Rabu, 15 Juni 2016

PENGATURAN HUKUM ANTIDUMPING DALAM MENYELESAIAKAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL



PENGATURAN HUKUM ANTIDUMPING DALAM MENYELESAIAKAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

OLEH 
JONI ALIZON, SH., MH


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antarnegara, negara dengan individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin dengan baik. Acap kali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antarnegara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain lain. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
            Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke-20. Upaya-upaya ini ditunjukkan untuk menciptakan hubungan antarnegara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
            Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa international adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaiakan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian. Yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer).
            Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktikan sejak lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrument dan kebijakan luar negeri. Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte menggunakan perang untuk menguasai wilayah-wilayah di Eropa di abad XIX.[1]
            Perang telah pula digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum interanasional. Perang bahkan telah pula dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Lansing, pada tahun 1919 menyatakan bahwa to declare war is one of the highest acts of soveregnity.
            Bahkan sarjana menyadari adanya praktik negara yang masih menggunakan kekerasan atau perang untuk menyelesaiakan sengketa dewasa ini. Sebaliknya, cara damai belum dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam kehidupan atau hubungan antar negara. Sarjana terkemuka Rumania, Ion Diaconu, antara lain : … in many cases recourse to violence has been used and continues to be used in international relations, and the use of peaceful way and means is not yet the rule in internastional life…
            Dalam perkembangannya kemudian, dengan emakin berkembangnya kekuatan militer dan perkembangan tegnologi bersenjata pemusnah masal, masyarakat internasional semakin menyadari besarnya bahaya dari penggunaan perang. Karenanya mereka berupaya agar cara ini dihilangkan atau sedikitnya dibatasi penggunaannya.
            Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concession (Preliminary Objection) (1924) mendefinisikan pengertian sengketa sebagai :  disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two persons.
            Mahkamah International mengungkapkan pendapat hukumnya (advison opinion) dalam kasus Interpretation of Peace Treaties (1950, ICJ Rep. 65) bahwa untuk menyatakan ada tidaknya suatu sengketa nternasional harus ditentukan secara objektif.
            Menurut Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalamperjanjian. Selengkapnya Mahkamah ini menyatakan :
            …whether there exist an international dispute is a matter for objective determination. The mere denial of the existence of a dispute does not prove its nonexistence…There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposite views concering the question of the performance or nonperformance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the court must conclude that international dispute has arisen.
            Di samping itu, perlu pula dikemukakkan bahwa suatu sengketa bukanlah suatu sengketa menurut hukum internasional apabila penyelesaiannya tidak mempunyai akibat pada hubungan kedua belah pihak. Dalam rangka the Northern Cameroons, Mahkamah Internasional diminta menyelesaiakan suatu sengketa mengenai penafsiran suatu perjanjian perwakilan (trusteeship) PBByang sudah tidak berlaku. Dalam sengketa ini pemohon tidak menuntut apa-apa dari pihak lainnya. Karenanya Mahkama menolak untuk mengadili sengketa tersebut dengan mengemukakkan bahwa dalam mengadili suatu sengketa, putusan mahkamah yang dikeluarkan haruslah mempunyai akibat praktis terhadap hubungan-hubungan hukum para pihak yang bersengketa.Lengkapnya, putusan mahkamah menyatakan sebagai berikut.[2]
            The court’s judgment must have some consequences in the sence that it can affect existing legal right or obligations thus removing uncertainty from their legal relations. No, judgement on the merit in this case would satisfy these essencials of the judicial functions.
Sistem Penyelesaian Sengketa World Trade Organization (WTO) Dispute Settlement Understanding (DSU) adalah tulang punggung dari rejim perdagangan multilateral saat ini. Sistem ini diciptakan oleh para Negara anggota WTO pada saat Uruguay Round dengan harapan untuk menciptakan suatu sistem yang kuat dan dapat mengikat semua pihak dalam rangka menyelesaikan sengketa perdagangan dalam kerangka WTO. Dengan sistem penyelesaian sengketa ini juga diharapkan agar negara anggota dapat mematuhi peraturan-peraturan yang disepakati dalam WTO Agreement. Sistem penyelesaian sengketa ini juga dinilai sebagai kontribusi unik dari WTO terhadap kestabilan perekonomian global. Sistem penyelesaian sengketa WTO dibentuk sebagai pembaruan dari sistem penyelesaian sengketa General Agreement on Tarif and Trade (GATT) yang sebelumnya ada. Dengan sistem penyelesaian sengketa WTO diharapkan akan diperoleh kestabilan dan perkiraan peraturan perdagangan internasional yang berpihak pada kegiatan bisnis, petani, pekerja dan konsumen dari seluruh dunia. Sistem penyelesaian sengketa WTO memainkan peran penting dalam mengklarifikasi dan penegak memang bukan kegiatan utama dalam kinerja organisasi WTO, namun penyelesaian sengketa adalah bagian yang sangat penting dalam kenyataan kinerja organisasi. Penyelesaian sengketa WTO juga menjadi perangkat penting dalam manajemen negara anggota WTO dan kaitannya dengan hubungan ekonomi yang luas.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perdagangan Internasional?
2.      Bagaimana Mekanisme Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO?



C. Landasan Teori dan Kerangka Konsepsional.
1. Landasan Teori.
            Teori hukum digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah hukum positif tertentu yang mendasar, misalnya Schutznormtheorie, Imputationtheory, teori-teori tentang saat terjadinya kata sepakat, risiko mengikatnya perjanjian, kesesatan dan sebagainya. Itu semuanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak dicari atau diketemukan dalam hukum positif.[3]
            Anti-dumping sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum internasional yang mengatur tentang penyesuian kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan industri domestik akibat adanya praktek perdagangan curang dalam transaksi perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama masyarakat internasional. Oleh karena tindakan anti-dumping yang merupakan suatu langkah pemulihan keadaan dari distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh adanya prkatek curang yang berupa dumping, maka untuk itu kehadiran teori keadilan diangap tepat dalam menjelaskan keterkaitan tersebut. Salah satu pemikir dari teori keadilan ini adalah Aristoteles. Beliau mengungkapkan bahwa dalam teori keadilan dapat di identifikasi kedalam 2 Diperlihatkan dalam corrective justice suatu keadaan dimana dalam hal milik kebendaan dari individu dikuasai secara tidak sah, maka individu tersebut berhak untuk pengembalian atas hak tersebut atau diberikan kompensasi atas hak tersebut.
            Corrective Justice berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka corrective justice berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang  sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Corrective justice bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.
            Lebih jelasnya distributive justice menghendaki adanya suatu pengalokasian manfaat-manfaat sosial kepada tiap-tiap orang menurut jasanya yaitu tidak berdasarkan atas kesama rataan, tetapi atas dasar kesebandingan. Selain penggunaan teori keadilan oleh Aristoteles, dalam penelitian ini juga akan dipergunakan teori dari aliran Critical Legal Studies. Critical Legal Studies merupakan aliran moderen dalam teori ilmu hukum. Teori ini diperkenalkan dan mulai di kembangkan pada tahun 1970-an di negara Amerika Serikat. Dimulai pada tahun 1977 inisiatif untuk membentuk Critical Legal Studies ini datang dari beberapa ahli hukum, seperti Horwtiz, Duncan Kennedy, Trubek, Mark Tushnet dan Roberto Unger. Critical Legal Studies timbul sebagi kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagi alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Esensi pemikiran Critical Legal Studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law as politic itu, Critical Legal Studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis yang mengatakan bahwa asas-asas hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal.
            Critical Legal Studies mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul kepermukaan sebagi suatu yang netral, sebenarnya didalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan Critical Legal Studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan
            Dalam memandang masalah hukum, Critical Legal Studies menolak perbedaan antara teori dengan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Berkaitan dengan liberalisme, Roberto Unger mengemukakan pandangan bahwa liberalisme menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Liberalisme membengkokan moral, intelektual dan sisi spiritual seseorang. Dalam kaitan ini Unger mengemukakan  6  wenang,  Untuk mengkritis doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, Critical Legal Studies menggunakan metode :
1. Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
2. Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
3. Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum. Teori ini akan digunakan untuk memahami dan menganalisa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping,
            Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Peraturan pemerintah tersebut sebagai bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization. Komitmen liberalisasi, melalui penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya aliran keluar masuk barang dari dan luar Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi atau diteliti apakah suatu barang merupakan dumping atau tidak hingga, mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan anti-dumping sehingga industri yang mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan ADA.
            Pada akhirnya penulis mengharapkan dapat menyusun kembali, mengevaluasi dan memberikan masukan-masukan yang berarti dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia, agar dalam pencapaian kemakmuran bangsa Indonesia dapat terwujud dan tetap memajukan nilai-nilai bangsa dalam menegakkan  keadilan ekonomi.
2. Kerangka Konsepsional.
            Untuk menghindari perbedaan pengertian dari istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini maka pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
b. Bea Masuk Anti-dumping adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian.
c. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.
d. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
e. Liberalisasi adalah proses pengurangan atau penghapusan tarif dan berbagai macam bentuk dan jenis hambatan yang merintangi arus perdagangan internasional, secara unilateral maupun multilateral.
f. Tindakan anti-dumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap Barang.
g. Komite Anti-Dumping Indonesia, yang selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan.
D.  Metodologi Penelitian.
            Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta. Norma hukum yang dimaksud adalah instrument hukum anti-dumping dalam kaidah hukum perdagangan internasional. Sedangkan dalam kegiatan menggali dan mengkualifikasi faktafakta, dipergunakan kajian empiris untuk identifikasi terhadap faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa hukum yang bersangkutan. Hal tersebut dipilih oleh penulis agar gambaran yang dihasilkan tidak bias normatif dan juga tidak bias faktual, sehingga dapat memberikan sebuah gambaran yang lengkap atas fenomena hukum yang dikaji, yakni penerapan hukum anti-dumping. Selain itu dalam penelitian ini mempergunakan 2  Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Sedangkan pendekatan kasus ditujukan untuk mengkaji beberapa kasus mengenai dumping dan tindakan anti-dumping yang terjadi di Indonesia.
E.  Tujuan dan Manfaat Penelitian.
            Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Menyelesaiakan Sengketa Perdagangan Internasional
2. Mengetahui dan memahami Mekanisme Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO
             Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran dalam mempelajari dan mengkaji serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Perdagangan Internasional, khususnya Mekanisme Penyelesaian Damping dalam GATT/WTO
2. Secara praksis memberikan sumbangan pemikiran bagi perumus atau pengambil kebijakan perdagangan luar negeri yang menyangkut pelaksanaan peraturan hukum anti-dumping yang pada akhirnya menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang semakin mantap.






BAB II
Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional
A. Perangkat Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional
Perdagangan bebas dalam sistem World Trade Oragnization, pada prinsipnya merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain. Karena itu, namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau negara yang sama dan sederajat. Sebab, apabila persaiangan yang secara bebas antara yang kuat dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak yang kalah. Oleh sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem World Trade Organization (WTO), kepentingan negara lemah, yakni negara berkembang (developing coutries) dan negara tidak berkembangan (Least developed countries) mesti di perhatikan secara khusus, agar tidak menjadi objek bulan-bulanan pesaingnya dari negara maju. Untuk itulah, negara-negara berkembang dan negara tidak berkembang sering kali berjuang dengan gigih dalam perundingan-perundingan World Trade Organization (WTO).[4]
Menyadari akan kekhawatiran dari negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade Organization yang telah melakukan berbagai hal untuk memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara tidak berkembang.
Dari hal tersebut kita bisa melihat kepedulian World Trade Organization (WTO) terhadap negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak lepas dari perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang, dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.
Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap di dahului oleh negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah di tempuh dengan cara-cara lain seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali di dasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim di kenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif Penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak dapat di gunakan termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.
Antidumping di atur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara anggotanya untik mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran Tokyo (Tokyo Around) disepakati Antidumping Code (1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif sejak 1 januari 1980. Antidumping Code (1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di hasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Around). Antidumping Code (1994) yang berjudul Agreement on Implementation of Article VI of  GATT 1994 dan sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani  Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994, yang menghasilkan World Trade Organization (WTO), suatu insitusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia diantara negara-negara anggotanya sesuai dengan Multilateral Trade Agreement yang merupakan bagian intergral dari Agreement Establishing The WTO.
Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi merupakan perjanjian tambahan dari GATT seperti halnya Antidumping Code (1979), tetapi merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri.[5]
Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagi berikut[6] :
1.  Prinsip
2.  Penentuan Dumping
3.  Penentuan kerugian
4.  Defenisi Industri Dalam Negeri
5.  Penyelidikan Awal dan Penyelidikan Lanjutan
6.  Bukti-Bukti
7.  Pengenaan Biaya Antidumping
8.  Penawaran Harga Penyesuaian
9.  Penentuan dan Pemungutan Biaya Antidumping
10. Keberlakuan surut
11.  Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping
12.  Keberlakuan surat
13.  Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping dan Penawaran Harga Penyesuaian
14. Pengumuman Kepada Publik dan Penjelasan Penetapan
15. Peninjauan Ulang
16. Tindakan Antidumping Atas Nama Negara Ketiga
17.   Anggota Negara-Negara Berkembang
18.  Komite Antidumping
19.  Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa
20.  Pengenaan Biaya Antidumping Tetap
Bila di cermati lebih jauh, semua ketentuan dalam Antidumping Code (1994) ini tidak secara jelas melarang dilakukannya praktik dumping, tetapi ketentuan dalam Antidumping Code (1994) hanya mengatur tindakan balasan yang dapat di ambil oleh suatu negara, untuk memulihkan dampak-dampak negatif, jika praktis dumping telah menyebabkan kerugian material terhadap industri domestik importir .[7]
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar dari GATT itu sendiri. Sebagai persetujuan multilateral GATT memiliki beberapa prinsip dasar antara lain :
a)         Asas Nondiskriminasi
b)        Anti Proteksi dan Subsidi
c)         Penciptaan iklim perdagangan yang stabil
d)        Transparan
Sedangkan dumping merupakan bentuk perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas melarang dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan dari adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik. Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian material (material injury), maka setia pengusaha harus mengerti bagaimana melihat apakah telah terjadi material injury akibat praktik dumping tersebut. Hal ini perlu kita, ketahui karena walaupun eksportir telah menjual suatu produk dengan harga dumping, namun apabila praktik ini tidak mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik, maka tidak dapat dikenakan sanksi.
Sebagai suatu perjanjian internasional, GATT merupakan serangkaian aturan permainan di bidang perdagangan internasioanal yang menerapkan tata cara perdagangan antara negara-negara anggota yang di sepakati bersama.
Penyelesaian sengketa dumping juga sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang pada umumnya melalui World Trade Organization (WTO). Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat ini adalah peraturan menurut Antidumping Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan antidumping dari masing-masing negara.
Jika produsen barang dumping tidak dapat menerima sanksi antidumping yang diputuskan oleh pemerintah negara importir, maka produsen tersebut dapat naik banding ke forum WTO, melalui pemerintah negaranya.
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT memuat ketentuan sederhana.
Pasal 22 menghendaki para pihak yang besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui konsultasi mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral.[8]
Pasal 23 mengandung peraturan yang lebih luas. Pada pasal 23 terdiri dari dua ayat. Ayat (1), menegaskan adanya dua pelanggaran hukum yang dijabarkan :
a.  Adanya penghilangan atau pengrusakan terhadap setiap keuntungan yang diperoleh berdasarkan perjanjian GATT;
b.  Adanya gangguan terhadap adanya perolehan (yang diharapkan) dari tujuan perjanjian GATT.
Pada ayat (2) tersebut mengandung dua ketentuan utama :
a.  Mensyaratkan para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada badan tertinggi GATT, yaitu CONTRACTING PARTY, manakala mereka gagal menyelesaikan secara bilateral sesuai dengan ayat (1).
b.  Menunjukkan tiga bentuk putusan yaitu,  rekomendasi, putusan, penangguhan pemberian konsensi.[9]
Dari segi yuridis, GATT dapat dilihat sebagai serangkaian “aturan permainan” di bidang perdagangan internasional yang tercantum dalam suatu dokumen utama, yaitu General Agreement in Tariffs Trade sebagai perjanjian internasional atau iternational treaty dengan peraturan tambahan yang merupakan tatanan perilaku ekonomi yang berlaku bagi negara-negara yang menandatanganinya. Dokumen utama GATT yang berjudul General Agreement on Tariff and Trade yang dikenal secara ringkas sebagai The General Agreement terdiri dari 38 pasal.
B. Prinsip-prinsip Dasar Word Trade Organisation (WTO)
Prinsip adalah asas kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir. Adapun prinsip-prinsip hukum atau yang disebut dengan asas-asas hukum merupakan dasar pembentukan hukum yang secara filosofis yang mempunyai atau memiliki peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum.
Dalam perdagangan internasional, secara garis besar prinsip-prinsip hukum menghendaki adanya perlakuan yang sama atas setiap produk, baik terhadap produk impor ataupun produk domestik. Tujuan adanya penerapan prinsip tersebut adalah untuk terciptanya perdagangan bebas yang teratur berdasarkan norma hukum GATT.[10]
Dalam pemaparan ini penulis membagi prinsip-prinsip dagang tersebut menjadi dua klasifikasi, yaitu pengaturan mengenai non-diskriminasi serta pengaturan mengenai dispensasi dalam aturan main GATT/WTO.
1.      Pengaturan Mengenai Non-Diskriminasi
a.       Most Favored Nation
Most Favored Nation adalah suatu asas yang mengatur jalannya perdagangan asas non-diskriminasi, yakni tidak boleh membeda-bedakan antara satu negara anggota GATT atau WTO dan anggota lainya. Para anggota tersebut tidak boleh membeda-bedakan antara anggota yang satu dengan anggota yang lainnya atau tidak boleh memberikan kemudahan hanya kepada satu anggota saja tanpa perlakuan yang sama dengan anggota yang lainya baik itu berkenaan dengan tarif ataupun perdagangan.[11]
b.      National Treatment
Prinsip ini melarang perbedaan perlakuan antara produk asing dan produk domestik yang berarti bahwa suatu saat barang impor telah masuk ke pasar dalam negeri suatu negara anggota, dan setelah melalui daerah pabean serta membayar bea masuk barang impor tersebut harus diberlakukan sama dengan barang dalam domestik.
Menurut Mosler dalam Mahmul Siregar, bahwa unsur-unsur terpenting dalam Prinsip National Treatment adalah sebagai berikut:
1)      Adanya kepentingan lebih dari satu Negara
2)      Kepentingan tersebut terletak di wilayah yuridiksi suatu Negara.
3)      Negara tuan rumah harus memberikan perlakuan yang sama baik terhadap kepentingan sendiri maupun kepentingan Negara lain yang berada di wilayahnya.
4)      Perlakuan tersebut tidak boleh menimbulkan keuntungan bagi Negara tuan rumah sendiri akan tetapi menimbulkan kerugian bagi Negara lain.
c.       Tarif Binding atau Tarif Mengikat
Tarif Binding adalah sebuah janji oleh suatu negara untuk tidak menaikkan tarif untuk masa mendatang. Tarif Binding dianggap menguntungkan bagi perdagangan internasional karena memberikan potensi eksportir dan importir dalam hal tingkat kepastian tarif.
Adapun penerapan tarif impor itu sendiri mempunyai beberapa fungsi yang diantaranya, yaitu:
1)      Tarif sebagai pajak adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang impor) yang merupakan pungutan dari Negara yang akan dijadikan sebagai kas Negara.
2)      Tarif yang dilakukan untuk melindungi produk domestik dari praktek dumping yang dilakukan Negara pengekspor.
3)      Tarif untuk memberikan balasan (retaliasi) bagi Negara pengekspor yang melakukan proteksi produk melalui praktek subsidi terhadap produk impor.
d.      Persaingan yang Adil
            Aturan GATT juga mengandung prinsip persaingan yang adil dan fair competition. Dengan demikian subsidi terhadap ekpor dan dumping, GATT semakin menghadapi masalah. Untuk menghadapi dumping dan subsidi ekspor negara pengimpor diberikan hak untuk mengenakan anti dumping duties dan counter vailing duties sebagai imbalan ataupun tindakan balasan terhadap dumping atau subsidi ekspor.[12]
e.       Larangan Terhadap Restruksi Kuantitatif
Prinsip lain dalam GATT adalah larangan umum terhadap restruksi yang bersifat kuatitatif, yakni kuata dan jenis pembatasan yang serupa ketentuan ini oleh para pendiri GATT dianggap sangat penting karena pada waktu GATT didirikan halangan ini merupakan halangan yang serius dan paling sering diterima sebagai warisan zaman depresi pada tahun 1930.
2.      Pengaturan Mengenai Dispensasi
a.       Prinsip proteksi melalui tarif
Prinsip proteksi melalui tarif diatur dalam Pasal 11 GATT 1948 dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif, Proteksi dengan tarif yang diperlukan untuk membangun industri tertentu (infant industry protection) dan proteksi dengan pembatasan kuantitatif dalam rangka memperbaiki neraca pembayaran. (Governmental assistance to economic development-Pasal 18). Jelasnya setiap Negara peserta yang ingin memperbaiki posisi financial eksternal dan neraca pembayarannya boleh membatasi jumlah atau nilai barang yang diizinkan untuk diimpor dengan persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 11. Misalnya hambatan impor yang dikenakan atau ditingkatkan oleh Negara peserta tidak boleh melebihi apa yang diperlukan untuk mencegah atau menghentikan ancaman penurunan cadangan moneter atau bagi Negara yang memiliki cadangan moneter yang rendah untuk mencapai tingkat pertambahan yang wajar dalam cadangannya.
b.      Prinsip waiver dan pembatasan darurat terhadap impor
Prinsif waiver dan pembatasan darurat terhadap impor yang dituangkan dalam Pasal 19 GATT 1948 (Paragraf 1a) menyebutkan bahwa jika sebagai akibat perkembangan yang tak terduga dan sebagai dampak dari kewajiban negara peserta menurut perjanjian ini (GATT), suatu produk diimpor ke wilayah suatu negara peserta dalam jumlah yang semakin besar atau dalam keadaan sedemikian rupa sehingga menimbulakan atau mengancam untuk menimbulkan kerugian yang serius terhadap para produsen produk serupa atau produk yang kompetitif dalam negara diwilayah tersebut, maka dalam kaitannya dengan produk tersebut negara peserta bebas untuk menangguhkan kewajibannya sebagian atau sepenuhnya akan menarik kembali atau memodifikasi konsensinya, sejauh dan untuk jangka waktu yang diperlukan untuk mencegah atau memulihkan kerugian tersebut.
Tindakan darurat terhadap impor produk tertentu yang terdapat dalam Pasal 19 GATT 1948, adalah sebuah tindakan yang memperkenankan suatu negara untuk mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang merugikan industri dalam negeri. Berdasarkan penjelasan tentang definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam sebuah tindakan pengamanan industri domestik tidak bisa dilakukan secara anarkis tanpa terpenuhinya unsur-unsur yang ada di dalamnya. Adapun unsur-unsur yang menjadi syarat sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu:
1)      Tindakan tersebut dilakukan pemerintah.
Sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Jelasnya pemerintah memiliki fungsi sebagai alat kontrol dalam mengatur perdagangan dalam dan luar negerinya dengan membuat sebuah kebijakan. Dalam hal ini yang mempunyai peran adalah pemerintah sebagai pembuat  kebijakan, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.
2)      Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius.
Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar.[13]
Dari kacamata ekonomi, kerugian tersebut bisa berupa kerugian langsung seperti matinya pasar-pasar domestik, matinya industri-industri kecil ataupun potensi kerugian yang akan diterima secara tidak langsung seperti bertambahnya pengangguran, menyempitnya lapangan pekerjaan ataupun meningkatnya kemiskinan.
3)      Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.
4)      Terdapat barang sejenis.
Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik atau barang yang memiliki karakteristik fisik, tehnik, atau kimiawi menyerupai barang terselidik dimaksud.
5)      Terdapat barang yang secara langsung bersaing
Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diketahui terdapat dua jenis prinsip dispensasi kepada negara anggota apabila ekonomi atau industri dalam negerinya tersebut dalam keadaan darurat dan terpaksa harus memilih penanganan dengan mengambil langkah proteksi.
Bab III
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Dalam GATT/WTO
A. Prosedur Penyelesaian Sengketa Dumping Dalam (WTO)
Hal ini sesuai dengan ketentuan  GATT, yang menyatakan bahwa keputusan bea masuk antidumping dapat disanggah oleh suatu negara atas nama perusahaan/produsen yang divonis melakukan dumping kepada :
a.    The Commitee on Antidumping Practices, bila kedua bela pihak yang bersengketa adalah merupakan negara anggota Penandatanganan GATT (Antidumping Code).[14]
b.    The General Council, sesuai dengan peraturan dalam ketentuan umum tentang penyelesaian sengketa GATT, jika kedua belah pihak yang besengketa atau salah satu pihak bukan negara penandatanganan GATT (Antidumping Code).
Setiap negara anggota Committee on Antidumping Practice  dalam penyelesaian sengketa antidumping dapat menempuh prosedur prosedur sebagai berikut :
1.  Pengajuan Perkara
Perakara-perkara yang diajukan untuk diselesaiakan dalam World Trade Organization (WTO) yang akan diselesaikan dengan menggunakan badan penyelesaian sengketanya.
2.  Konsultasi (Consultation)
 Konsultasi (consultation) merupakan upaya yang dilakukan oleh para pihak yang berselisih sebelum perkara tersebut diprosses oleh majelis hakim (panels) di WTO. Konsultasi ini tidak lebih dari sekedar suatu upaya penyelesaian sengketa secara musyawarah diantara pihak untuk mencapai suatu solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
Bila tindakan dumping tersebut di rasakan tidak beralasan oleh negara yang terkena, maka negara yang terkena tindakan antidumping dapat membawa persoalan ini ke dalam pembahasan Committee on Antidumping Practice   untuk “Consultation” (permintaan konsultasi secara tertulis). Committee ini bersidang dua kali setahun. Di beri jangka waktu 10 (sepuluh) hari, merespon permintaan konsultasi yang diajukan oleh pihak lain. Konsultasi tersebut harus sudah dilakukan dalam jangka waktu maksimum 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permintaan konultasi tersebut. Penawaran konsultasi haruslah dilakukan secara tertulis, dan harus diberitahukan kepada Dispute Settlement Body dan Council and Committee.
3. Konsultasi Bilateral (Bilateral Consultation)
Berdasarkan ketentuan GATT artikel XXII (Consultation), maka konsultasi ini dapat meminta pada Council (badan) untuk mengadakan konsultasi dengan negara yang mengenakan tindakan antidumping (konsultasi bilateral). Dimana dalam pasal 22 GATT 1947 menghendaki para pihak yang bersengketa untuk menyelesaiakan sengketa melalui konsultasi bilateral. Antara Negara Eksportir dan Pemerintah Negara Importir.
4.  Konsulatsi Pembentukan Panel (Hakim)
Konsultasi untuk meminta pembentukan panel, apabila dalam 60 hari tidak ada penyelesaian dalam, konsultasi bilateral antara kedua belah pihak yang bersengketa.
a.    Panel (Hakim)
            Bila konsultasi menuju ke pembentukan panel (hakim), dianggap sebagai upaya terakhir dan sifatnya otomatis dalam mekanisme penyelesaian sengketa WTO. Dalam hal ini WTO menyatakan bahwa Dispute Settlement Body, dimana fungsi badantersebut dilaksanakan oleh WTO General Council yang harus mendirikan suatu panel dalam jangka waktu 30 hari setelah adanya permohonan secara tertulis kepada Dispute Settlement Body.
            Fungsi utama panel adalah membantu DSB dalam menjalankan tanggujawabnya sebagai badan penyelesaian sengketa dalam WTO yang tugasnya sesuai Rules and Prosedur Governing the Settlement Disputes.[15]
Dalam pasal 11 ayat (1) fungsi panel secara spesifik adalah :
1.    Membuat penilain terhadap suatu sengketa secara objektif dan menguraikan apakah suatu pokok sengketa bertentangan atau tidak dengan perjanjian-perjanjian WTO (covered agreement)
2.    Merumuskan dan menyerahkan hasil-hasil temuannya yang akan dijadikan bahan untuk membantu DSB dalam merumuskan rekomendasi atau putusan.
Pokok-Pokok Panel (Hakim)
Sesuai dengan (Pasal 4 ayat (4)) dalam praktik permohonan, secara tertulis tersebut juga harus mencantumkan terms of reference  diajukan kepada Dispute Settlement Body. Para pihak dapat merumuskan sendiri terms of reference yang berlaku bagi panel hakim dalam jangla waktu 60 (enam puluh) hari setelah terbentuknya panel hakim tersebut. Jika terms of reference tidak dirumuskan oleh para pihak, berlakukah terms of reference yang berlaku bagi forum hakim yang dibuat oleh WTO, yaitu sebagai berikut :
To examine, in the light of the relevant provisions in (name of the covered agreement(s) cited by the parties to the dispute). The matter referred to the Dispute Settlement Body (DSB) by (name of party) in document.. and to make such finding as will assist the provided for in making, the recommendation or in giving the rulings provided for in that/those agremeent(s).[16]

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
Untuk memeriksa hubungan dengan pasal-pasal yang relevan dalam (sebutan nama dari agreement yang melingkupi persengketaan yang disebutkan oleh para pihak yang bersengketa), masalah yang diajukan kepada Badaan Penyelesaian Sengketa oleh (nama pihak) dalam dokumen..dan untuk membuatpenemuan tersebut untuk dapat membant Badan Penyelesaian Sengketa dalam membuat rekomendasi atatu memberikan putusannya seperti yang diinginkan oleh agreement tersebut.
Disamping itu, ketika membentuk panel hakim, Badan Penyelesaian sengketa dari World Trade Organization (WTO) dapat memberikan otoritasi kepada chairman  untuk merumuskan terms of reference dari panel hakim untuk kepentingan konsultasi dengan para pihak yang besengketa, tetapi harus sejalan dengan terms of reference sebagai mana disebutkan diatas. Panel juga memeriksa fakta-fakta yang membantu Dispute settlement Body dalam membuat rekomendasi atau memberikan finan report-nya. Dalam rangka menemukan solusi yang memuaskan bagi kedua belah pihak, maka panel haruslah berkosultasi dengan kedua belah pihak secara berkala dan kepada panel diberikan kekuasaan untuk mengembangkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak.
Dibentuknya Suatu Panel (Hakim)
Panel hakim dibentuk sesuai dengan ketentuan Understanding on Rule and Prosedures Governing the Settlement of Disputes. Dibentuk atas permintaan dari pihak yang berengketa, yang dibentuknya adalah paling lambat pada saat rapat yang diadakan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dan merupakan salah satu item dari agenda badan tersebut, kecuali dalam rapat tersebut, secara konsensus diputuskan untuk membentuk panel hakim..
Permintaan oleh para pihak untuk membentuk panel hakim dilakukan secara tertulis, dengan menyebutkan ketentuan khusus yang diduga dilanggar oleh salah satu pihak, dan dengan memberikan kesimpulan ringkas dari dasar hukum untuk digugatnya, serta dengan memberikan indikasi apakah akan dilakukan konsultasi atau tidak. Jika pihak penggugat menginginkan adanya terms of reference selain dari terms of reference standar World Trade Organization (WTO) harus pula ditulis terms of reference khusus tersebut.
Panel hakim terdiri dari 3 (tiga) orang, kecuali para pihak menentukan bahwa panel hakim terdiri dari 5 (lima) orang. Komposisi panel ini harus secepatnya diberikan kepada semua anggota World Trade Organization (WTO). Nominasi untuk panel hakim tersebut diajukan oleh pihak sekretariat, dimana para pihak tidak boleh menolak nominasi tersebut kecuali jika ada alasan yang memaksa (compelling reason).
Panel hakim tersebut terdiri atas individu dari pemerintah atau nonpemerintah yang mempunyai kualitas yang bagus, yang dapat menjamin kemandiriannya, yang mempunyai latar belakang berbeda, dan mempunyai pengalaman yang luas menyelesaikan sengketa dagang atau yang pernah mengajar hukum perdagangan internasional. Mereka adalah orang-orang netral yang dipilih bukan dari negara yang sedang bersengketa.
5.  Panel menangani masalah dengan pihak sengketa dan pihak ketiga.
Kewenangan panel untuk memperoleh informasi dan nasehat yang sifatnya teknis dari setiap individu atau badan atau organisasi yang berkompeten (Pasal 13 ayat (1)). Pasal ini merupakan ketentuan yang baru dalam WTO. Karena dalam sistem lama GATT hanya mengandalkan informasi yang diberikan para pihak yang bersengketa. Kewenangan paneluntuk memperoleh informasi ini diperkuat oleh Pasal 13 ayat (2). Pasal ini menyatakan bahwa panel hanya dapat mengandalkan berbagai sumber informasi tambahan dan dapat pula berkonsultasi dengan para ahli mengenai masalah sengketa.
6.  Interim Review
Panel menyerahkan laporan kepada pihak sengketa (Interim Review). Para pihak masih dimungkinkan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara damai meskipun proses panel tengah berlangsung.
7.  Panel menyerahkan laporan kepada DSB
Dan hasil perumusan temuan tersebut dilaporkan secara tertulis kepada DSB (Pasal 17 ayat (7)), yang mencantumkan hal-hal sebagai berikut:
o        Hasil penemuan menyangkut pokok sengketa
o        Penerapan hukum terhadap pokok sengketa
o        Alasan bagi penemuan dan rekomendasi panel.[17]
Aturan yang paling penting mengenai prinsip otomatisasi ini dari Perjanjian Putaran Uruguay adalah Pasal 16 ayat (4). Dimana pasal tersebut menyatakan bahwa hasil putusan atau laporan panel harus disahkan dan menjadi mengikat 60 hari setelah dikeluarkan, kecuali pihak yang kalaha mengajukan banding.
8. Final Report
Laporan final (final report) dari panel haruslah diadopsi oleh Dispute Settlement Body setelah sebelumnya laporan final tersebut didistribusikan kepada para anggota World Trade Organization (WTO). Secepat-cepatnya setelah lewatnya waktu 20 (dua puluh) hari, barulah final reports tersebut dapat mempertimbangkan untuk diterima oleh Dispute Settlement Body. Tujuannya didistribusi final report tersebut kepada para anggota World Trade Organization (WTO) dapat me review dan menilai terhadap final reports tersebut. Manakala ada diantara para anggota WTO yang berkeberatan terhadap final reports tersebut, para anggota  harus menulis tentang alasan-alasan keberatan paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum sidang Dispute Settlement Body bersidang untuk mempertimbangkan pnerimaan final reports tersebut. Penerimaan terhadap final reports yang dibuat oleh forum panels tersebut dilakukan oleh DSB dalam suatu meeting yang dibuat dalam jangka waktu 60 (enam puluh ) hari setelah tanggal sirkulasi report tersebut.
9.  Adopsi Laporan Panel
Laporan Setelah DSB mengadopsi laporan panel, para pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan WTO tingkat pertama berhak mengajukan bandingatas putusan tersebut ke Badan Banding (Appellate Body) yang dibentuk oleh Dispute Settlement Body. Tiga orang dari 7 (tujuh) orang anggota banding tersebut harus mengadili masing-masing kasus yang ada. Banding tidak dapat diajukan untuk mengubah bukti-bukti yang ada atau bukti baru yng muncul kemudian. Pihak ketiga tersebut dapat menunjukkan kepentingan substansinya, dengan mengajajukan permohonan tertulis agar kepadanya dapat diberikan kesempatan untuk didengar oleh badan banding.
10.  Adopsi Appelate Report.
Dispute Settlement Body haruslah menerima reports dari Badan Banding (appelate body) tanpa syarat, kecuali jika Dispute Settlement Body tersebut secara konsensus menolak report tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pendistribusian report tersebut kepada anggota WTO.
11. Implementasi Keputusan Panel.
Dalam jangka waktu 30 (hari) setelah diadopsi oleh Dispute Settlement Body  terhadap putusan (reports) panel (tingkat pertama) atau putusan (reports) badan banding, maka pihak yang kalah perkara haruslah memberitahukan kepada DSB tentang keinginannya untuk mengimplementasikan rekomendasi atau putusan dari DSB tersebut.
12.   Kompensasi
Pihak sengketa merundingkan jenis kompensasi, DSB harus memperhatikan tindakan-tindakan yang akan di ambil. Jika misalnya pihak yang kalah tidak dapat mengimplementasikan putusan dalam jangka waktu yang reasonable tersebut, dia harus melakukan negoisasi dengan negara penggugat untuk menetapkan suatu kompensasi yang dapat diteriam kedua belah pihak, dan kesepakatan tersebut harus sudah dicapai dalam jangka wakti 20 (dua puluh) hari. Jika dalam 20 (dua puluh)  hari tersebut belum juga disepakati bentuk kompensasi yang memuaskan kedua belah pihak, pihak penggugat dapat meminta izin dari DSB untuk menerapkan sanksi, seperti menangguhkan konsensiatau kewajiban tertentu terhadap pihak tergugat. DSB dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)  hari dapat memberikan izin tersebut dalam jangka waktu yang reasionable. Namun demikian, implementasi secara penuh terhadap putusan dan rekomendasi tetap lebih diutamakan ketimbang pelaksanaan kompensasi atau penangguhan konsensi atau penangguhan kewajiban lain. Baik, pelaksanaan kompensasi maupun penangguhan konsepsi.
13.  Tindakan Balasan
Dispute Settlement Body memberi otorisasi untuk melakukan tindakan balasan.
B. Contoh Kasus Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia Pada Sengketa Anti-dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan 
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional agar terciptanya  fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement  atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang diikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.  Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip tertentu tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada didalamnya adalah :
o   Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil),
o   Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
o   Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards).[18]
 Jika sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini disebut dumping terhadap produk tersebut. Hal ini merupakan salah satu isu dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih memfokuskan pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Dalam persetujuan ini pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar – benar terbukti terjadi kerugian (material injury) terhadap industri domestik. Untuk melakukan hal ini, pemerintah harus dapat membuktikan terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping, yaitu membandingkannya terhadap tingkat harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya.[19]
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Fakta – Fakta Hukum
Para Pihak
 a. Penggugat : Indonesia
 b. Tergugat : Korea Selatan

Objek Sengketa
Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok  uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Kronologis Kasus
o   Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002.
o   Perusahaan yang dikenakan tuduhan dumping adalah PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.
o   Pada Mei 2003 Korea Selatan memberlakukan BM (bea masuk) anti dumping atas produk kertas Indonesia, namun pada November 2003 mereka menurunkan BM anti  dumping terhadap produk kertas Indonesia ke Korsel. tepatnya pada 9 Mei 2003 KTC mengenai Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sementara dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar 51,61 persen, PT Pindo Deli 11,65 persen, PT Indah Kiat 0,52 persen, April Pine dan lainnya sebesar 2,80 persen.
o   Kemudian Pada 7 November 2003, KPC menurunkan BMAD untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah Kiat masing-masing sebesar 8,22 persen, serta untuk April Pine dan lainnya 2,8 persen.
o   Pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan mengadakan konsultasi bilateral akan tetapi tidak mencapai kesepakatan.
o   27 September 2004, Disputes Settlement Body WTO membentuk Panel. Pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China dan Kanada.
o   1-2 Februari 2005, diselenggarakan Sidang Panel kesatu
o   30 Maret 2005, diselenggarakan Sidang Panel kedua
o   28 Oktober 2005, Panel Report
Gugatan Indonesia
Korea Selatan melanggar beberapa pasal dalam perjanjian WTO, antara lain :
Pasal VI GATT 1994, inter alia, Pasal VI : 1, VI : 2 dan VI : 6; Pasal 1, 2.1, 2.2, 2.2.1.1, 2.2.2, 2.4, 2.6, 3.1, 3.2, 3.4, 3.5, 4.1(i), 5.2, 5.3, 5.4, 5.7, 6.1.2, 6.2, 6.4, 6.5, 6.5.1, 6.5.2, 6.7, 6.8, 6.10, 9.3, 12.1.1(iv), 12.2, 12.3 Annex I, dan ayat 3, 6 dan 7, Annex II tentang Anti-Dumping Agreement (ADA).
1.4.       KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia.
1.5.       Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua perusahaan kertas Indonesia.
1.6.       Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang diajukan oleh Indonesia.
1.7.       Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan antidumping yang dilakukan oleh Korea Selatan

Kesimpulan Kasus
Sebagai negara yang telah menjadi anggota WTO yaitu dengan meratifikasinya Agreement Establishing the WTO melalui Undang – Undang Nomor. 7 Tahun 1994 tentang Pembentukan WTO, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip -prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947), berikut persetujuan susulan yang telah dihasilkan sebelum perundingan Putaran Uruguay. GATT merupakan perjanjian perdagangan multilateral dengan tujuan menciptakan perdagangan bebas, adil, dan membantu menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan umat manusia. GATT dimaksudkan sebagai upaya untuk memperjuangkan terciptanya perdagangan bebas, adil dan menstabilkan sistem perdagangan internasional, dan memperjuangkan penurunan tarif bea masuk serta meniadakan hambatan-hambatan perdagangan lainnya. GATT berfungsi sebagai forum konsultasi negara-negara anggota dalam membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di bidang perdagangan internasional, GATT juga berfungsi sebagai forum penyelesaian sengketa di bidang perdagangan antara negara-negara peserta, masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengkataan dagang melalui konsultasi dan konsiliasi.
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.[20]
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Pengaturan anti-dumping dalam hukum nasional Indonesia sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Persetujuan pembentukan WTO melalui UU Nomor 7 Tahun 1994 ternyata belum terdapat pengaturannya. Sehingga dalam hukum nasional di Indonesia diatur dalam :
1.      UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2.      Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan
3.      Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 430/MPP/Kep/9/1999 tentang Komite Antidumping Indonesia dan Tim Operasional Antidumping 
4.      Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No. SE-19/BC/1997 tentang
Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu negara yang :
1.      Harus ada tindakan dumping yang LTFV (less than fair value)
2.      Harus ada kerugian material di negara importir
3.      Adanya hubungan sebab akibat antara harga dumping dengan kerugian yang terjadi.
Seandainya terjadi dumping yang  less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang. Komisi Anti-Dumping Indonesia Komisi Anti-Dumping Indonesia (KADI) didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 136/MPP/Kep/6/1996. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mempunyai tugas pokok yaitu :
1.      Melakukan penyelidikan terhadap dugaan adanya barang dumping dan atau mengandung barang subsidi yang menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri barang sejenis,
2.      Mengumpulkan, meneliti dan mengolah bukti dan informasi yang mengenai dugaan adanya barang dumping dan atau barang mengandung subsidi,
3.      Mengusulkan pengenaan bea masuk anti dumping dan atau bea masuk imbalan kepada Menperindag,
4.      Menyusun laporan pelaksanaan tugas untuk disampaikan kepada Menperindag.
Sehubungan dengan tugas-tugas yang diemban KADI, maka KADI berkewajiban untuk mensosialisasikan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perdagangan dunia yang telah diratifikasi dengan tujuan agar masyarakat khususnya dunia usaha Indonesia tidak menjadi korban praktek-praktek perdagangan yang tidak sehat atau unfair trade practices, yang meliputi dumping dan subsidi.
Dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia pada perusahaan eksportir produk kertas diantaranya :
- PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk
- PT. Pindo Deli Pulp and Mills
- PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk
- April Pine Paper Trading Pte Ltd.
Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi.  Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau  Dispute  Settlement  Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain.[21]
Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping untuk Korea-Certain Paper Products.  Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan  Panel Report  ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reason-able period of time/RPT). Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. Padahal Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan antidumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.

























BAB IV
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
1.      Dumping merupakan bentuk perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas melarang dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan dari adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik. Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian material (material injury), maka setia pengusaha harus mengerti bagaimana melihat apakah telah terjadi material injury akibat praktik dumping tersebut. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT memuat ketentuan sederhana.
2.      Pasal 22 menghendaki para pihak yang besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui konsultasi mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral. Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase. pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim di kenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif Penyelesaian sengketa). Sebagai persetujuan multilateral GATT memiliki beberapa prinsip dasar antara lain : Asas Nondiskriminasi, Anti Proteksi dan Subsidi, Penciptaan iklim perdagangan yang stabil, dan Transparan. Sengketa antidumping dapat menempuh prosedur prosedur sebagai berikut : Pengajuan Perkara, Konsultasi (Consultation), Konsultasi Bilateral (Bilateral Consultation), Konsulatsi Pembentukan Panel (Hakim), Panel menangani masalah dengan pihak sengketa dan pihak ketiga, Interim Review, Panel menyerahkan laporan kepada DSB, Final Report, Adopsi Laporan Panel, Adopsi Appelate Report, Implementasi Keputusan Panel, Kompensasi, DSB memberi otorisasi untuk melakukan tindakan balasan.




DAFTAR PUSTAKA

Agreement On Implementation Of Article VI Of GATT 1994.

Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan Non-Hukum, cetakan pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2006.

Hidayat & Mohammad Slamet, Sekilas Tentang WTO, Direktorat Jendral Multilateral  Departemen Luar Negeri, Jakarta, 2006.

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004.

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Sulistyo Widayanto, Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan, Vol. 1.

Syahmin, Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, Bandung:PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The WTO.

  


               [1] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 101.
               [2] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal, 191.

               [3]. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia Bandung, 2004, hal 24.

               [4] Ibid, hal. 193.
               [5] Loc-Cit, hal. 14-15.
               [6] Lihat Agreement On Implementation Of Article VI Of GATT 1994.
               [7] Lihat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The WTO, angka II.
               [8] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004, hal. 132.
               [9] Ibid, hal. 133.

               [10] Mohammad Sood, Hukum Perdagangan Internasional, cetakan pertama, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal. 39
               [11] Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional, Aspek Hukum Dari WTO, cetakan pertama ,Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, 2004,  hal. 69
               [12] Syahmin, Hukum Dagang Inetrnasional, cetakan pertama, Bandung:PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 47
               [13] Hatta, Perdagangan Internasional Dalam Sistem GATT dan WTO, Aspek-aspek Hukum dan Non-Hukum, cetakan pertama, Bandung: PT Refika Aditama, 2006, hal. 103
               [14] Yulianto Syahyu, Op-Cit, hal. 41-42.
               [15] Munir Fuady, Op-Cit, hal. 119
               [16] Ibid, hal. 119
               [17] Ibid, hal. 147-148.
               [18] Hidayat & Mohammad Slamet, Sekilas Tentang WTO, Direktorat Jendral Multilateral  Departemen Luar Negeri, Jakarta, 2006.
               [19] Ibid, hal. 39.
               [20] Penjelasan atas UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the WTO

               [21] Sulistyo Widayanto, Negosiasi untuk Mengamankan Kepentingan Nasional di Bidang Perdagangan, Vol. 1, hal 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar