Rabu, 15 Juni 2016

MAKALAH HUKUM: MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA


MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

OLEH
JONI ALIZON, SH.,MH

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Manusia adalah mahluk sosial (zoon politicon), yakni mahluk yang tidak dapat melepaskan diri dari berinteraksi atau berhubungan satu sama lain dalam rangka memenuhi kebutuhanya baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dalam melakukan hubungan dengan manusia lain sudah pasti terjadi persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam kepentingan, pandangan, dan perbedaan ini dapat melahirkan perselisihan, pertentangan atau konflik.[1] Semakin kompleksnya kepentingan manusia dalam sebuah peradaban menimbulkan semakin tingginya potensi sengketa yang terjadi antar individu maupun antar kelompok.
            Dinamika sosial yang terjadi dewasa ini terus berkembang demikian pesat sehingga memicu terbentuknya skema-skema persaingan yang ketat dalam segala aspek kehidupan sosial. Semakin sulitnya manusia memenuhi kebutuhan hidup, maka akan semakin menunjukkan gejala faktual terhadap munculnya benih-benih konflik dalam sistem sosial sehingga untuk memenangkan konflik atau sengketa yang terjadi tersebut, proses penyelesaian sengketa yang sudah dikenal sejak lama dalam menyelesaikan konflik antar pihak adalah melalui pengadilan.
            Proses yang dilalui di pengadilan dalam menyelesaikan suatu sengketa para pihak cenderung menghasilkan masalah baru karena yang sifatnya adalah win-lose. Seiring dengan perkembangan zaman, proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan ikut berkembang dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dinyatakan “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
            Masyarakat Indonesia merasakan penyelesaian sengketa secara damai telah mengantarkan mereka pada kehidupan yang harmonis, adil ,seimbang, dan terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat.[2] Masyarakat mengupayakan penyelesaian sengketa mereka secara tepat dengan menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan tidak merampas atau menekan kebebasan individu dan tidak membiarkan terus menerus tetapi harus diupayakan jalan penyelesaian.
Penyelesaian konflik atau sengketa di masyarakat mengacu pada prinsip kebebasan yang menguntungkan kedua belah pihak, pihak dapat menawarkan opsi penyelesaian sengketa dengan perantara. Para pihak tidak terpaku pada upaya pembuktian benar atau salah dalam sengketa yang mereka hadapi, tetapi mereka cenderung memikirkan penyelesaian untuk masa depan, dengan mengakomodasikan kepentingan-kepentingan mereka secara berimbang.
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa merupakan penyelesaian yang memberikan win-win solution bagi para pihak yang  bersengketa. Keberadaan mediasi sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa,merupakan bagian dari norma sosial yang hidup, dan berkembang dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada keseimbangan dan keharmonisan yang intinya semua orang merasa dihormati, dihargai dan tidak ada yang dikalahkan, mediasi akan memberikan akses kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa yang lebih cepat dan mengurangi beban perkara di pengadilan.
Di perkembangannya juga mediasi mendapatkan kedudukan penting di dalam proses pengadilan, Mahkamah Agung menetapkan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang bertujuan  menjadi instrument efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).

B.  Perumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, adapun perumusan masalah dalam penulisan makalah ini yaitu :
1.     Bagaimana Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa?
2.     Bagaimana Peran Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan?





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang sengketa Perdata
1) Penyelesaian Di Dalam Pengadilan (Litigasi)
             Suyud Margono berpendapat bahwa litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritulisasikan untuk menggantikan konflik sesunnguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan.[3]
            Litigasi sangat formal terkait pada hukum acara, para pihak berhadap-hadapan untuk saling beragumentasi,  mengajukan alat bukti, pihak ketiga (hakim) tidak ditentukan oleh para pihak dan keahliannya bersifat umum, prosesnya bersifat terbuka atau transaparan, hasil akhir berupa putusan yang didukung pandangan atau pertimbangan hakim. Kelebihan dari litigasi adalah proses beracara jelas dan pasti sudah ada pakem yang harus diikuti sebagai protap. Adapun kelemahan litigasi adalah proses lama,  berlarut-larut untuk mendapatkan putusan yang final dan mengikat  menimbuikan keteganagan antara pihak permuuhan; kemampuan  pngetahuan hukum bersifat umum; tidak bersifat rahasia; kurang mengakomodasi kepentingan yang tidak secara langsung berkaitan dengan sengketa.
            Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 pasal 19 menjelaskan tentang keterpisahan mediasi dari litigasi adalah sebagai  berikut :
a) jika para pihak gagal mencapai kespakatan, pernyataan dan  pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat dalam suatu proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain.
b)  Catatan mediator wajib dimusnahkan
c)  Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses perkara  yang bersangkutan.
d) Mediator  tidak dapat dikenal pertanggungjawaban pidana maupun  perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.
2) Penyelesaian Di Luar Pengadilan (Non Litigasi)
            penyelesaian sengketa didalam pengadilan ada juga sengketa  diluar pengadilan yang disebut dengan non litigasi. Yang telah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur Tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Oleh sebab itu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dibagi menjadi dua yaitu :
a) Arbitrase
            Lembaga arbitrase melalui tenaga ahli sebagai pengganti Hakim berdasarkan Undang-Undang mengganti dan memutus  suatu sengketa antar pihak-pihak yang berselisih. Arbitrase merupakan suatu penyelesaian sengketa diluar Pengadilan, oleh  para wasit yang dipilih kedua elah pihak untuk bersengketa. Untuk menyelesaikan melalui jalur hukum yang putusannya diakui sebagai putusan terakhir dan mengikat. Syarat utuama agar putusan dapat diselesaikan melalui badan aritrase adalah adanya persetujuan pihak-pihak yang bersengketa bahwa sengketa mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. Hakikat dari arbitrae adalah yurisdiksi.[4]
            Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase  yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. [5]
b) Alternatif penyelesaian sengketa
            Sengketa atau konflik merupakan bagian dari proses interaksi antar manusia. Setiap individu atau pihak yang mengalami sengketa akan berusaha menyelesaikannya menurut cara-cara yang dipandang paling tepat. Secara dikotomi cara-cara penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh itu meliputi dua kemungkinan, yaitu melalui penegakan hukum formal oleh lembaga peradilan atau proses diluar peradilan yang mengarah pada pendekatan kompromi.
            Pada awal pengembangan  Alternative Dispute Resolution (ADR) muncul pola pikir perlunya pengintegrasian komponen ADR ke dalam undang-undang mengenai arbitrase. Pemikiran tersebut dimaksudkan untuk menjadikan ADR sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat berkembang pesat dan sesuai dengan tujuannya. Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian sengketa tidak cukup dengan dukungan budaya musyawarah atau mufakat dari masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan pelembagaan yang meliputi perundang-undangan untuk memberikan landasan hukum dan pembentukan asosiasi profesi atau jasa profesional.[6]
            Pengertian Alternatif Penyelesaian Sengketa ditur dalm pasal 70 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan-putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(a)  Surat atau dokomen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah  putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
(b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat  menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan
(c) Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah  satu dalam penyelesaian sengketa.
            Kesepakatan di luar Pengadilan juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 (PERMA) pasal 23 yaitu sebagai berikut :
(1) Para pihak dengan bantuan mediator besetifikat yang  berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan  kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke Pengadilan yang berwenang untuk  memperoleh akata perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
(2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dirtai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan obyek sengketa.
(3) Hakim di hadapkan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian  apabila kesepakatan perdamaian tersbut memenuhi syaratsyarat sebagai berkut :
a. Sesuai kehendak para pihak;
b. Tidak bertentangan dengan hukum;
c. Tidak merugikan pihak ketiga;
d. Dapat dieksekusi;
e. Dengan itikad baik.
 
B. Tinjauan tentang Mediasi
            a) Pengertian mediasi
            Menurut pendapat Moore C.W dalam naskah akademis  mediasi, mediasi adalah interensi terhadap suatu sengketa atau negoisasi oleh pihak ketiga yang dapatiterima, tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam memantu para pihak yang berselisih dalam upaya mencari kesepakatan secara sukarela dalam menyelesaikan permasalahan yang disengketakan.
            Mediasi adalah upaya para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak lain yang netral (Muhammad Jamin,1995:32).  Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan  dibantu mediator.
             Kesimpulan mediasi apabila diuraikan mengandung unsur- unsur Sebagai berikut:
a) Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa  berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan.
b) Mediator yang terlibat bertugas membantu para pihak yang  bersengketa untuk mencari penyelesaian,
c) Mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang  bersengketa.
d) Mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil  keputusan selama perundingan berlangsung.
e) Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan  kesimpulan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa.[7]
            b) Prinsip-prinsip mediasi  Prinsip-prinip mediasi yang digunakan pada daarnya adalah sebagai berikut:
a) Kewajiban partisipasi seluruh pihak dalam prose mediasi.
b) Upaya maksimal untuk mencapai mufakat.
c) Penggunaan pendekatan rekturisasi dengan pola best  commerciaal practice.
d) Menghormati hak-hak para pihak yang terkait.   
            Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan tentang karakteristik dari  prinsip dalam suatu mediasi yaitu:
a) Accessible
            Setiap orang yang membuthkan dapat menggunakan mediasi, tidak ada suatu prosedur yang kaku dalam kaitannya dengan karakteristik antara mediasi yang satu dengan yang lainnya. 
b) Voluntary
            Setiap orang yang mengambil bagian dalam proses mediasi  harus sepakat dan dapat memutuskan setiap saat apabila ia menginginkan mereka tidak dapat memaksa untuk dapat menerima suatu hasil mediasi apabila dia meras hasil mediasi tidak menguntungkan atau memuaskan dirinya.
c) Confidential
            Para pihak ingin merasa bebas untuk menyatakan apa saja dan  menjadi terbuka untuk kepentingan mediasi.
d) Fasilitative
              Mediasi merupakan kreatifitas dan pendekatan pemecahan masalah terhadap persoalan yang dihadapi dan bergantung pada mediator untuk membantu para pihak mencapai kesepakatan dengan tetap dan tidak dapat memihak.  
c) Dasar hukum mediasi
            Dasar hukum mediasi adalah Undang-Undang No.4 Tahun 2004 pasal 16 ayat (2) tentang kekusaan kehakiman yang berbunyi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata dengan cara perdamaian. UndangUndang No 30 Tahun 1990 tentang arbitrese dan alternatif penyelesaian sengketa, yang lebih mempertegas keberadaan lembaga mediasi sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Menurut ketentuan dari peraturan Mahkamah Agung bahwa setelah  dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik  Indonesia No 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung Tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No 2 Tahun 2003 direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Sehingga Peraturan  Mahkamah agung No 2 Tahun 2003 diubah menjadi Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan (Perma No 1 Tahun 2008).














BAB III
PEMBAHASAN

A.  Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
            Mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang dipandang menyelesaikan sengketa dengan tujuan win-win solution, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa lahir sebagai aturan khusus untuk menyelesaikan suatu perkara dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dinyatakan “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”
            Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa latin, Mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan  menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaa (trust) dari pihak yang bersengketa.[8]
            Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).[9] Kegiatan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut membantu mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengakhiri perselisihan dan persengketaan. Ia tidak dapat memaksa para pihak untuk menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihaklah yang menentukan kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya membantu mencari alternatif dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut menyelesaikan sengketa.
            Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk menyelesaikan perselisihannya. Secara terminologi diungkapkan oleh para ahli yaitu :
-   Laurence Bolle menekankan bahwa mediasi adalah proses pengambilan keputusan yang dilakukan para pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator.
-   J. Folberg dan A. Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi. Kedua ahli ini menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bersengketa dan dibantu oleh pihak yang netral.
-   Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerjasama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.[10]
            Berdasarkan pendapat para ahli diatas tersebut dapat dikatakan jika mediasi merupakan suatu cara yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral untuk membantu penyelesaian konflik sehingga terbentuk kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak yang bersengketa.
            Di dalam melakukan mediasi terdapat adanya pihak yang membantu proses tersebut yaitu mediator. Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan. Keberadaan mediator sebagai pihak ketiga, sangat tergantung pada kepercayaan (trust) yang diberikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka.
            Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa dipandang mampu menyelesaikan sengketa secara tepat, dan menghasilkan keputusan yang memuaskan bagi kedua belah pihak. Mediasi mampu memberikan jalan dan mendorong kesadaran para pihak agar bersedia “duduk bersama” memikirkan jalan terbaik agar sengketa keduanya dapat berakhir dengan cepat. Adanya konflik yang terjadi diantara pihak dapat diatasi mediasi melalui cara-cara sebagai berikut :

1. Menyediakan suasana yang tidak mengancam.
2.   Memberikan setiap pihak kesempatan untuk berbicara dan didengarkan oleh pihka lainnya secara lebih leluasa.
3.   Meminimalkan perbedaan diantara mereka dengan menciptakan situasi informal.
4.   Perilaku mediator yang netral dan tidak memihka, sehingga memberikan kenyamanan tersendiri; dan
5.   Tidak menekan para pihak.[11]
            Mediasi memiliki lima prinsip yaitu prinsip kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality),  dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).[12] Penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi memiliki peran yang besar dalam mengakhiri persengketaan karena memberikan  keadilan dan saling menguntungkan dari kedua belah pihak jika terjadi sengketa. Di Indonesia mediasi sangat diutamakan di dalam proses pengadilan sebelum masuk ke dalam pokok perkara, jika mediasi tidak dilaksanakan di dalam proses pengadilan maka akan batal demi hukum.
B.    Peran Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan
Pada umumnya masyarakat mengajukan gugatan ke pengadilan karena dipicu oleh gesekan emosional, penyelesaian sengketa perdata di pengadilan sering diibaratkan dengan istilah “Kalah jadi abu menang jadi arang” artinya yang menang dan yang kalah akan sama-sama menderita kerugian. Mediasi di pengadilan merupakan konsep yang dikembangkan terhadap lembaga damai yang diatur dalam Pasal 130 HIR/154 RBg yang menyatakan “Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya akan mencoba mendamaikan mererka itu”.
Pada awalnya lembaga perdamaian menurut Pasal 130 HIR/154 RBg tersebut hanya dilaksanakan dengan cara memberikan saran, ruang dan kesempatan kepada para pihak untuk menempuh perdamaian sendiri, sedangkan hakim yang menyidangkan perkaranya tidak dapat terlalu jauh masuk ke dalam pokok persoalan para pihak. Seiring dengan menumpuknya perkara perdata di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, maka mulai dipandang perlu memperluas ruang lingkup perdamaian dalam Pasal 130 HIR/154 RBg dengan tidak hanya difasilitasi hakim saja, namun juga dapat difasilitasi oleh pihak ketiga yang memilki kememampuan khusus di bidang teknik perundingan dan proses penyelesaian sengketa.[13]
Pada tahun 2002 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2002 yang berjudul “Perbedayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (eks Pasal 130 HIR/154 RBg)”. Penerbitan SEMA tersebut bertolak dari salah satu Rakernas Mahkamah Agung di Yogyakarta pada tanggal 24-27 September 2001. Motivasinya yang mendorong adalah agar adanya pembatasan perkara kasasi secara substansif dan prosesuil, sebab apabila peradila tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, maka akan berdampak pada turunnya jumlah perkara di tingkat kasasi.[14]
Penerbitan SEMA dan PERMA tentang hukum acara mediasi bertujuan untuk mengoptimalkan sistem penyelesaian sengketa secara damai, ada beberapa alasan yang melatarbelakangi upaya optimalisasi lembaga perdamaian di pengadilan antara lain :

1.   Untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan  dan Mahkamah Agung;
2.   Untuk lebih memberikan akses keadilan bagi para pihak  dengan proses yang cepat, sederhana dan biaya murah;
3.   Untuk memberikan penyelesaian yang benar-benar tuntas dalam arti tidak hanya tuntas secara hukum, namun juga bisa tuntas secara moral dan sosial;
4.   Untuk memberikan kepastian hukum bagi para pihak atas kesepakatan damai yang telah dilakukan.[15]

            Mediasi di pengadilan wajib diterapkan yang merupakan akses untuk mendorong kesadaran para pihak untuk duduk bersama dalam menyelesaikan sengketa  dan solusi untuk mengurangi penumpukan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi Negeri dan Mahkamah Agung, dan mediasi akan menghasilkan perdamaian dan menjalin hubungan baik antara para pihak, memuaskan, hemat waktu dan hemat sumber daya, sehingga tidak menghabiskan biaya dan tenaga.[16]
            Proses mediasi dalam hal ini menjadi dua tahap yaitu pra mediasi dan tahap mediasi, yang mana sudah diatur dalam PERMA No 1 Tahun 2008 yaitu :
1.   Tahap pra Mediasi
                        Pada hari sidang yang telah ditentukan yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk melakukan mediasi. Kehadiran dari pihak turut Tegugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi, sehingga hakim melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh mediasi dan hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA ini kepada para pihak yang bersengketa.[17]
2.     Tahap Proses Mediasi
                        Dalam suatu mediasi dijelaskan tentang tahap-tahap proses mediasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung berlangsung No 1 Tahun 2008 pada bab III pasal 13 tentang penyerahan resume perkara dan lama proses mediasi sebagai berikut:

1.   Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak  dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
2.  Dalam waktu paling sedikit 5 hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.
3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 hari keja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (5) dan (6).
4.  Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu proses mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.
5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.
6.  Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.[18]

Ketika proses mediasi mulai memasuki tahap penyelesaian, maka masing-masing pihak akan menyampaikan kehendaknya berdasarkan kepentigan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan. Pada tahapan tersebut mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan menuangkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) PERMA mediasi dinyatakan ”Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator”.
Ketentuan tentang kewajiban kesepakatan damai harus dibuat secara tertulis juga diatur dalam Pasal 1851 ayat (2) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Persetujuan ini (perdamaian) tidaklah sah melainkans jika dibuat secara tertulis” oleh karena itu, jelas bahwa perdamaian sebagaimana diatur dalam PERMA Mediasi dan KUHPerdata merupakan perjanjian yang harus dibuat secara tertulis. Hal ini bertujuan untuk mengantisipaso jika suatu saat salah satu pihak mengingkarinya, maka dokumen kesepakatan itu dapat menjadi bukti untuk menuntut pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat.
Dokumen kesepakatan yang telah disepakati oleh para pihak dan ditandatangani akan dibawa kehadapan hakim yang menyidangkan perkaranya untuk dapat dikukuhkan menjadi akta perdamaian. Menurut Pasal 1 ayat (2) PERMA mediasi dinyatakan “Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa”. Sejak saat kesepakatan damai tersebut dikukuhkan menjadi akta perdamaian oleh hakim, maka perkara yang melibatkan para pihak dianggap selesai.
Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan (justitiabelen). Sengketa selesai sama sekali, penyelesaian cepat dan ongkos ringan, selain daripada itu permusuhan antara kedua belah pihak menjadi berkurang. Hal ini jauh lebih baik daripada apabila perkara sampai diputus dengan putusan  biasa.[19]
            Mediasi memiliki peran yang sangat penting sebagai alternatif penyelesaian sengketa jika terjadi pertentangan antar para pihak yang berkepentingan, dengan mediasi segala proses dalam penyelesaian akan lebh hemat dan efisien. Mediasi juga dapat mengurangi kemacetan di pengadilan. banyaknya kasus yang diajukan ke pengadilan menyebabkan proses pengadilan sering memakan waktu yang panjang, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan, meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa serta memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh semua pihak.[20]





BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki peran penting dalam menyelesaikan konflik karena menggunakan pendekatan win-win solution, mediasi menggunakan proses dan cara yang lebih sederhana dan mudah dalam rangka memberikan akses keadilan yang lebih memuaskan kepada para pihak. Kesepakatan perdamaian sebagai tujuan utama dari mediasi menjadi penyelesaian yang tuntas karena hasil akhirnya tidak menggunakan prinsip win or lose.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan, serta memberikan penyelesaian yang benar-benar tuntas dalam arti tidak hanya tuntas secara hukum, namun juga bisa tuntas secara moral dan sosial.

B.    Saran
Hendaknya setiap para pihak selalu membudayakan musyawarah terlebih dahulu dalam menyelesaikan segala permasalahan yang disengketakan dan tidak terlalu mengikuti hasrat emosional. Penyelesaian sengketa melalui proses pengadilan hingga dengan segala upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa tidak akan terlalu menyelesaikan sesuatu masalah yang disengketakan. Karena dengan proses beracara di pengadilan akan muncul pihak yang kalah dan pihak yang menang sehingga justru akan menumbuhkan dendam yang berkepanjangan, ditambah dengan proses acara yang memakan waktu lama, serta biaya yang mahal.










DAFTAR  PUSTAKA
A.  Buku-buku
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,  2002.

Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Krisna Harahap,  Hukum Acara Perdata, ,PT Grafiti Budi Utami, Bandung , 2008.

Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan,  PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.

Loena Gilmour, Penny Hand, dan Cormac Mckeown (eds), Collins English Dictionary and Thesaurus, Third Edition, Great Britain, Harper  Collins Publishers, 2007.

Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,Bandung, 2005.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,  Liberty, Yogyakarta,  2002.

Suyud  Margono, ADR (Alternative Dispute Resoluttion) & Arbitrase ,Ghalia  Indonesia, Bogor,  2004.

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Addat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011.

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010.

Witanto, Hukum Acara Mediasi, Alfabeta, Bandung, 2011.

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

B.  Peraturan Perundang-undangan

PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
                               
                



            [1] Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Di Luar Pengadilan,  PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 1.
               [2] Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Addat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 283.
               [3] Suyud  Margono, ADR (Alternative Dispute Resoluttion) & Arbitrase ,Ghalia  Indonesia, Bogor,  2004, hlm.23
               [4] Krisna Harahap,  Hukum Acara Perdata, ,PT Grafiti Budi Utami, Bandung , 2008, hlm. 148.
               [5] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata,  Liberty, Yogyakarta,  2002, hlm 57.
               [6] Suyud Margono, op. cit , hlm106.
               [7] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,  2002, hlm 59.

               [8]Ibid, hlm. 2.
               [9]Loena Gilmour, Penny Hand, dan Cormac Mckeown (eds), Collins English Dictionary and Thesaurus, Third Edition, Great Britain, Harper  Collins Publishers, 2007, hlm. 510.
               [10] Syahrizal Abbas, Op.Cit, hlm. 5.
               [11] Ibid, hlm, 27.
               [12]Ibid, hlm. 28
               [13] D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi, Alfabeta, Bandung, 2011, hlm. 53.
               [14] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 242.

               [15] D. Y Witanto, Op. Cit, hlm. 56.
               [16]Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010. hal.38
               [17] PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 7 ayat 1-6.
               [18] PERMA Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 13.
               [19] Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju,Bandung, 2005,  hlm. 36.
               [20] Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia Dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar