PENERAPAN HUKUM
ANTI DUMPING DI INDONESIA
OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Perdagangan merupakan salah satu jalan bagi tiap-tiap negara dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Sehubungan
dengan perdagangan lintas batas Kebjikan
khusus merupakan hal yang mutlak diperlukan, mengingat bahwa dalam perdagangan
internasional bukanlah bidang yang mudah untuk dipahami, sehingga dalam
mengambil kebijakan dan tindakan-tindakan haruslah memberikan kepastian dan
mempertimbangkan segala aspek-aspek yang ada, terutama apabila kebijakan yang
menyangkut kepentingan nasional. Perbedaan kepentingan nasional antara negara sudah barang tentu menjadi
hal yang mutlak dihadapi yang mana hal ini tentunya akan mengakibatkan friksi antar negara, baik antar negara-negara
maju, negara-negara berkembang, bahkan negara
terbelakang sekalipun. Demi terciptanya hubungan yang saling terintegrasi satu sama lain dan keinginan untuk
mewujudkan peningkatan dan pertumbuhan perekonomian
antara negara di bidang perdagangan internasional, maka tidak ada jalan lain selain menjembatani perbedaan
kepentingan tersebut.
Dalam menjembatani perbedaan kepentingan yang ada, akhirnya perdagangan internasional memasuki era baru dengan
tercapainya kesepakatan Putaran Uruguay.WTO memiliki peran yang sangat penting dalam
perdagangan Internasional karena ia adalah sebagai organisasi internasional di bidang
perdagangan yang mengawasi pelaksanaan aturan main yang
telah disepakati dalam General Agreement on Tarrifs and Trade Liberalisasi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam perdagangan internasional, telah mendapatkan tempatnya
ketika Putaran Uruguay telah rampung dan disepakati oleh negara-negara yang menjadi anggota GATT/WTO , yang juga serta merta membawa dunia kearah
globalsasi.[1]
Akan tetapi liberalisasi yang dicapai tersebut tidaklah kemudian menjadi suatu alasan untuk “menghalalkan” segala
cara dalam
memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional. Dengan mengingat hal tersebut maka GATT/WTO memberikan
ketentuan-ketentuan untuk melindungi atau memproteksi industri-industri dalam negeri dari akibat negatif yang
ditimbulkan dalam kegiatan perdagangan internasional,
dimana proteksi tersebut lazimnya disebut dengan tindakan pemulihan atau trade remedies. Salah satu bentuk tindakan pemulihan yang
dimaksud ialah anti-dumping. Dumping di defenisikan dalam Pasal 2.1 Agreement on Implementation of
Article VI of The general Agreement on Tarrif and Trade 1994 dumping Agreement/ADA)
Berdasarkan Pasal VI GATT 1994 dan ADA, anggota WTO berhak untuk menerapkan tindakan-tindakan anti-dumping, Ada dumping; Industri domestik yang memproduksi barang
yang sejenis di negara pengimpor menderita kerugian material, Ada hubungan sebab akibat. Lain halnya dengan bentuk proteksi seperti
Safeguard dan Countervaling Measure. Safeguard, merupakan suatu kebijakan nasional untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara anggota WTO oleh
karena melonjaknya arus importasi secara berlebihan dan di terapkan terhadap bentuk perdagangan internasional
yang jujur dan adil. Akan tetapi akibat yang
ditimbulkannya adalah kerugian industri dalam negeri yang dapat berimbas kepada seluruh sektor kehidupan
masyarakat. Sedangkan antara anti-dumping dan countervailing
measure dimaksud sebagaimana yang didefenisikan dalam Subsidy Countervailing Measure Agreement adalah sebagai sebuah kontribusi keuangan
oleh pemerintah atau badanpublik yang memberikan sebuah keuntungan.[2]
Bentuk-bentuk subsidi juga beragam, mulai dari bentuknya yang nyata seperti
pemberian dana, pinjaman uang dengan kondisi yang menguntungkan, penyediaan
modal equitas bagi sebuah perusahaan, penurunan pajak bahkan tidak melakukan
tindakan apa-apa atau tidak menagih penghasilan pajak yang sudah jatuh tempo,
dimana hal-hal tersebut tidak akan
terjadi dan ditemukan dalam suatu kondisi yang normal.
Bagi
beberapa negara berkembang kebijakan ini merupakan sesuatu hal yang baru dan tidak lazim. Indonesia sebagai
anggota WTO, melalui Undang-undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia Mengandung beberapa konsekuensi hukum. Berdasarkan “The
Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” ratifikasi menimbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya.
Ketentuan dalam “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” ini juga berlaku terhadap hasil-hasil Uruguay Round yang diimplementasikan di dalam WTO. ADA sebagaimana yang telah menjadi satu
kesatuan dalam WTO rules melalui Uruguay Round,
bukanlah merupakan usaha pertama dalam perundingan multilateral untuk hukum anti-dumping.
Sebelumnya para negosiatior dalam Kennedy Round menghasilkan sebuah Anti-dumping
Code di tahun 1967, yang berlaku pada 1 juli 1986, yang merupakan usaha
untuk memastikan agar tidak terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan anti-dumping sebagaimana
yang tercantum dalam pasal VI GATT 1947. Hal yang menarik perhatian dalam Kennedy Round ini ialah usaha dari para negosiator Amerika Serikat
yang mendorong issu ini masuk kedalam agenda Kennedy Round tersebut. Alasan mendasar dari para negosiator
Amerika pada saat itu ialah ketakutan akan ekspor
Amerika mengahadapi diskriminasi ditengahtengah ketidakjelasan mengenai prosedur anti-dumping.
Memang sangat rumit pada waktu itu untuk menentukan ataupun melaksanakan apa
yang dicantumkan dalam Pasal VI GATT 1947 oleh karena tidak adanya aturan main
yang komprehensif untuk melaksanakan apa yang di mandatkan, dan yang paling
ditakutkan ialah Pasal VI tersebut “berubah” menjadi suatu hambatan di dalam perdagangan
akibat salah dalam menafsirkan ataupun menerapkan pasal tersebut. Usaha untuk tetap
memantapakan hukum anti-dumping saat itu tidak berhenti sampai disitu. Selanjutnya para negosiator
dalam Tokyo Round juga menghasilkan Anti-dumping Code
yang berlaku pada tanggal 1 januari 1980. Seperti pendahulunya, Anti-dumping Code dari Tokyo round ini juga
mengandung aturan tentang hal-hal yang berhubungan dengan investigasi anti-dumping yang mencoba untuk
memastikan ketentuan anti-dumping ini tidak dijadikan
hambatan dalam perdagangan. Akan tetapi bagaimanapun juga hal ini berbeda dengan hukum anti-dumping yang ada
saat ini.
Perbedaan yang paling mendasar bahwa jika dalam GATT 1994 seluruh perjanjian merupakan suatu kesatuan yang
tak dapat dipisahkan satu sama lain Untuk Negara Indonesia sendiri, masalah
anti-dumping menjadi sangat penting dan krusial, karena menyangkut mengenai perlindungan terhadap
industri-industri dalam negeri dimana posisinya adalah sebagai negara berkembang. Maka dari
itu peranan prinsip hukum perdagangan
internasional dalam perjanjian GATT dan WTO sangat dibutuhkan, guna menjamin
terjadinya suatu perdagangan internasional yang adil, jujur dan terbuka. Indonesia diharapkan agar dapat menggunakan instrument hukum anti-dumping tersebut dalam rangka melindungi
kepentingan ekonomi nasionalnya selama hal tersebut diperbolehkan dalam ketentuan WTO. Disamping itu, Indonesia juga
harus bersiap menghadapi tuduhan serupa yang dilancarkan terhadap produk-produk
ekspor Indonesia oleh mitra dagang di luar negeri melalui tindakan yang
diperlukan, sehingga dapat melindungi kebijakan perdagangan Indonesia. Tentunya
hal ini hanya dapat terlaksana melaui seperangkat
ketentuan nasional yang komprehensif, tegas dan berkualitas dibidang perdagangan
internasional, dan terutama di bidang antidumping.[3]
Globalisasi memberikan dampak atau implikasi yang sangat besar terhadap pembentukan sistem hukum nasional. Negara
yang melibatkan diri dalam globalisasi
dengan sendirinya telah mengikatkan diri
untuk tunduk pada aturan hukum yang telah disepakati masyarakat internasional. Terlebih lagi dengan meratifikasi Agreement timbul kewajiban bagi setiap negara
anggota untuk membentuk hukum nasionalnya dengan
tidak bertentangan dengan persetujuan GATT/WTO Hingga saat ini liberalisasi perdagangan
yang melalui perundingan-perundingan WTO telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-negara
anggota. Khusus untuk Indonesia, dampak positif
dapat dimungkinkan dengan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas tetapi juga menyediakan
kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi
kepentingan nasional dalam perdagangan internasional. Sebaliknya dampak negatif dalam hal tersebut
salah satunya ialah sulitnya mengendalikan
derasnya laju impor produk-produk dari mitra dagang asing, apalagi dalam menghadapi praktek-praktek curang dalam
perdagangan.
Apabila ditinjau kearah sudut kepentingan ekspor, maka produk indonesia dengan adanya liberalisasi perdagangan ini akan
berdampak positif dengan memberikan perluasan perdagangan yang bebas hambatan, namun karena prinsip timbal
balik Disatu pihak masuknya barang-barang impor
dari negara lain khususnya untuk produk yang merupakan dumping secara langsung akan menguntungkan konsumen, dimana yang terjadi produk-produk impor
jika dibandingkan dengan produk lokal memiliki perbedaan harga yang cukup signifikan. Akan tetapi dilain pihak
dengan melihat keadaan tersebut maka akan
mengancam kegagalan produsen-produsen lokal untuk bersaing dipasar negeri sendiri yang akan berakibat “matinya”
produsen produsen di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, mengenai dampak-dampak
yang ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan, maka sekarang ini beberapa negara anggota WTO mengunakan berbagai instrumen
ketentuan-ketentuan WTO guna melindungi industri dalam negerinya. Solusi untuk melindungi
produk Indonesia dari serbuan produk asing yang melakukan dumping ialah
dengan cara menggunkan instrumen hukum anti-dumping yang diperbolehkan oleh WTO.
Tentunya untuk menggunkan instrument hukum ini sangat diperlukan aturan domestik yang cukup
komprehensif, tegas dan tidak bertentangan dengan WTO rules,
agar terciptanya perdagangan yang adil dan menguntungkan bagi berbagai pihak, khususnya dalam sistem perdagangan di Indonesia.
Penulis sengaja memilih instrument hukum anti-dumping sebagai objek kajian dalam penelitian ini, karena penulis
menganggap bahwa hal ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi di Indonesia. Selain berusaha
untuk melindungi industri
domestik dari kerugian atau ancaman kerugian, anti-dumping juga merupakan
instrumen hukum yang masih terbilang baru dalam khasanah hukum Indonesia, yang
tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam menciptakan aturan domestik
maupun pelaksanaannya. Olehnya itu penulis merasa penting untuk mengkaji lebih dalam agar dapat menemukan
solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan yang akan dipaparkan serta di
analisa secara mendalam yaitu:
1. bagaimana Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional?
2. Bagaimanakah penerapan sistem hukum anti-dumping
di Indonesia?
C. Landasan Teori dan Kerangka Konsepsional.
1. Landasan Teori.
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk dapat
memahami masalah secara lebih baik. Hal yang semula tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan satu
sama lain secara lebih bermakna. Teori dengan demikian
berfungsi sebagai “ Pisau Analisa” yang memberikan penjelasan. Teori dapat dipergunakan sebagai “Pisau Analisa” dengan cara memilih dari berbagai teori atau sistem berfikir daripada
membangun sendiri atau mencoba sendiri bagian-bagian dari suatu teori, misalnya dapat diketemukan dalam literatur mengenai rehabilitasi
pelaku kejahatan, di mana berbagai teori dalam Criminal Justice, hukuman, dan moralitas saling berhubungan.
Untuk pengertian yang sederhana, teori itu dapat
dikatakan sebagai prinsip-prinsip umum atau seperangkat prinsip yang secara keilmuan dapat diterima dan menawarkan penjelasan tentang suatu gejala.
Teori menjelaskan tentang hubungan antara fakta-fakta, misalnya teori berusaha
menjelaskan hubungan antara kondisi ekonomi dan keinginan pembeli atau antara
kondisi rumah tangga dan tingkah laku kekerasan terhadap anak.[4]
Teori
hukum digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah hukum positif tertentu
yang mendasar, misalnya Schutznormtheorie, Imputationtheory, teori-teori
tentang saat terjadinya kata sepakat, risiko mengikatnya perjanjian, kesesatan dan
sebagainya. Itu semuanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak
dicari atau diketemukan dalam hukum positif.[5]
Anti-dumping sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum internasional yang
mengatur tentang penyesuian kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan industri domestik akibat adanya praktek perdagangan
curang dalam transaksi perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama masyarakat internasional. Oleh karena
tindakan anti-dumping yang merupakan suatu langkah pemulihan keadaan dari
distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh adanya prkatek curang yang berupa
dumping, maka untuk itu kehadiran teori keadilan diangap tepat dalam menjelaskan
keterkaitan tersebut. Salah satu pemikir dari teori keadilan ini adalah
Aristoteles. Beliau mengungkapkan bahwa dalam teori keadilan dapat di identifikasi kedalam 2 Diperlihatkan dalam corrective justice suatu keadaan dimana dalam hal milik
kebendaan dari individu dikuasai secara tidak sah, maka individu
tersebut berhak untuk pengembalian atas hak tersebut atau diberikan kompensasi atas hak tersebut.
Corrective Justice berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka corrective
justice berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang
dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku.
Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan
atau telah terbentuk. Corrective justice bertugas
membangun kembali kesetaraan tersebut.
Dilain hal, untuk distributive justice Aristoteles menyebutkan
sebagai berikut:
“Distributive justice,…. applies to the
distribution of public interest such as ‘honor or money or other things that have
to be shared among members of the political community”.
Distributive justice menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian”
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku
dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni
nilainya bagi masyarakat.
Lebih jelasnya distributive justice menghendaki adanya suatu pengalokasian
manfaat-manfaat sosial kepada tiap-tiap orang menurut jasanya yaitu tidak berdasarkan
atas kesama rataan, tetapi atas dasar kesebandingan. Selain penggunaan teori
keadilan oleh Aristoteles, dalam penelitian ini juga akan dipergunakan teori dari aliran Critical
Legal Studies. Critical Legal Studies merupakan aliran moderen dalam teori ilmu hukum. Teori ini diperkenalkan
dan mulai di kembangkan pada tahun 1970-an di negara
Amerika Serikat. Dimulai pada tahun 1977 inisiatif untuk membentuk Critical Legal Studies ini
datang dari beberapa ahli hukum, seperti Horwtiz,
Duncan Kennedy, Trubek, Mark Tushnet dan Roberto Unger. Critical Legal Studies timbul sebagi kritik
terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagi alat perubahan dan sebagai alat
untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Esensi
pemikiran Critical Legal Studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law
as politic itu, Critical Legal Studies berarti
sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis yang mengatakan bahwa asas-asas hukum
internasional merupakan bagian dari hukum nasional dalam
ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal.
Critical Legal Studies mengkritik hukum yang berlaku, yang
nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak
netral. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan
tatanan sosial yang muncul kepermukaan sebagi suatu yang netral, sebenarnya didalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias
kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan Critical Legal Studies, doktrin hukum
yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih
berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan
Dalam memandang masalah hukum, Critical Legal Studies menolak perbedaan antara teori dengan praktek, dan
menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Berkaitan dengan liberalisme, Roberto Unger mengemukakan
pandangan bahwa liberalisme menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Liberalisme membengkokan moral,
intelektual dan sisi spiritual seseorang. Dalam kaitan ini Unger mengemukakan 6 wenang, Untuk mengkritis doktrin hukum yang telah
terbentuk selama ini, Critical Legal Studies menggunakan
metode :
1. Trashing, yaitu dilakukan untuk
mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan
yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
2. Deconstruction, adalah
membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
3. Genealogy, adalah penggunaan
sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki
kekuatan. Interpretasi sejarah yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum. Teori ini akan digunakan untuk memahami
dan menganalisa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Peraturan pemerintah tersebut sebagai
bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas pelaksanaan komitmen
liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization. Komitmen liberalisasi, melalui penurunan
tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya aliran keluar masuk barang dari dan luar
Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi atau diteliti apakah suatu
barang merupakan dumping atau tidak hingga, mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman
kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan anti-dumping sehingga industri yang mengalami
kerugian dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan ADA.
Pada akhirnya penulis mengharapkan dapat menyusun kembali, mengevaluasi dan
memberikan masukan-masukan yang berarti dalam penerapan hukum anti-dumping di
Indonesia, agar dalam pencapaian kemakmuran bangsa Indonesia dapat terwujud dan
tetap memajukan nilai-nilai bangsa dalam menegakkan keadilan ekonomi.
2. Kerangka Konsepsional.
Untuk menghindari perbedaan pengertian dari
istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini maka pengertian dari beberapa
istilah yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Bea Masuk adalah pungutan negara
berdasarkan undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
b. Bea Masuk Anti-dumping adalah pungutan
negara yang dikenakan terhadap Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian.
c. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang
dari daerah pabean.
d. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke
dalam daerah pabean.
e. Liberalisasi adalah proses pengurangan
atau penghapusan tarif dan berbagai macam bentuk dan jenis hambatan yang
merintangi arus perdagangan internasional, secara unilateral maupun multilateral.
f. Tindakan anti-dumping adalah tindakan yang
diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap Barang.
g. Komite Anti-Dumping Indonesia, yang selanjutnya
disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan.
D. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap
fakta. Norma hukum yang dimaksud adalah instrument hukum anti-dumping dalam kaidah hukum perdagangan internasional. Sedangkan dalam kegiatan
menggali dan mengkualifikasi faktafakta,
dipergunakan kajian empiris untuk identifikasi terhadap faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa hukum yang bersangkutan.
Hal tersebut dipilih oleh penulis agar gambaran yang dihasilkan tidak bias
normatif dan juga tidak bias faktual, sehingga dapat memberikan sebuah gambaran
yang lengkap atas fenomena hukum yang dikaji, yakni penerapan hukum
anti-dumping. Selain
itu dalam penelitian ini mempergunakan 2 Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping,
Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Sedangkan pendekatan kasus ditujukan untuk
mengkaji beberapa kasus mengenai dumping dan tindakan anti-dumping yang terjadi di Indonesia.
E. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa lebih jauh mengenai
anti-dumping serta penerapannya ditinjau dari
kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan kedudukan Indonesia sebagai subjek
hukum internasional pada umunya, dan sebagai negara anggota WTO pada khusunya.
Oleh karena itu maka tujuan dari penelitian ini adalah
:
1. Mengetahui dan memahami anti-dumping
sebagai instrumen hukum perdagangan internasional.
2. Mengetahui dan memahami tindakan anti-dumping
dalam hukum positif Indonesia, dan penerapannya dalam
kebijakan perdagangan Indonesia.
3. Mengetahui dan memahami dampak positif
dan negatif ketentuan antidumping di Indonesia, serta memberikan masukan dan saran kepada pemerintah Indonesia dalam menghadapai
tantangan perdagangan internasional, terkait penerapan hukum anti-dumping.
Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran
dalam mempelajari dan mengkaji serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Perdagangan Internasional, khususnya dalam bidang anti-dumping
sebagai instrument hukum perdagangan Internasional
2. Secara praksis memberikan sumbangan
pemikiran bagi perumus atau pengambil kebijakan perdagangan luar negeri yang menyangkut pelaksanaan peraturan hukum anti-dumping yang pada akhirnya
menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang semakin mantap.
BAB II
PENGATURAN HUKUM ANTIDUMPING DALAM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Perdagangan bebas dalam sistem World Trade Oragnization, pada prinsipnya
merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain. Karena itu,
namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau negara yang sama
dan sederajat. Sebab, apabila persaiangan yang secara bebas antara yang kuat
dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak yang kalah. Oleh
sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem World Trade Organization (WTO), kepentingan negara lemah, yakni
negara berkembang (developing coutries)
dan negara tidak berkembangan (Least
developed countries) mesti di perhatikan secara khusus, agar tidak menjadi
objek bulan-bulanan pesaingnya dari negara maju. Untuk itulah, negara-negara
berkembang dan negara tidak berkembang sering kali berjuang dengan gigih dalam
perundingan-perundingan World Trade
Organization (WTO).[6]
Menyadari akan kekhawatiran dari
negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade Organization yang telah melakukan berbagai hal untuk
memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di World Trade Organization (WTO) yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang dan
negara-negara tidak berkembang.
Dari hal tersebut kita bisa melihat
kepedulian World Trade Organization (WTO)
terhadap negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak
lepas dari perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak
bentuknya, dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang,
dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan
sengketa.[7]
Umumnya sengketa-sengketa dagang
kerap di dahului oleh negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau tidak
berhasil, barulah di tempuh dengan cara-cara lain seperti penyelesaian melalui
pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan sengketa, baik kepada
pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali di dasarkan pada suatu perjanjian di
antara para pihak. Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu
perjanjian atau memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau
perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Di samping forum pengadilan atau
badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara
alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim di kenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS
(Alternatif Penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat
berupa cara alternatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif
penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang
para pihak dapat di gunakan termasuk alternatif penyelesaian melalui
pengadilan.
Antidumping di atur dalam pasal VI
GATT. Ketentuan Article VI GATT
mengharuskan para negara anggotanya untik mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran Tokyo (Tokyo Around) disepakati Antidumping Code (1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif
sejak 1 januari 1980. Antidumping Code
(1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di hasilkan dalam
perundingan Putaran Uruguay (Uruguay
Around). Antidumping Code (1994) yang
berjudul Agreement on Implementation of
Article VI of GATT 1994 dan
sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral
Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani
Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994,
yang menghasilkan World Trade
Organization (WTO), suatu insitusi yang bertujuan antara lain untuk
memajukan perdagangan bebas dunia diantara negara-negara anggotanya sesuai
dengan Multilateral Trade Agreement
yang merupakan bagian intergral dari Agreement
Establishing The WTO.[8]
Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi
merupakan perjanjian tambahan dari GATT seperti halnya Antidumping Code (1979), tetapi merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri.
Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagi
berikut :
1. Prinsip
2. Penentuan
Dumping
3. Penentuan
kerugian
4. Defenisi
Industri Dalam Negeri
5. Penyelidikan
Awal dan Penyelidikan Lanjutan
6. Bukti-Bukti
7. Pengenaan
Biaya Antidumping
8. Penawaran
Harga Penyesuaian
9. Penentuan
dan Pemungutan Biaya Antidumping
10. Keberlakuan
surut
11. Masa
berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping
12. Keberlakuan
surat
13. Masa
berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping dan Penawaran Harga Penyesuaian
14. Pengumuman
Kepada Publik dan Penjelasan Penetapan
15. Peninjauan
Ulang
16. Tindakan
Antidumping Atas Nama Negara Ketiga
17. Anggota
Negara-Negara Berkembang
18. Komite
Antidumping
19. Konsultasi
dan Penyelesaian Sengketa
20. Pengenaan
Biaya Antidumping Tetap
Bila di cermati lebih jauh, semua
ketentuan dalam Antidumping Code (1994)
ini tidak secara jelas melarang dilakukannya praktik dumping, tetapi ketentuan
dalam Antidumping Code (1994) hanya
mengatur tindakan balasan yang dapat di ambil oleh suatu negara, untuk
memulihkan dampak-dampak negatif, jika praktis dumping telah menyebabkan
kerugian material terhadap industri domestik importir .[9]
Hal ini sebenarnya bertentangan
dengan prinsip dasar dari GATT itu sendiri. Sebagai persetujuan multilateral
GATT memiliki beberapa prinsip dasar antara lain :
a) Asas Nondiskriminasi
b) Anti Proteksi dan Subsidi
c) Penciptaan
iklim perdagangan yang stabil
d) Transparan
Sedangkan dumping merupakan bentuk
perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini tentunya dapat
menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas melarang
dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan dari
adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana
mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik.
Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian
material (material injury), maka setia pengusaha harus mengerti bagaimana
melihat apakah telah terjadi material injury akibat praktik dumping tersebut.
Hal ini perlu kita, ketahui karena walaupun eksportir telah menjual suatu
produk dengan harga dumping, namun apabila praktik ini tidak mengakibatkan
kerugian terhadap industri domestik, maka tidak dapat dikenakan sanksi.
Sebagai suatu perjanjian
internasional, GATT merupakan serangkaian aturan permainan di bidang
perdagangan internasioanal yang menerapkan tata cara perdagangan antara
negara-negara anggota yang di sepakati bersama.
Penyelesaian sengketa dumping juga
sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang pada umumnya melalui World Trade Organization (WTO).
Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat
ini adalah peraturan menurut Antidumping
Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement
on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan antidumping dari
masing-masing negara.
Jika produsen barang dumping tidak
dapat menerima sanksi antidumping yang diputuskan oleh pemerintah negara
importir, maka produsen tersebut dapat naik banding ke forum WTO, melalui
pemerintah negaranya.
Mekanisme penyelesaian sengketa
dalam WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT
memuat ketentuan sederhana.
Pasal 22 menghendaki para pihak yang
besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap
pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan
GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui konsultasi
mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya tidak
mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral.
Pasal 23 mengandung peraturan yang
lebih luas. Pada pasal 23 terdiri dari dua ayat. Ayat (1), menegaskan adanya
dua pelanggaran hukum yang dijabarkan :
a.Adanya penghilangan atau
pengrusakan terhadap setiap keuntungan yang diperoleh berdasarkan perjanjian
GATT;
b.Adanya gangguan terhadap adanya
perolehan (yang diharapkan) dari tujuan perjanjian GATT.
Pada ayat (2) tersebut mengandung dua ketentuan utama
:
a. Mensyaratkan para pihak
untuk menyerahkan sengketanya kepada badan tertinggi GATT, yaitu CONTRACTING PARTY, manakala mereka gagal
menyelesaikan secara bilateral sesuai dengan ayat (1).
b. Menunjukkan tiga bentuk
putusan yaitu, rekomendasi, putusan,
penangguhan pemberian konsensi.
Dari segi yuridis, GATT dapat
dilihat sebagai serangkaian “aturan permainan” di bidang perdagangan
internasional yang tercantum dalam suatu dokumen utama, yaitu General Agreement in Tariffs Trade sebagai
perjanjian internasional atau iternational
treaty dengan peraturan tambahan yang merupakan tatanan perilaku ekonomi
yang berlaku bagi negara-negara yang menandatanganinya. Dokumen utama GATT yang
berjudul General Agreement on Tariff and
Trade yang dikenal secara ringkas sebagai The General Agreement terdiri dari 38 pasal. Dan dokumen tersebut
terdiri atas 4 bagian.
BAB III
PENERAPAN HUKUM ANTI-DUMPING DI INDONESIA.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, penulis bermaksud untuk mengkaji hal-hal tersebut untuk dianalisa secara
toeritis. Teori yang akan dipergunakan dalam menganalisa hal tersebut ialah teori yang bersumber dari aliran pemikiran
gerakan hukum kritis atau yang biasa dikenal
dengan critical legal studies. Untuk itu, dibawah ini akan dijelaskan mengenai hal-hal apa
saja yang terkandung dalam critical legal studiest. Aliran critical legal studies ini
mencoba menjawab tantangan zaman dengan mendasari pemikirannya pada beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran critical legal studies ini
mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
2. Aliran critical legal studies in
mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan hukum seperti itu sama sekali tidak netral.
3. Aliran critical legal studies ini
mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu, aliran
ini banyak berhubungan dengan emansipasi
kemanusiaan.
4. Ajaran critical legal studies ini
kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran critical legal studies ini menolak keras ajaran-ajaran dalam
aliran positivism hukum.
5. Aliran critical legal studies ini
menolak perbuatan antara teori dan praktik juga menolak perbedaan antara fakta Khusus dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan critical legal
studies yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum yang berpihak kepolitik dan sama sekali tidak netral. Hukum dalam faktanya, sedikit banyak
merupakan politik yang terselubung.
Apabila dilihat dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia, baik regulasi yang dikeluarkan
oleh pemerintah, maupun dalam penerapannya, dengan sangat berat hati penulis akan membenarkan bahwa penerapan hukum anti-dumping di Indonesia mengandung
unsur-unsur politik, dan cenderung tidak adil. Untuk hal tersebut dibawah ini akan dijelaskan lebih lanjut.
a. Kepentingan Nasional.
Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, terlihat beberapa kesalahan-kesalahan oleh pihak pemerintah
dalam mengeluarkan regulasi hukum anti-dumping yang bertabrakan dengan aturan-aturan WTO. Selain itu juga diikuti oleh beberapa
kekeliruan pihak yang berwenang Sehubungan dengan kasus yang dijelaskan sebelumnya, menarik
untuk diperhatikan bahwa, beberapa komentar
yang ada dalam laporan sementara maupun dalam
laporan akhir, pihak-pihak yang berkepentingan menyarankan KADI untuk mengenyampingkan permohonan tindakan
anti-dumping demi kepentingan nasional. Memang diakui bahwa tidak ada aturan dalam WTO maupun dalam regulasi hukum anti dumping
saat itu yang memberikan kewenangan kepada pihak yang berwenang
untuk mengabaikan permohonan tindakan anti-dumping demi kepentingan
nasional. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, KADI pernah menggunakan alasan kepentingan nasional sebagai dasar untuk mengabaikan permohonan
tindakan anti-dumping pada tahun 2006. Saat itu KADI sepakat untuk
tidak melakukan inisiasi penyelidikan antidumping untuk tepung gandum yang berasal dari Australia, Uni Eropa, Sri Lanka dan Turki dengan dasar pertimbangan
kepentingan nasional. Dalam penerapan tindakan anti-dumping di Indonesia, kepentingan nasional dapat dikatakan sebagai “kartu AS” untuk membenarkan
tindakan pemerintah tidak menerapkan atau tidak menerapkan bea masuk anti-dumping. Dengan mengetahui bahwa KADI pernah menggunakan alasan pertimbangan kepentingan nasional untuk
tidak melakukan inisiasi penyelidikan anti-dumping, entah mengapa dalam laporan akhir kasus ini, KADI menanggapi komentar-komentar yang meminta untuk tidak
dilakukannya tindakan antidumping dengan dasar pertimbangan nasional, justru ditanggapi dengan bahasa yang lain.[10]
Dalam laporan akhir tersebut KADI
menyatakan bahwa: “Di dalam melaksanakan tugasnya KADI
berpedoman kepada WTO Agreement on Implementation of Article
VI of GATT 1994 yang menentukan bahwa ruang lingkup penyelidikan hanya
meliputi pembuktian ada tidaknya dumping, ada tidaknya kerugian dan hubungan kausal antara keduanya. Tidak ada di dalam WTO Agreement on
Implementation of Article VI of GATT 1994 ketentuan mengenai national interest sebagai
pertimbangan untuk melakukan penyelidikan” Ini adalah merupakan inkonsistensi KADI
dalam menerapkan tindakan anti- dumping. Kepentingan nasional nampaknya
dapat dipolitisasi, agar dapat dijadikan dasar untuk satu kasus, dan
tidak untuk kasus yang lain. Jika KADI memang ingin konsisten seharusnya KADI tidak menanggapi komentarkomentar tersebut dengan Tanggapan yang kontroversial seperti itu. Penyelidikan anti-dumping mengharuskan agar dilakukan secara objektif dan dengan buktibukti yang posisitf, dan bukankah konsisten
dalam semua penyelidikan juga merupakan bagian dari keobjektifitasan dalam suatu penyelidikan. Memang tidak ada pengertian yang jelas
mengenai kepentingan nasional pada waktu itu. Namun absennya pengertian yang jelas mengenai kepentingan nasional, bukanlah alasan untuk tidak mempertimbangkannya
dalam tindakan anti-dumping, sepanjang pihak yang
berwenang tetap konsisten menggunakannya pada semua tindakan anti-dumping. Penulis sepenuhnya sepakat jika statement KADI yang
menyatakan bahwa kepentingan nasional yang dimaksud tidak akan ditemukan dalam ADA.
Namun jika memang seperti itu, apakah dapat dikatakan bahwa untuk kasus
yang lain dimana KADI menggunakan alasan pertimbangan kepentingan nasional
untuk tidak melakukan inisiasi penyelidikan anti-dumping dapat dikatakan sebuah
kesalahan?. Hal ini haruslah jelas, karena bagaimanapun juga harus ada
justifikasi yang tegas untuk menyatakan yang mana dari kedua penyelidikan anti-dumping
yang dilakukan oleh
KADI tersebut yang dianggap benar. Mengenai
hal ini pihak KADI menyatakan bahwa proses penyelidikan itu berkembang, jadi bisa saja pada saat itu
pengetahuan yang dimiliki tidak terlalu cukup. Namun setelah mendapatkan informasi dari berbagai sumber dan pengalaman dari beberapa negara yang
melakukan suatu penyelidikan, maka kita PP 34/2011 saat ini memang telah mengatur pengertian mengenai kepentingan nasional. Namun jika kembali
mengacu pada statemen bahwa tidak ada diketemukan dalam ADA mengenai kepentingan
nasional, dapatkah kemudian dikatakan bahwa Namun apabila
dicermati pertimbangan kepentingan nasional yang ada dalam PP 34/2011 saat ini, dapat dikatakan lebih mengarah
kepada ranah yang sifatnya diluar dari
pertimbangan hukum
b. Kepastian Penetapan Bea Masuk Anti-dumping.
Ketika sebuah permohonan dilayangkan dan penyelidikan telah dilakukan, maka hal yang paling ditunggu-tunggu ialah
keputusan dari pemerintah untuk menerapkan bea masuk anti-dumping untuk
barang yang dimohonkan dan diselidiki tersebut. Setiap permohonan
pasti menginginkan realisasi, termasuk permohonan penyelidikan anti-dumping. Maka dari itu keputusan untuk menetapkan bea masuk anti-dumping
merupakan puncak dari segala rangkaian panjang penyelidikan anti-dumping. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, masih dengan kasus yang sama. Menteri Perdagangan melayangkan
surat kepada Menteri Keuangan dengan No. 2017/M.DAG/12/2009, yang
merekomendasikan agar mengenakan Bea Masuk Anti-dumping dengan HS 1101.00.10.00 terhadap Impor Tepung Gandum asal Turki kepada Perusahaan
sebagai berikut :
1. Bafra Eris Un Yem Gida San Ve. Tic. A.S
sebesar 21.99 %
2. Erister Gida Sanayi Ve Ticaret AS
sebesar 19,67 %
3. Marmara Un Sanayi AS sebesar 18,69 %
4. Ulas Gida Un Textil Nakliye Ticaret
sebesar 20,86 %
5. Ulusoy Un Sanayi Ve Ticaret sebesar
20,28 %
6. Exportir/Produsen Lainnya sebesar 21,99
%
Pada tanggal 7 Juli 2010 Sesuai PMK
No. 100/PMK.01/2008 tentang
fungsi Badan Kebijakan Fiskal pertemuan untuk malakukan pembahasan di BKF dan KADI juga turut dilibatkan. Kemudian pada rapat pleno
tanggal 7 Juli 2010 telah disepakati untuk pengenaan BMAD pada Tepung Gandum Turki sesuai
rekomendasi Menteri Perdagangan dan akan
merekomendasikan kepada Menteri Keuangan untukdapat menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Namun sepertinya keinginan untuk mengeluarkan keputusan mengenai penetapan bea masuk anti-dumping mengalami
kendala. Salah satu yang menjadi kendala terbitnya PMK BMAD Tepung Gandum dari Turki disebabkan karena adanya himbauan dari Sekertaris Kabinet
melalui surat-suratnya:
1. No. B 119/Seskab/IV/2010 tertanggal 12
April 2010
2. No. B 350/Seskab/VII/2011 tertanggal 11
Juli 2011
Yang berisi :
a. Menyampaikan surat protes dari Menteri
Perdagangan Luar Negeri Turki atas rencana kebijakan BMAD Terigu Turki.
b. Keberatan dari Sekertaris Kabinet, dengan
alasan mengganggu hubungan bilateral Indonesia-Turki yang sudah
menjadi kesepakatan antar Kepala Negara
c. Mengusulkan upaya FTA antara RI &
Turki.
Dalam kesempatannya APTINDO menanggapi surat tersebut diatas dengan menyatakan bahwa, mengapa Sekertaris Kabinet
selaku Pejabat Tinggi Negara lebih membela kepentingan asing yang telah berbuat tidak adil kepada pihak Indonesia khususnya Industri tepung gandum
dalam negeri, karena disatu sisi puluhan produk expor yang terkena BMAD & Safeguard di Turki tidak
menjadi perhatiannya untuk dilakukan pembelaan.
Selanjutnya APTINDO menyatakan bahwa kebijakan anti-dumping adalah justifikasi yang
jelas dari suatu penegakan hukum yang berlaku, karena terbukti pihak Turki
sendiri juga mengenakan atas puluhan produk expor Indonesia ke Turki, sedangkan
hubungan bilateral adalah hubungan baik dua negara yang saling menguntungkan.
Menanggapi point ketiga, APTINDO menyatakan bahwa kerja sama perdagangan bebas Namun demikian, tanggapan APTINDO sepertinya tidak dapat dipertimbangkan. Karena sampai tulisan ini
dibuat, keputusan mengenai penetapan bea masuk anti-dumping untuk tepung gandum dari turki tersebut belum juga keluar. Alhasil pada hari selasa
tanggal 8 Mei 2012, APTINDO memutuskan untuk mencabut gugatan petisi anti-dumping Tepung Gandum terhadap Turki, Sri Langka dan Australia
tersebut. Petisi yang disampaikan kepada Menteri Perdagangan itu dicabut karena APTINDO menilai pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus dumping.
Direktur Eksekutif APTINDO menyatakan “setelah lebih dari tiga tahun lima bulan, petisi anti dumping
yang sudah diajukan itu tidak sesuai harapan
pengusaha. Kalau kami mempertahankan, petisi kami juga akan kalah di organisasi
perdagangan dunia Kalaupun keputusan mengenai BMAD dikelurkan, keputusan itu
sudah kedaluwarsa karena menurut Pasal 5.10 ADA, jangka waktu dari inisiasi
hingga dikeluarkannya keputusan mengenai penetapan BMAD dilakukan maksimum 18 bulan,
sedangkan usia kasus BMAD Tepung Gandum turki sudah 3,5 tahun. Jadi kalaupun dipaksakan akibatnya justru akan
lebih besar, dimana pemerintah Indonesia harus siap untuk dibawa ke WTO Dispute Settelemtn Body apabila Turki keberatan dengan hal tersebut.
Penulis tidak ingin berspekulasi terlalu jauh, tapi dengan memperhatikan hal
diatas maka tidak terlalu naif jika dikatakan bahwa penerapan hukum
anti-dumping di Indonesia masih terpengaruh dari hal-hal diluar hukum, yang
justru menabrak positivisme hukum itu sendiri.
c. Pembenahan Hukum Anti-dumping di Indonesia.
Permasalahan yang ada dalam penerapan hukum tidak dapat dipisahkan paling tidak dari dua aspek yang pada dasarnya
saling berkaitan. Yang pertama adalah aspek substantifnya sendiri yang tertuju pada aturan hukum, dan yang kedua adalah
aspek penegak hukum yang tertuju pada bagaimana
dan siapa yang menegakkan hukum itu sendiri. Unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah unsur kepastian hukum Hukum anti-dumping Indonesia dan KADI sebagai otoritas penyelenggara di dalam penyelidikan anti-dumping tentunya
merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Oleh
karena itu setiap permasalahan yang timbul dari pengekan hukum anti-dumping di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh kedua aspek tersebut.[11]
Dalam memperkuat penegakan hukum anti-dumping, tentunya pembenahan hukum anti-dumping itu mutlak diperlukan.
Dengan hadirnya PP 34/2011 sebagai pengganti dari peraturan pemerintah yang
sebelumnya yaitu PP 34/1996, tidak dapat dipungkiri merupakan langkah yang cukup
siginifikan oleh pemerintah. Namun perlu disadari bahwa tidak serta merta dalam PP 34/2011 tidak memiliki
kekurangankekurangan yang perlu untuk dibenahi. Untuk itu dibawah ini adalah beberapa kelemahan-kelemahan yang perlu untuk
dibenahi dalam PP 34/2011.
d. Penyediaan Pengadilan Untuk Upaya Hukum
Individual.
Adanya sebuah pengadilan atau semacam prosedur untuk melakukan keberatan mengenai tindakan anti-dumping
sebenarnya hal yang telah digariskan oleh ADA, sebagaimana yang terdapat dalam
pasal 13 ADA dibawah ini:
“Each Member whose national legislation
contains provisions on anti-dumping measures shall maintain judicial, arbitral or administrative tribunals or procedures for the purpose,
inter alia, of the prompt review of administrative actions relating to final determinations and reviews of determinations within the meaning of
Article 11. Such tribunals or procedures shall be independent of the authorities responsible for the
determination or review in question.”
Pasal
13 ADA diatas pada dasarnya mensyaratkan adanya sebuah peradilan
atau pengadilan administarif atau sebuah
prosedur untuk mengakomodasi keberatan-keberatan individual untuk diajukan ke pengadilan domestik ketika bea masuk anti-dumping diterapkan. Termasuk
pula keputusan penetapan bea masuk anti-dumping. Jika dibandingkan dengan pasal 99 PP 34/2011 dibawah ini:
Tindakan
Imbalan,dan Tindakan Pengamanan, hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa
Menurut
ketentuan diatas, maka ada dua jalan untuk melakukan keberatan atas tindakan anti-dumping. Yang pertama
ialah melalui dispute settelement body WTO untuk keberatan terhadap penetapan pengenaan tindakan
anti-dumping, dan yang kedua ialah melalui prosedur-prosedur nasional untuk kebaratan atas pelaksanaa pengenaan bea masuk anti-dumping.
Adanya ketentuan ini berarti menutup peluang bagi siapapun untuk melakukan peninjauan ataupun banding terhadap penetapan pengenaan tindakan
anti-dumping.
Dari penjelasan di atas maka terlihat jelas adanya inkonsistensi dari pemerintah Indonesia dalam membuat aturan
dalam negeri untuk penerapan tindakan anti-dumping sebagaimana yang disyaratakan oleh ADA.
Inkonstistensi ini adalah sebuah penyimpangan yang
dilakukan oleh Indonesia dari “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23,
1969” yang menjelaskan
bahwa ratifikasi menimbulkan akibat hukum
eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Akibat Hukum eksternal yang timbul adalah bahwa melaui tindakan tesebut berarti negara yang bersangkutan
telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah
kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan
ketentuanketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Meskipun Indonesia belum meratifikasi “ Konvensi Wina, 1969” ini namun kaidah-kaidah yang dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan
internasional, berlaku dilingkungan
masyarkat internasional.[12]
Perlu ditekankan bahwa tugas pengadilan ini ialah untuk menguji konsistensi tindakan anti-dumping dengan peraturan
domestik Dalam prakteknya beberapa tindakan anti-dumping dibuat oleh pemerintah sesuai dengan
ketentuan WTO, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan-nya, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan-nya tapi
tidak sesuai dengan ketentuan WTO, atau bahkan tidak sesuai untuk kedua-duanya. Untuk itu pemerintah seharusnya mencabut pasal 99 PP 34/2011, dan menggantinya dengan ketentuan yang sesuai
dengan ketentuan pasal 13 ADA. Urgensi untuk menyediakan suatu badan peradilan guna mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak
yang menjadi subjek pengenaan tindakan anti-dumping sangat diperlukan untuk menjaga hubungan dagang
antara Indonesia dengan mitra dagang asing,
selain itu yang lebih utama ialah untuk menyesuaikan dengan mandat pasal 13 ADA.
e. Batas Waktu Penentuan Akhir.
Batas waktu penentuan apakah barang yang diduga dumping dikenakan bea masuk anti-dumping atau tidak juga menjadi
perhatian utama. Dalam pasal 5.10 ADA menyatakan:
“Investigations shall, except in special
circumstances, be concluded within one year, and in no case more than 18 months, after their initiation.”
Memang dalam pasal 5.10 ADA tidak secara langsung menyatakan bahwa dalam batas waktu penyelidikan yang ditentukan
juga merupakan batas waktu dimana keputusan akhir harus dikeluarkan. Namun dengan pendekatan logika hukum tentunya hal ini harus
diinterpretasikan demikian. Karena jika tidak maka tiap-tiap negara anggota WTO dapat membuat
hukum anti-dumping di negaranya dengan tidak memberikan kepastian mengenai kapan batas waktu dikeluarkannya keputusan akhir.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, PP 34/2011 juga mengatur tentang masa
penyelidikan, yang “sama dengan” batas waktu yang ditentukan oleh pasal 5.10 ADA. Namun demikian untuk mengeluarkan keputusan akhir mengenai pengenaan
bea masuk anti dumping harus mengunggu waktu sekitar 89 Hari mengeluarkan keputusan akhir setelah penyelidikan selesai semakin cepat
pula industri dalam negeri akan terpulihkan. Yang kedua adalah pemerintah juga harus
berlaku adil terhadap eksportir/produsen yang diselidiki. Dengan waktu yang lama untuk menunggu keputusan akhir, akan mengakibatkan eksportir/produsen
tidak memperoleh kepastian hukum. Terlebih lagi apabila eksportir/produsen yang diselidiki dikenakan tindakan sementara ataupun
tindakan penyesuaian, hal ini akan lebih memperburuk importasi barang yang diduga dumping kedalam negeri. Pengalaman dari PP 34/1996 dirasa cukup untuk
memperlihatkan tidak adanya kepastian hukum terhadap eksportir/produsen yang diselidiki, dan untuk itu
PP 34/2011 yang menjadi landasan hukum penerapan
tindakan anti-dumping di Indonesia ini seharusnya memberikan perbedaan yang siginifikan, dan sesuai dengan pasal 5.10 ADA. Sebagai saran, untuk memenuhi batas waktu
18-bulan di bawah struktur organisasi saat ini, KADI mungkin akan perlu untuk mempersingkat
proses penyelidikan, misalnya untuk 15-bulan paling lama, dan memberikan
setidaknya 3 bulan kepada Menteri untuk menyerahkan keputusan akhir sebelum
batas waktu yang ditetapkan dalam ADA.
f. Tentang Rekomendasi KADI.
Mengacu pada PP 34/2011 dapat disimpulkan bahwa hasil dari penyelidikan KADI hanya bersifat rekomendasi, yang
artinya dapat diterima atau ditolak oleh Menteri Perdagangan, sementara untuk keputusan pengenaan bea masuk
antidumping ada ditangan Kementrian Keuangan. Namun
yang menjadi titik perhatian adalah mengapa hasil dari
penyelidikan KADI yang disampaikan dalam laporan akhir masih perlu untuk dipertimbangkan oleh instansi/
lembaga non kementrian terkait. Alasan untuk
menjadikan ini sebagai sebuah permasalahan adalah mengalir dari susunan
keanggotaan KADI itu sendiri. Orang-orang yang bertugas dalam susunan
keanggotaan KADI, bukanlah orang-orang yang hanya bersumber dari Kementrian
Perdagangan saja melainkan tersusun oleh beberapa
perwakilan-perwakilan instansi terkait. Jadi hasil dari laporan akhir tentunya telah melalui
proses pengujian yang dilakukan oleh instansi terkait tersebut. Pihak KADI menyatakan bahwa Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 428/MPP/Kep/10/2002
tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Anti-Dumping Indonesia, pada dasarnya masih berlaku hingga saat ini. Namun tugas anggota-anggota KADI
yang dimaksud dalam keputusan menteri tersebut hanya berkaitan dengan
permasalahan teknis semata. Misalnya dalam penyelidikan suatu barang-barang industri,
dimana dibutuhkan suatu tenaga ahli yang
khusus mengetahui tentang spesifikasi teknis dari barang tersebut misalnya untuk memastikan bahwa barang tersebut
adalah barang sejenisdan lain-lain.
Menurut penulis, sebaiknya keanggotaan KADI yang tersusun dari perwakilan-perwakilan lembaga/instansi
non-kementrian terkait tersebut tidak hanya difungsikan seperti itu, namun juga harus difungsikan untuk hal-hal
yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan
lain, misalnya untuk pertimbangan kepentingan nasional yang terkait dengan barang yang diselidiki. Sehingga
hasil rekomendasi KADI memiliki nilai tambah
yang positif ketika akan disampaikan kepada Menteri Perdagangan. Selain itu, dengan pemfungsian sebagaimana yang
dimaksud maka ditingkat Menteri perdagangan tidak akan memakan waktu cukup lama
untuk memutuskan akan menerima atau menolak rekomendasi KADI, karena
rekomendasi KADI telah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
nasional.
Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua Komite bertanggung jawab kepada Meteri Perindustrian dan Perdagangan.
Jika diperhatikan lebih mendalam, perbedaan yang cukup siginifikan disini ialah
bahwa dengan berlakunya Kepmenperindag No. 427/MPP/Kep/10/2000 ini, KADI telah
mengalami degradasi keorganisasian, dimana susunan Ketua, Wakil Ketua hingga
Sekertaris tidak lagi dijabat oleh Menteri-menteri yang mempunyai otoritas
tertinggi didalam mengatur masalah perdagangan dan keuangan negara. Akibatnya
hal ini berimbas kepada keputusan yang dikeluarkan KADI yang hanya dalam bentuk
rekomendasi dan masih harus diuji kembali dan dipertimbangkan oleh Menteri
Perdagangan. Selanjutnya dengan keadaan yang seperti ini akan membuat proses penanganan tindakan anti-dumping di
Indonesia menjadi begitu lama, bahkan pada waktu
berlakunya PP 34/1996, Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam beberapa
kasus sering menunda-nunda keputusan mengenai diterima atau tidaknya rekomendasi
KADI karena adanya perbedaan-perbedaan pandangan. Andaikata untuk jabatan ketua
KADI masih tetap dijabat oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Apabila pemerintah mempunyai alasan lain yang cukup kuat
tentang terjadinya degradasi ditubuh KADI tersebut, maka menurut penulis
seharusnya KADI yang ada saat ini dinaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga
yang sifatnya mandiri dan tidak lagi dibawahi oleh Kementrian Perdagangan. Hal
ini akan memangkas proses dan jangka waktu
penanganan tindakan anti-dumping di Indonesia, dimana nantinya hasil keputusan KADI tidak lagi dalam bentuk rekomendasi
yang harus diuji kembali dan dipertimbangkan oleh Menteri Perdagangan, namun
lebih daripada itu hasil keputusan KADI telah menjadi keputusan yang bersifat
final, termasuk didalamnya telah
termuat mengenai pertimbangan kepentingan nasional. Lagipula hal ini cukup
beralasan dengan melihat pasal 97 PP 34/2011 yang saat ini berlaku menyatakan
bahwa KADI dalam melaksanakan tugasnya bersifat indpenden, yang secara harfiah diartikan merdeka, bebas, tidak terikat
pada sesuatu. Namun demikian untuk mengenakan
tindakan anti-dumping, keputusan KADI tersebut memang masih harus diserahkan
kepada Menteri Keuangan sebagai dasar untuk menetapkan pengenaan bea masuk
anti-dumping.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
Berdasarkan dari penjelasan beberapa BAB terdahulu, dibawah ini penulis
akan menyajikan
kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan mampu untuk menjelaskan permasalahan penting yang telah dijelaskan sebelumnya.
1. Peraturan anti-dumping merupakan salah
satu peraturan dari rezim perdagangan Internasional. Peraturan anti-dumping pada dasarnya memilki tujuan positif yang mengatur perdagangan
internasional khususnya mengenai penanganan praktek curang dalam perdagangan internasional yaitu praktek dumping itu sendiri. Dumping pada dasarnya
tidaklah dilarang, namun ketika praktek dumping tersebut mengakibatkan kerugian pada industri dalam negeri negara pengimpor, maka hal tersebut harus
ditangani dengan menggunakan regulasi anti-dumping.
2. Masuknya Indonesia kedalam World
Trade Organization merupakan otoritas penyelenggara dalam penyelidikan anti-dumping dan penyelidikan tindakan imbalan. Sebagai
otoritas penyelenggara, KADI mempunyai kewenangan penuh baik dalam menolak atau menerima
permohonan penyelidikan anti-dumping, hingga dalam
menentukan hasil akhir dari suatu penyelidikan
anti-dumping. Dalam melaksanakan penyelidikan anti-dumping KADI harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan
melaksankan fungsinya secara independen. PP 34/1996 sebagaimana diganti
dengan diganti PP 34/2011 dan beberapa keputusan menteri hadir sebagai
pedoman KADI dalam melaksanakan tugasnya. Ketentuan-ketentuan
yang ada dalam PP 34/2011 ini memberikan petunjuk yang mengarahkan agar
penyelidikan anti-dumping dapat dilaksanakan dengan baik. Inti dari
hal tersebut ialah mengatur tentang permohonan penyelidikan anti-dumping, fungsi
KADI dalam menganalisa bukti awal, melakukan
pemberitahuan awal mengenai adanya permohonan peneyelidikan
anti-dumping, memutuskan untuk melakukan penyelidikan, menganalisa jawaban-jawaban kuesioner dari pihak-pihak yang berkepentingan dan membuat laporan
sementara, memutuskan untuk menerapkan tindakan sementara atau mengupayakan
tindakan penyesuaian, melakukan verivikasi ditempat, memberikan
kesempatan bagi para pihak yang berkepentingan untuk dengar pendapat,
menyusun laporan akhir, sampai dengan mengusulkan bea masuk anti-dumping
kepada Menteri Perdagangan. Berkaitan dengan peraturan yang mengatur
tentang pelaksanaan peraturan anti-dumping di Indonesia selama ini,
ternyata dalam perkembangannya mengandung permasalahan-permasalahan yang
justru hadir dalam peraturan tersebut. Walaupun diakui saat ini PP
34/1996 telah dinyatakan tidak berlaku lagi, namun terhadap penerapannya yang
berlangsung selam 15 pengumuman penetapan BMAD, masalah mengenai ketiadaan
peradilan untuk upaya hukum individu, masalah ketentuan
berlaku surut, hingga absennya pengertian
pertimbangan kepentingan nasional, yang pada dasarnya merupakan alasan untuk menerapkan atau tidak menerapkan
tindakan antidumping. Namun yang lebih mengherankan lagi,
beberapa permasalahanpermasalahan tersebut ternyata masih tetap ada dalam PP 34/2011. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak
terlalu premature kiranya untuk mengatakan bahwa penerapan hukum
anti-dumping di Indonesia masih belum optimal.
3. Satu dari beberapa kasus yang ditangai
oleh KADI sekiranya dapat memberikan gambaran jelas mengenai penerapan peraturan anti-dumping di Indonesia.
B SARAN
Sebagai rekomendasi dari tulisan ini, penulis mengharapkan keseriusan pemerintah dalam penerapan hukum
anti-dumping di Indonesia, terlebih khusunya KADI sebagai pihak yang mempunyai otoritas penyelenggara dalam penyelidikan kasus anti-dumping. Beberapa permasalahan
dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia yang diungkapkan dalam penulisan ini, haruslah menjadi sesuatu
yang betul-betul diperhatikan, dan menjadi
bahan evaluasi. Ketidakprofesionalan dalam menangani kasus anti-dumping dapat diartikan ketidak seriusan dalam
melaksanakan fungsi sebagaiman mestinya. KADI dalam
fungsinya sebagai otoritas tertinggi dalam penyelidikan anti-dumping harus tetap menjaga independensinya mengingat banyaknya tudingan-tudingan yang meragukan
indpendensi KADI, selain itu keterbukaan informasi juga harus
ditingkatkan. Pembenahan peraturan anti-dumping di
Indonesia juga mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga tidak akan tercipta sebuah penegakan hukum yang baik
ketika peraturan yang ada tidak memfasilitasi hal
tersebut. Dengan berlakunya PP 34/2011 yang merupakan pedoman induk dalam penerapan hukum anti-dumping di
Indonesia diakui telah memberikan perubahan yang
cukup siginifikan dibanding pendahulunya, walaupun untuk sebagian masih melanggar ketentuan yang digariskan oleh ADA. Untuk itu urgensi untuk merivisi kembal PP
34/2011 agar sesuai dengan ketentuan ADA mutlak diperlukan, demi terciptanya keadilan dalam penerapan hukum
antidumping di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, Ratya., & R. Reed, Michael. Bisnis dan
Perdagangan Internasional, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2008.
Brotosusilo, Agus. Etal., Penulisan Hukum: Buku
pegangan Dosen, Jakarta, Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994.
__________,. Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi
dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia
Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-undang Anti-dumping dan Safeguard,
2006.
Bundjamin, Erry. Upaya-upaya Dibidang Hukum
Perdagangan Internasional, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.
_______,. “Globalsiasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas
Suatu Pengantar. Percikan gagasan Hukum IV Fakultas Hukum Unika Parahyangan
mengenai Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, menelaah Kesiapan Hukum
Indonesia Dalam Melasanakan Perdagangan Bebas. Penerbit PT Citra
Aditya Bakti Cetakan 1, Tahun 2003.
Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif
Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Kusumaatmadja, Mochtar. Etty R. Agoes, Pengantar Hukum
Internasional, Bandung, PT. Alumni, 2003.
Mas’oed, Mohtar. Ekonomi-politik internasional dan
pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Edisi Revisi,
Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2012.
___________,. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,
Jogjakarta, Citra Aditya Bakti,
1993.
Sukarmi, Regulasi Anti-dumping Dibawah Bayang-bayang
Pasar Bebas, Jakarta, Sinar grafika, 2002.
Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I.
Nomor: 216/mpp/kep/7/2001. tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan nomor 261/mpp/kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Permohonan Penyelidikan atas Barang Dumping dan atau Barang
Mengandung Subsidi.
Jurnal
Ashri, Muhammad. Memahami Tindakan Antidumping
Masyarakat Eropah Brotosusilo,
Agus. Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda dalam Penegakan
Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994.
Sutrisno, Nandang. Memperkuat Sistem Hukum Remedi
Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri. Jurnal Hukum No. 2 VOL. 14,
April 2007.
[1]. Agus
Brotosusilo, Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda Dalam Penegakan
Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994, hal 169.
[2]. H.S.
Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,
1996, hal 164-165.
[5]. Carl
Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia
Bandung, 2004, hal 24.
[10] . Agus
Brotosusilo, Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan
Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi
Dalam Negeri Melalui Undang-undang Antidumping Dan Safeguard, 2006,
hal 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar