PENGATURAN HUKUM ANTIDUMPING DALAM MENYELESAIAKAN
SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL
OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan-hubungan internasional yang
diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi
internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu
menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat berbagai sumber potensi
sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber
daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain lain. Manakala hal
demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil
dalam penyelesaiannya.
Upaya-upaya
penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang cukup penting di
masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditunjukkan
untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip
perdamaian dan keamanan internasional.
Peran
yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa international
adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaiakan
sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum
internasional mengenal dua cara penyelesaian. Yaitu cara penyelesaian secara
damai dan perang (militer).
Cara
perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan
dipraktikan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau
instrument dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte
menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.[1]
Perang
telah pula digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman
mereka mengenai aturan-aturan hukum interanasional. Perang bahkan telah pula
dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Lansing, pada tahun 1919 menyatakan bahwa to declare war is one of the highest acts of
soveregnity.
Bahkan
sarjana menyadari adanya praktik negara yang masih menggunakan kekerasan atau
perang untuk menyelesaiakan sengketa dewasa ini. Sebaliknya, cara damai belum
dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam kehidupan atau hubungan antar
negara. Sarjana terkemuka Rumania, Ion Diaconu, antara lain : … in many cases recourse to violence has been
used and continues to be used in international relations, and the use of
peaceful way and means is not yet the rule in internastional life…
Dalam perkembangannya kemudian,
dengan emakin berkembangnya kekuatan militer dan perkembangan tegnologi
bersenjata pemusnah masal, masyarakat internasional semakin menyadari besarnya
bahaya dari penggunaan perang. Karenanya mereka berupaya agar cara ini
dihilangkan atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.
Mahkamah
Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis
Palestine Concession (Preliminary Objection) (1924) mendefinisikan pengertian sengketa sebagai : disagreement on a point of law or fact, a
conflict of legal views or interest between two persons.
Mahkamah
International mengungkapkan pendapat hukumnya (advison opinion) dalam kasus Interpretation
of Peace Treaties (1950, ICJ Rep. 65) bahwa untuk menyatakan ada tidaknya
suatu sengketa nternasional harus ditentukan secara objektif.
Menurut
Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara
mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya
kewajiban-kewajiban yang terdapat dalamperjanjian. Selengkapnya Mahkamah ini
menyatakan :
“…whether there exist an international
dispute is a matter for objective determination. The mere denial of the
existence of a dispute does not prove its nonexistence…There has thus arisen a
situation in which the two sides hold clearly opposite views concering the
question of the performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted
with such a situation, the court must conclude that international dispute has
arisen.
Di
samping itu, perlu pula dikemukakkan bahwa suatu sengketa bukanlah suatu
sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak mempunyai
akibat pada hubungan kedua belah pihak. Dalam rangka the Northern Cameroons, Mahkamah Internasional diminta
menyelesaiakan suatu sengketa mengenai penafsiran suatu perjanjian perwakilan (trusteeship) PBByang sudah tidak
berlaku. Dalam sengketa ini pemohon tidak menuntut apa-apa dari pihak lainnya.
Karenanya Mahkama menolak untuk mengadili sengketa tersebut dengan
mengemukakkan bahwa dalam mengadili suatu sengketa, putusan mahkamah yang
dikeluarkan haruslah mempunyai akibat praktis terhadap hubungan-hubungan hukum
para pihak yang bersengketa.Lengkapnya, putusan mahkamah menyatakan sebagai
berikut.[2]
“The court’s judgment must have some
consequences in the sence that it can affect existing legal right or
obligations thus removing uncertainty from their legal relations. No, judgement
on the merit in this case would satisfy these essencials of the judicial
functions.
Sistem Penyelesaian Sengketa World
Trade Organization (WTO) Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang
punggung dari rejim perdagangan multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan
oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay Round dengan harapan untuk
menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka
menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan sistem
penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi
peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian
sengketa ini juga dinilai sebagai kontribusi unik dari WTO terhadap kestabilan
perekonomian global. Sistem penyelesaian sengketa WTO dibentuk sebagai
pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on Tarif and
Trade (GATT) yang sebelumnya ada. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO
diharapkan akan diperoleh kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan
internasional yang berpihak pada kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen
dari seluruh dunia. Sistem penyelesaian sengketa WTO memainkan peran penting
dalam mengklarifikasi dan penegak memang bukan kegiatan utama dalam kinerja
organisasi WTO, namun penyelesaian sengketa adalah bagian yang sangat penting
dalam kenyataan kinerja organisasi. Penyelesaian sengketa WTO juga menjadi
perangkat penting dalam manajemen negara anggota WTO dan kaitannya dengan
hubungan ekonomi yang luas.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perdagangan
Internasional?
2. Bagaimana
Mekanisme Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO?
C. Landasan Teori dan Kerangka Konsepsional.
1. Landasan Teori.
Teori
hukum digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah hukum positif tertentu
yang mendasar, misalnya Schutznormtheorie, Imputationtheory, teori-teori
tentang saat terjadinya kata sepakat, risiko mengikatnya perjanjian, kesesatan
dan sebagainya. Itu semuanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak
dicari atau diketemukan dalam hukum positif.[3]
Anti-dumping sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum internasional yang
mengatur tentang penyesuian kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan industri domestik akibat adanya praktek perdagangan
curang dalam transaksi perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama masyarakat internasional. Oleh karena
tindakan anti-dumping yang merupakan suatu langkah pemulihan keadaan dari
distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh adanya prkatek curang yang berupa
dumping, maka untuk itu kehadiran teori keadilan diangap tepat dalam
menjelaskan keterkaitan tersebut. Salah satu pemikir dari teori keadilan ini
adalah Aristoteles. Beliau mengungkapkan bahwa dalam teori keadilan dapat di identifikasi kedalam 2 Diperlihatkan dalam corrective justice suatu keadaan dimana dalam hal milik
kebendaan dari individu dikuasai secara tidak sah, maka individu
tersebut berhak untuk pengembalian atas hak tersebut atau diberikan kompensasi atas hak tersebut.
Corrective Justice berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka corrective
justice berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang
dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku.
Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan
atau telah terbentuk. Corrective justice bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut.
Lebih jelasnya distributive justice menghendaki adanya suatu
pengalokasian manfaat-manfaat sosial kepada tiap-tiap orang menurut jasanya
yaitu tidak berdasarkan atas kesama rataan, tetapi atas dasar kesebandingan. Selain penggunaan teori
keadilan oleh Aristoteles, dalam penelitian ini juga akan dipergunakan teori dari aliran Critical
Legal Studies. Critical Legal Studies merupakan aliran moderen dalam teori ilmu hukum. Teori ini diperkenalkan
dan mulai di kembangkan pada tahun 1970-an di
negara Amerika Serikat. Dimulai pada tahun 1977 inisiatif untuk membentuk Critical Legal Studies ini
datang dari beberapa ahli hukum, seperti Horwtiz,
Duncan Kennedy, Trubek, Mark Tushnet dan Roberto Unger. Critical Legal Studies timbul sebagi kritik
terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagi alat perubahan dan sebagai alat
untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Esensi
pemikiran Critical Legal Studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law
as politic itu, Critical Legal Studies berarti
sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis yang mengatakan bahwa asas-asas hukum
internasional merupakan bagian dari hukum nasional dalam
ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal.
Critical Legal Studies mengkritik hukum yang berlaku, yang
nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak
netral. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan
tatanan sosial yang muncul kepermukaan sebagi suatu yang netral, sebenarnya didalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias
kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan Critical Legal Studies, doktrin hukum
yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih
berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan
Dalam memandang masalah hukum, Critical Legal Studies menolak perbedaan antara teori dengan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Berkaitan dengan liberalisme, Roberto Unger mengemukakan
pandangan bahwa liberalisme menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Liberalisme membengkokan moral,
intelektual dan sisi spiritual seseorang. Dalam kaitan ini Unger mengemukakan 6 wenang, Untuk mengkritis doktrin hukum yang telah
terbentuk selama ini, Critical Legal Studies menggunakan
metode :
1. Trashing, yaitu dilakukan untuk
mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan
yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
2. Deconstruction, adalah
membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
3. Genealogy, adalah penggunaan
sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki
kekuatan. Interpretasi sejarah yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum. Teori ini akan digunakan untuk memahami
dan menganalisa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Peraturan pemerintah tersebut sebagai
bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas pelaksanaan komitmen
liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization. Komitmen liberalisasi, melalui penurunan
tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya aliran keluar masuk barang dari dan
luar Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi atau diteliti
apakah suatu barang merupakan dumping atau tidak hingga, mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan anti-dumping sehingga industri yang
mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan ADA.
Pada akhirnya penulis mengharapkan dapat menyusun kembali, mengevaluasi dan
memberikan masukan-masukan yang berarti dalam penerapan hukum anti-dumping di
Indonesia, agar dalam pencapaian kemakmuran bangsa Indonesia dapat terwujud dan
tetap memajukan nilai-nilai bangsa dalam menegakkan keadilan ekonomi.
2. Kerangka Konsepsional.
Untuk menghindari perbedaan pengertian dari istilah-istilah yang dipakai
dalam penulisan ini maka pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam
penyusunan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Bea Masuk adalah pungutan negara
berdasarkan undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
b. Bea Masuk Anti-dumping adalah pungutan
negara yang dikenakan terhadap Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian.
c. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang
dari daerah pabean.
d. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke
dalam daerah pabean.
e. Liberalisasi adalah proses pengurangan
atau penghapusan tarif dan berbagai macam bentuk dan jenis hambatan
yang merintangi arus perdagangan internasional, secara unilateral maupun multilateral.
f. Tindakan anti-dumping adalah tindakan yang
diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap Barang.
g. Komite Anti-Dumping Indonesia, yang
selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan.
D. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap
fakta. Norma hukum yang dimaksud adalah instrument hukum anti-dumping dalam kaidah hukum perdagangan internasional. Sedangkan dalam kegiatan
menggali dan mengkualifikasi faktafakta, dipergunakan kajian empiris untuk identifikasi
terhadap faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa hukum yang bersangkutan.
Hal tersebut dipilih oleh penulis agar gambaran yang dihasilkan tidak bias
normatif dan juga tidak bias faktual, sehingga dapat memberikan sebuah gambaran
yang lengkap atas fenomena hukum yang dikaji, yakni penerapan hukum
anti-dumping. Selain
itu dalam penelitian ini mempergunakan 2 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Sedangkan pendekatan kasus ditujukan untuk
mengkaji beberapa kasus mengenai dumping dan tindakan anti-dumping yang terjadi di Indonesia.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui Pengaturan
Hukum Antidumping Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perdagangan Internasional
2. Mengetahui dan memahami Mekanisme
Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO
Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk hal-hal
sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran
dalam mempelajari dan mengkaji serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Perdagangan Internasional, khususnya Mekanisme
Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO
2. Secara praksis memberikan sumbangan
pemikiran bagi perumus atau pengambil kebijakan perdagangan luar negeri yang menyangkut pelaksanaan peraturan hukum anti-dumping yang pada
akhirnya menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang semakin mantap.
BAB II
Pengaturan
Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional
A. Perangkat
Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional
Perdagangan bebas dalam sistem World Trade Oragnization, pada
prinsipnya merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain.
Karena itu, namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau
negara yang sama dan sederajat. Sebab, apabila persaiangan yang secara bebas
antara yang kuat dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak
yang kalah. Oleh sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem World Trade Organization (WTO),
kepentingan negara lemah, yakni negara berkembang (developing coutries) dan negara tidak berkembangan (Least developed countries) mesti di
perhatikan secara khusus, agar tidak menjadi objek bulan-bulanan pesaingnya
dari negara maju. Untuk itulah, negara-negara berkembang dan negara tidak berkembang
sering kali berjuang dengan gigih dalam perundingan-perundingan World Trade Organization (WTO).[4]
Menyadari akan kekhawatiran dari
negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade Organization yang telah melakukan berbagai hal untuk
memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di World Trade Organization (WTO) yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang dan
negara-negara tidak berkembang.
Dari hal tersebut kita bisa melihat
kepedulian World Trade Organization (WTO)
terhadap negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak
lepas dari perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak
bentuknya, dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang,
dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan
sengketa.
Umumnya sengketa-sengketa dagang
kerap di dahului oleh negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau tidak
berhasil, barulah di tempuh dengan cara-cara lain seperti penyelesaian melalui
pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan sengketa, baik kepada
pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali di dasarkan pada suatu perjanjian di
antara para pihak. Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu
perjanjian atau memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau
perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Di samping forum pengadilan atau
badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara
alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim di kenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS
(Alternatif Penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat
berupa cara alternatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif
penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang
para pihak dapat di gunakan termasuk alternatif penyelesaian melalui
pengadilan.
Antidumping di atur dalam pasal VI
GATT. Ketentuan Article VI GATT
mengharuskan para negara anggotanya untik mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran Tokyo (Tokyo Around) disepakati Antidumping Code (1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif
sejak 1 januari 1980. Antidumping Code
(1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di hasilkan dalam
perundingan Putaran Uruguay (Uruguay
Around). Antidumping Code (1994) yang
berjudul Agreement on Implementation of
Article VI of GATT 1994 dan
sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral
Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani
Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994,
yang menghasilkan World Trade
Organization (WTO), suatu insitusi yang bertujuan antara lain untuk
memajukan perdagangan bebas dunia diantara negara-negara anggotanya sesuai
dengan Multilateral Trade Agreement
yang merupakan bagian intergral dari Agreement
Establishing The WTO.
Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi
merupakan perjanjian tambahan dari GATT seperti halnya Antidumping Code (1979), tetapi merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri.[5]
Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagi berikut[6]
:
1. Prinsip
2. Penentuan Dumping
3. Penentuan kerugian
4. Defenisi Industri Dalam Negeri
5. Penyelidikan Awal dan Penyelidikan Lanjutan
6. Bukti-Bukti
7. Pengenaan Biaya Antidumping
8. Penawaran Harga Penyesuaian
9. Penentuan dan Pemungutan Biaya Antidumping
10. Keberlakuan surut
11. Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping
12. Keberlakuan surat
13. Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping
dan Penawaran Harga Penyesuaian
14. Pengumuman Kepada Publik dan Penjelasan Penetapan
15. Peninjauan Ulang
16. Tindakan Antidumping Atas Nama Negara Ketiga
17. Anggota Negara-Negara Berkembang
18. Komite Antidumping
19. Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa
20. Pengenaan Biaya Antidumping Tetap
Bila di cermati lebih jauh, semua
ketentuan dalam Antidumping Code (1994)
ini tidak secara jelas melarang dilakukannya praktik dumping, tetapi ketentuan
dalam Antidumping Code (1994) hanya
mengatur tindakan balasan yang dapat di ambil oleh suatu negara, untuk
memulihkan dampak-dampak negatif, jika praktis dumping telah menyebabkan
kerugian material terhadap industri domestik importir .[7]
Hal ini sebenarnya bertentangan
dengan prinsip dasar dari GATT itu sendiri. Sebagai persetujuan multilateral
GATT memiliki beberapa prinsip dasar antara lain :
a)
Asas
Nondiskriminasi
b)
Anti
Proteksi dan Subsidi
c)
Penciptaan
iklim perdagangan yang stabil
d)
Transparan
Sedangkan dumping merupakan bentuk
perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas melarang
dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan dari
adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana
mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik.
Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian
material (material injury), maka setia pengusaha harus mengerti bagaimana
melihat apakah telah terjadi material injury akibat praktik dumping tersebut.
Hal ini perlu kita, ketahui karena walaupun eksportir telah menjual suatu
produk dengan harga dumping, namun apabila praktik ini tidak mengakibatkan
kerugian terhadap industri domestik, maka tidak dapat dikenakan sanksi.
Sebagai suatu perjanjian
internasional, GATT merupakan serangkaian aturan permainan di bidang
perdagangan internasioanal yang menerapkan tata cara perdagangan antara
negara-negara anggota yang di sepakati bersama.
Penyelesaian sengketa dumping juga
sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang pada umumnya melalui World Trade Organization (WTO).
Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat
ini adalah peraturan menurut Antidumping
Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement
on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan antidumping dari
masing-masing negara.
Jika produsen barang dumping tidak
dapat menerima sanksi antidumping yang diputuskan oleh pemerintah negara
importir, maka produsen tersebut dapat naik banding ke forum WTO, melalui
pemerintah negaranya.
Mekanisme penyelesaian sengketa
dalam WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT
memuat ketentuan sederhana.
Pasal 22 menghendaki para pihak yang
besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap
pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan
GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui konsultasi
mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya tidak
mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral.[8]
Pasal 23 mengandung peraturan yang
lebih luas. Pada pasal 23 terdiri dari dua ayat. Ayat (1), menegaskan adanya
dua pelanggaran hukum yang dijabarkan :
a. Adanya
penghilangan atau pengrusakan terhadap setiap keuntungan yang diperoleh
berdasarkan perjanjian GATT;
b. Adanya
gangguan terhadap adanya perolehan (yang diharapkan) dari tujuan perjanjian
GATT.
Pada ayat (2) tersebut mengandung dua ketentuan utama
:
a. Mensyaratkan
para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada badan tertinggi GATT, yaitu CONTRACTING PARTY, manakala mereka gagal
menyelesaikan secara bilateral sesuai dengan ayat (1).
Dari segi yuridis, GATT dapat
dilihat sebagai serangkaian “aturan permainan” di bidang perdagangan
internasional yang tercantum dalam suatu dokumen utama, yaitu General Agreement in Tariffs Trade
sebagai perjanjian internasional atau iternational
treaty dengan peraturan tambahan yang merupakan tatanan perilaku ekonomi
yang berlaku bagi negara-negara yang menandatanganinya. Dokumen utama GATT yang
berjudul General Agreement on Tariff and
Trade yang dikenal secara ringkas sebagai The General Agreement terdiri dari 38 pasal.
B. Prinsip-prinsip
Dasar Word Trade Organisation (WTO)
Prinsip adalah asas kebenaran yang
menjadi pokok dasar dalam berpikir. Adapun prinsip-prinsip hukum atau yang
disebut dengan asas-asas hukum merupakan dasar pembentukan hukum yang secara
filosofis yang mempunyai atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
hukum.
Dalam perdagangan internasional,
secara garis besar prinsip-prinsip hukum menghendaki adanya perlakuan yang sama
atas setiap produk, baik terhadap produk impor ataupun produk domestik. Tujuan
adanya penerapan prinsip tersebut adalah untuk terciptanya perdagangan bebas
yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.[10]
Dalam pemaparan ini penulis membagi
prinsip-prinsip dagang tersebut menjadi dua klasifikasi, yaitu pengaturan
mengenai non-diskriminasi serta pengaturan mengenai dispensasi dalam aturan
main GATT/WTO.
1. Pengaturan
Mengenai Non-Diskriminasi
a. Most Favored Nation
Most Favored
Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas
non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota
GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh
membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak
boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang
sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun
perdagangan.[11]
b. National Treatment
Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk
asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah
masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah
pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama
dengan barang dalam domestik.
Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur
terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:
1) Adanya kepentingan lebih dari satu
Negara
2) Kepentingan tersebut terletak di
wilayah yuridiksi suatu Negara.
3) Negara tuan rumah harus memberikan
perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara
lain yang berada di wilayahnya.
4) Perlakuan tersebut tidak boleh
menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan
kerugian bagi Negara lain.
c. Tarif
Binding atau Tarif Mengikat
Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu negara
untuk tidak menaikkan tarif untuk masa mendatang. Tarif Binding dianggap
menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan potensi
eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai
beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1) Tarif
sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang
merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2) Tarif yang
dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan
Negara pengekspor.
3) Tarif untuk
memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi
produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.
d. Persaingan
yang Adil
Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang
adil dan fair competition. Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan
dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi
ekspor negara pengimpor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter
vailing duties sebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping
atau subsidi ekspor.[12]
e. Larangan
Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap
restruksi yang bersifat kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang
serupa ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada
waktu GATT didirikan halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling
sering diterima sebagai warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2. Pengaturan
Mengenai Dispensasi
a. Prinsip
proteksi melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas
industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi
dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant
industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam
rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic
development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin
memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi
jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan
persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara
peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau
menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki
cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam
cadangannya.
b. Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap
impor
Prinsif waiver
dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948
(Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak
terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini
(GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang
semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau
mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk
serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam
kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan
kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi
konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau
memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang
terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan
suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami
lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri. Berdasarkan
penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah
tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa
terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi
syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1) Tindakan
tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan
industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang
terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya
pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur perdagangan dalam
dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang
mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang
terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2) Terdapat
kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian
nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan
ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan
diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan
melonjaknya impor dari luar.[13]
Dari kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa
kerugian langsung seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya
industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara
tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan
pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3) Tindakan
tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4) Terdapat
barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri
yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang
yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang
terselidik dimaksud.
5) Terdapat
barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang
produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang
terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota
apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat
dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
Bab III
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Dumping Dalam GATT/WTO
A. Prosedur Penyelesaian Sengketa Dumping Dalam (WTO)
Hal ini sesuai dengan ketentuan GATT, yang menyatakan bahwa keputusan bea
masuk antidumping dapat disanggah oleh suatu negara atas nama
perusahaan/produsen yang divonis melakukan dumping kepada :
a.
The Commitee on Antidumping
Practices, bila kedua bela pihak yang bersengketa adalah merupakan negara anggota
Penandatanganan GATT (Antidumping Code).[14]
b.
The General Council, sesuai
dengan peraturan dalam ketentuan umum tentang penyelesaian sengketa GATT, jika
kedua belah pihak yang besengketa atau salah satu pihak bukan negara
penandatanganan GATT (Antidumping Code).
Setiap negara anggota Committee on Antidumping Practice dalam penyelesaian sengketa antidumping dapat
menempuh prosedur prosedur sebagai berikut :
1. Pengajuan Perkara
Perakara-perkara
yang diajukan untuk diselesaiakan dalam World
Trade Organization (WTO) yang akan diselesaikan dengan menggunakan badan
penyelesaian sengketanya.
2. Konsultasi
(Consultation)
Konsultasi (consultation)
merupakan upaya yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih sebelum perkara
tersebut diprosses oleh majelis hakim (panels)
di WTO. Konsultasi ini tidak lebih dari sekedar suatu upaya penyelesaian
sengketa secara musyawarah diantara pihak untuk mencapai suatu solusi yang
memuaskan kedua belah pihak.
Bila
tindakan dumping tersebut di rasakan tidak beralasan oleh negara yang terkena,
maka negara yang terkena tindakan antidumping dapat membawa persoalan ini ke
dalam pembahasan Committee on Antidumping
Practice untuk “Consultation” (permintaan konsultasi secara tertulis). Committee ini bersidang dua kali
setahun. Di beri jangka waktu 10 (sepuluh) hari, merespon permintaan konsultasi
yang diajukan oleh pihak lain. Konsultasi tersebut harus sudah dilakukan dalam
jangka waktu maksimum 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permintaan
konultasi tersebut. Penawaran konsultasi haruslah dilakukan secara tertulis,
dan harus diberitahukan kepada Dispute
Settlement Body dan Council and
Committee.
3. Konsultasi
Bilateral (Bilateral Consultation)
Berdasarkan
ketentuan GATT artikel XXII (Consultation),
maka konsultasi ini dapat meminta pada Council
(badan) untuk mengadakan
konsultasi dengan negara yang mengenakan tindakan antidumping (konsultasi
bilateral). Dimana dalam pasal 22 GATT 1947 menghendaki para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaiakan sengketa melalui konsultasi bilateral. Antara
Negara Eksportir dan Pemerintah Negara Importir.
4. Konsulatsi
Pembentukan Panel (Hakim)
Konsultasi
untuk meminta pembentukan panel, apabila dalam 60 hari tidak ada penyelesaian
dalam, konsultasi bilateral antara kedua belah pihak yang bersengketa.
a. Panel
(Hakim)
Bila
konsultasi menuju ke pembentukan panel (hakim), dianggap sebagai upaya terakhir
dan sifatnya otomatis dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Dalam hal ini
WTO menyatakan bahwa Dispute Settlement Body, dimana fungsi badantersebut
dilaksanakan oleh WTO General Council yang harus mendirikan suatu panel dalam
jangka waktu 30 hari setelah adanya permohonan secara tertulis kepada Dispute
Settlement Body.
Fungsi utama
panel adalah membantu DSB dalam
menjalankan tanggujawabnya sebagai badan penyelesaian sengketa dalam WTO yang
tugasnya sesuai Rules and Prosedur
Governing the Settlement Disputes.[15]
Dalam pasal 11 ayat (1) fungsi panel secara spesifik adalah :
1. Membuat
penilain terhadap suatu sengketa secara objektif dan menguraikan apakah suatu
pokok sengketa bertentangan atau tidak dengan perjanjian-perjanjian WTO (covered agreement)
2. Merumuskan
dan menyerahkan hasil-hasil temuannya yang akan dijadikan bahan untuk membantu
DSB dalam merumuskan rekomendasi atau putusan.
Pokok-Pokok
Panel (Hakim)
Sesuai
dengan (Pasal 4 ayat (4)) dalam praktik permohonan, secara tertulis tersebut
juga harus mencantumkan terms of
reference diajukan kepada Dispute Settlement Body. Para pihak
dapat merumuskan sendiri terms of
reference yang berlaku bagi panel hakim dalam jangla waktu 60 (enam puluh)
hari setelah terbentuknya panel hakim tersebut. Jika terms of reference tidak dirumuskan oleh para pihak, berlakukah terms of reference yang berlaku bagi
forum hakim yang dibuat oleh WTO, yaitu sebagai berikut :
To examine,
in the light of the relevant provisions in (name of the covered agreement(s)
cited by the parties to the dispute). The matter referred to the Dispute
Settlement Body (DSB) by (name of party) in document.. and to make such finding
as will assist the provided for in making, the recommendation or in giving the
rulings provided for in that/those agremeent(s).[16]
Terjemahan bebasnya adalah sebagai
berikut:
Untuk
memeriksa hubungan dengan pasal-pasal yang relevan dalam (sebutan nama dari
agreement yang melingkupi persengketaan yang disebutkan oleh para pihak yang
bersengketa), masalah yang diajukan kepada Badaan Penyelesaian Sengketa oleh
(nama pihak) dalam dokumen..dan untuk membuatpenemuan tersebut untuk dapat
membant Badan Penyelesaian Sengketa dalam membuat rekomendasi atatu memberikan
putusannya seperti yang diinginkan oleh agreement tersebut.
Disamping
itu, ketika membentuk panel hakim, Badan Penyelesaian sengketa dari World Trade
Organization (WTO) dapat memberikan otoritasi kepada chairman untuk merumuskan terms of reference dari
panel hakim untuk kepentingan konsultasi dengan para pihak yang besengketa,
tetapi harus sejalan dengan terms of reference sebagai mana disebutkan diatas.
Panel juga memeriksa fakta-fakta yang membantu Dispute settlement Body dalam
membuat rekomendasi atau memberikan finan report-nya. Dalam rangka menemukan
solusi yang memuaskan bagi kedua belah pihak, maka panel haruslah berkosultasi
dengan kedua belah pihak secara berkala dan kepada panel diberikan kekuasaan
untuk mengembangkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
Dibentuknya
Suatu Panel (Hakim)
Panel hakim
dibentuk sesuai dengan ketentuan Understanding
on Rule and Prosedures Governing the Settlement of Disputes. Dibentuk atas
permintaan dari pihak yang berengketa, yang dibentuknya adalah paling lambat
pada saat rapat yang diadakan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dan merupakan
salah satu item dari agenda badan tersebut, kecuali dalam rapat tersebut,
secara konsensus diputuskan untuk membentuk panel hakim..
Permintaan
oleh para pihak untuk membentuk panel
hakim dilakukan secara tertulis, dengan menyebutkan ketentuan khusus yang
diduga dilanggar oleh salah satu pihak, dan dengan memberikan kesimpulan
ringkas dari dasar hukum untuk digugatnya, serta dengan memberikan indikasi
apakah akan dilakukan konsultasi atau tidak. Jika pihak penggugat menginginkan
adanya terms of reference selain dari
terms of reference standar World Trade Organization (WTO) harus
pula ditulis terms of reference
khusus tersebut.
Panel hakim
terdiri dari 3 (tiga) orang, kecuali para pihak menentukan bahwa panel hakim
terdiri dari 5 (lima) orang. Komposisi panel
ini harus secepatnya diberikan kepada semua anggota World Trade Organization (WTO). Nominasi untuk panel hakim tersebut
diajukan oleh pihak sekretariat, dimana para pihak tidak boleh menolak nominasi
tersebut kecuali jika ada alasan yang memaksa (compelling reason).
Panel hakim
tersebut terdiri atas individu dari pemerintah atau nonpemerintah yang
mempunyai kualitas yang bagus, yang dapat menjamin kemandiriannya, yang
mempunyai latar belakang berbeda, dan mempunyai pengalaman yang luas
menyelesaikan sengketa dagang atau yang pernah mengajar hukum perdagangan
internasional. Mereka adalah orang-orang netral yang dipilih bukan dari negara
yang sedang bersengketa.
5. Panel
menangani masalah dengan pihak sengketa dan pihak ketiga.
Kewenangan
panel untuk memperoleh informasi dan nasehat yang sifatnya teknis dari setiap
individu atau badan atau organisasi yang berkompeten (Pasal 13 ayat (1)). Pasal
ini merupakan ketentuan yang baru dalam WTO. Karena dalam sistem lama GATT
hanya mengandalkan informasi yang diberikan para pihak yang bersengketa.
Kewenangan paneluntuk memperoleh informasi ini diperkuat oleh Pasal 13 ayat
(2). Pasal ini menyatakan bahwa panel hanya dapat mengandalkan berbagai sumber
informasi tambahan dan dapat pula berkonsultasi dengan para ahli mengenai
masalah sengketa.
6. Interim
Review
Panel menyerahkan
laporan kepada pihak sengketa (Interim
Review). Para pihak masih dimungkinkan untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian sengketa secara damai meskipun proses panel tengah berlangsung.
7. Panel
menyerahkan laporan kepada DSB
Dan hasil perumusan temuan tersebut
dilaporkan secara tertulis kepada DSB (Pasal 17 ayat (7)), yang mencantumkan
hal-hal sebagai berikut:
o Hasil
penemuan menyangkut pokok sengketa
o Penerapan
hukum terhadap pokok sengketa
Aturan yang paling penting mengenai prinsip
otomatisasi ini dari Perjanjian Putaran Uruguay adalah Pasal 16 ayat (4).
Dimana pasal tersebut menyatakan bahwa hasil putusan atau laporan panel harus
disahkan dan menjadi mengikat 60 hari setelah dikeluarkan, kecuali pihak yang
kalaha mengajukan banding.
8. Final Report
Laporan
final (final report) dari panel haruslah diadopsi oleh Dispute Settlement Body
setelah sebelumnya laporan final tersebut didistribusikan kepada para anggota
World Trade Organization (WTO). Secepat-cepatnya setelah lewatnya waktu 20 (dua
puluh) hari, barulah final reports tersebut dapat mempertimbangkan untuk
diterima oleh Dispute Settlement Body. Tujuannya didistribusi final report
tersebut kepada para anggota World Trade Organization (WTO) dapat me review dan
menilai terhadap final reports tersebut. Manakala ada diantara para anggota WTO
yang berkeberatan terhadap final reports tersebut, para anggota harus menulis tentang alasan-alasan keberatan
paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum sidang Dispute Settlement Body bersidang untuk mempertimbangkan pnerimaan
final reports tersebut. Penerimaan terhadap final reports yang dibuat oleh
forum panels tersebut dilakukan oleh DSB dalam suatu meeting yang dibuat dalam
jangka waktu 60 (enam puluh ) hari setelah tanggal sirkulasi report tersebut.
9. Adopsi
Laporan Panel
Laporan
Setelah DSB mengadopsi laporan panel, para pihak yang tidak puas dengan putusan
pengadilan WTO tingkat pertama berhak mengajukan bandingatas putusan tersebut
ke Badan Banding (Appellate Body)
yang dibentuk oleh Dispute Settlement
Body. Tiga orang dari 7 (tujuh) orang anggota banding tersebut harus
mengadili masing-masing kasus yang ada. Banding tidak dapat diajukan untuk
mengubah bukti-bukti yang ada atau bukti baru yng muncul kemudian. Pihak ketiga
tersebut dapat menunjukkan kepentingan substansinya, dengan mengajajukan
permohonan tertulis agar kepadanya dapat diberikan kesempatan untuk didengar
oleh badan banding.
10. Adopsi Appelate Report.
Dispute Settlement Body haruslah
menerima reports dari Badan Banding (appelate body) tanpa syarat, kecuali jika Dispute Settlement Body tersebut secara
konsensus menolak report tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
pendistribusian report tersebut kepada anggota WTO.
11. Implementasi Keputusan Panel.
Dalam jangka
waktu 30 (hari) setelah diadopsi oleh Dispute
Settlement Body terhadap putusan
(reports) panel (tingkat pertama) atau putusan (reports) badan banding, maka
pihak yang kalah perkara haruslah memberitahukan kepada DSB tentang
keinginannya untuk mengimplementasikan rekomendasi atau putusan dari DSB
tersebut.
12. Kompensasi
Pihak sengketa merundingkan jenis
kompensasi, DSB harus memperhatikan tindakan-tindakan yang akan di ambil. Jika
misalnya pihak yang kalah tidak dapat mengimplementasikan putusan dalam jangka
waktu yang reasonable tersebut, dia
harus melakukan negoisasi dengan negara penggugat untuk menetapkan suatu
kompensasi yang dapat diteriam kedua belah pihak, dan kesepakatan tersebut
harus sudah dicapai dalam jangka wakti 20 (dua puluh) hari. Jika dalam 20 (dua
puluh) hari tersebut belum juga
disepakati bentuk kompensasi yang memuaskan kedua belah pihak, pihak penggugat
dapat meminta izin dari DSB untuk menerapkan sanksi, seperti menangguhkan konsensiatau
kewajiban tertentu terhadap pihak tergugat. DSB dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari dapat memberikan izin
tersebut dalam jangka waktu yang reasionable.
Namun demikian, implementasi secara penuh terhadap putusan dan rekomendasi
tetap lebih diutamakan ketimbang pelaksanaan kompensasi atau penangguhan
konsensi atau penangguhan kewajiban lain. Baik, pelaksanaan kompensasi maupun
penangguhan konsepsi.
13. Tindakan
Balasan
Dispute
Settlement Body memberi otorisasi untuk melakukan tindakan balasan.
B. Contoh Kasus
Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia Pada Sengketa Anti-dumping
Produk Kertas dengan Korea Selatan
Praktek anti-dumping adalah salah
satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional agar
terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan
Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement
atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif
yang diikat (binding tariff) dan
pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan
kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.
Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip tertentu
tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada
didalamnya adalah :
o Tindakan
untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak
adil),
o Subsidi dan
tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
o Tindakan –
tindakan darurat (emergency measures)
untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri
(safeguards).[18]
Jika sebuah perusahaan menjual produknya di
negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini
disebut dumping terhadap produk tersebut. Hal ini merupakan salah satu isu
dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih memfokuskan
pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara untuk
mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping
(Anti-Dumping Agreement) atau Agreement
on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Dalam persetujuan ini pemerintah
diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika
benar – benar terbukti terjadi kerugian (material injury) terhadap industri
domestik. Untuk melakukan hal ini, pemerintah harus dapat membuktikan
terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping, yaitu
membandingkannya terhadap tingkat harga ekspor suatu produk dengan harga jual
produk tersebut di negara asalnya.[19]
Indonesia sebagai negara yang
melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami
tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan.
Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi
anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission
(KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah
PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT.
Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Fakta – Fakta Hukum
Para Pihak
a. Penggugat :
Indonesia
b. Tergugat :
Korea Selatan
Objek
Sengketa
Produk kertas Indonesia yang dikenai
tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for
writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper
and other copying atau transfer paper.
Kronologis Kasus
o Korea
Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada
Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002.
o Perusahaan
yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT.
Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine
Paper Trading Pte Ltd.
o Pada Mei
2003 Korea Selatan memberlakukan BM (bea masuk) anti dumping atas produk kertas
Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti dumping terhadap produk kertas Indonesia ke
Korsel. tepatnya pada 9 Mei 2003 KTC mengenai Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)
sementara dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61
persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan
lainnya sebesar 2,80 persen.
o Kemudian
Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masing-masing sebesar 8,22 persen, serta
untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen.
o Pada 4 Juli
2004, Indonesia dan Korea Selatan mengadakan konsultasi bilateral akan tetapi
tidak mencapai kesepakatan.
o 27 September
2004, Disputes Settlement Body WTO
membentuk Panel. Pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat, Eropa,
Jepang, China dan Kanada.
o 1-2 Februari
2005, diselenggarakan Sidang Panel kesatu
o 30 Maret
2005, diselenggarakan Sidang Panel kedua
o 28 Oktober
2005, Panel Report
Gugatan
Indonesia
Korea
Selatan melanggar beberapa pasal dalam perjanjian WTO, antara lain :
Pasal VI GATT 1994, inter alia, Pasal VI : 1, VI : 2
dan VI : 6; Pasal 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5,
4.1(i), 5.2, 5.3, 5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8, 6.10,
9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3 Annex I, dan ayat 3, 6 dan 7, Annex II tentang
Anti-Dumping Agreement (ADA).
1.4.
KTC telah
melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa
perusahaan Indonesia.
1.5.
Korea
Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua perusahaan
kertas Indonesia.
1.6.
Dalam hal
ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang
diajukan oleh Indonesia.
1.7.
Panel
menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan antidumping yang
dilakukan oleh Korea Selatan
Kesimpulan
Kasus
Sebagai negara yang telah menjadi
anggota WTO yaitu dengan meratifikasinya Agreement
Establishing the WTO melalui Undang – Undang Nomor. 7 Tahun 1994 tentang
Pembentukan WTO, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip -prinsip pokok
yang dikandung dalam General Agreement on
Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan
Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum
perundingan Putaran Uruguay. GATT merupakan perjanjian perdagangan multilateral
dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia.
GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan
bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan
memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan
perdagangan lainnya. GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara
anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang
perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian
sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta, masalah-masalah
yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negara-negara yang terlibat
dalam persengkataan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi.
Pengertian dumping dalam konteks
hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga
internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor,
yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri
dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan atas produk ekspor tersebut.[20]
Sedangkan menurut kamus hukum
ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual
komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar
atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau
daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak
adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara
pengimport.
Pengaturan anti-dumping dalam hukum
nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Persetujuan
pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 ternyata belum terdapat
pengaturannya. Sehingga dalam hukum nasional di Indonesia diatur dalam :
1. UU No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2. Peraturan
Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk
Imbalan
3. Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 430/MPP/Kep/9/1999 tentang Komite
Antidumping Indonesia dan Tim Operasional Antidumping
4. Surat Edaran
Dirjen Bea dan Cukai No. SE-19/BC/1997 tentang
Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping
oleh suatu negara yang :
1. Harus ada
tindakan dumping yang LTFV (less than
fair value)
2. Harus ada
kerugian material di negara importir
3. Adanya
hubungan sebab akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Seandainya terjadi dumping yang less
than fair value tetapi tidak
menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang. Komisi Anti-Dumping
Indonesia Komisi Anti-Dumping Indonesia (KADI) didirikan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 136/MPP/Kep/6/1996. Komite
Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai tugas pokok yaitu :
1. Melakukan
penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau mengandung barang
subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis,
2. Mengumpulkan,
meneliti dan mengolah bukti dan informasi yang mengenai dugaan adanya barang
dumping dan atau barang mengandung subsidi,
3. Mengusulkan
pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan kepada Menperindag,
4. Menyusun
laporan pelaksanaan tugas untuk disampaikan kepada Menperindag.
Sehubungan dengan tugas-tugas yang
diemban KADI, maka KADI berkewajiban untuk mensosialisasikan aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan perdagangan dunia yang telah diratifikasi dengan tujuan
agar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban praktek-praktek
perdagangan yang tidak sehat atau unfair
trade practices, yang meliputi dumping dan subsidi.
Dalam kasus dumping kertas yang
dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia pada perusahaan eksportir
produk kertas diantaranya :
- PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk
- PT. Pindo Deli Pulp and Mills
- PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk
- April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Indonesia berhasil memenangkan
sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan
dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO
terutama prinsip transparansi. Indonesia
untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa
atau
Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat
utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan
perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain.[21]
Indonesia
mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM
dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products. Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa
Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan
tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal
Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan
kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar
Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewajibannya di
WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28
Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel
Report ke seluruh anggota dan menyatakan
bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi
ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada
akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi
DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut
(reason-able period of time/RPT). Namun sangat disayangkan hingga kini Korea
Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah
menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia,
karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. Padahal
Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam
penyelidikan antidumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta
Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.
BAB IV
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
1. Dumping
merupakan bentuk perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini
tentunya dapat menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas
melarang dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan
dari adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana
mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik.
Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian
material (material injury), maka
setia pengusaha harus mengerti bagaimana melihat apakah telah terjadi material
injury akibat praktik dumping tersebut. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam
WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT
memuat ketentuan sederhana.
2. Pasal 22
menghendaki para pihak yang besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui
konsultasi bilateral (bilateral
consultation) atas setiap pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian
atau ketentuan-ketentuan GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian
sengketa melalui konsultasi mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak
apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral.
Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau
memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang
mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. pihak dapat pula
menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang
lazim di kenal sebagai ADR (Alternative
Dispute Resolution) atau APS (Alternatif
Penyelesaian sengketa). Sebagai persetujuan multilateral GATT memiliki
beberapa prinsip dasar antara lain : Asas Nondiskriminasi, Anti Proteksi dan
Subsidi, Penciptaan iklim perdagangan yang stabil, dan Transparan. Sengketa
antidumping dapat menempuh prosedur prosedur sebagai berikut : Pengajuan
Perkara, Konsultasi (Consultation), Konsultasi Bilateral (Bilateral Consultation), Konsulatsi Pembentukan Panel (Hakim),
Panel menangani masalah dengan pihak sengketa dan pihak ketiga, Interim Review,
Panel menyerahkan laporan kepada DSB, Final Report, Adopsi Laporan Panel,
Adopsi Appelate Report, Implementasi
Keputusan Panel, Kompensasi, DSB
memberi otorisasi untuk melakukan tindakan balasan.
DAFTAR PUSTAKA
Agreement On
Implementation Of Article VI Of GATT 1994.
Hatta,
Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan
Non-Hukum, cetakan pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Hidayat
& Mohammad Slamet, Sekilas Tentang WTO,
Direktorat Jendral Multilateral
Departemen Luar Negeri, Jakarta, 2006.
Huala
Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa
Internasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004.
Huala
Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Munir
Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek
Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Sulistyo
Widayanto, Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang
Perdagangan, Vol. 1.
Syahmin,
Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan
pertama, Bandung:PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The WTO.
[3]. Carl
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia
Bandung, 2004, hal 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar