Rabu, 15 Juni 2016

MAKALAH HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL: PENERAPAN HUKUM ANTI DUMPING DI INDONESIA


PENERAPAN HUKUM ANTI DUMPING DI INDONESIA

OLEH
JONI ALIZON, SH., MH

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang.
            Perdagangan merupakan salah satu jalan bagi tiap-tiap negara dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Sehubungan dengan perdagangan lintas batas  Kebjikan khusus merupakan hal yang mutlak diperlukan, mengingat bahwa dalam perdagangan internasional bukanlah bidang yang mudah untuk dipahami, sehingga dalam mengambil kebijakan dan tindakan-tindakan haruslah memberikan kepastian dan mempertimbangkan segala aspek-aspek yang ada, terutama apabila kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional. Perbedaan kepentingan nasional antara negara sudah barang tentu menjadi hal yang mutlak dihadapi yang mana hal ini tentunya akan mengakibatkan friksi antar negara, baik antar negara-negara maju, negara-negara berkembang, bahkan negara terbelakang sekalipun. Demi terciptanya hubungan yang saling terintegrasi satu sama lain dan keinginan untuk mewujudkan peningkatan dan pertumbuhan perekonomian antara negara di bidang perdagangan internasional, maka tidak ada jalan lain selain menjembatani perbedaan kepentingan tersebut.
            Dalam menjembatani perbedaan kepentingan yang ada, akhirnya perdagangan internasional memasuki era baru dengan tercapainya kesepakatan Putaran Uruguay.WTO memiliki peran yang sangat penting dalam perdagangan Internasional karena ia adalah sebagai organisasi internasional di bidang perdagangan  yang mengawasi pelaksanaan aturan main yang telah disepakati dalam General Agreement on Tarrifs and Trade  Liberalisasi sebagai salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam perdagangan internasional, telah mendapatkan tempatnya ketika Putaran Uruguay telah rampung dan disepakati oleh negara-negara yang menjadi anggota GATT/WTO , yang juga serta merta membawa dunia kearah globalsasi.[1]
            Akan tetapi liberalisasi yang dicapai tersebut tidaklah kemudian menjadi suatu alasan untuk “menghalalkan” segala cara dalam  memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional. Dengan mengingat hal tersebut maka GATT/WTO memberikan ketentuan-ketentuan untuk melindungi atau memproteksi industri-industri dalam negeri dari akibat negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan perdagangan internasional, dimana proteksi tersebut lazimnya disebut dengan tindakan pemulihan atau trade remedies. Salah satu bentuk tindakan pemulihan yang dimaksud ialah anti-dumping. Dumping di defenisikan dalam Pasal 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of The general Agreement on Tarrif and Trade 1994  dumping Agreement/ADA)
            Berdasarkan Pasal VI GATT 1994 dan ADA, anggota WTO berhak untuk menerapkan tindakan-tindakan anti-dumping, Ada dumping; Industri domestik yang memproduksi barang yang sejenis  di negara pengimpor menderita kerugian material, Ada hubungan sebab akibat. Lain halnya dengan bentuk proteksi seperti Safeguard dan Countervaling Measure. Safeguard, merupakan suatu kebijakan nasional untuk melindungi industri dalam negeri suatu negara anggota WTO oleh karena melonjaknya arus importasi secara berlebihan dan di terapkan terhadap bentuk perdagangan internasional yang jujur dan adil. Akan tetapi akibat yang ditimbulkannya adalah kerugian industri dalam negeri yang dapat berimbas kepada seluruh sektor kehidupan masyarakat. Sedangkan antara anti-dumping dan countervailing measure  dimaksud sebagaimana yang didefenisikan dalam Subsidy Countervailing Measure Agreement adalah sebagai sebuah kontribusi keuangan oleh pemerintah atau badanpublik yang memberikan sebuah keuntungan.[2]
            Bentuk-bentuk subsidi juga beragam, mulai dari bentuknya yang nyata seperti pemberian dana, pinjaman uang dengan kondisi yang menguntungkan, penyediaan modal equitas bagi sebuah perusahaan, penurunan pajak bahkan tidak melakukan tindakan apa-apa atau tidak menagih penghasilan pajak yang sudah jatuh tempo, dimana hal-hal tersebut  tidak akan terjadi dan ditemukan dalam suatu kondisi yang normal.
            Bagi beberapa negara berkembang kebijakan ini merupakan sesuatu hal yang baru dan tidak lazim. Indonesia sebagai anggota WTO, melalui Undang-undang No 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia Mengandung beberapa konsekuensi hukum. Berdasarkan “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” ratifikasi menimbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Ketentuan dalam “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” ini juga berlaku terhadap hasil-hasil Uruguay Round yang diimplementasikan di dalam WTO. ADA sebagaimana yang telah menjadi satu kesatuan dalam WTO rules melalui Uruguay Round, bukanlah merupakan usaha pertama dalam perundingan multilateral untuk hukum anti-dumping.
            Sebelumnya para negosiatior dalam Kennedy Round menghasilkan sebuah Anti-dumping Code di tahun 1967, yang berlaku pada 1 juli 1986, yang merupakan usaha untuk memastikan agar tidak terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan anti-dumping sebagaimana yang tercantum dalam pasal VI GATT 1947. Hal yang menarik perhatian  dalam Kennedy Round ini ialah usaha dari para negosiator Amerika Serikat yang mendorong issu ini masuk kedalam agenda Kennedy Round tersebut. Alasan mendasar dari para negosiator Amerika pada saat itu ialah ketakutan akan ekspor Amerika mengahadapi diskriminasi ditengahtengah ketidakjelasan mengenai prosedur anti-dumping.
            Memang sangat rumit pada waktu itu untuk menentukan ataupun melaksanakan apa yang dicantumkan dalam Pasal VI GATT 1947 oleh karena tidak adanya aturan main yang komprehensif untuk melaksanakan apa yang di mandatkan, dan yang paling ditakutkan ialah Pasal VI tersebut “berubah” menjadi suatu hambatan di dalam perdagangan akibat salah dalam menafsirkan ataupun menerapkan pasal tersebut. Usaha untuk tetap memantapakan hukum anti-dumping saat itu tidak berhenti sampai disitu. Selanjutnya para negosiator dalam Tokyo Round juga menghasilkan Anti-dumping Code yang berlaku pada tanggal 1 januari 1980. Seperti pendahulunya, Anti-dumping Code dari Tokyo round ini juga mengandung aturan tentang hal-hal yang berhubungan dengan investigasi anti-dumping yang mencoba untuk memastikan ketentuan anti-dumping ini tidak dijadikan hambatan dalam perdagangan. Akan tetapi bagaimanapun juga hal ini berbeda dengan hukum anti-dumping yang ada saat ini.
            Perbedaan yang paling mendasar bahwa jika dalam GATT 1994 seluruh perjanjian merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain  Untuk Negara Indonesia sendiri, masalah anti-dumping menjadi sangat penting dan krusial, karena menyangkut mengenai perlindungan terhadap industri-industri dalam negeri dimana posisinya adalah sebagai negara berkembang. Maka dari itu peranan prinsip hukum perdagangan internasional dalam perjanjian GATT dan WTO sangat dibutuhkan, guna menjamin terjadinya suatu perdagangan internasional yang adil, jujur dan terbuka. Indonesia diharapkan agar dapat menggunakan instrument hukum anti-dumping tersebut dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasionalnya selama hal tersebut diperbolehkan dalam ketentuan WTO. Disamping itu, Indonesia juga harus bersiap menghadapi tuduhan serupa yang dilancarkan terhadap produk-produk ekspor Indonesia oleh mitra dagang di luar negeri melalui tindakan yang diperlukan, sehingga dapat melindungi kebijakan perdagangan Indonesia. Tentunya hal ini hanya dapat terlaksana melaui seperangkat ketentuan nasional yang komprehensif, tegas dan berkualitas dibidang perdagangan internasional, dan terutama di bidang antidumping.[3]
            Globalisasi memberikan dampak atau implikasi yang sangat besar terhadap pembentukan sistem hukum nasional. Negara yang melibatkan diri dalam globalisasi
dengan sendirinya telah mengikatkan diri untuk tunduk pada aturan hukum yang telah disepakati masyarakat internasional. Terlebih lagi dengan meratifikasi Agreement timbul kewajiban bagi setiap negara anggota untuk membentuk hukum nasionalnya dengan tidak bertentangan dengan persetujuan GATT/WTO Hingga saat ini liberalisasi perdagangan yang melalui perundingan-perundingan WTO telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap negara-negara anggota. Khusus untuk Indonesia, dampak positif dapat dimungkinkan dengan terbukanya peluang pasar internasional yang lebih luas tetapi juga menyediakan kerangka perlindungan multilateral yang lebih baik bagi kepentingan nasional dalam perdagangan internasional. Sebaliknya dampak negatif dalam hal tersebut salah satunya ialah sulitnya mengendalikan derasnya laju impor produk-produk dari mitra dagang asing, apalagi dalam menghadapi praktek-praktek curang dalam perdagangan.
            Apabila ditinjau kearah sudut kepentingan ekspor, maka produk indonesia dengan adanya liberalisasi perdagangan ini akan berdampak positif dengan memberikan perluasan perdagangan yang bebas hambatan, namun karena prinsip timbal balik Disatu pihak masuknya barang-barang impor dari negara lain khususnya untuk produk yang merupakan dumping secara langsung akan menguntungkan konsumen, dimana yang terjadi produk-produk impor jika dibandingkan dengan produk lokal memiliki perbedaan harga yang cukup signifikan. Akan tetapi dilain pihak dengan melihat keadaan tersebut maka akan mengancam kegagalan produsen-produsen lokal untuk bersaing dipasar negeri sendiri yang akan berakibat “matinya” produsen produsen di Indonesia. Sehubungan dengan hal itu, mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan, maka sekarang ini beberapa negara anggota WTO mengunakan berbagai instrumen ketentuan-ketentuan WTO guna melindungi industri dalam negerinya. Solusi untuk melindungi produk Indonesia dari serbuan produk asing yang melakukan dumping ialah  dengan cara menggunkan instrumen hukum anti-dumping yang diperbolehkan oleh WTO. Tentunya untuk menggunkan instrument hukum ini sangat diperlukan aturan domestik yang cukup komprehensif, tegas dan tidak bertentangan dengan WTO rules, agar terciptanya perdagangan yang adil dan menguntungkan bagi berbagai pihak, khususnya dalam sistem perdagangan di Indonesia.
            Penulis sengaja memilih instrument hukum anti-dumping sebagai objek kajian dalam penelitian ini, karena penulis menganggap bahwa hal ini mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan sosial dan ekonomi di Indonesia. Selain berusaha untuk melindungi industri domestik dari kerugian atau ancaman kerugian, anti-dumping juga merupakan instrumen hukum yang masih terbilang baru dalam khasanah hukum Indonesia, yang tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dalam menciptakan aturan domestik maupun pelaksanaannya. Olehnya itu penulis merasa penting untuk mengkaji lebih dalam agar dapat menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia.
B. Rumusan Masalah
            Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan yang akan dipaparkan serta di analisa secara mendalam yaitu:
            1. bagaimana Pengaturan Hukum Antidumping Dalam Perdagangan Internasional?
2. Bagaimanakah penerapan sistem hukum anti-dumping di Indonesia?
C. Landasan Teori dan Kerangka Konsepsional.
1. Landasan Teori.
            Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk dapat memahami masalah secara lebih baik. Hal yang semula tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan satu sama lain secara lebih bermakna. Teori dengan demikian berfungsi sebagai “ Pisau Analisa” yang memberikan penjelasan. Teori dapat dipergunakan sebagai “Pisau Analisa” dengan cara memilih dari berbagai teori atau sistem berfikir daripada membangun sendiri atau mencoba sendiri bagian-bagian dari suatu teori, misalnya dapat diketemukan dalam literatur mengenai rehabilitasi pelaku kejahatan, di mana berbagai teori dalam Criminal Justice, hukuman, dan moralitas saling berhubungan. Untuk pengertian yang sederhana, teori itu dapat dikatakan sebagai prinsip-prinsip umum atau seperangkat prinsip yang secara keilmuan dapat diterima dan menawarkan penjelasan tentang suatu gejala. Teori menjelaskan tentang hubungan antara fakta-fakta, misalnya teori berusaha menjelaskan hubungan antara kondisi ekonomi dan keinginan pembeli atau antara kondisi rumah tangga dan tingkah laku kekerasan terhadap anak.[4]
            Teori hukum digunakan untuk menyelesaiakan masalah-masalah hukum positif tertentu yang mendasar, misalnya Schutznormtheorie, Imputationtheory, teori-teori tentang saat terjadinya kata sepakat, risiko mengikatnya perjanjian, kesesatan dan sebagainya. Itu semuanya berkaitan dengan masalah-masalah hukum positif, tetapi jawabannya tidak dicari atau diketemukan dalam hukum positif.[5]
            Anti-dumping sebagai suatu konsep hukum merupakan bagian dari instrumen hukum internasional yang mengatur tentang penyesuian kebijakan pemerintah suatu negara untuk mengambil langkah-langkah pemulihan industri domestik akibat adanya praktek perdagangan curang dalam transaksi perdagangan bebas antar negara yang mengikat atas dasar kesepakatan bersama masyarakat internasional. Oleh karena tindakan anti-dumping yang merupakan suatu langkah pemulihan keadaan dari distorsi perdagangan yang diakibatkan oleh adanya prkatek curang yang berupa dumping, maka untuk itu kehadiran teori keadilan diangap tepat dalam menjelaskan keterkaitan tersebut. Salah satu pemikir dari teori keadilan ini adalah Aristoteles. Beliau mengungkapkan bahwa dalam teori keadilan dapat di identifikasi kedalam 2 Diperlihatkan dalam corrective justice suatu keadaan dimana dalam hal milik kebendaan dari individu dikuasai secara tidak sah, maka individu tersebut berhak untuk pengembalian atas hak tersebut atau diberikan kompensasi atas hak tersebut.
            Corrective Justice berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka corrective justice berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang  sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Corrective justice bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.
            Dilain hal, untuk distributive justice Aristoteles menyebutkan sebagai berikut:
“Distributive justice,…. applies to the distribution of public interest such as ‘honor or money or other things that have to be shared among members of the political community”.
Distributive justice menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
            Lebih jelasnya distributive justice menghendaki adanya suatu pengalokasian manfaat-manfaat sosial kepada tiap-tiap orang menurut jasanya yaitu tidak berdasarkan atas kesama rataan, tetapi atas dasar kesebandingan. Selain penggunaan teori keadilan oleh Aristoteles, dalam penelitian ini juga akan dipergunakan teori dari aliran Critical Legal Studies. Critical Legal Studies merupakan aliran moderen dalam teori ilmu hukum. Teori ini diperkenalkan dan mulai di kembangkan pada tahun 1970-an di negara Amerika Serikat. Dimulai pada tahun 1977 inisiatif untuk membentuk Critical Legal Studies ini datang dari beberapa ahli hukum, seperti Horwtiz, Duncan Kennedy, Trubek, Mark Tushnet dan Roberto Unger. Critical Legal Studies timbul sebagi kritik terhadap keadaan krisis hukum yang gagal berperan sebagi alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sebenarnya. Esensi pemikiran Critical Legal Studies terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik. Dari pemikiran law as politic itu, Critical Legal Studies berarti sudah langsung menolak dan menyerang keyakinan para positivis yang mengatakan bahwa asas-asas hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional dalam ilmu hukum yang mengembangkan pemikiran hukum liberal.
            Critical Legal Studies mengkritik hukum yang berlaku, yang nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral. Critical Legal Studies berusaha untuk membuktikan bahwa di balik hukum dan tatanan sosial yang muncul kepermukaan sebagi suatu yang netral, sebenarnya didalamnya penuh dengan muatan kepentingan tertentu yang bias kultur, ras, gender, bahkan kepentingan ekonomi. Menurut pandangan Critical Legal Studies, doktrin hukum yang selama ini terbentuk sebenarnya lebih berpihak kepada mereka yang mempunyai kekuatan
            Dalam memandang masalah hukum, Critical Legal Studies menolak perbedaan antara teori dengan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari liberalisme. Berkaitan dengan liberalisme, Roberto Unger mengemukakan pandangan bahwa liberalisme menghasilkan perubahan moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Liberalisme membengkokan moral, intelektual dan sisi spiritual seseorang. Dalam kaitan ini Unger mengemukakan  6  wenang,  Untuk mengkritis doktrin hukum yang telah terbentuk selama ini, Critical Legal Studies menggunakan metode :
1. Trashing, yaitu dilakukan untuk mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang telah terbentuk. Teknik trashing dilakukan untuk menunjukkan kontradiksi dan kesimpulan yang bersifat sepihak berdasarkan asumsi yang meragukan.
2. Deconstruction, adalah membongkar pemikiran hukum yang telah terbentuk. Dengan melakukan pembongkaran ini, maka dapat dilakukan rekonstruksi pemikiran hukum.
3. Genealogy, adalah penggunaan sejarah dalam menyampaikan argumentasi. Genealogy digunakan karena interpretasi sejarah sering didominasi oleh pihak yang memiliki kekuatan. Interpretasi sejarah yang kemudian digunakan untuk memperkuat suatu konstruksi hukum. Teori ini akan digunakan untuk memahami dan menganalisa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011 Tentang Tindakan Antidumping,
            Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Peraturan pemerintah tersebut sebagai bentuk langkah-langkah kebijakan pemerintah dalam rangka memperbaiki kerugian serius atau ancaman kerugian serius atas pelaksanaan komitmen liberalisasi perdagangan dalam kerangka World Trade Organization. Komitmen liberalisasi, melalui penurunan tarif dan penghapusan hambatan bukan tarif dapat menimbulkan bebasnya aliran keluar masuk barang dari dan luar Indonesia, yang pada akhirnya sulit untuk diidentifikasi atau diteliti apakah suatu barang merupakan dumping atau tidak hingga, mengakibatkan kerugian serius dan atau ancaman kerugian serius terhadap industri dalam negeri. Dalam kaitan ini Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2011, merupakan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tindakan anti-dumping sehingga industri yang mengalami kerugian dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian struktural yang dibenarkan secara hukum berdasarkan ketentuan ADA.
            Pada akhirnya penulis mengharapkan dapat menyusun kembali, mengevaluasi dan memberikan masukan-masukan yang berarti dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia, agar dalam pencapaian kemakmuran bangsa Indonesia dapat terwujud dan tetap memajukan nilai-nilai bangsa dalam menegakkan  keadilan ekonomi.
2. Kerangka Konsepsional.
Untuk menghindari perbedaan pengertian dari istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan ini maka pengertian dari beberapa istilah yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini, adalah sebagai berikut:
a. Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan undang-undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
b. Bea Masuk Anti-dumping adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian.
c. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.
d. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
e. Liberalisasi adalah proses pengurangan atau penghapusan tarif dan berbagai macam bentuk dan jenis hambatan yang merintangi arus perdagangan internasional, secara unilateral maupun multilateral.
f. Tindakan anti-dumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk anti-dumping terhadap Barang.
g. Komite Anti-Dumping Indonesia, yang selanjutnya disingkat KADI, adalah komite yang bertugas untuk melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan anti-dumping dan tindakan imbalan.
D.  Metodologi Penelitian.
            Penelitian ini mempergunakan kajian hukum normatif untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta. Norma hukum yang dimaksud adalah instrument hukum anti-dumping dalam kaidah hukum perdagangan internasional. Sedangkan dalam kegiatan menggali dan mengkualifikasi faktafakta,
dipergunakan kajian empiris untuk identifikasi terhadap faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa hukum yang bersangkutan. Hal tersebut dipilih oleh penulis agar gambaran yang dihasilkan tidak bias normatif dan juga tidak bias faktual, sehingga dapat memberikan sebuah gambaran yang lengkap atas fenomena hukum yang dikaji, yakni penerapan hukum anti-dumping. Selain itu dalam penelitian ini mempergunakan 2  Tahun 2011 Tentang Tindakan Anti-dumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Sedangkan pendekatan kasus ditujukan untuk mengkaji beberapa kasus mengenai dumping dan tindakan anti-dumping yang terjadi di Indonesia.
E.  Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian.
            Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisa lebih jauh mengenai anti-dumping serta penerapannya ditinjau dari kepentingan nasional dengan tidak mengabaikan kedudukan  Indonesia sebagai subjek hukum internasional pada umunya, dan sebagai negara anggota WTO pada khusunya.
            Oleh karena itu maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami anti-dumping sebagai instrumen hukum perdagangan internasional.
2. Mengetahui dan memahami tindakan anti-dumping dalam hukum  positif Indonesia, dan penerapannya dalam kebijakan perdagangan Indonesia.
3. Mengetahui dan memahami dampak positif dan negatif ketentuan antidumping di Indonesia, serta memberikan masukan dan saran kepada pemerintah Indonesia dalam menghadapai tantangan perdagangan internasional, terkait penerapan hukum anti-dumping.
             Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut:
1. Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran dalam mempelajari dan mengkaji serta mengembangkan ilmu pengetahuan hukum Perdagangan Internasional, khususnya dalam bidang anti-dumping sebagai instrument hukum perdagangan Internasional
2. Secara praksis memberikan sumbangan pemikiran bagi perumus atau pengambil kebijakan perdagangan luar negeri yang menyangkut pelaksanaan peraturan hukum anti-dumping yang pada akhirnya menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang semakin mantap.





















BAB II
PENGATURAN HUKUM ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Perdagangan bebas dalam sistem World Trade Oragnization, pada prinsipnya merupakan persaingan dagang antara satu negara dan negara lain. Karena itu, namanya persaingan idealnya dilakukan antara pihak-pihak atau negara yang sama dan sederajat. Sebab, apabila persaiangan yang secara bebas antara yang kuat dan yang lemah. Pastinya yang lemah akan keluar sebagai pihak yang kalah. Oleh sebab itu, dalam sistem paerdagangan bebas melalui sistem World Trade Organization (WTO), kepentingan negara lemah, yakni negara berkembang (developing coutries) dan negara tidak berkembangan (Least developed countries) mesti di perhatikan secara khusus, agar tidak menjadi objek bulan-bulanan pesaingnya dari negara maju. Untuk itulah, negara-negara berkembang dan negara tidak berkembang sering kali berjuang dengan gigih dalam perundingan-perundingan World Trade Organization (WTO).[6]
Menyadari akan kekhawatiran dari negara-negara yang sedang berkembang ini, Maka World Trade Organization yang telah melakukan berbagai hal untuk memperhatikan negara-negara yang belum maju. Upaya-upaya yang di lakukan di World Trade Organization (WTO) yang bertujuan untuk melindungi kepentingan negara-negara berkembang dan negara-negara tidak berkembang.
Dari hal tersebut kita bisa melihat kepedulian World Trade Organization (WTO) terhadap negara anggota maupun non anggota. Jalannya perdagangan bebas tidak lepas dari perlindungan hukum. Transaksi-transaksi atau hubungan dagang banyak bentuknya, dari berupa jual beli barang, pengiriman, dan penerimaan banrang, dan lain-lain. Semua transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan sengketa.[7]
Umumnya sengketa-sengketa dagang kerap di dahului oleh negosiasi. Jika cara penyelesaian ini gagal atau tidak berhasil, barulah di tempuh dengan cara-cara lain seperti penyelesaian melalui pengadilan atau arbitrase.
Penyerahan sengketa, baik kepada pengadilan maupun ke arbitrase, kerap kali di dasarkan pada suatu perjanjian di antara para pihak. Langkah yang biasa di tempuh adalah dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan klausul penyelesaian sengketa ke dalam kontrak atau perjanjian yang mereka buat, baik ke pengadilan atau ke badan arbitrase.
Di samping forum pengadilan atau badan arbitrase, para pihak dapat pula menyerahkan sengketanya kepada cara alternatif penyelesaian sengketa, yang lazim di kenal sebagai ADR (Alternative Dispute Resolution) atau APS (Alternatif Penyelesaian sengketa).
Pengaturan alternatif di sini dapat berupa cara alternatif di samping pengadilan. Bisa juga berarti alternatif penyelesaian secara umum, yaitu berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang para pihak dapat di gunakan termasuk alternatif penyelesaian melalui pengadilan.
Antidumping di atur dalam pasal VI GATT. Ketentuan Article VI GATT mengharuskan para negara anggotanya untik mengimplementasikan penafsiran Article VI ini, dalam Putaran Tokyo (Tokyo Around) disepakati Antidumping Code (1979). Antidumping Code (1979) ini di sepakati dan mengikat 22 negara dan berlaku efektif sejak 1 januari 1980. Antidumping Code (1979) kemudian di ganti oleh antidumping (1994) yang di hasilkan dalam perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Around). Antidumping Code (1994) yang berjudul Agreement on Implementation of Article VI of  GATT 1994 dan sebenarnya merupakan salah satu dari Multilateral Trade Agreement (MTA) yang di tandatangani  Word Trade Organization di Marrakesh (Maroko) tanggal 15 April 1994, yang menghasilkan World Trade Organization (WTO), suatu insitusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia diantara negara-negara anggotanya sesuai dengan Multilateral Trade Agreement yang merupakan bagian intergral dari Agreement Establishing The WTO.[8]
Dengan demikian, kedudukan Antidumping Code (1994) tidak lagi merupakan perjanjian tambahan dari GATT seperti halnya Antidumping Code (1979), tetapi merupakan bagian integral dari Agreement Establishing WTO itu sendiri.
Secara keseluruhan isi Antidumping Code (1994) adalah sebagi berikut :
1.  Prinsip
2.  Penentuan Dumping
3. Penentuan kerugian
4. Defenisi Industri Dalam Negeri
5. Penyelidikan Awal dan Penyelidikan Lanjutan
6. Bukti-Bukti
7. Pengenaan Biaya Antidumping
8. Penawaran Harga Penyesuaian
9. Penentuan dan Pemungutan Biaya Antidumping
10. Keberlakuan surut
11. Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping
12. Keberlakuan surat
13. Masa berlakunya dan Peninjauan Ulang Bea Antidumping dan Penawaran Harga             Penyesuaian
14. Pengumuman Kepada Publik dan Penjelasan Penetapan
15. Peninjauan Ulang
16. Tindakan Antidumping Atas Nama Negara Ketiga
17. Anggota Negara-Negara Berkembang
18. Komite Antidumping
19. Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa
20. Pengenaan Biaya Antidumping Tetap
Bila di cermati lebih jauh, semua ketentuan dalam Antidumping Code (1994) ini tidak secara jelas melarang dilakukannya praktik dumping, tetapi ketentuan dalam Antidumping Code (1994) hanya mengatur tindakan balasan yang dapat di ambil oleh suatu negara, untuk memulihkan dampak-dampak negatif, jika praktis dumping telah menyebabkan kerugian material terhadap industri domestik importir .[9]
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip dasar dari GATT itu sendiri. Sebagai persetujuan multilateral GATT memiliki beberapa prinsip dasar antara lain :
a) Asas Nondiskriminasi
b) Anti Proteksi dan Subsidi
c)  Penciptaan iklim perdagangan yang stabil
d)  Transparan
Sedangkan dumping merupakan bentuk perdagangan curang dalam bentuk diskriminasi harga. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kerancuan (antara ketentuan yang tidak secara tegas melarang dumping dan prinsip persaingan dagang yang adil). Agar tidak di rugikan dari adanya ketidakjelasan ini, setiap pengusaha harus mengerti betul bagaimana mengikuti permainan dalam strategi dagang internasional yang cukup pelik. Mengingat tindakan balasan hanya dapat dilakukan jika terdapat kerugian material (material injury), maka setia pengusaha harus mengerti bagaimana melihat apakah telah terjadi material injury akibat praktik dumping tersebut. Hal ini perlu kita, ketahui karena walaupun eksportir telah menjual suatu produk dengan harga dumping, namun apabila praktik ini tidak mengakibatkan kerugian terhadap industri domestik, maka tidak dapat dikenakan sanksi.
Sebagai suatu perjanjian internasional, GATT merupakan serangkaian aturan permainan di bidang perdagangan internasioanal yang menerapkan tata cara perdagangan antara negara-negara anggota yang di sepakati bersama.
Penyelesaian sengketa dumping juga sama dengan proses penyelesaian sengketa dagang pada umumnya melalui World Trade Organization (WTO). Pengaturan masalah dumping yang berlaku dalam perdagangan internasional saat ini adalah peraturan menurut Antidumping Code (1994) yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 dan peraturan antidumping dari masing-masing negara.
Jika produsen barang dumping tidak dapat menerima sanksi antidumping yang diputuskan oleh pemerintah negara importir, maka produsen tersebut dapat naik banding ke forum WTO, melalui pemerintah negaranya.
Mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22 dan 23 GATT memuat ketentuan sederhana.
Pasal 22 menghendaki para pihak yang besengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap pesoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui konsultasi mulyilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi bilateral.
Pasal 23 mengandung peraturan yang lebih luas. Pada pasal 23 terdiri dari dua ayat. Ayat (1), menegaskan adanya dua pelanggaran hukum yang dijabarkan :
a.Adanya penghilangan atau pengrusakan terhadap setiap keuntungan yang diperoleh berdasarkan perjanjian GATT;
b.Adanya gangguan terhadap adanya perolehan (yang diharapkan) dari tujuan perjanjian GATT.
Pada ayat (2) tersebut mengandung dua ketentuan utama :
a. Mensyaratkan para pihak untuk menyerahkan sengketanya kepada badan tertinggi GATT, yaitu CONTRACTING PARTY, manakala mereka gagal menyelesaikan secara bilateral sesuai dengan ayat (1).
b. Menunjukkan tiga bentuk putusan yaitu,  rekomendasi, putusan, penangguhan pemberian konsensi.
Dari segi yuridis, GATT dapat dilihat sebagai serangkaian “aturan permainan” di bidang perdagangan internasional yang tercantum dalam suatu dokumen utama, yaitu General Agreement in Tariffs Trade sebagai perjanjian internasional atau iternational treaty dengan peraturan tambahan yang merupakan tatanan perilaku ekonomi yang berlaku bagi negara-negara yang menandatanganinya. Dokumen utama GATT yang berjudul General Agreement on Tariff and Trade yang dikenal secara ringkas sebagai The General Agreement terdiri dari 38 pasal. Dan dokumen tersebut terdiri atas 4 bagian.





















BAB III
PENERAPAN HUKUM ANTI-DUMPING DI INDONESIA.

            Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, penulis bermaksud untuk mengkaji hal-hal tersebut untuk dianalisa secara toeritis. Teori yang akan dipergunakan dalam menganalisa hal tersebut ialah teori yang bersumber dari aliran pemikiran gerakan hukum kritis atau yang biasa dikenal dengan critical legal studies. Untuk itu, dibawah ini akan dijelaskan mengenai hal-hal apa saja yang terkandung dalam critical legal studiest. Aliran critical legal studies ini mencoba menjawab tantangan zaman dengan mendasari pemikirannya pada beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran critical legal studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
2. Aliran critical legal studies in mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan hukum seperti itu sama sekali tidak netral.
3. Aliran critical legal studies ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu, aliran ini banyak berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran critical legal studies ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran critical legal studies ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivism hukum.
5. Aliran critical legal studies ini menolak perbuatan antara teori dan praktik juga menolak perbedaan antara fakta  Khusus dalam hal ini, penulis sepakat dengan pandangan critical legal studies yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang berpihak kepolitik dan sama sekali tidak netral. Hukum dalam faktanya, sedikit banyak merupakan politik yang terselubung.
            Apabila dilihat dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia, baik regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, maupun dalam penerapannya, dengan sangat berat hati penulis akan membenarkan bahwa penerapan hukum anti-dumping di Indonesia mengandung unsur-unsur politik, dan cenderung tidak adil. Untuk hal tersebut dibawah ini akan dijelaskan lebih lanjut.
a. Kepentingan Nasional.
            Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, terlihat beberapa kesalahan-kesalahan oleh pihak pemerintah dalam mengeluarkan regulasi hukum anti-dumping yang bertabrakan dengan aturan-aturan WTO. Selain itu juga diikuti oleh beberapa kekeliruan pihak yang berwenang  Sehubungan dengan kasus yang dijelaskan sebelumnya, menarik untuk diperhatikan bahwa, beberapa komentar yang ada dalam laporan sementara maupun dalam laporan akhir, pihak-pihak yang berkepentingan menyarankan KADI untuk mengenyampingkan permohonan tindakan anti-dumping demi kepentingan nasional.             Memang diakui bahwa tidak ada aturan dalam WTO maupun dalam regulasi hukum anti dumping saat itu yang memberikan kewenangan kepada pihak yang berwenang untuk mengabaikan permohonan tindakan anti-dumping demi kepentingan nasional. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh penulis, KADI pernah menggunakan alasan kepentingan nasional sebagai dasar untuk mengabaikan permohonan tindakan anti-dumping pada tahun 2006. Saat itu KADI  sepakat untuk tidak melakukan inisiasi penyelidikan antidumping untuk tepung gandum yang berasal dari Australia, Uni Eropa, Sri Lanka dan Turki dengan dasar pertimbangan kepentingan nasional. Dalam penerapan tindakan anti-dumping di Indonesia, kepentingan nasional dapat dikatakan sebagai “kartu AS” untuk membenarkan tindakan pemerintah tidak menerapkan atau tidak menerapkan bea masuk anti-dumping. Dengan mengetahui bahwa KADI pernah menggunakan alasan pertimbangan kepentingan nasional untuk tidak melakukan inisiasi penyelidikan anti-dumping, entah mengapa dalam laporan akhir kasus ini, KADI menanggapi komentar-komentar yang meminta untuk tidak dilakukannya tindakan antidumping dengan dasar pertimbangan nasional, justru ditanggapi dengan bahasa yang lain.[10]
             Dalam laporan akhir tersebut KADI menyatakan bahwa: “Di dalam melaksanakan tugasnya KADI berpedoman kepada WTO Agreement on Implementation of Article VI  of GATT 1994 yang menentukan bahwa ruang lingkup penyelidikan hanya meliputi pembuktian ada tidaknya dumping, ada tidaknya kerugian dan hubungan kausal antara keduanya. Tidak ada di dalam WTO Agreement on Implementation of Article VI  of GATT 1994 ketentuan mengenai national interest sebagai pertimbangan untuk melakukan penyelidikan” Ini adalah merupakan inkonsistensi KADI dalam menerapkan tindakan anti- dumping. Kepentingan nasional nampaknya dapat dipolitisasi, agar dapat dijadikan dasar untuk satu kasus, dan tidak untuk kasus yang lain. Jika KADI memang ingin konsisten seharusnya KADI tidak menanggapi komentarkomentar tersebut dengan Tanggapan yang kontroversial seperti itu. Penyelidikan anti-dumping mengharuskan agar dilakukan secara objektif dan dengan buktibukti yang posisitf, dan bukankah konsisten dalam semua penyelidikan juga merupakan bagian dari keobjektifitasan dalam suatu penyelidikan. Memang tidak ada pengertian yang jelas mengenai kepentingan nasional pada waktu itu. Namun absennya pengertian yang jelas mengenai kepentingan nasional, bukanlah alasan untuk tidak mempertimbangkannya dalam tindakan anti-dumping, sepanjang pihak yang berwenang tetap konsisten menggunakannya pada semua tindakan anti-dumping. Penulis sepenuhnya sepakat jika statement KADI yang menyatakan bahwa kepentingan nasional yang dimaksud tidak akan ditemukan dalam ADA.
            Namun jika memang seperti itu, apakah dapat dikatakan bahwa untuk kasus yang lain dimana KADI menggunakan alasan pertimbangan kepentingan nasional untuk tidak melakukan inisiasi penyelidikan anti-dumping dapat dikatakan sebuah kesalahan?. Hal ini haruslah jelas, karena bagaimanapun juga harus ada justifikasi yang tegas untuk menyatakan yang mana dari kedua penyelidikan anti-dumping yang dilakukan oleh KADI tersebut yang dianggap benar. Mengenai hal ini pihak KADI menyatakan bahwa  proses penyelidikan itu berkembang, jadi bisa saja pada saat itu pengetahuan yang dimiliki tidak terlalu cukup. Namun setelah mendapatkan informasi dari berbagai sumber dan pengalaman dari beberapa negara yang melakukan suatu penyelidikan, maka kita PP 34/2011 saat ini memang telah mengatur pengertian mengenai kepentingan nasional. Namun jika kembali mengacu pada statemen bahwa tidak ada diketemukan dalam ADA mengenai kepentingan nasional, dapatkah kemudian dikatakan bahwa  Namun apabila dicermati pertimbangan kepentingan nasional yang ada dalam PP 34/2011 saat ini, dapat dikatakan lebih mengarah kepada ranah yang sifatnya diluar dari pertimbangan hukum
b.  Kepastian Penetapan Bea Masuk Anti-dumping.
            Ketika sebuah permohonan dilayangkan dan penyelidikan telah dilakukan, maka hal yang paling ditunggu-tunggu ialah keputusan dari pemerintah untuk menerapkan bea masuk anti-dumping untuk barang yang dimohonkan dan diselidiki tersebut. Setiap permohonan pasti menginginkan realisasi, termasuk permohonan penyelidikan anti-dumping. Maka dari itu keputusan untuk menetapkan bea masuk anti-dumping merupakan puncak dari segala rangkaian panjang penyelidikan anti-dumping. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, masih dengan kasus yang sama. Menteri Perdagangan melayangkan surat kepada Menteri Keuangan dengan No. 2017/M.DAG/12/2009, yang merekomendasikan agar mengenakan Bea Masuk Anti-dumping dengan HS 1101.00.10.00 terhadap Impor Tepung Gandum asal Turki kepada Perusahaan sebagai berikut :
1. Bafra Eris Un Yem Gida San Ve. Tic. A.S sebesar 21.99 %
2. Erister Gida Sanayi Ve Ticaret AS sebesar 19,67 %
3. Marmara Un Sanayi AS sebesar 18,69 %
4. Ulas Gida Un Textil Nakliye Ticaret sebesar 20,86 %
5. Ulusoy Un Sanayi Ve Ticaret sebesar 20,28 %
6. Exportir/Produsen Lainnya sebesar 21,99 %
            Pada tanggal 7 Juli 2010  Sesuai PMK No. 100/PMK.01/2008 tentang
fungsi Badan Kebijakan Fiskal  pertemuan untuk malakukan pembahasan di BKF dan KADI juga turut dilibatkan. Kemudian pada rapat pleno tanggal 7 Juli 2010 telah disepakati untuk pengenaan BMAD pada Tepung Gandum Turki sesuai rekomendasi Menteri Perdagangan dan akan merekomendasikan kepada Menteri Keuangan untukdapat menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan  Namun sepertinya keinginan untuk mengeluarkan keputusan mengenai penetapan bea masuk anti-dumping mengalami kendala. Salah satu yang menjadi kendala terbitnya PMK BMAD Tepung Gandum dari Turki disebabkan karena adanya himbauan dari Sekertaris Kabinet melalui surat-suratnya:
1. No. B 119/Seskab/IV/2010 tertanggal 12 April 2010
2. No. B 350/Seskab/VII/2011 tertanggal 11 Juli 2011
Yang berisi :
a. Menyampaikan surat protes dari Menteri Perdagangan Luar Negeri Turki atas rencana kebijakan BMAD Terigu Turki.
b. Keberatan dari Sekertaris Kabinet, dengan alasan mengganggu hubungan bilateral Indonesia-Turki yang sudah menjadi kesepakatan antar Kepala Negara
c. Mengusulkan upaya FTA antara RI & Turki.
            Dalam kesempatannya APTINDO menanggapi surat tersebut diatas dengan menyatakan bahwa, mengapa Sekertaris Kabinet selaku Pejabat Tinggi Negara lebih membela kepentingan asing yang telah berbuat tidak adil kepada pihak Indonesia khususnya Industri tepung gandum dalam negeri, karena disatu sisi puluhan produk expor yang terkena BMAD & Safeguard di Turki tidak menjadi perhatiannya untuk dilakukan pembelaan. Selanjutnya APTINDO menyatakan bahwa kebijakan anti-dumping adalah justifikasi yang jelas dari suatu penegakan hukum yang berlaku, karena terbukti pihak Turki sendiri juga mengenakan atas puluhan produk expor Indonesia ke Turki, sedangkan hubungan bilateral adalah hubungan baik dua negara yang saling menguntungkan. Menanggapi point ketiga, APTINDO menyatakan bahwa kerja sama perdagangan bebas  Namun demikian, tanggapan APTINDO sepertinya tidak dapat dipertimbangkan. Karena sampai tulisan ini dibuat, keputusan mengenai penetapan bea masuk anti-dumping untuk tepung gandum dari turki tersebut belum juga keluar. Alhasil pada hari selasa tanggal 8 Mei 2012, APTINDO memutuskan untuk mencabut gugatan petisi anti-dumping Tepung Gandum terhadap Turki, Sri Langka dan Australia tersebut. Petisi yang disampaikan kepada Menteri Perdagangan itu dicabut karena APTINDO menilai pemerintah tidak serius menyelesaikan kasus dumping. Direktur Eksekutif APTINDO menyatakan “setelah lebih dari tiga tahun lima bulan, petisi anti dumping yang sudah diajukan itu tidak sesuai harapan pengusaha. Kalau kami mempertahankan, petisi kami juga akan kalah di organisasi perdagangan dunia Kalaupun keputusan mengenai BMAD dikelurkan, keputusan itu sudah kedaluwarsa karena menurut Pasal 5.10 ADA, jangka waktu dari inisiasi hingga dikeluarkannya keputusan mengenai penetapan BMAD dilakukan maksimum 18 bulan, sedangkan usia kasus BMAD Tepung Gandum turki sudah 3,5 tahun. Jadi kalaupun dipaksakan akibatnya justru akan lebih besar, dimana pemerintah Indonesia harus siap untuk dibawa ke WTO Dispute Settelemtn Body apabila Turki keberatan dengan hal tersebut. Penulis tidak ingin berspekulasi terlalu jauh, tapi dengan memperhatikan hal diatas maka tidak terlalu naif jika dikatakan bahwa penerapan hukum anti-dumping di Indonesia masih terpengaruh dari hal-hal diluar hukum, yang justru menabrak positivisme hukum itu sendiri.
c.  Pembenahan Hukum Anti-dumping di Indonesia.
            Permasalahan yang ada dalam penerapan hukum tidak dapat dipisahkan paling tidak dari dua aspek yang pada dasarnya saling berkaitan. Yang pertama adalah aspek substantifnya sendiri yang tertuju pada aturan hukum, dan yang kedua adalah aspek penegak hukum yang tertuju pada bagaimana dan siapa yang menegakkan hukum itu sendiri. Unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum adalah unsur kepastian hukum  Hukum anti-dumping Indonesia dan KADI sebagai otoritas penyelenggara di dalam penyelidikan anti-dumping tentunya merupakan dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu setiap permasalahan yang timbul dari pengekan hukum anti-dumping di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kedua aspek tersebut.[11]
            Dalam memperkuat penegakan hukum anti-dumping, tentunya pembenahan hukum anti-dumping itu mutlak diperlukan. Dengan hadirnya PP 34/2011 sebagai pengganti dari peraturan pemerintah yang sebelumnya yaitu PP 34/1996, tidak dapat dipungkiri merupakan langkah yang cukup siginifikan oleh pemerintah. Namun perlu disadari bahwa tidak serta merta dalam PP 34/2011 tidak memiliki kekurangankekurangan yang perlu untuk dibenahi. Untuk itu dibawah ini adalah beberapa kelemahan-kelemahan yang perlu untuk dibenahi dalam PP 34/2011.
d.  Penyediaan Pengadilan Untuk Upaya Hukum Individual.
            Adanya sebuah pengadilan atau semacam prosedur untuk melakukan keberatan mengenai tindakan anti-dumping sebenarnya hal yang telah digariskan oleh ADA, sebagaimana yang terdapat dalam  pasal 13 ADA dibawah ini:
“Each Member whose national legislation contains provisions on anti-dumping measures shall maintain judicial, arbitral or administrative tribunals or procedures for the purpose, inter alia, of the prompt review of administrative actions relating to final determinations and reviews of determinations within the meaning of Article 11. Such tribunals or procedures shall be independent of the authorities responsible for the
determination or review in question.”
            Pasal 13 ADA diatas pada dasarnya mensyaratkan adanya sebuah peradilan
atau pengadilan administarif atau sebuah prosedur untuk mengakomodasi keberatan-keberatan individual untuk diajukan ke pengadilan domestik ketika bea masuk anti-dumping diterapkan. Termasuk pula keputusan penetapan bea masuk anti-dumping. Jika dibandingkan dengan pasal 99 PP 34/2011 dibawah ini:
            Tindakan Imbalan,dan Tindakan Pengamanan, hanya dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian Sengketa
            Menurut ketentuan diatas, maka ada dua jalan untuk melakukan keberatan atas tindakan anti-dumping. Yang pertama ialah melalui dispute settelement body WTO untuk keberatan terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping, dan yang kedua ialah melalui prosedur-prosedur nasional untuk kebaratan atas pelaksanaa pengenaan bea masuk anti-dumping. Adanya ketentuan ini berarti menutup peluang bagi siapapun untuk melakukan peninjauan ataupun banding terhadap penetapan pengenaan tindakan anti-dumping.
            Dari penjelasan di atas maka terlihat jelas adanya inkonsistensi dari pemerintah Indonesia dalam membuat aturan dalam negeri untuk penerapan tindakan anti-dumping sebagaimana yang disyaratakan oleh ADA. Inkonstistensi ini adalah sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh Indonesia dari “The Vienna Convention on the Law of Treaties, May 23, 1969” yang menjelaskan bahwa ratifikasi menimbulkan akibat hukum eksternal maupun internal bagi negara yang melakukannya. Akibat Hukum eksternal yang timbul adalah bahwa melaui tindakan tesebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan oleh persetujuan internasional yang dimaksud. Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuanketentuan dalam persetujuan internasional yang bersangkutan. Meskipun Indonesia belum meratifikasi “ Konvensi Wina, 1969” ini namun kaidah-kaidah yang dapat dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional,  berlaku dilingkungan masyarkat internasional.[12]
            Perlu ditekankan bahwa tugas pengadilan ini ialah untuk menguji konsistensi tindakan anti-dumping dengan peraturan domestik  Dalam prakteknya beberapa tindakan anti-dumping dibuat oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan WTO, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan-nya, atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan-nya tapi tidak sesuai dengan ketentuan WTO, atau bahkan tidak sesuai untuk kedua-duanya. Untuk itu pemerintah seharusnya mencabut pasal 99 PP 34/2011, dan menggantinya dengan ketentuan yang sesuai dengan ketentuan pasal 13 ADA. Urgensi untuk menyediakan suatu badan peradilan guna mengakomodasi kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang menjadi subjek pengenaan tindakan anti-dumping sangat diperlukan untuk menjaga hubungan dagang antara Indonesia dengan mitra dagang asing, selain itu yang lebih utama ialah untuk menyesuaikan dengan mandat pasal 13 ADA.
e.  Batas Waktu Penentuan Akhir.
            Batas waktu penentuan apakah barang yang diduga dumping dikenakan bea masuk anti-dumping atau tidak juga menjadi perhatian utama. Dalam pasal 5.10 ADA menyatakan:
“Investigations shall, except in special circumstances, be concluded within one year, and in no case more than 18 months, after their initiation.”
            Memang dalam pasal 5.10 ADA tidak secara langsung menyatakan bahwa dalam batas waktu penyelidikan yang ditentukan juga merupakan batas waktu dimana keputusan akhir harus dikeluarkan. Namun dengan pendekatan logika hukum tentunya hal ini harus diinterpretasikan demikian. Karena jika tidak maka tiap-tiap negara anggota WTO dapat membuat hukum anti-dumping di negaranya dengan tidak memberikan kepastian mengenai kapan batas waktu dikeluarkannya keputusan akhir. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, PP 34/2011 juga mengatur tentang masa penyelidikan, yang “sama dengan” batas waktu yang ditentukan oleh pasal 5.10 ADA. Namun demikian untuk mengeluarkan keputusan akhir mengenai pengenaan bea masuk anti dumping harus mengunggu waktu sekitar  89  Hari mengeluarkan keputusan akhir setelah penyelidikan selesai semakin cepat pula industri dalam negeri akan terpulihkan. Yang kedua adalah pemerintah juga harus berlaku adil terhadap eksportir/produsen yang diselidiki. Dengan waktu yang lama untuk menunggu keputusan akhir, akan mengakibatkan eksportir/produsen tidak memperoleh kepastian hukum. Terlebih lagi apabila eksportir/produsen yang diselidiki dikenakan tindakan sementara ataupun tindakan penyesuaian, hal ini akan lebih memperburuk importasi barang yang diduga dumping kedalam negeri. Pengalaman dari PP 34/1996 dirasa cukup untuk memperlihatkan tidak adanya kepastian hukum terhadap eksportir/produsen yang diselidiki, dan untuk itu PP 34/2011 yang menjadi landasan hukum penerapan tindakan anti-dumping di Indonesia ini seharusnya memberikan perbedaan yang siginifikan, dan sesuai dengan pasal 5.10 ADA.  Sebagai saran, untuk memenuhi batas waktu 18-bulan di bawah struktur organisasi saat ini, KADI mungkin akan perlu untuk mempersingkat proses penyelidikan, misalnya untuk 15-bulan paling lama, dan memberikan setidaknya 3 bulan kepada Menteri untuk menyerahkan keputusan akhir sebelum batas waktu yang ditetapkan dalam ADA.
f. Tentang Rekomendasi KADI.
            Mengacu pada PP 34/2011 dapat disimpulkan bahwa hasil dari penyelidikan KADI hanya bersifat rekomendasi, yang artinya dapat diterima atau ditolak oleh Menteri Perdagangan, sementara untuk keputusan pengenaan bea masuk antidumping ada ditangan Kementrian Keuangan. Namun yang menjadi titik perhatian adalah mengapa hasil dari penyelidikan KADI yang disampaikan dalam laporan akhir masih perlu untuk dipertimbangkan oleh instansi/ lembaga non kementrian terkait. Alasan untuk menjadikan ini sebagai sebuah permasalahan adalah mengalir dari susunan keanggotaan KADI itu sendiri. Orang-orang yang bertugas dalam susunan keanggotaan KADI, bukanlah orang-orang yang hanya bersumber dari Kementrian Perdagangan saja melainkan tersusun oleh beberapa perwakilan-perwakilan instansi terkait. Jadi hasil dari laporan akhir tentunya telah melalui proses pengujian yang dilakukan oleh instansi terkait tersebut. Pihak KADI menyatakan bahwa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 428/MPP/Kep/10/2002 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Anti-Dumping Indonesia, pada dasarnya masih berlaku hingga saat ini. Namun tugas anggota-anggota KADI yang dimaksud dalam keputusan menteri tersebut hanya berkaitan dengan permasalahan teknis semata. Misalnya dalam penyelidikan suatu barang-barang industri, dimana dibutuhkan suatu tenaga ahli yang khusus mengetahui tentang spesifikasi teknis dari barang tersebut misalnya untuk memastikan bahwa barang tersebut adalah barang sejenisdan lain-lain.
            Menurut penulis, sebaiknya keanggotaan KADI yang tersusun dari perwakilan-perwakilan lembaga/instansi non-kementrian terkait tersebut tidak hanya difungsikan seperti itu, namun juga harus difungsikan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan lain, misalnya untuk pertimbangan kepentingan nasional yang terkait dengan barang yang diselidiki. Sehingga hasil rekomendasi KADI memiliki nilai tambah yang positif ketika akan disampaikan kepada Menteri Perdagangan. Selain itu, dengan pemfungsian sebagaimana yang dimaksud maka ditingkat Menteri perdagangan tidak akan memakan waktu cukup lama untuk memutuskan akan menerima atau menolak rekomendasi KADI, karena rekomendasi KADI telah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nasional.
            Dalam melaksanakan tugasnya, Ketua Komite bertanggung jawab kepada Meteri Perindustrian dan Perdagangan.
            Jika diperhatikan lebih mendalam, perbedaan yang cukup siginifikan disini ialah bahwa dengan berlakunya Kepmenperindag No. 427/MPP/Kep/10/2000 ini, KADI telah mengalami degradasi keorganisasian, dimana susunan Ketua, Wakil Ketua hingga Sekertaris tidak lagi dijabat oleh Menteri-menteri yang mempunyai otoritas tertinggi didalam mengatur masalah perdagangan dan keuangan negara. Akibatnya hal ini berimbas kepada keputusan yang dikeluarkan KADI yang hanya dalam bentuk rekomendasi dan masih harus diuji kembali dan dipertimbangkan oleh Menteri Perdagangan. Selanjutnya dengan keadaan yang seperti ini akan membuat proses penanganan tindakan anti-dumping di Indonesia menjadi begitu lama, bahkan pada waktu berlakunya PP 34/1996, Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam beberapa kasus sering menunda-nunda keputusan mengenai diterima atau tidaknya rekomendasi KADI karena adanya perbedaan-perbedaan pandangan. Andaikata untuk jabatan ketua KADI masih tetap dijabat oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan  Apabila pemerintah mempunyai alasan lain yang cukup kuat tentang terjadinya degradasi ditubuh KADI tersebut, maka menurut penulis seharusnya KADI yang ada saat ini dinaikkan statusnya menjadi sebuah lembaga yang sifatnya mandiri dan tidak lagi dibawahi oleh Kementrian Perdagangan. Hal ini akan memangkas proses dan jangka waktu penanganan tindakan anti-dumping di Indonesia, dimana nantinya hasil keputusan KADI tidak lagi dalam bentuk rekomendasi yang harus diuji kembali dan dipertimbangkan oleh Menteri Perdagangan, namun lebih daripada itu hasil keputusan KADI telah menjadi keputusan yang bersifat final, termasuk didalamnya telah termuat mengenai pertimbangan kepentingan nasional. Lagipula hal ini cukup beralasan dengan melihat pasal 97 PP 34/2011 yang saat ini berlaku menyatakan bahwa KADI dalam melaksanakan tugasnya bersifat indpenden, yang secara harfiah diartikan merdeka, bebas, tidak terikat pada sesuatu. Namun demikian untuk mengenakan tindakan anti-dumping, keputusan KADI tersebut memang masih harus diserahkan kepada Menteri Keuangan sebagai dasar untuk menetapkan pengenaan bea masuk anti-dumping.





































BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
            Berdasarkan dari penjelasan beberapa BAB terdahulu, dibawah ini penulis akan menyajikan kesimpulan-kesimpulan yang diharapkan mampu untuk menjelaskan permasalahan penting yang telah dijelaskan sebelumnya.
1. Peraturan anti-dumping merupakan salah satu peraturan dari rezim perdagangan Internasional. Peraturan anti-dumping pada dasarnya memilki tujuan positif yang mengatur perdagangan internasional khususnya mengenai penanganan praktek curang dalam perdagangan internasional yaitu praktek dumping itu sendiri. Dumping pada dasarnya tidaklah dilarang, namun ketika praktek dumping tersebut mengakibatkan kerugian pada industri dalam negeri negara pengimpor, maka hal tersebut harus ditangani dengan menggunakan regulasi anti-dumping.
2. Masuknya Indonesia kedalam World Trade Organization  merupakan otoritas penyelenggara dalam penyelidikan anti-dumping dan penyelidikan tindakan imbalan. Sebagai otoritas penyelenggara, KADI mempunyai kewenangan penuh baik dalam menolak atau menerima permohonan penyelidikan anti-dumping, hingga dalam menentukan hasil akhir dari suatu penyelidikan anti-dumping. Dalam melaksanakan penyelidikan anti-dumping KADI harus berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan melaksankan fungsinya secara independen. PP 34/1996 sebagaimana diganti dengan diganti PP 34/2011 dan beberapa keputusan menteri hadir sebagai pedoman KADI dalam melaksanakan tugasnya. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP 34/2011 ini memberikan petunjuk yang mengarahkan agar penyelidikan anti-dumping dapat dilaksanakan dengan baik. Inti dari hal tersebut ialah mengatur tentang permohonan penyelidikan anti-dumping, fungsi KADI dalam menganalisa bukti awal, melakukan pemberitahuan awal mengenai adanya permohonan peneyelidikan anti-dumping, memutuskan untuk melakukan penyelidikan, menganalisa jawaban-jawaban kuesioner dari pihak-pihak yang berkepentingan dan membuat laporan sementara, memutuskan untuk menerapkan tindakan sementara atau mengupayakan tindakan penyesuaian, melakukan verivikasi ditempat, memberikan kesempatan bagi para pihak yang berkepentingan untuk dengar pendapat, menyusun laporan akhir, sampai dengan mengusulkan bea masuk anti-dumping kepada Menteri Perdagangan. Berkaitan dengan peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan peraturan anti-dumping di Indonesia selama ini, ternyata dalam perkembangannya mengandung permasalahan-permasalahan yang justru hadir dalam peraturan tersebut. Walaupun diakui saat ini PP 34/1996 telah dinyatakan tidak berlaku lagi, namun terhadap penerapannya yang berlangsung selam 15  pengumuman penetapan BMAD, masalah mengenai ketiadaan peradilan untuk upaya hukum individu, masalah ketentuan berlaku surut, hingga absennya pengertian pertimbangan kepentingan nasional, yang pada dasarnya merupakan alasan untuk menerapkan atau tidak menerapkan tindakan antidumping. Namun yang lebih mengherankan lagi, beberapa permasalahanpermasalahan tersebut ternyata masih tetap ada dalam PP 34/2011. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak terlalu premature kiranya untuk mengatakan bahwa penerapan hukum anti-dumping di Indonesia masih belum optimal.
3. Satu dari beberapa kasus yang ditangai oleh KADI sekiranya dapat memberikan gambaran jelas mengenai penerapan peraturan anti-dumping di Indonesia.
B SARAN
            Sebagai rekomendasi dari tulisan ini, penulis mengharapkan keseriusan pemerintah dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia, terlebih khusunya KADI sebagai pihak yang mempunyai otoritas penyelenggara dalam penyelidikan kasus anti-dumping. Beberapa permasalahan dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia yang diungkapkan dalam penulisan ini, haruslah menjadi sesuatu yang betul-betul diperhatikan, dan menjadi bahan evaluasi. Ketidakprofesionalan dalam menangani kasus anti-dumping dapat diartikan ketidak seriusan dalam melaksanakan fungsi sebagaiman mestinya. KADI dalam fungsinya sebagai otoritas tertinggi dalam penyelidikan anti-dumping harus tetap menjaga independensinya mengingat banyaknya tudingan-tudingan yang meragukan indpendensi KADI, selain itu keterbukaan informasi juga harus ditingkatkan. Pembenahan peraturan anti-dumping di Indonesia juga mutlak diperlukan. Bagaimanapun juga tidak akan tercipta sebuah penegakan hukum yang baik ketika peraturan yang ada tidak memfasilitasi hal tersebut. Dengan berlakunya PP 34/2011 yang merupakan pedoman induk dalam penerapan hukum anti-dumping di Indonesia diakui telah memberikan perubahan yang cukup siginifikan dibanding pendahulunya, walaupun untuk sebagian masih melanggar ketentuan yang digariskan oleh ADA. Untuk itu urgensi untuk merivisi kembal PP 34/2011 agar sesuai dengan ketentuan ADA mutlak diperlukan, demi terciptanya keadilan dalam penerapan hukum antidumping di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Anindita, Ratya., & R. Reed, Michael. Bisnis dan Perdagangan Internasional, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2008.

Brotosusilo, Agus. Etal., Penulisan Hukum: Buku pegangan Dosen, Jakarta, Konsorsium Ilmu Hukum, Departemen PDK, 1994.

__________,. Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-undang Anti-dumping dan Safeguard, 2006.

Bundjamin, Erry. Upaya-upaya Dibidang Hukum Perdagangan Internasional, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

_______,. “Globalsiasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas Suatu Pengantar. Percikan gagasan Hukum IV Fakultas Hukum Unika Parahyangan mengenai Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, menelaah Kesiapan Hukum Indonesia  Dalam Melasanakan Perdagangan Bebas. Penerbit PT Citra Aditya Bakti Cetakan 1, Tahun 2003.

Friedrich, Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004.

Kusumaatmadja, Mochtar. Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, PT. Alumni, 2003.

Mas’oed, Mohtar. Ekonomi-politik internasional dan pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994.

Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, Edisi Revisi, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2012.

___________,. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Jogjakarta, Citra Aditya Bakti,
1993.

Sukarmi, Regulasi Anti-dumping Dibawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Jakarta, Sinar grafika, 2002.

Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan R.I. Nomor: 216/mpp/kep/7/2001. tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 261/mpp/kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Penyelidikan atas Barang Dumping dan atau Barang Mengandung Subsidi.

Jurnal
Ashri, Muhammad. Memahami Tindakan Antidumping Masyarakat Eropah  Brotosusilo, Agus. Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda dalam Penegakan Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994.
Sutrisno, Nandang. Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri. Jurnal Hukum No. 2 VOL. 14, April 2007.



               [1]. Agus Brotosusilo, Ketentuan Anti-dumping: Pedang Bermata Ganda Dalam Penegakan Praktik Bisnis Curang, Hukum dan Pembangunan Vol. 2, 1994, hal 169.

               [2]. H.S. Kartadjoemena, GATT dan WTO: Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal 164-165.

               [3] .Ibid, hal 168.

               [4]. Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012, hal 4.
               [5]. Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia Bandung, 2004, hal 24.

               [6] . Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum Dari WTO), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 101.
               [7] . Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal, 191.

               [8]. Ibid, hal. 193.
               [9] . Lihat Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The WTO, angka II.
               [10] . Agus Brotosusilo, Ringkasan Desertasi: Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional: Studi Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri Melalui Undang-undang Antidumping Dan Safeguard, 2006, hal 35.

               [11]. Sukarmi, Regulasi Anti-dumping Dibawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Jakarta, Sinar grafika, 2002, hal. 56

               [12]. Syahyu, Yulianto. Hukum Antidumping di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2003,hal. 128

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar