan cara yang lebih sederhana dan mudah dalam rangka
memberikan akses keadilan yang lebih memuaskan kepada para pihak. Kesepakatan
perdamaian sebagai tujuan utama dari mediasi menjadi penyelesaian yang tuntas
karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose.
Pengintegrasian mediasi
ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument
efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan, serta memberikan
penyelesaian yang benar-benar tuntas dalam arti tidak hanya tuntas secara
hukum, namun juga bisa tuntas secara moral dan sosial.
B. Saran
Hendaknya setiap para
pihak selalu membudayakan musyawarah terlebih dahulu dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang disengketakan dan tidak terlalu mengikuti hasrat emosional.
Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan hingga dengan segala upaya
hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak akan terlalu menyelesaikan sesuatu
masalah yang disengketakan. Karena dengan proses beracara di pengadilan akan
muncul pihak yang kalah dan pihak yang menang sehingga justru akan menumbuhkan
dendam yang berkepanjangan, ditambah dengan proses acara yang memakan waktu lama,
serta biaya yang mahal.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku-buku
Gunawan
Widjaja, Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Frans Hendra
Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan
Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011.
Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, ,PT
Grafiti Budi Utami, Bandung , 2008.
Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Loena Gilmour,
Penny Hand, dan Cormac Mckeown (eds), Collins English Dictionary and Thesaurus,
Third Edition, Great Britain, Harper
Collins Publishers, 2007.
Retnowulan
Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,Bandung, 2005.
Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 2002.
Suyud Margono,
ADR (Alternative Dispute Resoluttion) & Arbitrase ,Ghalia
Indonesia, Bogor, 2004.
Syahrizal Abbas,
Mediasi
Dalam Hukum Syariah, Hukum Addat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011.
Takdir
Rahmadi, Mediasi Penyelesaian
Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2010.
Witanto,
Hukum
Acara Mediasi, Alfabeta,
Bandung, 2011.
Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.
B. Peraturan Perundang-undangan
PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
[7] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 59.
[14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm. 242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar