Rabu, 15 Juni 2016

MAKALAH HUKUM MONOPOLI: PERSEKONGKOLAN DALAM TENDER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PERSEKONGKOLAN   DALAM   TENDER    MENURUT   UNDANG-UNDANG  NOMOR  5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

OLEH

JONI ALIZON, SH., MH


PERSEKONGKOLAN   DALAM   TENDER    MENURUT   UNDANG-UNDANG  NOMOR  5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

A.  Latar Belakang  Masalah
Dunia usaha senantiasa di warnai oleh persaingan yang keras untuk dapat terus hidup, tumbuh dan berkembang. Didunia usaha, swasta dapat juga di jadikan mitra kerja sama oleh pemerintah dalam pengadaan barang dan jasa. Akan tetapi, konsep kemitraan yang semula memiliki makna positif dan saling menguntungkan, dalam perkembangannya banyak menyimpang dari konsep awal, sehingga banyak menimbulkan manipulasi dan kecurangan. Hal tersebut banyak terjadi dalam berbagai kegiatan, antara lain kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dilakukan melalui proses tender/ lelang, yang sudah berlangsung cukup lama. Dalam praktek, memang tidak mudah untuk menetapkan bahwa tindakan pelaku dalam kegiatan tersebut di kategorikan sebagai tindakan persekongkolan. Hal ini di sebabkan dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, persekongkolan dalam tender dinyatakan sebagai pelaku yang bersifat rule of reason[1], artinya bahwa suatu tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran terhadap persaingan usaha tidak sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu di ketahui apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau  menghambat persaingan usaha.[2] Persekongkolan tender sebagai perilaku yang bersifat rule of reason, sangat sulit pembuktiannya oleh lembaga pengawas/ KPPU sehingga akan banyak pelaku usaha yang dalam kegiatannya memiliki indikasi persekongkolan terlepas dari ketentuan Pasal 22 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999. Rumusan pasal 22 tersebut adalah:
“ Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”
Di beberapa Negara lain, persekongkolan tender merupakan jenis pelanggaran yang amat serius, karena tindakan tersebut biasanya merugikan Negara dalam arti luas[3]. Oleh karena itu, persekongkolan tender di beberapa Negara pada umumnya menggunakan pendekatan parse illegal, termasuk Amarika Serikat. Bahkan Negara-negara yang tidak memiliki undang-undang yang membatasi kegiatan usaha sering mengatur secara khusus tentang tender. Kebanyakan Negara memperlakukan tender kolusif lebih ketat dari pada perjanjian horizontal lainya, karena mengandung unsur kecurangan dan akibat yang merugikan terhadap perbelanjaan pemerintah dan anggaran Negara[4].
Persekongkolan dalam penawaran tender, banyak terjadi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, sehingga pemerintah memandang perlu untuk menyempurnakan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, khususnya di lingkungan birokrasi /pemerintah. Pedoman pelaksanaan tersebut telah dilakukan perubahan yaitu dari Keputusan Presiden RI nomor 18 tahun 2000 menjadi Keputusan Presiden RI Nomor 80 tahun 2003 dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2006. Adapun yang menjadi dasar pertimbangan perubahan tersebut adalah agar pengadaan barang dan jasa pemerintah yang di biayai dengan Anggaran pendapatan dan belanja Negara/ Daerah (APBN/APBD) dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka dan pengeluaran yang adil bagi semua pihak sehingga hasilnya dapat di pertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat[5].
Dalam dunia usaha, berlaku asas bahwa setiap peluang adalah kesempatan dan kesempatan harus di manfaatkan. Dan dalam praktek banyak perusahaan yang tetap tumbuh dan berkembang karena kemampuannya dalam melihat peluang dan memanfaatkan kesempatan tersebut. Meskipun demikian, harus dihindari agar dalam memanfaatkan kesempatan jangan sampai menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha yang lain dan menjurus pada persaingan usaha tidak sehat atau dilakukan dengan persekongkolan. Terutama persekongkolan ini banyak dilakukan dalam pelaksanaan tender pengadaan barang/ jasa. Persekongkolan ini dapat dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal, akan tetapi untuk membuktikan hal tersebut tidak mudah dilakukan oleh pengawas, dalam ini adalah komisi pengawas persaingan usaha (KPPU). Meskipun persekongkolan tender sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahung 1999, akan tetapi dalam kenyataanya Komisi Pengawas Persaingan Usaha masih memandang perlu untuk mengeluarkan pedoman pasal 22 tentang larangan persekongkolan dalam tender. Dalam bab penutup dinyatakan bahwa pedoman ini dimaksudkan guna memperjelas pengaturan persekongkolan tender, bagi pelaku usaha maupun panitia / penyelenggara sebagai salah satu pedoman dalam melaksanakan proses tender sehingga proses yang dilaksanakan tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, karena persekongkolan tender merupakan salah satu kegiatan yang dilarang. Dikeluarkannya pedoman tersebut sekaligus menunjukan bahwa upaya untuk membuktikan apakah telah terjadi persekongkolan dalam pelaksanaan tender sangat tidak mudah.
Untuk melihat praktek persekongkolan tender di Indonesia, dapat diketahui dengan melihat putusan-putusan KPPU tentang persekongkolan tender. Diantara putusan-putusan tersebut adalah: Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2010: Tender Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan (Teaching Hospital) Tahap II Universitas Hasanuddin Makassar, Putusan KPPU No. 08/KPPU-L/2010 : Lelang Prakonstruksi Bandar Udara Muara Bungo Jambi, Putusan KPPU No. 19/KPPU-L/2010 : Tender Konstruksi Bidang Jalan dan Jembatan Kabupaten Bengkalis, Putusan KPPU No. 25/KPPU-L/2010 : Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau, Putusan KPPU No. 18/KPPU-L/2010 : Lelang Konstruksi Pembangunan Gedung Asrama Mahasiswa Ma’had Aly UIN Alauddin Makassar. Putusan KPPU tersebut menguraikan unsur-unsur Pasal 22 Undang-Undang Persaingan Usaha untuk menganalisis kegiatan atau peristiwa yang di duga terjadi persekongkolan tender. Bertolak dari defenisi persekongkolan tender yang terdapat beberapa unsur maka akan di kaji sejauh mana penerapan hukum dari pasal 22 Undang-Undang Persaingan Usaha tersebut. Adapun unsur -unsur persekongkolan tender antara lain: adanya dua atau lebih pelaku usaha, adanya kerjasama untuk melakukan persekongkolan dalam tender, adanya tujuan untuk menguasai pasar, adanya usaha untuk mengatur/ menentukan pemenang tender, serta mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat[6].
Sehubungan dengan maraknya persekongkolan tender yang terjadi, yang melibatkan para pejabat pemerintah. Salah satunya putusan KPPU No. 20/KPPU-L/2010 persekongkolan tender Kegiatan Kebersihan Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Riau Pekerjaan Operasional Jasa Kebersihan Gedung Gabungan Dinas (9 Lantai) Perkantoran Komplek Kantor Gubernur Dan Pembangunan Rumah Dinas Jabatan Sekda Provinsi Riau Tahun Anggaran 2009 Di Lingkungan Biro Perlengkapan Sekretariat Daerah Provinsi Riau Tahun Anggaran 2009. Kemudian perkara tersebut diajukan keberatan kepengadilan Negeri Pekanbaru, terakhir perkara tersebut diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan perkara Nomor: 377 K/Pdt. Sus/2011.
Berdasarkan pemikiran di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian yang berjudul “Persekongkolan Dalam Tender Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011)”.
B.  Batasan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak mengambang sehingga sesuai dengan  maksud dan tujuan yang diinginkan maka penulis membatasi permasalahan mengenai “Persekongkolan Dalam Tender Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan MA Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011)”
C.  Rumusan Maslah
Dari latar belakang yang telah di uraikan diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah:
1.     Bagaimanakah pembuktian dalam perkara persekongkolan tender?
2.     Sanksi apakah yang dapat dijatuhkan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam persekongkolan tender?
3.     Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011 tentang persekongkolan dalam tender?
D.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, berikut dikemukakan tujuan penelitian:
  1. Untuk mengetahui pembuktian dalam perkara persekongkolan tender.
  2. Untuk mengetahui sanksi apakah yang dapat dijatuhkan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam perkara persekongkolan tender.
  3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dari hakim dalam Putusan Perkara Nomor 377 K/Pdt.Sus/2011.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa kegunaan antara lain sebagai berikut:
1.   Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai kajian penelitian hukum yaitu tentang persekongkolan dalam tender menurut undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang anti monopoli dan larangan praktek persaiangan usaha tidak sehat.
2.   Bagi peneliti dimasa yang akan datang, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi pengetahuan bagai yang membahas topik yang sama.
3.   Sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat) serta Komisi Pengawas Persaiangan Usaha (KPPU)
E.    Kerangka Teoritis dan Kerangka Konsepsional
1.     Kerangka Teoritis
Pengertian bersekongkol berdasarkan pedoman pasal 22 undang-undang nomor 5 tahun 1999 adalah “kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu”. Pengertian tersebut diatas hampir sama dengan pengertian persekongkolan yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 8 undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu “bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku oleh usaha dengan pelaku usaha yang lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol”[7].
Tindakan persekongkolan (conspiracy)[8] dalam hukum persaingan termasuk dalam kategori perjanjian. Pada hakikatnya, perjanjian terdiri dari dua macam, pertama, perjanjian yang menyatakan secara jelas, biasanya tertuang dalam bentuk tertulis, sehingga lebih mudah dalam proses pembuktian. Kedua, perjanjian tidak langsung biasanya berbentuk lisan atau kesepakatan-kesepakatan. Dalam hal tidak ditemukan bukti adanya perjanjian, khususnya implied agreement, dan jika keberadaan perjanjian tersebut di persengketakan, maka diperlukan bukti yang tidak langsung atau bukti yang melengkapi untuk menyimpulkan perjanjian dan atau persekongkolan tersebut.
Pengertian bersekongkol menurut pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 oleh KPPU dapat diuraikan dalam beberapa unsur sebagai berikut:
1. Kerjasama antara dua pihak atau lebih;
2.Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyusuain   dokumen dengan peserta lainnya;
3. Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan;
4. Menciptakan persaingan semu;
5. Menyetujui dan atau memfasilitasi persekongkolan;
6.Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tertentu;
7.pemberian kesempatan ekslusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum[9];
Persekongkolan dalam tender dapat dibedakan pada tiga jenis, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan persekongkolan vertikal dan horizontal. Berikut penjelasan atas ketiga jenis persekongkolan tersebut[10]:
1)       Persekongkolan Horizontal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan menciptakan persaingan semu di antara peserta tender.
2)  Persekongkolan Vertikal
Merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerja sama dengan salah satu atu beberapa peserta temder.
3)     Persekongkolan Vertical Dan Horizontal
Merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup.
2.   Kerangka Konsepsional
Guna menghindari perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini, definisi operasional dari istilah –istilah tersebut adalah sebgai berikut:
a. Monopoli adalah penguasaan atas produksidan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha[11].
b.   Praktek Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan pemasaran barang atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum[12].
c.   Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalai perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi[13].
d.   Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/ APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia barang/jasa[14].
e.   Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi atau pemasaran barang dan jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha[15].
f.    KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat[16].
g.   Tender adalah tawaran mengajukan harga terbaik untuk membeli atau mendapatkan barang/jasa, atau menyediakan barang/jasa, atau melaksanakan suatu pekerjaan[17].
h.   Pengguna Barang/Jasa adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/ pemimpin bagian proyek/ pengguna anggaran daerah/ pejabat yang dilaksanakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan unit kerja proyek tertentu[18].
i.    Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan usahanya menyediakan barang/ layanan jasa[19].
j.    Pemilihan Penyedia Barang /Jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melakukan pelaksanaan kerja[20].
k.   Barang adalah benda dalam berbagai bentuk dan uraian, yng meliputi bahan baku, barang setengah jadi, bahan jadi/ peralatan, yang spesifikasinya ditetapkan oleh pengguna barang/jasa[21].
l.    Jasa Pemborong adalah layanan pekerjaan pelaksanaan konstruksi atau wujud fisik lainnya yang perencanaan teknis dan spesifikasinya di tetapkan pengguna barang/ jasa dan proses serta pelaksanaannya diawasi oleh pengguna barang/jasa[22].
F.   Metode Penelitian
1.   Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder  berupa perundang-undangan dan buku-buku yang ditulis oleh para ahli hukum yang sangat relevan dengan materi yang dibahas, sehingga dapat menjawab permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.[23] adapun dalam hal ini penulis malakukan penelitian tentang persekongkolan dalam tender menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (tinjauan yuridis terhadap Putusan MA Perkara Nomor 377 K/Pdt.Sus/2011).
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriftif, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan bagaimana hukum memandang terjadinya persekongkolan dalam tender.
2.   Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka, yaitu suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis.
3.   Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan adalah data sekunder yang dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
a.   Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum yang dimaksud adalah Berkas Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011
b.   Bahan hukum sekunder, yaitu  bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa perundang-undangan, buku-buku, teori-teori atau pendapat-pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan pokok.
c.   Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang mendukung terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa kamus hukum, ensiklopedia, indek kumulatif  maupun website.
4.   Analisa Bahan Penelitian
Adapun analisas yang akan dilaksanakan Penulis dalam penelitian ini terhadap data yang ada berupa Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011 yang dikumpul kemudian untuk selanjutnya diolah dan disajikan serta dibahas berdasarkan permasalahan yang diteliti dalam bentuk uraian kalimat yang rinci yang dihubungkan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta pendapat ahli hukum, kemudian menarik kesimpulan dengan cara deduktif yakni mengemukakan kaedah-kaedah umum kemudian dianalisis dan selanjutnya ditarik kesimpulan secara khusus.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan proposal penelitian, penulis membagi sistematis penulisan dalam 5 (lima) bab, masing-masing bab diuraikan dalam sub-bab, sehingga antara bab satu dengan bab yang lain merupakan suatu sistem dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan satu persatu masing-masing bab tersebut, yaitu:
BAB I :       Merupakan bab pendahuluan yang berisikan uraian tentang:  Latar Belakang Masalah, Batasan Masalah,  Rumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sitematika Penulisan.
BAB II :      Tinjauan Umum: Tinjauan Tentang Tender, Tinjauan Tentang Persekongkolan, dan Tinjauan Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha  (KPPU).
BAB III:     Gambaran Umum kasus persekongkolan tender Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011: Kronologis Kasus, Fakta Hukum, dan Putusan.
BAB IV :    Pembahasan dan hasil penelitian yang terdiri atas: pembuktian dalam perkara persekongkolan, sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak-pihak yang melakukan persekongkolan, dan Pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan MA Perkara Nomor: 377 K/Pdt.Sus/2011,
BAB V :     Merupakan bab Kesimpulan dan Saran: dalam bab ini akan disampaikan kesimpulan dari hasil analisa pembahasan terhadap beberapa permasalahan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan. Disamping itu juga akan disampaikan beberapa saran yang bersifat konkrit dan praktis menyangkut aspek operasional dan kebijakan.















DAFTAR PUSTAKA

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005.

Adi Krisanto, Yakub, Analisa Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender, Jakarta: Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24.

Ahmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Alyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001

A.M. Tri Anggraini, Laranggan Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal Atau Rule Of Reason,jakarata: Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.

Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap UU No. 5 Tahun 1999), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009.

Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Johnny Ibrahim, Hukum Persaiangan Usaha (Filosofi, Teori Dan Implikasi Penerapannya Di Indonesia), Malang: Bayumedia Publishing, 2009.

Keputusan Presiden Nomor 75 tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Putusan No. 20/KPPU-L/2010
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha(Teori Dan Prakteknya Di Indonesia),  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2005.
Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Perkara No. 168/Pdt.KPPU/2010/PN.Pbr.
Putusan Mahkamah Agung PerkaraNomor: 377 K/Pdt.Sus/2011
Rachmat Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Soejono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif  (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta : Grafindo Persada, 2011.

Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Jakarta:Sinar Grafika, 2009.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender (Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 Pasca Tahun 2006), Jurnal Hukum Bisnis (Volume 27 – No. 3, 2008)





[1] Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, pedoman pasal 22 tentang larangan persekongkolan dalam tender berdasarkan undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, h. 17.

[2] Ibid.
[3] A.M. Tri Anggraini, Laranggan Praktek Monopoli Dan Persaingan Tidak Sehat Perse Illegal Atau Rule Of Reason, cet. 1, program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, h. 302.
[4] Ibid, h. 303.
[5] Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, bagian menimbang huruf a, h.1.
[6] Yakub Adi Krisanto, karakteristik Putusan KPPU tentang persekongkolan tender, Jurnal Hukum Bisnis Volume No. 2 tahun 2006.
[7] Rachmat Usman, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, (jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 79.
[8] AM. Tri Anggraini, Op. Cit, h.299-300.
[9] Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha(Teori Dan Prakteknya Di Indonesia), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.173.

[10]  KPPU, Pedoman pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender, h. 15.
[11] Pasal 1 angka 1 UU RI No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Keppres No. 80 tahun 2003 pasal 1 angka 1.
[15] pasal 1 angka 6 UU No. 5/ 1999.
[16] lihat ketentuan pasal 1 angka 18 UU anti monopoli.
[17] KPPU pedoman tentang larangan persekongkolan dalam tender berdasarkan UU no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
[18] Keppres No. 80 tahun 2003 pasal 1 angka (2).
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif  (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 13.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar