UPAYA REORGANISASI PERUSAHAAN DEBITOR YANG TERANCAM PAILIT SEBAGAI SUATU
ALTERNATIF
OLEH
JONI ALIZON, SH., MH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam dunia usaha, suatu perusahaan
tidak selalu berjalan dengan baik, dan keadaan keuangannya sudah sedemikian
rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup membayar utang-utangnya.Hal
demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha.[1]
Krisis yang menimpa perekonomian Indonesia pada
pertengahan tahun 1997 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia rentan
terhadap pengaruh luar. ,Perusahaan-perusahaan mulai bangkrut satu demi satu.
Persoalan baru muncul yaitu utang piutang antara debitur dengan para
kreditornya dan pada tahun 1998 Faillsementverordening
(F.V) diubah dan diganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahahan Undang-Undang Kepailitan. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut di Undang-Undang kan dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1998.
Namun fakta
menunjukkan bahwa Undang-Undang No.4 Tahun 1998 masih belum memadai dalam
mengatasi masalah kepailitan. Selain itu Undang-Undang tersebut ternyata juga
belum mampu mengatur masalah reorganisasi perusahaan secara memadai.
Undang-Undang No.4 Tahun 1998 pun dilakukan
perubahaan dengan Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau disingkat UUK PKPU. Pasal 2 ayat
(1) UUKPKPU telah menentukan, bahwa
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih
kreditornya. Dengan ketentuan itu dapat dipahami masalah pailit merupakan
pilihan yang wajar. Namun, muncul beberapa pendapat hukum kepailitan itu belum
memberikan perlindungan yang cukup kepada debitor yang beritikad baik.
Pendapat itu dapat diterima karena yang berkembang
sampai sekarang ini terdapat kecenderungan mengartikan pailit sama dengan
likuidasi. Padahal, harus menjadi pemahaman bahwa seharusnya pailit juga
merupakan sarana untuk melakukan reorganisasi perusahaan. Oleh karena itu ke
depan hukum kepailitan di Indonesia harus mengatur mengenai reorganisasi
perusahaan. Hal ini perlu karena pada dasarnya kepailitan harus mencerminkan
keseimbangan antara melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya
likuidasi prematur atas suatu perusahaan.
Perlu pula dipahami bahwa melalui ketentuan
reorganisasi perusahaan nantinya bila diatur dalam hukum kepailitan akan
membuat hukum kepailitan menjadi efektif. Pengaturan demikian menjadi penting
sekali bila terjadi krisis keuangan di suatu negara, karena akan mempercepat
proses restrukturisasi perusahaan di negara yang dilanda krisis tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, penyusun ingin
mengetahui lebih lanjut mengenai implementasi reorganisasi terhadap perusahaan
debitur apakah dapat dijadikan sebagai suatu alternatif agar perusahaan debitur
tidak pailit. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka dituangkan dalam bentuk
makalah yang berjudul “Upaya
Reorganisasi Perusahaan Debitor Yang Terancam Pailit Sebagai Suatu Alternatif”
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar
belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai
berikut:
1.
Apakah telah cukup pengaturan reorganisasi perusahaan dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2.
Bagaimana akibat hukum dari reorganisasi perusahaan tehadap penyelesaian
utang piutang perusahaan?
BAB II
PELAKSANAAN REORGANISASI PADA
PERUSAHAAN DEBITUR YANG TERANCAM PAILIT
A.
Pengertian Reorganisasi
Reorganisasi
dalam bahasa Inggris disebut “Reorganization”
diartikan penyusunan kembali. Hukum di Amerika Serikat telah memberlakukan
reorganisasi perusahaan untuk mengatasi keadaan debitur yang mengalami
kesulitan untuk membayar utang-utangnya. Menurut hukum US Bankruptcy Code, terdapat dua bentuk bankruptcy yaitu (1) liquiation dan (2) rehabilation, Chapter 7
dan Bankruptcy Code berjudul “Liquidation”. Istilah “straight bankruptcy” atau “bankruptcy” yang sering dipakai adalah
dimaksudkan untuk merujuk kepada kasus-kasus liquidation dibawah hukum
kepailitan di bawah hukum kepailitan karena mayoritas terbesar dari kasus-kasus
bankruptcy adalah kasus liquidation. Chapter 11, 12 dan 13 dari
Bankruptcy Code menyangkut debitor rehabilitation. Dalam suatu kasus rehabilitation, yang dilihat oleh para
Kreditor adalah pendapatan Debitor yang akan datang untuk melunasi
tagihan-tagihan mereka, bukan melihat harta kekayaan Debitor pada waktu proses
kepailitan dimulai. Banckrupty Code
tidak secara tegas membatasi penggunaan Chapter
11, yang berjudul Reorganization, untuk
kasus-kasus bisnis saja, namun dalam prakteknya Chapter 11 dapat digunakan oleh
hampir semua bidang usaha.
Kebangkrutan
biasanya diartikan kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan
untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidasi perusahaan
atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas. Kebangkrutan dapat juga
diartikan suatu proses yang dilakukan oleh seorang debitur dengan mengisi suatu
petisi yang menyatakan bahwa ia tidak mampu untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya atau hutang-hutangnya dan bersedia dinyatakan bangkrut
Rencana
reorganisasi pada hakekatnya adalah kesepakatan antara seorang debitur dan
beberapa kreditur. Hal itu mungkin merupakan rekapitalisasi perusahaan debitur
dan atau memberi kreditur beberapa saham perusahaan sebagai pengganti sebagaian
atau seluruh utang-utang perusahaan. Reorganisasi dapat dibedakan:[2]
a. Reorganisasi yuridisi, yaitu
reorganisasi yang terjasi apabila ada perubahan bentuk hukum perusahaan atau
badan usaha. Perubahan ini mempunyai akibat hukum, misalnya bentuk perusahaan
perseorangan dirubah menjadi partnership atau bentuk perusahaan partenership
dirubah menjadi Perseroan Terbatas. Dengan demikian reorganisasi yuridis pada
dasarnya merubah bentuk. Perubahan bentuk pada hakekatnya mempengaruhi hak dan
kewajiban daripada pemilik
b. Reorganisasi struktural, yaitu
penyusunan kembali struktur organisasi. Dalam reorganisasi struktural tidak ada
akibat keluar tetapi mempunyai akibat kedalam. Misalnya struktur organisasi
fungsional dirubah menjadi struktur organisasi garis.
c. Reorganisasi finansial, yaitu
reorganisasi yang terjadi apabila ada perubahan struktur modal. Struktur modal
disusun kembali karena perusahaan mengalami kesulitan permodalan
Sedikitnya
terdapat tiga prinsip menurut Joseph E. Stiglitz yang harus terkandung dalam
hukum kepailitan. Pertama, peran utama kepailitan adalah untuk
menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu
cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Kedua, meskipun
tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan
telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan
politik diantara para pelaku,transformasi struktural perekonomian dan perkembangan
sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan
beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya
likuidasi premature.Ketiga, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya
memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah
memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang
terpenting adalah pekerja.
Prinsip ketiga tersebut memang telah dianut oleh
hukum kepailitan, karena telah memberikan hak istimewa untuk pembayaran gaji
buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak buruh lainnya. Lebih
jauh lagi, perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen
atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.
Disamping itu jika
melihat dari hakekatnya reorganisasi perusahaan adalah untuk menyehatkan
kinerja perusahaan, tentunya perusahaan dapat melakukan kebijakan antara lain:
perluasan perusahaan secara internal, peningkatan modal ekuitas dari sumber
eksternal perusahaan, ekspansi usaha, penurunan modal dan perampingan
perusahaan secara yuridis. Sehingga bentuk reorganisasi diperluas dan dapat
dilakukan dengan cara:[3]
1. Penggabungan (Merger)
2. Peleburan (consolidation)
3. Pengambilalihan (acquisition)
4. Privatisasi :
5. Pengambilalihan oleh pemerintah
6. Rekapitalisasi
7. Restrukturisasi Utang
Reorganisasi
pada umumnya adalah pengaturan untuk memperbaiki susunan kapital suatu
perseroan agar kondisi finansial menjadi lebih sehat dan kuat. Mengingat bahwa
maksud diadakannya reorganisasi terutama untuk perbaikan struktur modalnya
untuk kemudian supaya mempermudah future financingnya, maka tindakan utama yang
harus dilakukan adalah tindakan menghilangkan saldo kerugian.[4]
Tindakan
ini secara khusus dapat disebut recapitalization, yang dilakukan kepada suatu
perseroan yang jatuh bangkrut, yang menetapkan, bahwa para pemegang saham,
pemegang obligasi, dan para kreditur menyetujui satu sama lain akan menyerahkan
kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutannya, untuk melakukan
restrukturisasi finansial sehingga dapat menyelesaikan hutang-hutang perseroan
dan melanjutkan usaha-usahanya. Adapun langkah-langkah reorganisasi adalah[5]:
1. Menentukan Nilai Perusahaan,
Penilaian yang sering digunakan, dan yang
termasuk sederhana, adalah menghitung nilai perusahaan berdasarkan tingkat
kapitalisasi;
2. Menentukan Struktur Modal yang baru
Struktur modal tersebut bertujuan
mengurangi beban tetap (bunga) agar perusahaan bisa beroperasi dengan lebih
fleksibel. Untuk mengurangi beban tetap tersebut, total hutang biasanya akan
dikurangi. Jika tidak ada lagi harapan bahwa operasi perusahaan akan berhasil,
maka likuidasi merupakan alternatif satu-satunya yang mungkin dilakukan oleh
perusahaan.
B.
Alasan dan Motivasi dilakukannya Reorganisasi
Perusahaan
Menurut Pasal 1 UUK PKPU, Kepailitan adalah sitaan
umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Yang dimaksud dengan
sita umum adalah penyitaaan atau pembeslahan terhadap seluruh harta debitor
pailit. Pengertian sita umum ini untuk membedakan dengan sita khusus seperti
revindikator beslag, konservator beslah dan eksekutor beslag yang semuanya
merupakan beslag atau sita khusus karena terhadap benda-benda tertentu[6]
Mengenai syarat-syarat untuk dapat dinyatakan
pailit, Pasal 2 Ayat (1) UUK PKPU menyebutkan bahwa debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan Niaga baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya
mengalami kesulitan sehingga kemungkinan besar berhenti membayar utang dapat
memilih beberapa langkah dalam penyelesaian utangnya tersebut. Beberapa upaya
dimaksud antara lain:[7]
1. Mengadakan perdamaian diluar pengadilan
dengan para kreditornya;
2. Mengadakan perdamaian di dalam
pengadilan apabila debitor tersebut digugat secara perdata;
3. Mengajukan permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang (PKPU);
4. Mengajukan perdamain dalam PKPU;
5. Mengajukan permohonan agar dirinya
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
6. Mengajukan perdamaian dalam kepailitan.
Berkaitan dengan alternatif pilihan
tersebut,debitor seyogyanya memilih alternatif terbaik. Salah satu pilihannya
adalah mengajukan permohonan PKPU. Permohonan PKPU tersebut harus diajukan oleh
debitor selum ada putusan pailit.
Apabila putusan pailit telah dibacakan oleh Majelis Hakim maka debitor tidak
dapat mengajukan PKPU.
Sebelum Pengadilan Niaga memutuskan untuk
mengadakan PKPU tetap, debitor dapat mengajukan untuk diberikan PKPU sementara.
Jangka waktu PKPU sementara berakhir
karena kreditor konkuren tidak menyetujui pemberikan PKPU tetap atau
pada saat batas waktu perpanjangan PKPU
telah sampai, ternyata antara debitor dan kreditor konkuren belum tercapai persetujuan rencana
perdamaian.[8] Apabila PKPU tetap ini disetujui oleh para
kreditor konkuren maka PKPU tetap ini tidak boleh melebihi 270 hari terhitung
sejak putusan PKPU sementara ditetapkan.[9]
Kepailitan adalah ultimum remedium, upaya
terakhir. Menurut penulis apabila reorganisasi perusahaan diatur di dalam hukum
kepailitan di Indonesia, maka tidaklah mudah lagi mempailitkan suatu
perusahaan.
BAB
III
REORGANISASI PERUSAHAAN DEBITOR YANG TERANCAM PAILIT
DALAM UPAYA PENYELESAIAN UTANG PIUTANG PERUSAHAAN
A. Pengaturan Reorganisasi Perusahaan Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Reorganisasi perusahaan
dapat menjadi alternatif bagi debitor agar terhindar dari kepailitan.
Perusahaan yang terancam pailit memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Penataan kembali organisasi perusahaan Menjadi penting untuk keberlangsungan
perusahaan. Reorganisasi merupakan upaya untuk mempertahankan perusahaan tetap
berjalan dengan mengubah struktur modalnya. Secara konseptual suatu perusahaan
harus direorganisasi jika nilai ekonominya sebagai satu kesatuan operasi lebih
besar daripada nilai likuidasinya.
Reorganisasi
perusahaan berarti juga menyusun kembali organisasi yang dapat dibedakan:[10]
1.
Reorganisasi yuridis, terjadi apabila ada perubahan bentuk perusahaan. Misalnya
perusahaan perseorangan diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT).
2.
Reorganisasi struktural, yaitu penyusunan kembali struktur organisasi. Misalnya
struktur organisasi fungsional diubah menjadi struktur organisasi garis.
3.
Reorganisasi finansial, merupakan Capital Restructuring yang menyangkut
perubahan menyeluruh dari struktur modal karena perusahaan telah atau sangat
cenderung untuk insolvable. Tujuan
reorganisasi finansial adalah untuk menyehatkan kembali permodalan perusahaan.
Struktur modal disusun kembali karena perusahaan mengalami kesulitan
permodalan, sehingga dirasa struktur modal yang baru cukup layak untuk
operasional perusahaan di masa yang akan datang.
Pembangkrutan
usaha dapat dihindarkan, antara lain melalui reorganisasi usaha dalam bentuk
penggabungan, peleburan,akuisisi usaha, dan bentuk lainnya. Reorganisasi
tersebut juga dipandang sebagai salah satu pendekatan pemulihan kembali
kegiatan ekonomi, usaha dan investasi (economic recovery), serta
kesempatan kerja.
Reorganisasi
sebenarnya merupakan bagian dari restrukturisasi. Pengertian restrukturisasi
yang berhubungan dengan penyehatan perusahaan dapat dibagi dalam beberapa tahap
pertama, bila seorang debitur mengalami kesulitan terhadap pembayaran utangnya,
maka terhadap debitur tersebut dapat dilakukan restrukturisasi hanya terhadap
utang debitur, karena bila retrukturisasi terhadap debitur dianggap belum cukup
menjamin penyehatan perusahaan, maka dapat dilanjutkan dengan restrukturisasi
perusahaan. Dengan adanya restrukturisasi perusahaan tersebut maka diharapkan
restrukturisasi utang akan lebih terjamin keberhasilannya.
Restrukturisasi
pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dimaksudkan hanya
restrukturisasi terhadap pembayaran utang-utang debitur dengan tujuan agar
perusahaan debitur dapat sehat kembali.[11]
Restrukturisasi utang debitur hanya dapat dilakukan bila terjadi peristiwa
sebagai berikut:[12]
1. Perseroan sudah berada dalam keadaan tidak
mampu membayar bunga dan atau utang pokoknya yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.
2.
Perseroan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mendatang berada dalam keadaan
tidak mampu membayar utang-utangnya.
3.
Perseroan berdasarkan putusan pengadilan atau suatu badan arbitrase yang telah
berkakuatan hukum tetap diwajibkan membayar utang atau ganti kerugian kepada
pihak lain dan apabila perseroan memenuhi putusan pengadilan atau badan
arbitrase tersebut, maka besarnya pembayaran kewajiban itu dapat mengakibatkan
perseroankehilangan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari modalnya.
4.
Perseroan sudah mengalami kerugian yang besarnya kerugian itu mengakibatkan
perseroan kehilangan modalnya sekurangkurangnya 50% (lima puluh persen) dari
modalnya.
5. Perseroan memiliki utang bermasalah yang
besarnya setelah diperhitungkan dengan cadangan, masih akan mengakibatkan perseroan
kehilangan modalnya sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari modalnya.
6.
Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya berjumlah melebihi 500% (lima
ratus persen) dari modalnya.
7. Perseroan memiliki utang yang keseluruhannya
berjumlah melebihi 200% (dua ratus persen) dibandingkan dengan nilai jual harta
kekayaan perseroan seandainya perseroan dilikuidasi karena dinyatakan pailit.
Restrukturisasi
terhadap utang debitur bukan hanya bila terjadi peristiwa-peristiwa tersebut,
tetapi juga harus dipertimbangkan beberapa kelayakan berikut:[13]
1.
Perseroan masih memiliki prospek usaha yang baik untuk mampu melunasi utang
atau utang-utang tersebut apabila diberi kesempatan penundaan pelunasan dalam
jangka waktu yang wajar, baik dengan atau tanpa diberi keringanan-keringanan
persyaratan dan atau diberi tambahan utang baru, dan
2.
Kreditur akan memperoleh pelunasan utang yang jumlahnya lebih besar melalui
restrukturisasi daripada perseroan dinyatakan pailit, dan atau
3.
Syarat-syarat utang berdasarkan restrukturisasi lebih menguntungkan bagi
kreditur daripada sebelum dilakukan restrukturisasi.
Oleh
karena itu sebelum restrukturisasi dilakukan, harus dilakukan terlebih dahulu
studi kelayakan yang bertujuan untuk menyimpulkan apakah utang debitur layak
atau tidak layak untuk direktrukturisasi, baik retrukturisasi itu hanya
terbatas pada retrukturisasi utang atau juga harus dilakukan retrukturisasi
perusahaan. Studi kelayakan tersebut harus dilakukan oleh Kantor Konsultan
Independen yang sekurang-kurangnya terdiri dari:[14]
1. Kantor Akuntan Publik.
2. Kantor Konsultan Hukum.
3. Kantor Konsultan Manajemen Keuangan dan Bisnis.
4. Kantor Konsultan Penilai
5. Pakar mengenai sektor industri yang
bersangkutan.
Sebagai
catatan perlu diketahui bahwa dalam sejarahnya, Peraturan Kepailitan yang lama
sebenarnya tidak berlaku untuk golongan rakyat pribumi. Undang-undang
Kepailitan tersebut hanya berlaku bagi golongan Eropa dan golongan Timur Asing.
Hal ini sesuai dengan Staatsblad 1924 No. 556 dan Staatsblad 1917 No. 129.
Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan (Faillisements Verordening
Stb 1905 No. 217 jo Stb 1906 No. 348) ditetapkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang pada tanggal 22 April 1998, yaitu dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan
atas undang-undang tentang Kepailitan. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
tersebut kemudian selanjutnya menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Kemudian
UU No. 4 Tahun 1998 direvisi kembali menjadi UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. yang telah disahkan oleh
DPR dan telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 18
Oktober 2004 (selanjutnya UU Kepailitan yang baru).
Ada
berbagai kelemahan mendasar dari UU Kepailitan No. 4 Tahun 1998, antara lain,
tidak adanya batas utang yang jelas sehingga suatu perusahaan bisa dinyatakan
pailit. Dimana menurut Undang-undang Kepailitan yang lama ini sangat sulit
membuktikan atau mendefenisikan apakah itu utang atau tidak. Putusan pailit
terhadap suatu perusahaan asuransi tanpa melihat track record perusahaan
yang akan dipailitkan, akan menjadi preseden buruk yang mempengaruhi investor,
dari dalam negeri maupun luar negeri, untuk menanamkan investasinya di
Indonesia. Hal ini disebabkan hukum tidak memberi jaminan keamanan berusaha.
Jadi dalam hal ini seolah-olah mudah untuk memohonkan pailit sehingga
perusahaan yang sehat pun bisa dipailitkan.
Hal
ini adalah merupakan kelemahan UU Kepailitan (UU NO. 4 Tahun 1998) yang
ditinjau dari sisi kepentingan masyarakat. Di dalam UU No.4 Tahun 1998
dinyatakan bahwa bank dan pasar modal yang menghimpun dana publik hanya bisa
diajukan pailit yaitu untuk bank oleh Bank Indonesia dan pasar modal oleh Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Tetapi justru asuransi yang juga salah satu
lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat tidak mendapat hak yang sama
seperti halnya bank dan pasar modal.[15]
Berbagai
kasus berkenaan dengan pailit suatu perusahaan secara bisnis dan menurut hukum
perusahaan merupakan hal lumrah. Sebab Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah
menentukan, bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih,dinyatakan pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan satu
atau lebih kreditornya. Dengan ketentuan itu dapat dipahami masalah pailit
merupakan pilihan yang wajar.
Namun,
muncul beberapa pendapat hukum kepailitan itu belum memberikan perlindungan
yang cukup kepada debitor yang beritikad baik. Pendapat itu dapat diterima
karena yang berkembang sampai sekarang ini terdapat kecenderungan mengartikan
pailit sama dengan likuidasi. Padahal, harus menjadi pemahaman bahwa seharusnya
pailit juga merupakan sarana untuk melakukan reorganisasi perusahaan. Oleh karena
itu ke depan hukum kepailitan di Indonesia harus mengatur mengenai reorganisasi
perusahaan. Hal ini perlu karena pada dasarnya kepailitan harus mencerminkan
keseimbangan antara melindungi hak-hak
kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi
prematur atas suatu perusahaan.
Perlu
pula dipahami bahwa melalui ketentuan reorganisasi perusahaan nantinya bila
diatur dalam hukum kepailitan akan membuat hukum kepailitan menjadi efektif.
Pengaturan demikian menjadi penting sekali bila terjadi krisis keuangan di suatu
negara, karena akan mempercepat proses restrukturisasi perusahaan di negara
yang dilanda krisis tersebut. Peran utama kepailitan adalah untuk menggalakkan
reorganisasi perusahaan. Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan. Meskipun tidak dikenal hukum kepailitan yang berlaku universal
dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan
perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, transformasi struktural
perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat, namun setiap hukum kepailitan
bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur
dan menghindari terjadinya likuidasi premature.
Hukum
kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang
lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang
dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja. Prinsip yang terahir tersebut
memang telah dianut oleh hukum kepailitan, karena telah memberikan hak istimewa
untuk pembayaran gaji buruh yang terutang. Akan tetapi bagaimana dengan hak-hak
buruh lainnya. Lebih jauh lagi, perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak
luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk.
Reorganisasi Perusahaan dalam Hukum Kepailitan adalah ultimum remedium, upaya
terakhir. Apabila reorganisasi perusahaan diatur dalam hukum kepailitan di
Indonesia, maka tidaklah mudah lagi mempailitkan suatu perusahaan.
B.
Akibat Hukum Dari Reorganisasi Perusahaan Tehadap
Penyelesaian Utang Piutang Perusahaan
Reorganisasi perusahaan
dimaknai dengan penataan kembali perusahaan. Adanya reorganisasi perusahaan
membuka kemungkinan perusahaan akan sehat kembali dan berkinerja baik. Jika
reorganisasi perusahaan menjadikan perusahaan kembali sehat dan kinerjanya
menjadi lebih baik maka tentunya kemampuan perusahaan dalam mendapatkan
keuntungan juga akan meningkat. Seiring dengan hal tersebut maka sudah pasti
penyelesaian utangnya juga akan mulai
diselesaikan.
Namun demikian tidak ada jaminan
bahwa perusahaan yang telah melakukan reorganisasi perusahaan kinerjanya akan
meningkat. Sebagai suatu upaya tentu
saja baik dilakukan mengingat cara-cara itu haruslah ditempuh sebelum akhirnya
pailit menjadi pilihan. Peluangnya besar perusahaan terhindar dari kepailitan
setelah dilakukan reorganisasi perusahaan.
Paling tidak dengan
penataan kembali perusahaan maka perusahaan tersebut dianalisis penyebab dari
kesulitan keuangannya untuk kemudian dicari solusi yang terbaik. Biasanya dalam
melakukan reorganisasi perusahaan, perusahaan dibantu oleh konsultan manajemen
dan konsultan hukum perusahaan.
Akibat dari reorganisasi
perusahaan akan luas dan terkait dengan berbagai pihak seperti pemilik
perusahaan, karyawan perusahaan, direksi perusahaan, kreditor perusahaan dan
debitor perusahaan.
Ketika reorganisasi
perusahaan bersentuhan langsung dengan proses merger, konsolidasi akuisisi dan
pemisahan bukan tidak mungkin awalnya pemilik perusahaan menjadi pemegang saham
namun karena adanya reorganisasi perusahaan, pemilik perusahaan tidak menjadi
pemilik lagi.
Tidak hanya pemilik
perusahaan,reorganisasi perusahaan juga dapat berpengaruh pada direksi
perusahaan, yang awalnya menjadi direksi sebuah perusahaan setelah reorganisasi
perusahaan menjadi tidak lagi direksi perusahaan.
Reorganisasi perusahaan
juga biasanya menyentuh karyawan perusahaan. Restrukturisasi karyawan menjadi
bagian yang tidak terhindarkan dalam proses reorganisasi perusahaan. Mutasi,
rotasi dan demosi bahkan pemutusan hubungan kerja menjadi akibat dari
reoganisasi perusahaan.
Tidak hanya itu
reorganisasi perusahaan dapat berpengaruh pada kreditor dan debitor perusahaan.
Pengaruh ini tentunya akan berdampak pada adanya restrukturisasi utang.
BAB IV
SIMPULAN
1. Pengaturan mengenai
reorganisasi perusahaan belum diatur dengan jelas dan tegas dalam Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Reorganisasi sebenarnya merupakan bagian dari restrukturisasi,
kepailitan dapat dihindarkan dengan melalui reorganisasi usaha dalam bentuk
penggabungan, peleburan,akuisisi usaha, dan bentuk lainnya. Undang-Undang
kepailitan ini juga belum memberikan perlindungan yang cukup kepada debitor
yang beritikad baik, karena yang berkembang sampai sekarang ini terdapat
kecenderungan mengartikan pailit sama dengan likuidasi. Akan tetapi harus
menjadi pemahaman bahwa seharusnya pailit juga merupakan sarana untuk melakukan
reorganisasi perusahaan.
2. Akibat hukum dari reorganisasi perusahaan tehadap
penyelesaian utang piutang perusahaan adalah adanya peluang bagi kreditor dan
debitor dalam penyelesaian utang piutangnya tanpa melalui proses kepailitan
yang dapat mengakibatkan debitor dinyatakan pailit.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang
Riyanto, Dasar - Dasar Perusahaan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1989, Yogyakarta.
Bismar
Nasution, UU Kepailitan Harus Mengatur Reorganisasi Perusahaan, Medan Bisnis,
Sabtu 8 Mei 2004.
Bramantyo Djohanputro, Restrukturisasi
Perusahaan Berbasis Nilai : Strategi Menuju Keunggulan Bersaing, PPM ,Jakarta,
2004.
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung:
Alumni, 2006.
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002.
Wasis, Pengantar
Ekonomi Perusahaan, Alumni, 1992, Bandung.
Syamsudin
Manan Sinaga, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang Pada
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Badan PembinaaanHukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2000.
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso,, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
http://rdtloom.wordpress.com/2009/01/13/kebangkrutan-dan-reorganisasi/
diakses 24 Desember 2013
[1]Victor M. Situmorang
dan Hendri Soekarso,, Pengantar Hukum
Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994,hlm. 1.
[2] Bambang
Riyanto, Dasar - Dasar Perusahaan, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, 1989, Yogyakarta, hlm. 240.
[3] Bramantyo Djohanputro, Restrukturisasi
Perusahaan Berbasis Nilai : Strategi Menuju Keunggulan Bersaing, PPM ,Jakarta,
2004, hlm. 33
[4] Bambang Riyanto, op.cit hlm.
252
[5] http://rdtloom.wordpress.com/2009/01/13/kebangkrutan-dan-reorganisasi/
diakses 24 desember 2013.
[6] Man S. Sastrawidjaja,
Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, 2006, hlm.78.
[7] Ibid., hlm.202.
[8] Sutan Remy Sjahdeini,
Hukum Kepailitan, Pustaka Utama
Grafiti, Jakarta, 2002, hlm.333.
[9] Ibid, hlm. 340
[11] Syamsudin Manan Sinaga, 2000, Analisis dan
Evaluasi Hukum Tentang Restrukturisasi Utang Pada Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Badan
PembinaaanHukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, hlm 7.
[15] Bismar Nasution, UU Kepailitan
Harus Mengatur Reorganisasi Perusahaan, Medan Bisnis, Sabtu 8 Mei 2004, hlm 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar