Rabu, 15 Juni 2016

MAKALAH HUKUM: UPAYA REORGANISASI PERUSAHAAN DEBITOR YANG TERANCAM PAILIT SEBAGAI SUATU ALTERNATIF


UPAYA REORGANISASI PERUSAHAAN DEBITOR YANG TERANCAM PAILIT SEBAGAI SUATU ALTERNATIF

OLEH
JONI ALIZON, SH., MH

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik, dan keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya.Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha.[1]
Krisis yang menimpa perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia rentan terhadap pengaruh luar. ,Perusahaan-perusahaan mulai bangkrut satu demi satu. Persoalan baru muncul yaitu utang piutang antara debitur dengan para kreditornya dan pada tahun 1998 Faillsementverordening (F.V) diubah dan diganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahahan Undang-Undang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut di Undang-Undang kan dengan Undang-Undang No.4 Tahun 1998.
 Namun fakta menunjukkan bahwa Undang-Undang No.4 Tahun 1998 masih belum memadai dalam mengatasi masalah kepailitan. Selain itu Undang-Undang tersebut ternyata juga belum mampu mengatur masalah reorganisasi perusahaan secara memadai.
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 pun dilakukan perubahaan dengan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disingkat UUK PKPU. Pasal 2 ayat (1)  UUKPKPU telah menentukan, bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dengan ketentuan itu dapat dipahami masalah pailit merupakan pilihan yang wajar. Namun, muncul beberapa pendapat hukum kepailitan itu belum memberikan perlindungan yang cukup kepada debitor yang beritikad baik.
Pendapat itu dapat diterima karena yang berkembang sampai sekarang ini terdapat kecenderungan mengartikan pailit sama dengan likuidasi. Padahal, harus menjadi pemahaman bahwa seharusnya pailit juga merupakan sarana untuk melakukan reorganisasi perusahaan. Oleh karena itu ke depan hukum kepailitan di Indonesia harus mengatur mengenai reorganisasi perusahaan. Hal ini perlu karena pada dasarnya kepailitan harus mencerminkan keseimbangan antara melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi prematur atas suatu perusahaan.
Perlu pula dipahami bahwa melalui ketentuan reorganisasi perusahaan nantinya bila diatur dalam hukum kepailitan akan membuat hukum kepailitan menjadi efektif. Pengaturan demikian menjadi penting sekali bila terjadi krisis keuangan di suatu negara, karena akan mempercepat proses restrukturisasi perusahaan di negara yang dilanda krisis tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, penyusun ingin mengetahui lebih lanjut mengenai implementasi reorganisasi terhadap perusahaan debitur apakah dapat dijadikan sebagai suatu alternatif agar perusahaan debitur tidak pailit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dituangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “Upaya Reorganisasi Perusahaan Debitor Yang Terancam Pailit Sebagai Suatu Alternatif”


B.      Rumusan  Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1.   Apakah telah cukup pengaturan reorganisasi perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.   Bagaimana akibat hukum dari reorganisasi perusahaan tehadap penyelesaian utang piutang perusahaan?

















BAB II
PELAKSANAAN REORGANISASI PADA
PERUSAHAAN DEBITUR YANG TERANCAM PAILIT

A.      Pengertian Reorganisasi
Reorganisasi dalam bahasa Inggris disebut “Reorganization” diartikan penyusunan kembali. Hukum di Amerika Serikat telah memberlakukan reorganisasi perusahaan untuk mengatasi keadaan debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar utang-utangnya. Menurut hukum US Bankruptcy Code, terdapat dua bentuk bankruptcy yaitu (1) liquiation dan (2) rehabilation, Chapter 7 dan Bankruptcy Code berjudul “Liquidation”. Istilah “straight bankruptcy” atau “bankruptcy” yang sering dipakai adalah dimaksudkan untuk merujuk kepada kasus-kasus liquidation dibawah hukum kepailitan di bawah hukum kepailitan karena mayoritas terbesar dari kasus-kasus bankruptcy adalah kasus liquidation. Chapter 11, 12 dan 13 dari Bankruptcy Code menyangkut debitor rehabilitation. Dalam suatu kasus rehabilitation, yang dilihat oleh para Kreditor adalah pendapatan Debitor yang akan datang untuk melunasi tagihan-tagihan mereka, bukan melihat harta kekayaan Debitor pada waktu proses kepailitan dimulai. Banckrupty Code tidak secara tegas membatasi penggunaan Chapter 11, yang berjudul Reorganization, untuk kasus-kasus bisnis saja, namun dalam prakteknya Chapter 11 dapat digunakan oleh hampir semua bidang usaha.
Kebangkrutan biasanya diartikan kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Kebangkrutan dapat juga diartikan suatu proses yang dilakukan oleh seorang debitur dengan mengisi suatu petisi yang menyatakan bahwa ia tidak mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya atau hutang-hutangnya dan bersedia dinyatakan bangkrut
Rencana reorganisasi pada hakekatnya adalah kesepakatan antara seorang debitur dan beberapa kreditur. Hal itu mungkin merupakan rekapitalisasi perusahaan debitur dan atau memberi kreditur beberapa saham perusahaan sebagai pengganti sebagaian atau seluruh utang-utang perusahaan. Reorganisasi dapat dibedakan:[2]
a.      Reorganisasi yuridisi, yaitu reorganisasi yang terjasi apabila ada perubahan bentuk hukum perusahaan atau badan usaha. Perubahan ini mempunyai akibat hukum, misalnya bentuk perusahaan perseorangan dirubah menjadi partnership atau bentuk perusahaan partenership dirubah menjadi Perseroan Terbatas. Dengan demikian reorganisasi yuridis pada dasarnya merubah bentuk. Perubahan bentuk pada hakekatnya mempengaruhi hak dan kewajiban daripada pemilik
b.     Reorganisasi struktural, yaitu penyusunan kembali struktur organisasi. Dalam reorganisasi struktural tidak ada akibat keluar tetapi mempunyai akibat kedalam. Misalnya struktur organisasi fungsional dirubah menjadi struktur organisasi garis.
c.      Reorganisasi finansial, yaitu reorganisasi yang terjadi apabila ada perubahan struktur modal. Struktur modal disusun kembali karena perusahaan mengalami kesulitan permodalan
Sedikitnya terdapat tiga prinsip menurut Joseph E. Stiglitz yang harus terkandung dalam hukum kepailitan. Pertama, peran utama kepailitan adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Kedua, meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku,transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja.
Prinsip ketiga tersebut memang telah dianut oleh hukum kepailitan, karena telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Lebih jauh lagi, perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.
Disamping itu jika melihat dari hakekatnya reorganisasi perusahaan adalah untuk menyehatkan kinerja perusahaan, tentunya perusahaan dapat melakukan kebijakan antara lain: perluasan perusahaan secara internal, peningkatan modal ekuitas dari sumber eksternal perusahaan, ekspansi usaha, penurunan modal dan perampingan perusahaan secara yuridis. Sehingga bentuk reorganisasi diperluas dan dapat dilakukan dengan cara:[3]
1.   Penggabungan (Merger)
2.   Peleburan (consolidation)
3.   Pengambilalihan (acquisition)
4.   Privatisasi :
5.   Pengambilalihan oleh pemerintah
6.   Rekapitalisasi
7.   Restrukturisasi Utang
Reorganisasi pada umumnya adalah pengaturan untuk memperbaiki susunan kapital suatu perseroan agar kondisi finansial menjadi lebih sehat dan kuat. Mengingat bahwa maksud diadakannya reorganisasi terutama untuk perbaikan struktur modalnya untuk kemudian supaya mempermudah future financingnya, maka tindakan utama yang harus dilakukan adalah tindakan menghilangkan saldo kerugian.[4]
Tindakan ini secara khusus dapat disebut recapitalization, yang dilakukan kepada suatu perseroan yang jatuh bangkrut, yang menetapkan, bahwa para pemegang saham, pemegang obligasi, dan para kreditur menyetujui satu sama lain akan menyerahkan kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutannya, untuk melakukan restrukturisasi finansial sehingga dapat menyelesaikan hutang-hutang perseroan dan melanjutkan usaha-usahanya. Adapun langkah-langkah reorganisasi adalah[5]:
1.   Menentukan Nilai Perusahaan,
     Penilaian yang sering digunakan, dan yang termasuk sederhana, adalah menghitung nilai perusahaan berdasarkan tingkat kapitalisasi;
2.   Menentukan Struktur Modal yang baru
     Struktur modal tersebut bertujuan mengurangi beban tetap (bunga) agar perusahaan bisa beroperasi dengan lebih fleksibel. Untuk mengurangi beban tetap tersebut, total hutang biasanya akan dikurangi. Jika tidak ada lagi harapan bahwa operasi perusahaan akan berhasil, maka likuidasi merupakan alternatif satu-satunya yang mungkin dilakukan oleh perusahaan.
B.      Alasan dan Motivasi dilakukannya Reorganisasi Perusahaan
Menurut Pasal 1 UUK PKPU, Kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Yang dimaksud dengan sita umum adalah penyitaaan atau pembeslahan terhadap seluruh harta debitor pailit. Pengertian sita umum ini untuk membedakan dengan sita khusus seperti revindikator beslag, konservator beslah dan eksekutor beslag yang semuanya merupakan beslag atau sita khusus karena terhadap benda-benda  tertentu[6]
Mengenai syarat-syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 Ayat (1) UUK PKPU menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang  yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan Niaga baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya mengalami kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utang dapat memilih beberapa langkah dalam penyelesaian utangnya tersebut. Beberapa upaya dimaksud antara lain:[7]
1.   Mengadakan perdamaian diluar pengadilan dengan para kreditornya;
2.   Mengadakan perdamaian di dalam pengadilan apabila debitor tersebut digugat secara perdata;
3.   Mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU);
4.   Mengajukan perdamain dalam PKPU;
5.   Mengajukan permohonan agar dirinya dinyatakan pailit oleh pengadilan;
6.   Mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkaitan dengan alternatif pilihan tersebut,debitor seyogyanya memilih alternatif terbaik. Salah satu pilihannya adalah mengajukan permohonan PKPU. Permohonan PKPU tersebut harus diajukan oleh debitor selum ada putusan  pailit. Apabila putusan pailit telah dibacakan oleh Majelis Hakim maka debitor tidak dapat mengajukan PKPU.
Sebelum Pengadilan Niaga memutuskan untuk mengadakan PKPU tetap, debitor dapat mengajukan untuk diberikan PKPU sementara. Jangka waktu PKPU sementara berakhir  karena kreditor konkuren tidak menyetujui pemberikan PKPU tetap atau pada saat batas waktu perpanjangan  PKPU telah sampai, ternyata antara debitor dan kreditor konkuren  belum tercapai persetujuan rencana perdamaian.[8]  Apabila PKPU tetap ini disetujui oleh para kreditor konkuren maka PKPU tetap ini tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak putusan PKPU sementara ditetapkan.[9]
Kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir. Menurut penulis apabila reorganisasi perusahaan diatur di dalam hukum kepailitan di Indonesia, maka tidaklah mudah lagi mempailitkan suatu perusahaan.







BAB III
REORGANISASI PERUSAHAAN DEBITOR YANG TERANCAM PAILIT DALAM UPAYA PENYELESAIAN UTANG PIUTANG PERUSAHAAN

A.      Pengaturan Reorganisasi Perusahaan Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Reorganisasi perusahaan dapat menjadi alternatif bagi debitor agar terhindar dari kepailitan. Perusahaan yang terancam pailit memiliki permasalahan keuangan yang serius. Penataan kembali organisasi perusahaan Menjadi penting untuk keberlangsungan perusahaan. Reorganisasi merupakan upaya untuk mempertahankan perusahaan tetap berjalan dengan mengubah struktur modalnya. Secara konseptual suatu perusahaan harus direorganisasi jika nilai ekonominya sebagai satu kesatuan operasi lebih besar daripada nilai likuidasinya.
Reorganisasi perusahaan berarti juga menyusun kembali organisasi yang dapat dibedakan:[10]
1. Reorganisasi yuridis, terjadi apabila ada perubahan bentuk perusahaan. Misalnya perusahaan perseorangan diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT).
2. Reorganisasi struktural, yaitu penyusunan kembali struktur organisasi. Misalnya struktur organisasi fungsional diubah menjadi struktur organisasi garis.
3. Reorganisasi finansial, merupakan Capital Restructuring yang menyangkut perubahan menyeluruh dari struktur modal karena perusahaan telah atau sangat cenderung untuk insolvable. Tujuan reorganisasi finansial adalah untuk menyehatkan kembali permodalan perusahaan. Struktur modal disusun kembali karena perusahaan mengalami kesulitan permodalan, sehingga dirasa struktur modal yang baru cukup layak untuk operasional perusahaan di masa yang akan datang.
Pembangkrutan usaha dapat dihindarkan, antara lain melalui reorganisasi usaha dalam bentuk penggabungan, peleburan,akuisisi usaha, dan bentuk lainnya. Reorganisasi tersebut juga dipandang sebagai salah satu pendekatan pemulihan kembali kegiatan ekonomi, usaha dan investasi (economic recovery), serta kesempatan kerja.
Reorganisasi sebenarnya merupakan bagian dari restrukturisasi. Pengertian restrukturisasi yang berhubungan dengan penyehatan perusahaan dapat dibagi dalam beberapa tahap pertama, bila seorang debitur mengalami kesulitan terhadap pembayaran utangnya, maka terhadap debitur tersebut dapat dilakukan restrukturisasi hanya terhadap utang debitur, karena bila retrukturisasi terhadap debitur dianggap belum cukup menjamin penyehatan perusahaan, maka dapat dilanjutkan dengan restrukturisasi perusahaan. Dengan adanya restrukturisasi perusahaan tersebut maka diharapkan restrukturisasi utang akan lebih terjamin keberhasilannya.
Restrukturisasi pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimaksudkan hanya restrukturisasi terhadap pembayaran utang-utang debitur dengan tujuan agar perusahaan debitur dapat sehat kembali.[11] Restrukturisasi utang debitur hanya dapat dilakukan bila terjadi peristiwa sebagai berikut:[12]
1.  Perseroan sudah berada dalam keadaan tidak mampu membayar bunga dan atau utang pokoknya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
2. Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mendatang berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang-utangnya.
3. Perseroan berdasarkan putusan pengadilan atau suatu badan arbitrase yang telah berkakuatan hukum tetap diwajibkan membayar utang atau ganti kerugian kepada pihak lain dan apabila perseroan memenuhi putusan pengadilan atau badan arbitrase tersebut, maka besarnya pembayaran kewajiban itu dapat mengakibatkan perseroankehilangan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari modalnya.
4. Perseroan sudah mengalami kerugian yang besarnya kerugian itu mengakibatkan perseroan kehilangan modalnya sekurangkurangnya 50% (lima puluh persen) dari modalnya.
5.  Perseroan memiliki utang bermasalah yang besarnya setelah diperhitungkan dengan cadangan, masih akan mengakibatkan perseroan kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari modalnya.
6. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 500% (lima ratus persen) dari modalnya.
7.  Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 200% (dua ratus persen) dibandingkan dengan nilai jual harta kekayaan perseroan seandainya perseroan dilikuidasi karena dinyatakan pailit.
Restrukturisasi terhadap utang debitur bukan hanya bila terjadi peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi juga harus dipertimbangkan beberapa kelayakan berikut:[13]
1. Perseroan masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang atau utang-utang tersebut apabila diberi kesempatan penundaan pelunasan dalam jangka waktu yang wajar, baik dengan atau tanpa diberi keringanan-keringanan persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru, dan
2. Kreditur akan memperoleh pelunasan utang yang jumlahnya lebih besar melalui restrukturisasi daripada perseroan dinyatakan pailit, dan atau
3. Syarat-syarat utang berdasarkan restrukturisasi lebih menguntungkan bagi kreditur daripada sebelum dilakukan restrukturisasi.
Oleh karena itu sebelum restrukturisasi dilakukan, harus dilakukan terlebih dahulu studi kelayakan yang bertujuan untuk menyimpulkan apakah utang debitur layak atau tidak layak untuk direktrukturisasi, baik retrukturisasi itu hanya terbatas pada retrukturisasi utang atau juga harus dilakukan retrukturisasi perusahaan. Studi kelayakan tersebut harus dilakukan oleh Kantor Konsultan Independen yang sekurang-kurangnya terdiri dari:[14]
1. Kantor Akuntan Publik.
2. Kantor Konsultan Hukum.
3. Kantor Konsultan Manajemen Keuangan dan Bisnis.
4. Kantor Konsultan Penilai
5. Pakar mengenai sektor industri yang bersangkutan.
Sebagai catatan perlu diketahui bahwa dalam sejarahnya, Peraturan Kepailitan yang lama sebenarnya tidak berlaku untuk golongan rakyat pribumi. Undang-undang Kepailitan tersebut hanya berlaku bagi golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Hal ini sesuai dengan Staatsblad 1924 No. 556 dan Staatsblad 1917 No. 129. Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements Verordening Stb 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348) ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang pada tanggal 22 April 1998, yaitu dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut kemudian selanjutnya menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Kemudian UU No. 4 Tahun 1998 direvisi kembali menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. yang telah disahkan oleh DPR dan telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2004 (selanjutnya UU Kepailitan yang baru).
Ada berbagai kelemahan mendasar dari UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998, antara lain, tidak adanya batas utang yang jelas sehingga suatu perusahaan bisa dinyatakan pailit. Dimana menurut Undang-undang Kepailitan yang lama ini sangat sulit membuktikan atau mendefenisikan apakah itu utang atau tidak. Putusan pailit terhadap suatu perusahaan asuransi tanpa melihat track record perusahaan yang akan dipailitkan, akan menjadi preseden buruk yang mempengaruhi investor, dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Hal ini disebabkan hukum tidak memberi jaminan keamanan berusaha. Jadi dalam hal ini seolah-olah mudah untuk memohonkan pailit sehingga perusahaan yang sehat pun bisa dipailitkan.
Hal ini adalah merupakan kelemahan UU Kepailitan (UU NO. 4 Tahun 1998) yang ditinjau dari sisi kepentingan masyarakat. Di dalam UU No.4 Tahun 1998 dinyatakan bahwa bank dan pasar modal yang menghimpun dana publik hanya bisa diajukan pailit yaitu untuk bank oleh Bank Indonesia dan pasar modal oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Tetapi justru asuransi yang juga salah satu lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat tidak mendapat hak yang sama seperti halnya bank dan pasar modal.[15]
Berbagai kasus berkenaan dengan pailit suatu perusahaan secara bisnis dan menurut hukum perusahaan merupakan hal lumrah. Sebab Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah menentukan, bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Dengan ketentuan itu dapat dipahami masalah pailit merupakan pilihan yang wajar.
Namun, muncul beberapa pendapat hukum kepailitan itu belum memberikan perlindungan yang cukup kepada debitor yang beritikad baik. Pendapat itu dapat diterima karena yang berkembang sampai sekarang ini terdapat kecenderungan mengartikan pailit sama dengan likuidasi. Padahal, harus menjadi pemahaman bahwa seharusnya pailit juga merupakan sarana untuk melakukan reorganisasi perusahaan. Oleh karena itu ke depan hukum kepailitan di Indonesia harus mengatur mengenai reorganisasi perusahaan. Hal ini perlu karena pada dasarnya kepailitan harus mencerminkan keseimbangan antara melindungi hak-hak
kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi prematur atas suatu perusahaan.
Perlu pula dipahami bahwa melalui ketentuan reorganisasi perusahaan nantinya bila diatur dalam hukum kepailitan akan membuat hukum kepailitan menjadi efektif. Pengaturan demikian menjadi penting sekali bila terjadi krisis keuangan di suatu negara, karena akan mempercepat proses restrukturisasi perusahaan di negara yang dilanda krisis tersebut. Peran utama kepailitan adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.
Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Prinsip yang terahir tersebut memang telah dianut oleh hukum kepailitan, karena telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Lebih jauh lagi, perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk. Reorganisasi Perusahaan dalam Hukum Kepailitan adalah ultimum remedium, upaya terakhir. Apabila reorganisasi perusahaan diatur dalam hukum kepailitan di Indonesia, maka tidaklah mudah lagi mempailitkan suatu perusahaan.





B.      Akibat Hukum Dari Reorganisasi Perusahaan Tehadap Penyelesaian Utang Piutang Perusahaan
Reorganisasi perusahaan dimaknai dengan penataan kembali perusahaan. Adanya reorganisasi perusahaan membuka kemungkinan perusahaan akan sehat kembali dan berkinerja baik. Jika reorganisasi perusahaan menjadikan perusahaan kembali sehat dan kinerjanya menjadi lebih baik maka tentunya kemampuan perusahaan dalam mendapatkan keuntungan juga akan meningkat. Seiring dengan hal tersebut maka sudah pasti penyelesaian utangnya juga akan mulai  diselesaikan.
Namun demikian tidak ada jaminan bahwa perusahaan yang telah melakukan reorganisasi perusahaan kinerjanya akan meningkat. Sebagai suatu  upaya tentu saja baik dilakukan mengingat cara-cara itu haruslah ditempuh sebelum akhirnya pailit menjadi pilihan. Peluangnya besar perusahaan terhindar dari kepailitan setelah dilakukan reorganisasi perusahaan.
Paling tidak dengan penataan kembali perusahaan maka perusahaan tersebut dianalisis penyebab dari kesulitan keuangannya untuk kemudian dicari solusi yang terbaik. Biasanya dalam melakukan reorganisasi perusahaan, perusahaan dibantu oleh konsultan manajemen dan konsultan hukum perusahaan.
Akibat dari reorganisasi perusahaan akan luas dan terkait dengan berbagai pihak seperti pemilik perusahaan, karyawan perusahaan, direksi perusahaan, kreditor perusahaan dan debitor perusahaan.
Ketika reorganisasi perusahaan bersentuhan langsung dengan proses merger, konsolidasi akuisisi dan pemisahan bukan tidak mungkin awalnya pemilik perusahaan menjadi pemegang saham namun karena adanya reorganisasi perusahaan, pemilik perusahaan tidak menjadi pemilik lagi.
Tidak hanya pemilik perusahaan,reorganisasi perusahaan juga dapat berpengaruh pada direksi perusahaan, yang awalnya menjadi direksi sebuah perusahaan setelah reorganisasi perusahaan menjadi tidak lagi direksi perusahaan.
Reorganisasi perusahaan juga biasanya menyentuh karyawan perusahaan. Restrukturisasi karyawan menjadi bagian yang tidak terhindarkan dalam proses reorganisasi perusahaan. Mutasi, rotasi dan demosi bahkan pemutusan hubungan kerja menjadi akibat dari reoganisasi perusahaan.
Tidak hanya itu reorganisasi perusahaan dapat berpengaruh pada kreditor dan debitor perusahaan. Pengaruh ini tentunya akan berdampak pada adanya restrukturisasi utang.
















BAB IV
SIMPULAN

1. Pengaturan mengenai reorganisasi perusahaan belum diatur dengan jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Reorganisasi sebenarnya merupakan bagian dari restrukturisasi, kepailitan dapat dihindarkan dengan melalui reorganisasi usaha dalam bentuk penggabungan, peleburan,akuisisi usaha, dan bentuk lainnya. Undang-Undang kepailitan ini juga belum memberikan perlindungan yang cukup kepada debitor yang beritikad baik, karena yang berkembang sampai sekarang ini terdapat kecenderungan mengartikan pailit sama dengan likuidasi. Akan tetapi harus menjadi pemahaman bahwa seharusnya pailit juga merupakan sarana untuk melakukan reorganisasi perusahaan.
2. Akibat hukum dari reorganisasi perusahaan tehadap penyelesaian utang piutang perusahaan adalah adanya peluang bagi kreditor dan debitor dalam penyelesaian utang piutangnya tanpa melalui proses kepailitan yang dapat mengakibatkan debitor dinyatakan pailit.









DAFTAR PUSTAKA

Bambang Riyanto, Dasar - Dasar Perusahaan, Yayasan Badan Penerbit  Gadjah Mada, 1989, Yogyakarta.
Bismar Nasution, UU Kepailitan Harus Mengatur Reorganisasi Perusahaan, Medan Bisnis, Sabtu 8 Mei 2004.
Bramantyo Djohanputro, Restrukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai : Strategi Menuju Keunggulan Bersaing, PPM ,Jakarta, 2004.

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2006.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002.
Wasis,  Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni, 1992, Bandung.

Syamsudin Manan Sinaga, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang Pada Penundaan  Kewajiban Pembayaran Utang, Badan PembinaaanHukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2000.
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso,, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.







[1]Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso,, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,hlm. 1.

[2] Bambang Riyanto, Dasar - Dasar Perusahaan, Yayasan Badan Penerbit  Gadjah Mada, 1989, Yogyakarta, hlm. 240.

[3] Bramantyo Djohanputro, Restrukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai : Strategi Menuju Keunggulan Bersaing, PPM ,Jakarta, 2004, hlm. 33
[4] Bambang Riyanto, op.cit hlm. 252
[6] Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2006, hlm.78.
[7] Ibid., hlm.202.
[8] Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hlm.333.
[9] Ibid, hlm. 340
[10] Wasis,  Pengantar Ekonomi Perusahaan, Alumni, 1992, Bandung, hal. 209-210
[11] Syamsudin Manan Sinaga, 2000, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang Pada Penundaan  Kewajiban Pembayaran Utang, Badan PembinaaanHukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, hlm 7.
[12] Syamsudin Manan Sinaga, loc. Cit.
[13] Ibid, hal. 9.
[14] Syamsudin Manan Sinaga, loc.cit
[15] Bismar Nasution, UU Kepailitan Harus Mengatur Reorganisasi Perusahaan, Medan Bisnis, Sabtu 8 Mei 2004, hlm 8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar