PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN
PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
A. Latar Belakang Masalah
Dunia usaha
senantiasa di warnai oleh persaingan yang keras untuk dapat terus hidup, tumbuh
dan berkembang. Didunia usaha, swasta dapat juga di jadikan mitra kerja sama
oleh pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa. Akan tetapi, konsep kemitraan
yang semula memiliki makna positif dan saling menguntungkan, dalam
perkembangannya banyak menyimpang dari konsep awal, sehingga banyak menimbulkan
manipulasi dan kecurangan. Hal tersebut banyak terjadi dalam berbagai kegiatan,
antara lain kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan melalui proses
tender/ lelang, yang sudah berlangsung cukup lama. Dalam praktek, memang tidak
mudah untuk menetapkan bahwa tindakan pelaku dalam kegiatan tersebut di
kategorikan sebagai tindakan persekongkolan. Hal ini di sebabkan dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, persekongkolan dalam tender dinyatakan
sebagai pelaku yang bersifat rule of
reason[1], artinya bahwa suatu tindakan
memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap
persaingan usaha tidak sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu di
ketahui apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha.[2]
Persekongkolan tender sebagai perilaku yang bersifat rule of reason, sangat sulit pembuktiannya oleh lembaga pengawas/
KPPU sehingga akan banyak pelaku usaha yang dalam kegiatannya memiliki indikasi
persekongkolan terlepas dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang nomor 5 tahun
1999. Rumusan pasal 22 tersebut adalah:
“ Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain
untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Di beberapa
Negara lain, persekongkolan tender merupakan jenis pelanggaran yang amat
serius, karena tindakan tersebut biasanya merugikan Negara dalam arti luas[3]. Oleh karena itu, persekongkolan tender di beberapa
Negara pada umumnya menggunakan pendekatan parse illegal, termasuk Amarika
Serikat. Bahkan Negara-negara yang tidak memiliki undang-undang yang membatasi
kegiatan usaha sering mengatur secara khusus tentang tender. Kebanyakan Negara
memperlakukan tender kolusif lebih ketat dari pada perjanjian horizontal
lainya, karena mengandung unsur kecurangan dan akibat yang merugikan terhadap
perbelanjaan pemerintah dan anggaran Negara[4].
Persekongkolan
dalam penawaran tender, banyak terjadi dalam pengadaan barang dan jasa
pemerintah, sehingga pemerintah memandang perlu untuk menyempurnakan
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, khususnya di lingkungan birokrasi
/pemerintah. Pedoman pelaksanaan tersebut telah dilakukan perubahan yaitu dari
Keputusan Presiden RI nomor 18 tahun 2000 menjadi Keputusan Presiden RI Nomor
80 tahun 2003 dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006.
Adapun yang menjadi dasar pertimbangan perubahan tersebut adalah agar pengadaan
barang dan jasa pemerintah yang di biayai dengan Anggaran pendapatan dan
belanja Negara/ Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan pengeluaran
yang adil bagi semua pihak sehingga hasilnya dapat di pertanggungjawabkan baik
dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah
dan pelayanan masyarakat[5].
Dalam dunia
usaha, berlaku asas bahwa setiap peluang adalah kesempatan dan kesempatan harus
di manfaatkan. Dan dalam praktek banyak perusahaan yang tetap tumbuh dan
berkembang karena kemampuannya dalam melihat peluang dan memanfaatkan
kesempatan tersebut. Meskipun demikian, harus dihindari agar dalam memanfaatkan
kesempatan jangan sampai menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha yang lain dan
menjurus pada persaingan usaha tidak sehat atau dilakukan dengan
persekongkolan. Terutama persekongkolan ini banyak dilakukan dalam pelaksanaan
tender pengadaan barang/ jasa. Persekongkolan ini dapat dilakukan baik secara
horizontal maupun vertikal, akan tetapi untuk membuktikan hal tersebut tidak
mudah dilakukan oleh pengawas, dalam ini adalah komisi pengawas persaingan
usaha (KPPU). Meskipun persekongkolan tender sudah diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahung 1999, akan tetapi dalam kenyataanya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha masih memandang perlu untuk mengeluarkan pedoman
pasal 22 tentang larangan persekongkolan dalam tender. Dalam bab penutup
dinyatakan bahwa pedoman ini dimaksudkan guna memperjelas pengaturan
persekongkolan tender, bagi pelaku usaha maupun panitia / penyelenggara sebagai
salah satu pedoman dalam melaksanakan proses tender sehingga proses yang
dilaksanakan tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, karena
persekongkolan tender merupakan salah satu kegiatan yang dilarang.
Dikeluarkannya pedoman tersebut sekaligus menunjukan bahwa upaya untuk
membuktikan apakah telah terjadi persekongkolan dalam pelaksanaan tender sangat
tidak mudah.
Untuk melihat
praktek persekongkolan tender di Indonesia, dapat diketahui dengan melihat
putusan-putusan KPPU tentang persekongkolan tender. Diantara putusan-putusan tersebut adalah: Putusan
KPPU No. 02/KPPU-L/2010: Tender Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (Teaching
Hospital) Tahap II Universitas Hasanuddin Makassar, Putusan KPPU No.
08/KPPU-L/2010 : Lelang Prakonstruksi Bandar Udara Muara Bungo Jambi, Putusan
KPPU No. 19/KPPU-L/2010 : Tender Konstruksi Bidang
Jalan dan Jembatan Kabupaten Bengkalis, Putusan KPPU No. 25/KPPU-L/2010 : Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di
Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau, Putusan KPPU No.
18/KPPU-L/2010 : Lelang Konstruksi Pembangunan Gedung Asrama Mahasiswa Ma’had
Aly UIN Alauddin Makassar. Putusan KPPU tersebut menguraikan unsur-unsur Pasal
22 Undang-Undang Persaingan Usaha untuk menganalisis kegiatan atau peristiwa
yang di duga terjadi persekongkolan tender. Bertolak dari defenisi
persekongkolan tender yang terdapat beberapa unsur maka akan di kaji sejauh
mana penerapan hukum dari pasal 22 Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut.
Adapun unsur -unsur persekongkolan tender antara lain: adanya dua atau lebih
pelaku usaha, adanya kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender,
adanya tujuan untuk menguasai pasar, adanya usaha untuk mengatur/ menentukan
pemenang tender, serta mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat[6].
Sehubungan
dengan maraknya persekongkolan tender yang terjadi, yang melibatkan para
pejabat pemerintah. Salah satunya putusan KPPU
No. 20/KPPU-L/2010 persekongkolan tender
Kegiatan Kebersihan Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Riau Pekerjaan
Operasional Jasa Kebersihan Gedung Gabungan Dinas (9 Lantai) Perkantoran
Komplek Kantor Gubernur Dan Pembangunan Rumah Dinas Jabatan Sekda Provinsi Riau
Tahun Anggaran 2009 Di Lingkungan Biro Perlengkapan Sekretariat Daerah Provinsi
Riau Tahun Anggaran 2009. Kemudian perkara tersebut diajukan keberatan
kepengadilan Negeri Pekanbaru, terakhir perkara tersebut diputus oleh Mahkamah
Agung dengan putusan perkara Nomor: 377 K/Pdt. Sus/2011.
Berdasarkan
pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul
“Persekongkolan Dalam Tender Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA Nomor: 377
K/Pdt.Sus/2011)”.
B. Batasan Masalah
Agar
penelitian ini lebih terarah dan tidak mengambang sehingga sesuai dengan maksud dan tujuan yang diinginkan maka
penulis membatasi permasalahan mengenai “Persekongkolan Dalam Tender Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Yuridis Terhadap
Putusan MA Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011)”
C. Rumusan Maslah
Dari latar belakang yang telah di uraikan diatas maka
yang menjadi pokok permasalahan adalah:
1.
Bagaimanakah pembuktian dalam
perkara persekongkolan tender?
2.
Sanksi apakah yang dapat
dijatuhkan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam persekongkolan tender?
3.
Bagaimana pertimbangan hukum
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011 tentang persekongkolan
dalam tender?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, berikut
dikemukakan tujuan penelitian:
- Untuk mengetahui pembuktian dalam perkara persekongkolan tender.
- Untuk mengetahui sanksi apakah yang dapat dijatuhkan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkara persekongkolan tender.
- Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari hakim dalam Putusan Perkara Nomor 377 K/Pdt.Sus/2011.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa
kegunaan antara lain sebagai berikut:
1.
Untuk menambah wawasan dan
pengetahuan penulis mengenai kajian penelitian hukum yaitu tentang
persekongkolan dalam tender menurut undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang anti
monopoli dan larangan praktek persaiangan usaha tidak sehat.
2.
Bagi peneliti dimasa yang akan
datang, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi
pengetahuan bagai yang membahas topik yang sama.
3.
Sebagai bahan masukan bagi
aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat) serta Komisi Pengawas
Persaiangan Usaha (KPPU)
E.
Kerangka Teoritis dan Kerangka Konsepsional
1. Kerangka Teoritis
Pengertian
bersekongkol berdasarkan pedoman pasal 22 undang-undang nomor 5 tahun 1999
adalah “kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun
dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu”. Pengertian tersebut
diatas hampir sama dengan pengertian persekongkolan yang dirumuskan dalam pasal
1 angka 8 undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu “bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku oleh usaha dengan pelaku usaha
yang lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol”[7].
Tindakan
persekongkolan (conspiracy)[8] dalam
hukum persaingan termasuk dalam kategori perjanjian. Pada hakikatnya,
perjanjian terdiri dari dua macam, pertama, perjanjian yang menyatakan secara
jelas, biasanya tertuang dalam bentuk tertulis, sehingga lebih mudah dalam
proses pembuktian. Kedua, perjanjian tidak langsung biasanya berbentuk lisan
atau kesepakatan-kesepakatan. Dalam hal tidak ditemukan bukti adanya
perjanjian, khususnya implied agreement, dan jika keberadaan perjanjian
tersebut di persengketakan, maka diperlukan bukti yang tidak langsung atau
bukti yang melengkapi untuk menyimpulkan perjanjian dan atau persekongkolan
tersebut.
Pengertian
bersekongkol menurut pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 oleh KPPU dapat
diuraikan dalam beberapa unsur sebagai berikut:
1. Kerjasama
antara dua pihak atau lebih;
2.Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan
penyusuain dokumen dengan peserta
lainnya;
3.
Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4.
Menciptakan persaingan semu;
5. Menyetujui
dan atau memfasilitasi persekongkolan;
6.Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam
rangka memenangkan peserta tertentu;
7.pemberian kesempatan ekslusif oleh penyelenggara tender atau pihak
terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang
mengikuti tender, dengan cara melawan hukum[9];
Persekongkolan
dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu persekongkolan horizontal,
persekongkolan vertikal, dan gabungan persekongkolan vertikal dan horizontal.
Berikut penjelasan atas ketiga jenis persekongkolan tersebut[10]:
1) Persekongkolan Horizontal
Merupakan
persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa
dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya.
Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan
menciptakan persaingan semu di antara peserta tender.
2) Persekongkolan Vertikal
Merupakan
persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia
barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang
dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi
dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang pengguna barang dan jasa
atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerja sama dengan salah satu atu beberapa
peserta temder.
3) Persekongkolan Vertical Dan Horizontal
Merupakan
persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang
dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia
barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang
terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender
fiktif, melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup.
2. Kerangka Konsepsional
Guna
menghindari perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipakai dalam
penulisan ini, definisi operasional dari istilah –istilah tersebut adalah
sebgai berikut:
a. Monopoli adalah
penguasaan atas produksidan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa
tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha[11].
b. Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi
oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan
pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak
sehat dan dapat merugikan kepentingan umum[12].
c. Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalai perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi[13].
d. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan
pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/ APBD, baik yang dilaksanakan
secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa[14].
e. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi atau pemasaran barang
dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha[15].
f. KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek
monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat[16].
g. Tender adalah tawaran mengajukan harga terbaik
untuk membeli atau mendapatkan barang/jasa, atau menyediakan barang/jasa, atau
melaksanakan suatu pekerjaan[17].
h. Pengguna Barang/Jasa adalah kepala kantor/satuan
kerja/pemimpin proyek/ pemimpin bagian proyek/ pengguna anggaran daerah/
pejabat yang dilaksanakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja proyek tertentu[18].
i. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang
perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/ layanan jasa[19].
j. Pemilihan Penyedia Barang /Jasa adalah kegiatan
untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melakukan
pelaksanaan kerja[20].
k. Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian,
yng meliputi bahan baku,
barang setengah jadi, bahan jadi/ peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan
oleh pengguna barang/jasa[21].
l. Jasa Pemborong adalah layanan pekerjaan pelaksanaan
konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya
di tetapkan pengguna barang/ jasa dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh
pengguna barang/jasa[22].
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan
Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder berupa perundang-undangan dan
buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang sangat relevan dengan materi
yang dibahas, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.[23]
adapun dalam hal ini penulis malakukan penelitian tentang persekongkolan dalam tender menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (tinjauan yuridis terhadap
Putusan MA Perkara Nomor 377 K/Pdt.Sus/2011).
Sifat penelitian ini adalah penelitian
deskriftif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan bagaimana hukum memandang
terjadinya persekongkolan dalam tender.
2.
Metode
Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini adalah studi
dokumen dan bahan pustaka, yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
melalui data tertulis.
3.
Sumber
Data
Adapun
sumber data yang dipergunakan adalah data sekunder yang dapat dibedakan menjadi
sebagai berikut :
a.
Bahan
hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum yang dimaksud adalah
Berkas Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011
b.
Bahan
hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa perundang-undangan,
buku-buku, teori-teori atau pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan
permasalahan pokok.
c.
Bahan
hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang mendukung terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia, indek kumulatif maupun website.
4.
Analisa
Bahan Penelitian
Adapun
analisas yang akan dilaksanakan Penulis dalam penelitian ini terhadap data yang
ada berupa Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011 yang dikumpul kemudian untuk
selanjutnya diolah dan disajikan serta dibahas berdasarkan permasalahan yang
diteliti dalam bentuk uraian kalimat yang rinci yang dihubungkan dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat ahli hukum, kemudian
menarik kesimpulan dengan cara deduktif yakni mengemukakan kaedah-kaedah umum kemudian
dianalisis dan selanjutnya ditarik kesimpulan secara khusus.
G. Sistematika Penulisan
Dalam
penulisan proposal penelitian, penulis membagi sistematis penulisan dalam 5 (lima) bab, masing-masing
bab diuraikan dalam sub-bab, sehingga antara bab satu dengan bab yang lain
merupakan suatu sistem dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Untuk lebih
jelasnya, penulis akan menguraikan satu persatu masing-masing bab tersebut,
yaitu:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisikan
uraian tentang: Latar Belakang Masalah,
Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sitematika
Penulisan.
BAB II : Tinjauan Umum: Tinjauan Tentang Tender,
Tinjauan Tentang Persekongkolan, dan Tinjauan Tentang Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU).
BAB
III: Gambaran Umum kasus
persekongkolan tender Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011: Kronologis
Kasus, Fakta Hukum, dan Putusan.
BAB
IV : Pembahasan dan hasil penelitian
yang terdiri atas: pembuktian dalam perkara persekongkolan, sanksi-sanksi yang
dijatuhkan kepada pihak-pihak yang melakukan persekongkolan, dan Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011,
BAB V : Merupakan bab Kesimpulan dan Saran: dalam
bab ini akan disampaikan kesimpulan dari hasil analisa pembahasan terhadap
beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan. Disamping itu
juga akan disampaikan beberapa saran yang bersifat konkrit dan praktis
menyangkut aspek operasional dan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ade
Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2005.
Adi Krisanto, Yakub, Analisa Pasal 22
UU No. 5 Tahun 1999 Dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan
Tender, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24.
Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006.
Alyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001
A.M. Tri Anggraini, Laranggan Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal
Atau Rule Of Reason,jakarata: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003.
Asril
Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan
Terhadap UU No. 5 Tahun 1999), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Binoto
Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: Jala Permata Aksara,
2009.
Hermansyah,
Pokok-Pokok Hukum Persaingan Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008.
Johnny
Ibrahim, Hukum Persaiangan Usaha (Filosofi, Teori Dan Implikasi Penerapannya
Di Indonesia), Malang: Bayumedia Publishing, 2009.
Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Putusan No. 20/KPPU-L/2010
Mustafa Kamal
Rokan, Hukum Persaingan Usaha(Teori Dan
Prakteknya Di Indonesia), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Di Indonesia, Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2004.
Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta:
Prenada Media Group, 2005.
Putusan Pengadilan Negeri
Pekanbaru Perkara No. 168/Pdt.KPPU/2010/PN.Pbr.
Putusan Mahkamah Agung PerkaraNomor: 377
K/Pdt.Sus/2011
Rachmat Usman, Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia, jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Soejono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), Jakarta :
Grafindo Persada, 2011.
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Jakarta:Sinar Grafika, 2009.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU
dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan
KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 Pasca Tahun 2006), Jurnal Hukum Bisnis
(Volume 27 – No. 3, 2008)
[1] Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, pedoman pasal 22 tentang larangan
persekongkolan dalam tender berdasarkan undang-undang Nomor 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, h. 17.
[2] Ibid.
[3] A.M. Tri Anggraini, Laranggan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal Atau Rule Of Reason,
cet. 1, program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,
2003, h. 302.
[4] Ibid, h. 303.
[5] Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan
barang/jasa pemerintah, bagian menimbang huruf a, h.1.
[6] Yakub Adi Krisanto, karakteristik
Putusan KPPU tentang persekongkolan tender, Jurnal Hukum Bisnis Volume No.
2 tahun 2006.
[7] Rachmat Usman, Hukum
Persaingan Usaha Di Indonesia, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h. 79.
[8] AM. Tri Anggraini, Op. Cit, h.299-300.
[9] Mustafa Kamal Rokan, Hukum
Persaingan Usaha(Teori Dan Prakteknya Di Indonesia), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2010), h.173.
[10] KPPU, Pedoman pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender,
h. 15.
[11] Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5/1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Keppres No. 80 tahun 2003 pasal 1 angka 1.
[15] pasal 1 angka 6 UU No. 5/ 1999.
[16] lihat ketentuan pasal 1 angka 18 UU anti monopoli.
[17] KPPU pedoman tentang larangan persekongkolan dalam tender
berdasarkan UU no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
[18] Keppres No. 80 tahun 2003 pasal 1 angka (2).
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjauan Singkat), (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar